Pertempuran Puputan Margarana merupakan salah satu pertempuran antara Indonesia dan Belanda dalam masa perang kemerdekaan yang terjadi pada 20 november 1946. Pertempuran ini dipimpin oleh Kepala Divisi Sunda Kecil Kolonel II I Gusti Ngurah Rai Dimana Pasukan TKR di wilayah ini bertempur dengan habis habisan untuk mengusir Pasukan Belanda yang kembali datang setelah kekalahan Jepang, untuk menguasai kembali wilayahnya yang direbut Jepang pada Perang Dunia II, mengakibatkan kematian seluruh pasukan I Gusti Ngurah Rai yang kemudian dikenang sebagai salah-satu Puputan di era awal kemerdekaan serta mengakibatkan belanda sukses mendirikan Negara Indonesia Timur.
Pertempuran Sengit Pasukan Patih Jelantik Melawan Belanda di jagaraga yang menggunakan tektik pergerakan (apit surang) apit surang itu sendiri adalah cara membunuh musuh dengan cara membentuk seperti capit yang dapat mengepung seluruh musuhnya . Perlawanan Patih Jelantik terhadap penjajah Belanda pada abad ke-19 lebih terkenal dengan nama perang jagaraga. Tradisi lokal mengatakan perang jagaraga adalah perang Puputan, artinya perang habis-habisan
Di ceritakan ada seorang anak kecil yang hidup sebatang kara yang di tinggal oleh kedua orang tuanya meninggal dunia yang di karenakan terkena wabah penyakit.Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia puan memberanikan diri mengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya. Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.
Pada suatu hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksan oleh raja akhirnya I Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat hancur hatinya baru memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat.I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di tengah jalan, maka I Jayaprana tiba di rumahnya Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikimpoikan dengan I Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali. Singkat cerita I Jayaprana dan Ni Layonsari menikah pada malam pertama I Jayaprana di berikan tugas oleh sang Raja untuk melawan musuh yang akan menyerang di daerah teluktrima. Akhirnya karena jayaprana sangat menurut oleh printah sang Raja akhirnya I Jayaprana menyanggupi untuk berperang bersama pasukan sang Raja dan seorang Patih Saunggaling sesampainya di teluktrima I Jayaprana Kebingungan Karena tidak melihat ada satu orang musuh pun melainkan sang Patih saunggaling yang menyerang I Jayaprana tetapi karena I Jayaprana memiliki kesaktian ia tidak bisa di bunuh oleh senjata siapapun tetapi dia bisa di bunuh oleh senjatanya sendiri. Karena I Jayaprana sangat berhutang budi karena dari kecil sudah mengabdi di Kerajaan I Jayaprana memutuskan untuk memberikan Senjatanya ke Saunggaling untuk bisa membunuh dirinya karena I Jayaprana memberikan senjatanya patih saunggaling menceritakan cerita sebenarnya “Jayaprana Sang Raja menyuruh dirimu ke teluktrima ini bukan untuk berperang tetapi diriku yang di berikan tugas untuk membunuh dirimu karena Sang Raja menyukai istrimu yaitu Ni Layonsari”. Singkat cerita I Jayaprana pun terbunuh oleh Patih saunggaling dan sang patihpun lekas bergegas ke istana untuk memberikan berita bahwa I Jayaprana sudah meninggal dalam medan peperangan. Sang Raja pun sangat senang mendengar berita tersebut dan Ni Layonsari sangatlah bersedih hati di karenakan suami yang baru di nikahinya sudah meninggal. Karena Ni layonsari terlarut-larut dalam kesedihan Sang Rajapun Meminta untuk Ni Layonsari menjadi Permaisuri Sang Raja tetapi Ni layonsari tidak mau karena itu Ni layonsari pun berniat untuk bunuh diri setelah Raja mengetahui bahwa Ni Layonsari Meninggal dunia Sang Rajapun menjadi gila.
Gambelan Angklung (dikenal sebagai Angklung Kelentungan) adalah suatu jenis alat musik tradisional yang terbuat dari empat kepingan logam, menghasilkan empat nada. Jenis gamelan seperti ini menghasilkan nada sedih, melankolis, dan lulling dinamis. Angklung merupakan bentuk gamelan tertua di Bali, berasal dari abad ke-10. Umumnya, Angklung dimainkan untuk mengiringi suatu upacara kremasi Angklung adalah alat musik yang
memiliki jenis musik yang berlaras slendro, tergolong barungan madya yang dibentuk oleh instrumen berbilah dan pencon dari krawang, kadang-kadang ditambah angklung bambu kocok (yang berukuran kecil). Dibentuk oleh alat-alat gamelan yang relatif kecil dan ringan (sehingga mudah dimainkan sambil berprosesi).
Di Bali Selatan gamelan ini hanya mempergunakan 4 nada sedangkan di Bali Utara mempergunakan 5 nada.