Bali, pulau yang kaya dengan seni, ternyata memiliki seniman-seniman berbakat yang mendedikasikan dirinya untuk kesenian. Termasuk di antaranya adalah seorang pedalang muda, Made Sidia, yang sejak belajar sekolah seni di Denpasar telah bereksperimen dengan berbagai metode untuk memberikan presentasi visual yang lebih menarik dalam pertunjukkan wayang kulit.
Pertunjukan terbarunya adalah apa yang ia namakan dengan wayang listrik dan baru saja digelar pada saat pembukaan Art Summit Indonesia V di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 26 Oktober lalu. Ia berhasil menampilkan tontonan wayang klasik dengan sentuhan modern. Wayang listrik adalah hasil dari eksperimen dengan menggunakan elemen-elemen pertunjukkan modern untuk membuat pertunjukan wayang tidak hanya menarik secara visual tapi juga menyajikan cerita yang indah dengan tetap menjaga integritas dan kejernihan cerita dan pesan-pesan yang ingin disampaikannya.
Teater Wayang Listrik ini digarap Made Sidia dengan menggunakan tiga layar dalam ukuran berbeda. la juga menggunakan proyektor untuk menampilkan rekaman video dan gambar-gambar digital sebagai latar belakang dihampir sebagian besar adegan dalam pementasannya, juga permainan cahaya dan instrumen musik modern. Dengan brilian ia menggabungkan musik gamelan dan instrumen modern, seperti drum dan gitar, serta gerakan tari yang merekatkan pertunjukan ini menjadi satu keutuhan.
Untuk menaklukkan ruang yang lebar, Made Sidia mengerahkan beberapa orang dalang yang memainkan wayang secara bergantian. Dengan bantuan papan luncur (skateboard), setiap dalang dapat dengan mudah berganti-ganti posisi sesuai dengan peran yang tengah dimainkannya. Pemakaian papan luncur ini telah menjadikan mereka dijuluki Wayang Skateboard oleh komunitas orang asing di Bali. Dalam keseluruhan pertunjukan, Sidia tetap menjadi narator di samping ikut memainkan wayang bersama dalang lainnya.
Made Sidia bukan nama baru dalam dunia perwayangan. Bahkan, metodenya yang kontemporer telah membawa pertunjukan wayang Bali ini memasuki era baru dan karyanya telah dipertunjukkan di berbagai pentas di dalam dan luar negeri. Jika pertunjukan wayang tradisi memakai blencong, atau lampu kuno yang dinyalakan dengan minyak kelapa untuk memproyeksikan wayang ke layar, maka karya kontemporer menggunakan proyektor yang dioperasikan oleh komputer.
Pemakaian komputer memberikan gambar dan visual effect yang lebih jelas sebagai latar dalam pertunjukkan, menampilkan gambar-gambar yang berbeda, dari hutan, gunung, candi dan laut – baik berwarna maupun hitam putih, membuat pertunjukan wayang kulit kontemporer lebih menyerupai pertunjukan film.
Kali ini, Sidia bercerita tentang Perjalanan Tualen. yang mengekspresikan kegelisahannya menghadapi situasi zaman yang melintas di depan matanya. la begitu masygul melihat betapa tabiat manusia di masa kini ternyata belum jauh beranjak dari primata!
Terinspirasi dari cerita epik Ramayana, cerita ini dimulai ketika Rama Dewa, putra mahkota kerajaan Ayodya, rela menanggalkan semua kemewahan hidup dan mengasingkan diri di dalam hutan untuk menghindari pertumpahan darah dan perpecahan keluarga. Bersama istrinya, Dewi Sita, adiknya Lesmana dan pembantu setianya, Rama memulai pengasingannya, yang awalnya berupa cobaan hidup tapi kemudian membawanya lebih jauh lagi.
Ketika Sita diculik oleh raja Alengka, Rahwana, pertunjukan memasuki babak dimana ia tidak hanya bercerita tentang kisah cinta klasik tapi memberi makna filosofi yang lebih dalam, saat Rama menyadari bahwa ia tidak hanya kehilangan istrinya tapi juga cinta dan kehormatannya.
Dalam situasi demikian, Tualen, seorang abdi yang telah menyerahkan diri dan hidupnya pada Rama tentulah turut merasakan apa yang dirasakan tuannya. Dalam perjalanan panjang menunaikan tugasnya itulah di dalam diri Tualen sendiri bergejolak gairah pencarian yang dahsyat. Pencarian Sita juga! Sita dalam bentuk cinta dan kehormatan yang hilang dirampas oleh ketamakan, kepongahan dan kedunguan!
Wayang dalam Balutan Teknologi Digital
PERKEMBANGAN teknologi tidak mengenal batas. Teknologi sanggup menerobos dan memodifikasi hal-hal yang bersifat tradisional. Wayang misalnya, kini muncul dalam balutan teknologi digital. Kesenian klasik yang telah dinobatkan UNESCO sebagai warisan mahakarya dunia seni bertutur ini hadir dalam format baru yang disebut wayang elektronik (e-wayang) yang belakangan mulai akrab di telinga publik.
Uniknya, teknologi e-wayang justru diciptakan dan dipopulerkan oleh tiga alumnus Institut Pertanian Bogor, yakni Mawan Sugiyanto, Rina Mardiana dan Dhiny. Pada 2010 mereka pernah mempresentasikan penemuannya di hadapan sejumlah pejabat untuk mendukung sebuah penelitian tentang wayang yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan lembaga Riset dan Teknologi (Ristek). Ketiganya terus mengembangkan dan mempromosikan e-wayang ke publik lewat Facebook dan website.
Pengertian e-wayang, menurut paparan mereka, adalah proses pembuatan wayang yang menggunakan sarana dan fasilitas digital (komputerisasi), termasuk bagaimana seseorang memainkan wayang menggunakan layar komputer. Keseluruhan proses pembuatannya menggunakan perangkat digital. Dalam situs e-wayang.org dipaparkan, e-wayang merupakan rekayasa pembuatan wayang menggunakan perangkat digital dan memfokuskan untuk mentransformasikan metode, panduan dan pakem pembuatan wayang tradisional ke dalam format digital.
Namun demikian, proses pembuatannya tetap berpijak pada ketentuan baku pembuatan wayang. Di dalamnya masih bisa ditemukan tatahan, gebingan, sunggingan dan istilah-istilah lainnya sebagaimana proses pembuatan wayang pada umumnya. Upaya transformasi e-wayang dilakukan sejauh format file bisa mendukung penyimpanan data corekan, pahatan dan sunggingan. Termasuk berbagai macam perangkat input yang membantu terselenggaranya pertunjukan wayang.
Selain itu, e-wayang juga dapat berupa format animasi biasa, animasi interaktif, dalam format e-paper atau e-book, image, movie dan lain sebagainya. Perangkat e-wayang bisa dikonversi ke berbagai bentuk format digital sehingga meningkatkan kemampuan akses bagi pengguna dan penggemar wayang.
Menurut si perancang, pembuatan wayang digital tidak begitu rumit, sebab sebagian software pengolahan gambar telah mendukung fasilitas layer atau lapisan. Sebagian perangkat lunak, pengolahan gambar telah mendukung fasilitas layer/lapisan. Lapisan itu sendiri adalah tumpukan gambar yang mendukung gambar transparan, sehingga memungkinkan untuk melakukan pengolahan dan memanipulasi objek gambar untuk dikombinasikan dengan gambar lainnya. ’’Dalam pembuatan wayang, ada tahapan-tahapannya, baik ketika memahat maupun mewarnai. Semua metode pembuatan wayang ini ternyata bisa ditransformasikan ke cara digital,’’ tutur Mawan sebagaimana dikutip detiknet.com.
Teknologi ini melahirkan tantangan baru, khususnya bagi seorang dalang. Sebagai brain ware yang menjalankan program e-wayang, seorang dalang dituntut memiliki keterampilan dalam mengoperasikan komputer dan perangkatnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalang tidak tergantung pada waktu dan tempat pertunjukan sehingga ia bisa menyusun cerita dalam berbagai bentuk format digital.
Open Format
Open format belakangan ini memunculkan berbagai terobosan bagi pengembang perangkat lunak untuk menciptakan format yang standar dan dapat dipergunakan oleh berbagai perangkat lunak apa pun. Open format merupakan sebuah format file, biasa disebut extension yang bersifat terbuka yang digunakan untuk menyimpan data digital. Open format ditetapkan oleh sebuah organisasi standardisasi yang membuat spesifikasi untuk format file tertentu. Dengan adanya standardisasi ini, maka format file ini dapat diimplementasikan dalam berbagai perangkat lunak.
Meskipun ada kemiripan format, namun e-wayang memiliki format baku, bukan dari hasil mengubah format. Dalam hal ini, e-wayang bukan proses mengubah format dari format wayang nondigital (misalnya wayang kulit, wayang kertas) menjadi format elektronik, misalnya dengan proses scan menjadi format image, juga bukan hasil merekam/ mengubah format pertunjukan digital, misalnya hasil shooting ke dalam format moving image (format movie atau rekaman animasi).
Sebagaimana dalam note, tentang gambar vector dan wayang kulit, maka e-wayang menerapkannya menggunakan format file Scalable Vector Graphic (SVG). Pada dasarnya SVG adalah format file berbasis pada format XML untuk mendeskripsikan gambar dua dimensi yang berupa gambar vector.
Format file ini mendukung untuk animasi dan atau bersifat interaktif. Format gambar ini sudah bisa dibuka langsung pada browser atau menggunakan perangkat lunak yang mendukung pengolahan format SVG. Selanjutnya, e-wayang bisa dikembangkan menjadi berbagai produk turunan, antara lain komik strip, buku komik dan animasi. Tidak heran jika belakangan mulai bermunculan aneka produk dengan memanfaatkan ikon wayang sebagai daya tarik, misalnya permen yang dipadukan dengan gambar tokoh-tokoh pewayangan yang digemari anak-anak. (24)
SOFTWARE WAYANG DIGITAL BERBASIS 3D SEBAGAI UPAYA MELESTARIKAN NILAI LUHUR KEARIFAN LOKAL BUDAYA JAWA
RINGKASAN
Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. UNESCO mengakui wayang kulit sebagai World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. Pengukuhan tersebut, tetap tak banyak pengaruhnya bagi Indonesia sebagai pemilik kebudayaan itu sendiri. Sampai saat ini, tidak banyak bahkan tidak ada pengaruhnya bagi anak-anak Indonesia agar bisa lebih mudah belajar tentang wayang.
Seiiring perkembangan teknologi, pelestarian budaya dikembangkan dengan sebuah peranti lunak (software) yang memungkinkan wayang kulit tidak lagi digerakkan secara manual oleh seorang dalang. Peranti lunak ini berupa sensor (antena) yang diletakkan pada tubuh manusia dan terkoneksi dengan wayang kulit. Sensor dipasang pada tangan,kaki,dan kepala. Ketika anggota tubuh yang dipasang sensor digerakkan, wayang kulit akan mengikuti gerakan yang sama. Hanya saja bayangan yang dilihat tetap wayang kulit bukan bayangan bentuk manusia.
Oleh karena itu tidak ada alasan sebagai bangsa Indonesia untuk tidak bisa memahami warisan kearifan lokal terutama budaya Jawa melalui wayang kulit. Pelestarian ini dilakuakan dengan pembuatan sebuah peranti lunak (software) yang memungkinkan wayang kulit tidak lagi digerakkan secara manual oleh seorang dalang.
v Asal Usul
Satyaki (bahasa Sanskerta: सत्यकि) (alias Yuyudhana) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia berasal dari bangsa Wangsa Wresni yang memihak para Pandawa dalam perang Baratayuda. Ia merupakan satu-satunya sekutu Pandawa selain Kresna yang masih hidup setelah perang berakhir.Dalam pewayangan Jawa, Satyaki merupakan sepupu Kresna dan Pandawa. Ia berasal dari Kerajaan Lesanpura yang tinggal di Kasatriyan Swalabumi.
Menurut versi Mahabharata, Satyaki adalah putra Satyaka, sedangkan Satyaka adalah putra Sini, seorang pemuka bangsa Wresni. Sini merupakan tokoh yang melamar Dewaki sebagai istri Basudewa. Dalam peristiwa itu ia harus bersaing dengan Somadatta ayah Burisrawa. Dari perkawinan Basudewa dan dewaki kemudian lahirlah Kresna.
Menurut versi pewayangan Jawa, Satyaki adalah putra Satyajit raja Kerajaan Lesanpura. Satyajit merupakan adik termuda Basudewa dan Kunti. Dengan kata lain, Satyaki adalah adik sepupu Kresna dan para Pandawa.
v Penggabungan silsilah
Versi Mahabharata menyebutkan bahwa, Satyaki adalah putra Satyaka putra Sini. Sedangkan menurut versi pewayangan Jawa, Satyaki adalah putra pasangan Satyajit dan Warsini. Sementara itu, Satyajit merupakan nama lain dari Ugrasena. Dari perkawinan Satyajit dengan Warsini lahir Satyaboma dan Satyaki. Satyajit sendiri merupakan adik dari Kunti.Menurut versi Mahabharata, Satyajit dan Ugrasena adalah dua orang tokoh yang berbeda. Satyajit merupakan panglima Kerajaan Pancala, sedangkan Ugrasena adalah raja Kerajaan Mathura. Sementara itu ayah dari Satyabhama bernama Sartajit, sedangkan adik Kunti bernama Purujit.
Jadi, versi pewayangan Jawa menggabungkan Ugrasena, Satyajit, Sartajit, dan Purujit menjadi satu orang tokoh saja, yaitu Satyajit raja Lesanpura, ayah dari Satyaki dan Satyaboma.Sementara itu, tokoh Satyaka dalam pewayangan Jawa bukan sebagai ayah Satyaki, melainkan nama putra Satyaboma. Dengan kata lain, Satyaka versi Jawa adalah keponakan Satyaki.
v Kelahiran
Versi pewayangan Jawa mengisahkan ketika Warsini mengandung, ia mengidam ingin bertamasya menunggang macan putih. Satyajit mendatangkan para keponakannya, yaitu Kresna,Baladewa dan para Pandawa untuk ikut membantu. Ternyata yang berhasil menangkap macan putih idaman Warsini adalah Kresna. Namun, macan putih tersebut penjelmaan Singamulangjaya, patih Kerajaan Swalabumi yang diutus rajanya, yaitu Prabu Satyasa untuk menculik Warsini. Singamulangjaya segera membawa Warsini kabur begitu naik ke punggungnya.
Kresna yang dicurigai Satyajit segera mengejar Singamulangjaya. Di tengah jalan, Singamulangjaya mencoba mengeluarkan isi kandungan Warsini. Lahirlah seorang bayi yang bukannya mati, namun justru bertambah besar setelah dihajar Singamulangjaya. Akhirnya, bayi tersebut berubah menjadi pemuda dan membunuh Singamulangjaya. Arwah Singamulangjaya bersatu ke dalam diri pemuda itu.
Warsini memberi nama putranya yang sudah dewasa dalam waktu singkat itu dengan nama Satyaki. Kresna pun menemukan mereka berdua. Bersama mereka menyerang dan membunuh Satyasa sebagai sumber masalah. Satyaki kemudian menduduki Kerajaan Swalabumi sebagai daerah kekuasaannya.
v Sayembara untuk satyaboma
Dalam pewayangan Jawa dikisahkan Satyaboma dilamar oleh Drona dengan dukungan para Korawa. Tujuan lamaran ini hanya sekadar untuk menjadikan Kerajaan Lesanpura sebagai sekutuKerajaan Hastina. Satyaki segera mengumumkan sayembara bahwa jika ingin menikahi kakaknya harus bisa mengalahkan dirinya terlebih dulu.
Satu per satu para Korawa maju namun tidak ada yang mampu mengalahkan Satyaki. Bahkan, Drona sekalipun dikalahkannya. Arjuna selaku murid Drona maju atas nama gurunya. Satyaki yang gentar meminta bantuan Kresna. Maka, Kresna pun meminjamkan Kembang Wijayakusuma kepada Satyaki.
Dengan berbekal bunga pusaka milik Kresna, Satyaki dapat menahan serangan Arjuna, bahkan berhasil mengalahkan Pandawa nomor tiga tersebut. Ternyata Kresna juga melamar Satyaboma untuk dirinya sendiri. Dalam pertarungan adu kesaktian, Kresna berhasil mengalahkan Satyaki dan mempersunting Satyaboma.Dari perkawinan antara Kresna dan Satyaboma lahir seorang putra bernama Satyaka.
v Keluarga
Menurut versi Mahabharata Satyaki memiliki sepuluh orang putra yang semuanya mati di tangan Burisrawa dalam perang Baratayuda.Sementara itu, menurut versi Jawa, Satyaki hanya memiliki seorang putra saja bernama Sangasanga yang tetap hidup sampai perang berakhir. Sangasanga kemudian menjadi raja Kerajaan Lesanpura sepeninggal Satyajit dan Satyaki. Meskipun demikian, ia tetap mengabdi sebagai panglima Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Parikesit cucu Arjuna.
Sangasanga merupakan putra Satyaki dari perkawinannya dengan Trirasa.
v Peran Dalam Barata Yuda
Dalam perang Baratayuda yang meletus di Kuruksetra, Satyaki memihak para Pandawa. Ia bahkan dipercaya memimpin salah satu di antara tujuh aksohini pasukan Pandawa.Peran Satyaki tampak menonjol pada hari ke-14 di mana ia ditugasi Arjuna untuk menjaga Yudistira dari serangan Drona. Menurut versi Mahabharata, Arjuna merupakan guru Satyaki dalam ilmu memanah. Sementara itu menurut versi Jawa, murid Arjuna adalah Srikandi yang kemudian menjadi istrinya.
Pada hari tersebut Arjuna bergerak mencari Jayadrata yang telah menyebabkan putranya, yaitu Abimanyu tewas. Satyaki sendiri mati-matian melindungi Yudistira yang hendak ditangkap hidup-hidup oleh Drona sebagai sandera.Drona adalah guru Arjuna, sedangkan Satyaki adalah murid Arjuna. Namun, dalam pertempuran itu Drona memuji kesaktian Satyaki setara dengan Parasurama, yaitu guru Drona sendiri.
Setelah keadaan aman, Yudistira memaksa Satyaki pergi membantu Arjuna. Dalam keadaan letih, Satyaki menerobos barisan sekutu Korawa yang menghadangnya. Tidak terhitung jumlahnya yang mati. Namun ia sendiri bertambah letih.
Burisrawa maju menghadang Satyaki. Pertarungan tersebut akhirnya dimenangkan Burisrawa. Dengan pedang di tangan ia siap membunuh Satyaki yang sudah jatuh pingsan. Adapun Burisrawa merupakan putra Somadatta yang dulu dikalahkan Sini kakek Satyaki sewaktu melamar Dewaki.
Arjuna yang mengendarai kereta dengan Kresna sebagai kusir sudah mendekati tempat persembunyian Jayadrata. Kresna memintanya untuk berbalik membantu Satyaki. Mula-mula Arjuna menolak karena hal itu melanggar peraturan. Namun, Kresna berhasil meyakinkan Arjuna bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk menolong Satyaki yang sudah bersusah payah datang membantunya.
Arjuna akhirnya memanah lengan Burisrawa sampai putus. Burisrawa terkejut dan menuduh Arjuna berbuat curang. Arjuna membantah karena Burisrawa sendiri hendak membunuh Satyaki yang sudah pingsan serta kemarin ikut serta mengeroyok Abimanyu. Burisrawa sadar atas kesalahannya. Ia pun duduk bermeditasi. Tiba-tiba Satyaki sadar dari pingsan dan langsung memungut potongan lengan Burisrawa yang masih memegang pedang. Dengan menggunakan pedang itu ia membunuh Burisrawa.
Menurut versi Kakawin Bharatayuddha, Satyaki membunuh Burisrawa menggunakan pedang Mangekabhama, menurut versi Serat Bratayuda menggunakan panah Nagabanda, sedangkan menurut versi pewayangan menggunakan gada Wesikuning.
v Kematian
Kematian Satyaki terdapat dalam Mahabharata bagian ke-16 berjudul Mausalaparwa. Dikisahkan selang 36 tahun setelah pertempuran di Kurukshetra berakhir, bangsa Wresni dan Yadawamengadakan upacara di tepi pantai Pramanakoti. Meskipun ada larangan untuk tidak membawa minuman keras, namun tetap saja ada yang melanggar.
Akibatnya, mereka pun berpesta mabuk-mabukan. Dalam keadaan tidak sadar, Satyaki mengejek Kretawarma yang dulu memihak Korawa sebagai pengecut karena menyerang perkemahanPandawa pada waktu malam. Sebaliknya, Kretawarma juga mengejek Satyaki yang membunuh Burisrawa secara licik.
Satyaki yang sudah sangat mabuk segera membunuh Kretawarma. Akibatnya, orang-orang pun terbagi menjadi dua,sebagian membela Satyaki, sebagian membela Kretawarma. Mereka semua akhirnya saling bunuh dan semua tumpas.
Pada suatu ketika suhu dunia yang mula-mula sangat sejuk berubah menjadi panas yang tak terhingga, yang menyebabkan tiga alam menjadi panas yaitu alam bawah (Yamaloka), alam tengah (alam manusia) dan alam atas (alam dewa) yang membuat resah semua umat manusia maupun para dewa, Dewa Indra yang berada di Indraloka menjadi bingung akan panas yang begitu dahsyatnya, sehingga dia mengutus Bhagawan Narada dan pengikutnya Tualen untuk menyelidiki apa yang terjadi. Setelah diselidiki, Bhagawan Narada melapor kepada Dewa Indra bahwa ada api kecil yang berada ditengah laut yang menyebabkan panas itu terjadi. Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Indrapun memerintahkan Bhagawan Narada dan Tualen untuk mengerahkan semua para dewa untuk memadamkan api tersebut, namun tiap kali para dewa berusaha untuk memadamkannya, api tersebut bertambah besar dan berubah menjadi raksasa yang mengerikan. Raksasa itu menjadi sangat marah karena tidurnya diganggu, para dewapun kewalahan menghadapi raksasa tersebut dan membuat para dewa menanggung kekalahan. Seketika itu juga Dewa Siwa datang dan melerai pertempuran itu, Dewa Siwa memberikan wejangan pada raksasa tersebut dan memberitahu bahwa dirinya merupakan anak dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati, yang pada saat bersenang-senang diatas lautan dan tidak disengaja menjatuhkan sperma di tengah laut sehingga api yang panas itu muncul. Pada saat itu juga raksasa itu diberi nama Sang Hyang Adikala karena kesaktianya melebihi para dewa, Dewa Siwa juga memberikan aturan-aturan yang membenarkan dia untuk bertempat tinggal dan apa yang menjadi makanannya.
Musik Genggong merupakan musik instrumental tradisional Bali yang sangat langka, seperti yang dikutip dalam artikelgenggong merupakan salah satu instrumen getar yang unik yang semakin jarang dikenal orang. Keunikannya terletak pada suara yang ditimbulkannya yang bila dirasakan memberi kesan mirip seperti suara katak sawah yang riang gembira bersahut-sahutan di malam hari. Keunikannya yang lain adalah memanfaatkan rongga mulut orang yang membunyikannya sebagai resonator.
Memang alat ini dibunyikan dengan cara mengulum (yanggem) pada bagian yang disebut “palayah”nya. Jari tangan kiri memegang ujung alat sebelah kiri dan tangan kanan menggenggam tangkai bambu kecil yang dihubungkan dengan tali benang dengan ujung alat di sebelah kanan. Untuk membunyikannya maka benang itu ditarik-tarik ke samping kanan agak menyudut ke depan, tetapi tidak meniupnya. Rongga mulut hanya sebagai resonator, dibesarkan atau dikecilkan sesuai dengan rendah atau tinggi nada yang diinginkan
Kalau ditelusuri mengenai asal mula Genggong di Desa Batuan ini, maka tak seorang informanpun dapat memberikan keterengan yang pasti mengenai asal-usul instrumen in idi Desa Bantuan yang menjadi obyek penelitian. Dari keterangan informan yang dapat dikumpulkan dikatakan. Bahwa Genggong yang ada di Desa Bantuan sudah ada sejak dahulu (sekitar awal abad 19-an). Instrumen yang dalam organisasi dikenal dengan sebutan jaw’s harp ini memang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Pada jaman dulu, para petani di Desa Bantuan sehabis bekerja di sawah beristirahat sambil minum tuak. Pada umumnya para petani yang suka minum tuak itu, biasanya mempunyai tempat-tempat berkumpul tertentu, misalnya di warung, di rumah pedagang tuak atau di bawah pohon besar yang rindang. Sambil minum tuak mereka ngobrol kesana kemari tanpa tujuan, di samping sering mereka melakukan kegiatan yang dapat menghibur dirinya sendiri seperti bernyanyi, “Mececimpedan” dan sebaiknya. Para petani di Desa Batuan itu banyak melakukan permainan Genggong sebagai selingan. Permainan Genggong yang dimaksud adalah dengan meniup sebilah pupug kecil dan tipis yang telah di bentuk sedemikian rupa, hingga menimbulkan suara yang merdu dan dapat memberikan kepuasan pada rohani mereka.
Menurut informan, Genggong pada dasarnya berbentuk seni, tabuh. Tetapi sejak kapan Genggong dipergunakan untuk mengiringi tari, tidak seorang informan pun dapat memberikan keterangan yang pasti. Menurut informan I Wayan Sore (60 th) diungkapkan Genggong sebagai pengiring tari terjadi secara tidak sengaja. Ini terjadi sekitar tahun 1935.
Ketika itu, di suatu tempat, sekelompok orang sedang berkumpul sambil bermain Genggong. Tatkala permainan Genggong sedang berlangsung, datang Ida Bagus Putu Renteh sambil menari berimprovisasi mengikuti irama Genggong. Gerak-gerik tarian Ida Bagus Pu¬tu Renteh mengekspresikan tingkah Godogan (katak). Karena tarian ini dianggap menarik, maka atas prakarsa pemuka masyarakat setempat, tarian Ida Bagus Putu Renteh ini dipentaskan sebagai klimak setelah didahului dengan beberapa tahuh renggong, bertempat di Jabe Pura Desa Batuan. Tarian Godogan pada waktu itu kostumnya sa¬ngat sederhana dan tidak mempergunakan tapel (topeng) seperti yang ada sekarang. Tarian ini pada awal munculnya dulu juga tidak terikat oleh cerita. Hanya merupakan tari lepas yang melukiskan Godo¬gan memburu mangsanya yaitu capung yang diperankan oleh Ni Wayan Raji. Rudolf Bonnet dan Walter Spies tertarik sekali dengan kesenian ini. Kedua orang inilah menganjurkan agar barungan Genggong dilengkapi dengan Kendang, Kajar, Kempur dan instrumen lainnya. Sebelumnya barungan Genggong hanya terdiri dari beberapa Genggong. Kemudian timbullah prakarsa dari Jero Mangku Desa Batuan untuk memetik beberapa babak ceritera Godogan ini yang kemudian digabungkan dengan musik Genggong, sedangkan tariannya diciptakan oleh I Nyoman Kakul. Petikan dramatari ini pertama kali didukung oleh sekaa Genggong Batuan. Kemudian pada tahun 1970 diambil alih oleh sekaa Genggong Batur dari pimpinan I Nyoman Artika dan I Made Jimat. Eksistensi sekaa Genggong Batur Sari mendapat per¬hatian dari pemerintah, tepat pada tanggal 5 Agustus 1971, sekaa Genggong Batur Sari memperoleh Pramana Fatram dari Gubernur Bali saat itu.
Dari seluruh informasi yang di dapat,tidak seorang pemain Genggong pun dapat memberikan metode atau definisi yang pasti ba¬gaimana cara bermain Genggong. Menurut mereka, di dalam belajar bermain Genggong mereka tidak dibekali dengan metode tertentu. Ka¬rena sering mendengar dan melihat orang bermain Genggong, mereka coba-coba meniru, karena tekun dan berbakat, akhirnya bisa. Namun menurut I Dewa Aji Man Ubud dan Dewa Sandi, teknik bermain Genggong menurutnya adalah sebagai berikut :
1.Buka mulut sesuai dengan lebar Genggong yang dimainkan.
2. Tempelkan Genggong pada mulut yang terbuka tadi secara horisontal. Tangan kanan memainkan talinya sementara tangan kiri memegang alatnya.
3. Keluarkan nafas secara “ngangkihin”, mainkan bentuk mu¬lut maka lidah Genggong itu akan bergetar menimbulkan bunyi yang khas.
Laras Genggong di Desa Batuan adalah laras seledro dengan nada pokok ada 4 (empat), antara lain , ndeng, ndung, ndang dan nding, sama dengan laras angklung, maka kesenian genggong banyak mengambil bentuk lagu angklung.ada beberapa gending angklung yang masih dimainkan sampai sekarang yaitu : Gegineman, Tabuh Telu,Tabuh Angklung Dentiyis,Tangis,Tabuh Angkiung Kuta,Dongkang Menek Hiyu, Sekar Saridat, Sekar Sungsang, Sekar Gendot, Elag Elog, Janger, konokan Ngoyong, Konokan Mejalan,
Komentar Terbaru