SEKILAS TENTANG ESTETIKA TIMUR

April 9th, 2018
  1. Estetika Cina

Hubungan ilmu, filsafat dan seni sangat akrab mewarnai perkembangan seni abad ke 19 di barat, dan kemudian merupakan landasan penciptaan seni modern akhir abad 19 dan20. Ekspresi, intuisi dan konsep individualitas merupakan sumber penciptaan yang didewakan seniman modern. Apabila di Yunani abad ke 5 SM sudah didapatkan karya-karya yang berpangdangan filsafat, maka di Timur khususnya Cina diketahui pada dinasti Han (206 SM – 220 AD)

Berbeda dengan perkembangan estetika barat, estetik di Negara-negara timur nampaknya sudah mulai berkembang mulai dari zaman primitive hingga munculnya berbagai agama besar sampai era modern sekarang ini. Estetika pada dasarnya dinamis dengan filsafat dan pemikiran baru, tetapi ditimur justru statis dan dogmatis, sehingga sangat lamban dan dapat dikatakan tidak berkembang. Meskipun demikian sulit mengatakan keunggulan masing-masing pihak. Hal tersebut karena pijakan atau latar belakang budaya yang masing-masing memang berbeda. Di Cina, Tao lah yang dianggap sumber dari nilai-nilai kehidupan. Tao berarti sinar tenang dan sumber dari segala sumber yang ada. Manusia dianggap sempurna apabila hidupnya diterangi oleh Tao. Bagi bangsa Cina Tao adalah kemutlakan; sesuatu yang member keberadaan, kehidupan dan kedamaian. Kong Hu Cu seorang filsuf Cina yang dianggap Nabi, mengutarakan sebuah pertanyaan; padahal barang-barang yang indah adalah penjelmaan dari Tao. Oleh karena itu tugas seoarang seniman adalah “menangkap” Tao tersebut dan mengungkapkannya dalam bentuk karya seni atau berupa barang yang indah. Sehingga seorang seniman wajib menyucikan diri agar mempunyai kesadaran Tao. Dan lewat kesadaran kontemplasi ia akan mampu menciptakan keindahan (Agus Sachari 1989:23). Filsuf Cina pada akhir abad V, Hsieh Ho menyusun enam prinsip dasar bagi para seniman yang kemudian terkenal dengan istilah canon estetika Cina, antara lain:

  1. Prinsip Pertama

Prinsip yang menggambarkan bersatunya roh semesta dengan dirinya, sehingga dengan demikian ia mampu menangkap keindahan (dari Tao) dan kemudian ditampilkan atau terwujud dalam karyanya. Prinsip ini merupakan konsep yang erat kaitannya dengan Buddhisme atau Taoisme. Konsep energy spiritual yang mewujudkan kesatuan yang harmonis atas segala sesuatu. Energi kosmis barangkali merupakan sesuatu ungkapan yang sesuai, tetapi terbatas dalam artian bahwa sesuatu dapat diperoleh dari suatu sumber yang menjiwai sesuatu, an-organik dan organik. Istilah Cina prinsip ini disebut “Ch’I yun sheng tun”.

  1. Prinsip Kedua

Prinsip ini menggambarkan kemapuan menyergap Roh Ch’I atau roh kehidupan dengan cara mengenyampingkan bentuk dan warna yang semarak, sehingga makna spiritual akan Nampak dalam karya-karyanya. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa lukisan Cina saat itu, yang penuh dengan ruang kosong dan kesunyian. Digambarkan sebagaimana pelukis Cina Tsung Ting (375-443), sebelum melukis pemandangan alam, ia melakukan meditasi terlebih dahulu, agar rohnya secara bebas menjelajahi alam semesta.

Prinsip kedua ini jika diterjemahkan secara literer berarti metode tulang dalam penggunaan kuas. Tak ada komentator barat yang menjelaskan mengapa kata “tulang” digunakan untuk member metode seni lukis, nampaknya ini untuk menyatakan secara tidak langsung pemberian kekuatan structural terhadap sapuan kuas itu sendiri. Sapuan kuas harus cukup kuat untuk membawakan energy kosmis yang dihubungkan dengan prinsip pertama. Prinsip kedua ini dalam istilah Cina disebut Ku Fa Yung Pi.

  1. Prinsip Ketiga

Prinsip yang menggambarkan merefleksikan objek dengan menggambarkan bentuknya; yaitu konsekuen terhadap objek yang dilukis atau yang disusunnya. Seperti yang dikatakan oleh Ch’eng Heng-Lo: “seni lukis barat adalah seni lukis mata, sedangkan seni lukis Cina adalahseni lukis idea.” Disini jelas bahwa seni lukis Cina mementingkan esensinya bukan eksistensinya.

Prinsip ketiga memberikan saran bahwa setiap objek mempunyai bentuk yang tepat. Seniman harus menyesuaikan antara tema pokok dan ekspresi yang memperlihatkan visi pengamat identitas objek yang dilukis didalam semua keterpisahan dan kekongkritan. Dalam prinsip ketiga ini dalam istilah Cina disebut Ying Wi Hsiang Hsing.

4.Prinsip Keempat

Prinsip yang menggambarkan keselarasan dalam menggunakan warna. Seni lukis cina dalam penggunaan warna tidak bersifat fungsional tetapi lebis bersifat simbolis. Estetika warna para pelukis Cina ditetntukan oleh tekhnik akuarel tinta monokromatis untuk membabarkan suasana hati.

Prinsip keempat menetapkan setiap objek memiliki warna yang sesuai. Warna yang digunakan dalam lukisan harus mempunyai sugesti alam  dan sifat penggambarannya. Prinsip ini dalam istilah Cina disbut Sui Lei Fu Ts’ai yang berarti suatu tipe hubungannya dengan penggunaaan warna dalam seni lukis Cina tidak bersifat fungsional tapi lebih bersifat sibolisme (Mulyadi, 1986)

  1. Prinsip Kelima

Prinsip yang menggambarkan tentang pengorganisasian, penyusunan atau perancanaan dengan pertimangan penempatan dan susunan. Seni Cina menganjurkan agar mengadakan semacam perencanaan terlebih dahulu sebelum berkarya. Dalam hal iani nampaknya rancang komposisi berbeda dengan prinsip desain seni barat. Dikatakan oleh Chang Yen-Yuan; aspek kemusiman meilbatkan pengertian irama dan pergeseran alam, membutuhkan observasi, pengetahuan, meditasi, pengertian intuit tentang Ch’I. dalam hati seseorang, ia harus sepenuhnya mengenal Ch’I empat musim—tidak hanya dalam hati, karena pengetahuan itu harus mengalir ke ujung jari kemudian menggetarkan pena/kuas dalam berkarya.

Prinsip kelima ini merupakan perencanaan atas unsur-unsur dalam komposisi. Komposisi harus dapat menunjukkan mana yang lebh penting dan kurang penting, apa yang memerlukan jarak dan yang tertutup, dan mempertimbangkan juga ruang dan kosong.  Seni Cina sama sekali tidak menghubungkan system  yang matematis antara figure individuil, misalnya dalam lukisan portret atau komposisi secara keseluruhan. Seni lukis Cina mempunyai dasar pemikirannya selalu bersumber pada Ch’I (Mulyadi, 1986).

  1. Prinsip Keenam

Prinsip ini memberikan ajaran untuk membuat reproduksi-reproduksi agar dapat diteruskan dan disebarluaskan. Semangat Tao dalam estetik di Cina rupaya begitu mendalam dan menyebar ke pelbagai Negara di sekitarnya sampai sekarang.

Prinsip ke enam ini dihubungkan dotrin Cina tentang meniru sesuatu gagasan, yang jelas ini berbeda dengan gagasan kita tentang tradisi, yang merupakan suatu inti, atau kekuatan vital yang diturunkan dari generasi ke generasi. Gagasan barat tentang tradisi lebiuh bersifat teknis dan gaya para master.  Gagasan Cina berbeda yaitu secara tidak langsung menyatakan bahwa suatu jiwa yang diinformasikan dan yang diteruskan kearah yang lebih penting (mullia) dari bentuk itu sendiri. Prinsip dalam istilah Cina disebut “Chuan Mo I Hsieh”.

  1. Estetika Timur Tengah

Estetika yang berkembang di Negara-negara Timur Tengah perlu dipertimbangkan. Didalam konteks agama Islam estetika didasari sebagai sesuatu yang berbeda dengan perkembangan estetika di belahan lain. Hal ini disebabkan karena masyarakat timur tengah sebelum masuk islam menyembah patung berhala yang berwujud makhluk hidup dan bentuk-bentuk keindahan lain. Sehingga mereka yang menyembah berhala tersebut dianggap bertentangan dengan agama. Demikian juga semua yang berkaitan dengan hal tersebut seperti patung dan gambar yang menggambarkan tentang makhluk hidup. Akibatnya suatu bentuk yang mirip dengan berhala, atau suatu bentuk yang bernyata hamper tidak terdapat di Negara-negara ini. Karena ada kekhawatiran untuk dipuja atau dikultuskan. Tetapi karena larangan tersebut, justru muncul dimensi estetik simbolik yang non-naturalis.karya-karya estetik semacam kaligrafi, ornamen geometric, arsitektur masjid, permadani bermotif tumbuh-tumbuhan yang distilasi dan sejenisnya tumbuh subur dan member ciri-ciri khas kesenian timur tengah.

Estetika islam terus hidup, karena pada dasarnya  estetika adalah fitrah, hanya cara pengungkapannya yang harus disesuaikan dengan ajaran agama islam. Walau pada awalnya perkembangan estetika berkisar pada sekitar masjid dalam bentuk kaligrafi. Estetika justru kemudian berkembang dan mempengaruhi ngara sekitarnya., demikian seterusnya islam berkembang menyebar sampai india, dan asia tenggara termasuk Indonesia. Pada akhir perkembangannya estetik islam tidak lagi berdiri sendiri, tetapi mengadakan metamorfosa dengan kebudayaan asli daerah setempat.

  1. Estetika India

India mempunyai pandangan sendiri mengenai estetika yang konon ditulis oleh Bharata dalam buku Natyasastra (sekidar abad ke 5). Dalam buku tersebut ia berpandangan bahwa ‘rasa’ lahir dari manunggalnya situasi yang ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelakunya yang senantiasa berubah. Pandangan Bharata seperti halnya pandangan Plato di Barat, kemudian ditanggapi dan dikembangkan secara terus-menerus, baik oleh pengikutnya, maupun oleh penentangnya. Seorang ahli piker Khasmir ; Sangkula (abad ke 10) berpendapat bahwa pengalaman estetik sebenarnya berada diluar bidang kebenaran dan ketidakbenaran.

Pendapat Sangkuta tersebut dikritik oleh Abhinavagupta, yang menyatakan bahwa bila hidup hanya ditiru, efeknya bukanlah kenikmatan estetik melainkan suatu kelucuan belaka. Artinya estetik bukanlah imitasi, melainkan cara untuk menikmati hidup nyata. Pemikir Khasmir lainnya, Bhatta Nayaka berpendapat bahwa pengalaman estetika adalah semacam jatuhnya wahyu, artinya kebekuan rohani kita trsingkirkan sehingga kita dapat melihat kenyataan dengan cakrawala yang luas. Menurutnya; hakekat rasa bukanlah meniru, melainkan melepaskan kenyataan dari keterikatan ego seseorang dan menjadikan pengalaman ( Agus Sachari, 1989)

  1. Estetika Buddhisme

Buddhisme (hubungan manusia dengan yang mutlak). Kaum Buddhisme mengatakan bahwa pada dasarnya semua yang ada, dan kita sekarang ini adalah hasil dari sesuatu yang kita pikirkan. Pandangan Buddha terhadap benda-benda pada prinsiipnya adalah segala sesuatu yang bersifat fana; segala sesuatu itu mengandung penderitaan dan segala sesuatu itu tanpa ego. Bagi Buddha benda-benda itu tidaklah kekal, selalu berubah. Indera kita selalu saja salah dalam mengamati benda di sekitarnya. Hal ini membuat manusia hanya selalu menatap ilusi belaka, demikian segala sesuatu selalu menganadung penderitaan. Oleh karena itu pergunakan konsep kesederhanaan; mintalah segala sesuatu itu secukupnya. Konsep inilah yang kemudian mempengaruhi estetika Buddhisme yang lebih menekankan pada estetika estetika kesederhanaan. Segala sesuatu itu buatlah seminimal mungkin dan bersahaja. Maka jarang dijumpai estetika ‘kerumitan’ didalam konsep estetika Buddha.Buddha selalu menekankan bahwa manusia itu tidak memiliki kepribadian atau ego, kita tidak memiliki diri kita sendiri; kita adalah penderitaan (Agus Sachari, 1989).

Buddhisme kemudian berkembang subur di Jepang. Hal ini kemudian ternyata cukup besar pengaruhnya terhadap perkembangan esrtetika.  Terbukti bahwa di Jepang; hal-hal yang bersifat cemerlang, meriah, kengerian hamper tak pernah dijumpai. Estetika Jepang mengabdi pada kelembutan dan bersahaja.

I-Ching filsuf Cina Tiongkok, bahwa sumber segala eksistensi dan transformasi dalam semesta adalah Yin dan Yang. Yin adalah sesuatu yang tertutup dan tak diketahui, dan Yang adalah sesuatu yang terbuka. Yin mewakili bumi, malam, bulan, betina, air, pasir, lemah, susah, dan seterusnya…, sedangkan Yang mewakili langit, matahari, siang, gembira, jantan, api, aksi, kuat, dan seterusnya… Simbol Yin dan Yang mengandung filsafat hidup manusia, bagian putih mengandung Yang, bagian hitam mengandung Yin, keduanya lebih bersifat saling mengisi dan saling membantu daripada saling bertentangan. Didalam Yang ada titik Yin, dan didalam Yin ada titik Yang. Titik ini memiliki daya yang luar biasa yaitu adanya kontradiksi; artinya tiada yang seluruhnya baik atau jahat. Tiada seluruhnya indah dan buruk.

 

Comments are closed.