yogapranata

30 Desember 2011

Biogarafi Tokoh Seniman Di desa Nongan,rendang,Karangasem

Filed under: Lainnya —— yogapranata @ 2:33 pm

(Jro Mangku Windia) Alm.

 

Kepribadian jero mangku windia

Kesehariannya beliau adalah seorang guru sastra Bali di salah satu SMA di karangasem,namun kegiatan yang selalu di lakoni adalah kegiatan-kegiatan yang menyangkut tentang seni seperti seni karawitan,Pedalangan dan sastra.beliau di kenal sebagai Seniman alam ( non akademik ) yang sangat gemar mengembangkan seni di Desa Nongan Khususnya.

Perjalanan Seni Jero mangku windia

Seniman Kelahiran 1959 ini di kenal sebagai pelatih tabuh yang mahir dalam hal menggarap Tabuh Baleganjur,dan beliau pernah membangkitkan Seni suara ( Vokal ) yaitu Seni Cekepung yang asli berasal dari Karangasem,karena adanya ketertarikan dari Tamu Mancanegara,Jro Mangku Windia di Minta untuk mementaskan Seni Cekepung di negara tetangga yaitu California dan Australia.

Prestasi Jero mangku winda

Adanya Penghargaan-penghargaan dari berbagai hal yang menyangkut seni yang telah di terima oleh Jro Mangku Windia salah satunya Pengharagaan dari Bupati Karangasem Atas partisipasi Jro Mangku Windia dalam pengembangan seni di Karangasem ( 1977 ) dan adapun Piagam-piagam lainnya salah satunya adalah juara 1 Seni sastra di Karangasem ( 1987),dan masih banyak lagi prestasi-prestasinya di bidang seni di masa hidupnya.

28 Desember 2011

SEJARAH GONG KEBYAR DI DESA NONGAN RENDANG KARANGASEM

Filed under: Lainnya —— yogapranata @ 12:04 pm

Asal mula adanya gong kebyar di Desa Nongan Menurut Narasumber dari desa Nongan Bpk Nym.Cakra Gambelan ini ada di desa Nongan pada tahun 1947,gambelan ini adalah warisan salah satu dari pejuang kemerdekaan RI yang kebetulan berasal dari Desa Nongan,beliau bernama alm.Bapak kolar.dan konon katanya bahan-bahan dari gong kebyar ini adalah hadiah dari raja karangasem (keturunannya) kepada alm.Bapak kolar karena prestasinya pada waktu itu.bahan-bahan tersebut antara lain adalah Kerawang,Kayu,Bambu.dan pembuatannya pun dikerjakan oleh alm.Bapak Kolar dengan di bantu oleh ahli-ahli karawitan di Karangasem,salah satunya bernama I Putu Geria Keunikkan Gong Kebyar Di Desa Nongan,rendang,Karangasem Adapaun suatu keunikan gong kebyar di Desa Nongan ini menurut Narasumber yang berasal dari desa Nongan yaitu Bpk Wyn. Sunarta,Pada umumnya gambelan di Bali di fungsikan untuk Upacara Yadnya,Selain itu juga terkadang untuk sarana hiburan,begitu juga halnya gong kebyar yang ada di Desa Nongan.namun menurut salah satu Penglingsir di Nongan,beliau bernama Bpk.Margi gambelan ini tidak diperkenankan di pakai atau di pergunakan untuk hal yang tidak menyangkut Upacara Yadnya (hiburan). Kenapa gong kebyar di perkenankan untuk hal yang tidak menyangkut Upacara yadnya (Hiburan) ? Menurut Narasumber yang saya tanya yaitu I Md Astra,di Desa Nongan dulu pernah terjadi suatu keanehan pada saat sekeha gong di Desa Nongan berencana untuk mempergunakan gong kebyar ini sebagai sarana hiburan masyarakat dan bisa di Upah,ketika itu terjadi suatu keanehan yaitu gong kebyar tersebut tiba-tiba menjadi sangat berat dan sangat susah diangkat (beratnya tidak seperti biasanya)Semenjak kejadian tersebut masyarakat atau sekeha gong di Desa Nongan hanya memfungsikan gong kebyar tersebut hanya untuk upacara yadnya,sebelum kejadian tersebut adapun pesan ( Bisama )dari alm.Bapak Kolar yaitu : jangan sekali-kali gambelan ini dipergunakan untuk sarana Hiburan,karena tyang ingin gong kebyar ( Gambelan ) ini hanya di khususkan untuk ngayah ( Upacara Yadnya )

29 Juni 2011

Biodata

Filed under: Lainnya —— yogapranata @ 3:37 pm

Nama : I Made Yoga Pranata

Nama panggilan : I Made Dolong

Alamat : Nongan,Rendang Kabupaten Karangasem

T.T.L : 08-juli-1990

Status : Kuliah di Institut Seni Indonesia ( ISI ) Denpasar

Hoby : Musik tradisional dan modern

Kegiatan sekarang : masih mencari-cari hal yang bersifat Seni

 

Barong Brutuk

Filed under: Lainnya —— yogapranata @ 3:31 pm

Barong Brutuk

 

bhatara Datonta dan Barong Brutuk, di Truyan
Di desa Trunyan, Kabupaten Bangli terdapat sebuah pura bernama Pura Pancering Jagat. Di pura itu terdapat sebuah patung besar tanpa busana setinggi kurang lebih 4 meter yang bernama Bhatara Datonta atau Bhatara Ratu Pancering Jagat. Patung yang diduga peninggalan kebudayaan batu besar, diukir sederhana, namun ekspresinya sangat dashyat, tangan kirinya bergantung longgar pada sisi kiri tubuhnya; tangan kanannya tertekuk di atas bahu mengarah ke belakang, posisi membawa kapak; alat vitalnya mencolok ke bawah, tetapi lembut. Tepat di bawah alat vital itu ada sebuah lubang yang menggambarkan alat kelamin wanita. Keduanya dianggap simbol vital kekuatan laki dan perempuan. Simbol ini diduga bentuk awal dari lingga dan yoni, kekuatan Dewa Siwa dan Dewi Uma dalam tradisi Hindu. Bhatara Ratu Pancering Jagat memiliki sebanyak 21 orang unen-unen dalam bentuk topeng yang dinamakan Barong Brutuk. Dilihat dari segi ikonografinya wajah barong barong itu menyerupai wajah topeng-topeng primitif, matanya besar dengan warna putih atau coklat, diduga peninggalan kebudayaan pra-Hindu Bali. Wujud topeng-barong itu hampir sama dengan topeng-topeng kuna yang terdapat di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Bahkan serupa dengan topeng-topeng primitif di benua Afrika.

Barong Brutuk itu ditarikan oleh para penari pria yang diambil dari anggota seka taruna yang ada di desa Trunyan. Sebelum menarikan barong-barong sakral itu para taruna harus melewati proses sakralisasi selama 42 hari. Mereka tinggal di sekitar Bhatara Datonta dan setiap hari bertugas membersihkan halaman pura dan mempelajari nyanyian kuna yang disebut Kidung. Selama proses sakralisasi, para taruna itu dilarang berhubungan dengan para wanita di kampungnya. Kegiatan lain yang dilakukan semasa menjalani proses penyucian, yaitu mengumpulkan daun-daun pisang dari desa Pinggan yang digunakan sebagai busana tarian Brutuk. Daun-daun pisang itu dikeringkan dan kemudian dirajut dengan tali kupas (pohon pisang) dijadikan semacam rok yang akan digunakan oleh para penari Brutuk. Masing-masing penari menggunakan dua atau tiga rangkaian busana dari daun pisang itu, sebagian digantungkan di pinggang dan sebagian lagi pada bahu, di bawah leher. Penari-penari Brutuk menggunakan cawet yang juga dibuat dari tali pohon pisang.

Barong Brutuk dipentaskan pada siang hari tepat ketika mulai Hari Raya Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat. Biasanya upacara Brutuk berlangsung selama 3 hari berturut-turut dimulai pada pukul 12.00 siang dan berakhir sekitar pukul 17.00 sore. Para penari Brutuk yang menggunakan busana daun pisang kering itu, dan hiasan kepala dari janur; seorang berfungsi sebagai Raja Brutuk, seorang berfungsi sebagai Sang Ratu, seorang berfungsi sebagai Patih, seorang berfungsi sebagai kakak Sang Ratu, dan selebihnya menjadi anggota biasa. Tarian Brutuk itu menggambarkan konsep dikotomi dalam kehidupan masyarakat Trunyan, yaitu dua golongan masyarakat, laki-laki dan perempuan.

Upacara Brutuk dimulai dengan penampilan para unen-unen tingkat anggota. Mereka mengelilingi tembok pura masing-masing tiga kali sambil melambaikan cemeti kepada penonton, peserta upacara. Cemetinya membuat bunyi melengking dan membangkitkan rasa takut penonton. Mereka takut disambar dan kena cemeti Sang Brutuk. Ketika Sang Raja, Ratu dan Patih, dan kakak Sang Ratu tampil dalam pementasan, seorang pemangku berpakaian putih mendekati keempat penari itu dan langsung menyajikan sesajen, seperangkat sesaji penyambutan dan diiringi doa-doa keselamatan bagi masyarakat Trunyan. Keempat ningrat Brutuk itu juga mengelilingi pura sebanyak tiga kali, melambaikan cemeti mereka dan kemudian bergabung dengan para Brutuk yang lain. Penonton, peserta upacara mulai mendekati para penari Brutuk itu, mengambil daun-daun pisang yang lepas, digunakan sebagai sarana kesuburan. Para menonton yang berhasil memperoleh daun-daun pisang busana Brutuk itu, akan menyimpannya di rumah dan kemudian baru disebar di area persawahan ketika mulai menanam padi. Mereka mengharapkan keberhasilan panen. Disitu drama mencapai klimaksnya, ayunan cemeti diperkeras, memecuti para penonton yang “mencuri” bagian dari busananya.

Ketika sore hari tiba, tahap upacara ritual itu dihentikan sementara, dan para penari dipersilahkan istirahat agar tidak kehabisan tenaga, kemudian topeng meraka diangkat ke atas, seperti helm seorang kesatria kerajaan, dan para penari merebahkan dirinya di bawah naungan atap pura, sementara beberapa orang anggota desa yang lebih tua mengipasi tubuh mereka. Masa jeda ini hanya intermeso sejenak, dan kemudian tahapan kedua dari upacara ritual itu dilanjutkan. Para Brutuk kembali ke tertorial mereka, tetapi sekarang mereka bertugas melindungi Bale Agung yang berada di dekat mereka, tempat sekuler yang juga dikelilingi tembok. Tempat itu merupakan tempat eksistensi pemerintahan dan sosial desa. Kegembiraan memuncak setelah para penari dan penonton memainkan permainan seremonial kuno, sebuah permainan yang menyerupai permainan sekelompok anak-anak di dunia Barat. Banyak penonton mencoba merampas sobekan kostum Brutuk dan sebaliknya para penari berhak melecutkan cemeti kepada siapa saja yang masuk ke daerah mereka, kecuali para wanita yang berbusana khusus yang masuk saat tertentu dalam festival itu dan bertugas menghaturkan sesajen kepada Ratu Pancering Jagat.

Kemudian pada sore hari, petugas wanita mempersembahkan beberapa sesajen bagi para Brutuk itu sendiri, merayakan kenyataan bahwa mereka telah dirasuki Dewa. Sesaji itu terdiri dari buah-buahan, bunga-bunga, dan kue-kue manis yang kemudian diambil oleh para penari itu, namun tidak dimakan. Para penonton bergerak mendekati mereka, berebut menukar sesajen itu dengan rokok dan para penari Brutuk yang sudah jinak itu membiarkan penonton mendekat. Kemudian mereka menukarkan buah-buahan dan kue-kue dengan rokok. Beberapa orang penonton lainnya mencoba menggunakan kesempatan itu untuk menyobek daun pisang keberuntungan yang menjadi pakaian penari, dan lari dari pura dengan kepuasannya.

Masih pada petang hari itu, tahapan terakhir pertunjukan ritual itu dimulai. Dipimpin pemangku, para wanita membawa sesajen baru buat Raja dan Ratu Brutuk. Ketika sesajen sudah dipersembahkan, sang Raja dan Ratu menari bersama, sementara para Brutuk yang lain dan penonton hanya menyaksikannya. Sang Patih dan saudara laki-laki Ratu melanjutkan aksi lecutannya secara liar, mencoba melecuti penonton dan mencegah mereka menyaksikan tarian percintaan sang Raja dan Ratu.

Sepasang Raja dan Ratu, sekarang menarikan gerakan kuno, yang meniru tingkah laku ayam hutan liar. Sang Raja sebagai keker (ayam jantan) dan sang Ratu menari sebagai kiuh (ayam betina). Unggas itu banyak terdapat di daerah sekitar Trunyan. Mereka menyembulkan kepala, menukik, mematuk-matuk dan menggerakkan pinggul, mencakar tanah dan membuat gerakan saling menyerang secara tiba-tiba sambil mengepakkan sayapnya. Gerak-gerakan seperti ayam bertarung atau sedang mengawan. Tarian terus berlangsung dan kegembiraan para penonton semakin memuncak. Pada saat sendya kala, para penari berjalan ke bawah mendekati danau Batur. Brutuk laki-laki dengan topeng merahnya, mengambil posisi dengan berbaris di belakang Raja, sementara penari bertopeng wanita berbaris berlawanan dengan mereka, berada di belakang Ratu.

Tarian percintaan Raja dan Ratu pun diteruskan selama sekitar setengah jam, sementara Brutuk pria dan wanita tetap berbaris digarisnya. Hanya Sang Patih dan saudara laki-laki Sang Ratu yang tetap aktif, mereka terus menerus melecutkan cemeti ke arah penonton, tetapi mereka hampir tak mampu menahan desakan penonton. Kegembiraan pun semakin meluap. Akhirnya, dengan gerakan yang mulai tak gesit, sang Ratu terbang dan melintas garis yang ditandai dengan panji-panji. Seluruh Brutuk kemudian bersorak ketika sang Raja terbang mencoba menerkam sang Ratu. Sang Raja langsung menangkapnya dan merangkul sang Ratu. Pada saat itu para pemuda yang menjadi Brutuk, bersorak secara serempak, sambil berlari ke dalam air dan menceburkan diri. Di situ mereka melucuti sisa-sisa daun pisang yang menjadi pakaiannya, berenang dan bersenang-senang melepaskan lelah. Kostum mereka dibiarkan terapung, sedangkan topeng-topeng mereka diambil oleh anggota suku yang lebih tua yang turun ke tepi danau untuk memberi bantuan.

Tetapi, saat matahari tenggelam pada hari festival, topeng-topeng itu disimpan. Setelah itu penari dan penonton berpisah untuk acara makan malam setelah semua aktivitas perayaan usai.

 

Barong Brutuk dan Upacara Ritual

 

Pagelaran Barong Brutuk Sebagai Upacara Ritus Kehidupantelah mengalami menjalani proses penyucian. Pada proses tersebut para penari itu juga dilarang berhubungan dengan para wanita di kampungnya. Pergelaran Barong Brutuk yang mulai dilaksanakan saat dimulainya Hari Raya Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat, berlangsung selama 3 hari. Busana para penari Brutuk yang terbuat dari daun pisang kering, dengan hiasan kepala dari janur. Dalam pergelaran tersebut ada yang berfungsi sebagai Raja Brutuk, Sang Ratu, Patih, Kakak Ratu, dan anggota biasa. Tarian Barong Brutuk yang dipentaskan selama 3 hari itu menggambarkan konsep dikotomi dalam kehidupan masyarakat Trunyan, yaitu dua golongan masyarakat, laki-laki dan perempuan.

Pergelaran panjang Barong Brutuk yang menampilkan tarian, nyanyian, drama dan permainan rakyat yang menyatu dengan prosesi ritual, yang dikemas dengan indah tetapi aneh, menjadikan pergelaran ini unik, dan memikat.

Lantas bagaimanakah kita memahami pergelaran Brutuk yang indah dan aneh itu? Dalam pertunjukan Brutuk ada beberapa aspek permainan, seremoni, dan sebuah drama ritual, semua terjadi dan terasa pada saat yang sama. Marilah kita ikuti secara singkat beberapa elemen yang kita saksikan.

Ada legende di Trunyan mengenai pendirian desa, yang dapat diceritakan kembali. Pada suatu hari, sekelompok yang terdiri dari 16 orang pemuda melakukan migrasi ke barat dari daerah tradisional Bali Aga di wilayah timur, yang sekarang disebut Kabupaten Karangasem. Para pemuda itu adalah petani, dan mereka berkelana untuk mencari tempat pertanian yang baru. Setelah melakukan perjalanan berbahaya mereka berhenti di sebuah lereng gunung dekat danau Batur. Mereka kemudian mendirikan rumah dan mempersiapkan pertanian. Dalam aktivitasnya mereka menghadapi berbagai ancaman, karena hidup dalam hutan yang masih sangat liar. Sering terjadi kegagalan panen dan pada saat yang sama binatang-binatang buas mengambil bahan makanan mereka, bahkan mencoba membunuh anggota mereka. Orang-orang Bali Aga ini mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan desa tetangga yang lain, karena mereka memiliki keyakinan dan kepercayaan yang berbeda. Untuk mendapatkan istri mereka harus menculik perawan-perawan dari komunitas lain. Akhirnya setelah perjuangan yang berat, mereka berhasil mendirikan desa di Trunyan.

Legende ini terekspresikan dalam perayaan Brutuk dalam sejumlah acara. Para taruna yang telah dimasuki para dewa melecutkan cemeti mereka untuk melawan keganasan hutan, berperang melawan para moster yang mengganggu mereka dalam perjalanan. Seperti pada tarian upacara yang lain, masyarakat berperan serta mencari berkah kesuburan, itulah sebabnya pula para penari Brutuk tidak terlalu ketat mempertahankan pakaiannya untuk tidak disobek para penonton. Mereka yakin bahwa daun pisang kering itu adalah membawa kesuburan pertanian. Ritual penculikan atau penangkapan sang Ratu oleh Raja juga menggambarkan pecurian para perawan oleh pendiri desa. Hal ini penting oleh karena para pendiri desa harus memperoleh istri untuk melanjutkan keturunan mereka. Upacara Brutuk dan perang-perangan melawan masyarakat menunjukkan sebuah ritus kehidupan perubahan dari masa muda ke masa dewasa yang ditunjukkan dengan keahlian berperang.

Sebagai upacara ritus kehidupan, peristiwa Brutuk memiliki kemiripan dengan perayaan dari kebudayaan lainnya. Periode pengasingan diri, pencaharian berkah di alam yang buas (mencari daun pisang pilihan), perwalian dalam tradisi suku, doa-doa, semuanya memiliki kemiripan. Berperan dalam Brutuk sama halnya berperan dalam dua bagian perayaan atau drama pada saat yang sama, satu bagian memainkan kembali legenda, dan lainnya adalah ikut merasakan cobaan para pelopor yang kemudian menerima semacam baptis melalui penyucian air di danau. Lapis-lapis yang bisa diungkap adalah bagaimana sang Raja dan Ratu memainkan tarian keker dan kiuh salah satu tiruan gerak-gerak tari yang bersumber pada flora dan fauna yang menjadi inspirasi penciptaan tarian masa kini. Keker dan kiuh juga menggambarkan dua kelompok masyarakat yang berbeda yaitu pria dan wanita yang satu sama lain tak dapat dipisahkan dalam kebudayaan manusia.

Penggunaan istilah ‘upacara keagamaan’, ‘seremoni’, dan ‘pertunjukan’ untuk menggambarkan pementasan Barong Brutuk dan aktifitas yang dihubungkan dengan Trunyan adalah sangat tepat. Tradisi Barong Brutuk memiliki semua unsur di atas bahkan lebih. Odalan Ratu Pancering Jagat adalah sebuah festival, pelayanan religius, sebagai bentuk sesaji dan doa, serangkaian pertunjukan dramatik dan sakral. Setiap anggota masyarakat di Trunyan berperan serta dalam peristiwa itu, menggambarkan betapa kuatnya rasa komunalitas yang dimiliki orang-orang Trunyan saat ini. Dari sebuah pertunjukan Barong Brutuk kita melihat toleransi, keseriusan, partisifasi

 

 

 

 

 

 

 

Sumber : http//google.com

Banjar Bucu,rendang kabupaten karangasem sedang dalam proses penerapan konsep Tri Hita Karana

Filed under: Lainnya —— yogapranata @ 3:07 pm

Penerapan Konsep Tri Hita Karana

Konsep Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 november 1966,dengan di dasari dengan harapan agar umat Hindu sadar akan Dharma akan menjadi sebuah jalan untuk menuju kesejahtraan di dalam kehidupannya.Tri Hita Karana mempunyai arti Tiga Jalan menuju kesejahtraan.Adapun 3 jalan dari konsep Tri Hita Karana tersebut antara lain:

  • Prahyangan ( Hubungan Manusia dengan Tuhan )
  • Pawongan ( Hubungan Manusia dengan Manusia )
  • Palemahan (Hubungan Manusia dengan Alam )

Bagaimana cara menerapkan konsep Tri Hita Karana?Apakah Konsep Tri Hita Karana bisa diterapkan di dalam kehidupan bermasyarakat atau sebuah organisasi?kali ini saya menulis tentang penerapan konsep Tri Hita Karana di banjar saya sendiri yaitu Banjar Bucu,desa Nongan yang terletak di kabupaten Karangasem.banjar saya menerapkan Konsep Ini bertujuan memperkokoh Organisasi untuk menjalankan Yadnya yang di dasari oleh Dharma.Yadnya tersebut dijalankan sesuai dengan konsep Tri Hita Karana.

Prahyangan di Banjar Bucu,desa Nongan

Prahyangan di banjar saya diwujudkan dengan Upacara/Aci yang di anggap bisa menjadi wujud bentuk dari usaha manusia ( Yasa kerti ) di Sekala untuk mendekatkan diri dan bersyukur kepada Ida Sang Hyang Whidi ( Niskala ).Kenapa Upacara/aci di pakai sebagai wadah untuk pendekatan diri terhadap Ida Sang Hyang Whidi?Jelas,karena di dalam kehidupan nyata ( sekala ) kita tidak bisa menemukan wujud bentuk dari Beliau ( Niskala ).maka dari itu manusia membuat suatu wujud bentuk untuk menampung rasa itu.karena menurut Banjar saya Ida Sang Hyang Whidi adalah ‘rasa”,yang manusia tanpa rasa tidak akan bisa Hidup.

Pawongan di dalam Organisasi di banjar Bucu

Tujuan konsep Pawongan di banjar saya adalah memperkokoh Organisasi dan demi Harmonisnya jalannya Organisasi untuk menjalankan Yadnya.Salah satunya dengan cara menumbuhkan sifat toleransi antar anggota Organisasi tersebut,dan apabila ada hal yang terjadi kepada salah satu anggota banjar atau Organisasi dalam hal Suka maupun Duka,banjar(organisasi) akan ikut berkecimpung di dalamnya selama hal tersebut tidak menyangkut hal yang bersifat Pribadi,maka dari itu Banjar saya di beri julukan Banjar Suka Duka

Palemahan di Banjar Bucu.desa Nongan

Konsep palemahan di banjar saya di wujudkan dengan menjaga lingkungan setempat.salah satunya dengan mengadakan gotong royong stiap seminggu sekali dan itu pun di lakukan oleh semua krama banjar.ada pun sanksi bagi krama yang tidak hadir di dalam kegiatan gotong royong tersebut demi menjaga ke disiplinan di dalam kehidupan bermasyarakat

Demikian tulisan saya tentang penerapan konsep Tri Hita Karana di Banjar saya.dengan tulisan saya ini saya mempunyai harapan agar setiap pembaca tulisan ini bisa menerapkan konsep Tri HIta Karana di manapun dan kapan pun.karena Konsep Ini adalah jalan untuk kita menemukan Moksa di dalam dunia nyata ( Ketenangan Bathin )

Powered by WordPress WPMU Theme pack by WPMU-DEV.