SEJARAH GONG PEJENENGAN BR SARASEDA TAMPAKSIRING
Posted Under: Tak Berkategori
Sejarah Sekaa Gong Adat dan Adanya Gong Pejenengan
Sejarah pura mengening, besar kaitannya dengan Raja Dalem Masula-Masuli, kerena yang ada semenjak itu pasti ada kaitannya dengan adanya Desa pengemong pura. Maka tumbuhlah niat untuk melengkapi sebuah upacara yaitu alat bunyi-bunyian sebagai pendukung sarana upacara yang sangat besar fungsinya yaitu sebuah gamelan (Gong). Maka terbentuknya kesepakatan untuk membeli seperangkat gamelan. Tetapi begitu parumanatau rapat selesai maka datanglah dua orang yang mengaku pedanggang gong. Yang menawarkan sebilah gong yang lanang atau suaranya (biir) namun ketika itu desa adat mengadakan rapat atau parum atau pagi malakukan ngereresik selesai melakukan bersih-bersih dipura penataran saresidhi,akan tetapi dua orang itu pergi,setelah manaruh atau menitip bawaannya Gong di hadapan Desa yang sedang parum dan berkata ”Saya akan kembali setelah mandi dibawah”. Pura mengening terdapat permandian yang banyak sumber mata air yang sampai sekarang masih ada .semua yang ada di pura waktu rapat belum sempat menanyai kedua orang yang membawa sebilah gong tersebut, karena diliat ke dua orang itu lelah keringatan lalu diijinkan untuk mandi terlebih dahulu dan setelah mandi di minta untuk kembali lagi ke Pura. Namun sampai selesai rapat kedua orang tersebut tidak datang, maka desa yang parum pun ada yang pulang atau dibubarkan tetapi ada yang ditugaskan untuk menunggu orang tersebut, namun samapai sore bahkan sampai malam kedua orang tersebut tidak datang-datang, kemudian keesokan harinya Desa Adat Sareseda lagi tedun untuk membahas masalah kedatangan sebilah gong tersebut, namun salah satu orang desa setelah mengadakan persembahyangan lalu ada yang kerauhan, maka di jelaskanlah gong yang dibawa dua orang tersebut adalah paica Bhatara yang melinggih di Pura Mengening agar disungsung oleh semua orang di Desa Adat Sareseda, dan kedua orang tersebut yang membawa gong itu adalah panjak Ida Bhatara yang ada di Pura Mengening. Setelah itu makin semangatlah desa memesan seperangkat gamelan gong gede tetapi tidak lengkap seperti gamelan yang ada.(gangse daun lima, dan calung jegog dua pasang) yang lainnya lengkap seperti biasa, dan pada waktu itu yang malakukan gamelan atau penabuhnya adalah desa adat, yang jumlahnya 48 yang dikurangi 16 orang untuk menarikan baris gede. Itulah cerita tentang keberadaan gong paica atau peturun yang ada didesa kami. Setelah tahun 1960 mulailah terbentuk sebuah seka gong yang kusus untuk tampil atau menabuh kalau ada upacara atau odalan dipura-pura dilingkungan desa sereseda karena desa mulai ada roban atau desa pengele, penduduk atau masyarakat sudah bertambah banyak, sampai sekarangpun tetap berlaku dengan satu orang desa pengayah pokok harus mengeluarkan tiga orang untuk mengikuti seke misalnya seke gong, seke baris,dan seke rejang.dan mengikuti perkembangan jaman mulailah berlatih, supaya tidak menutun misalnya seperti tabuh besik tau pisan, tabuh telu, tabuh pat,meradas dan subanggar,tabuh nem galang kangin,tabuh kutus.setelah tahun 60”an menurut penuturan adik nenek saya yang waktu itu berumur 16 tahun dirubahlah gong gede menjadi gong kebyar namun gong yang peturun tetap seperti aslinya. Dan sampai sekarang dipisah atau disucikan sebagai gong pejenengan.