Kain gringsing adalah satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik teknik dobel ikat dan memerlukan waktu 2-5 tahun. Kain ini berasal dari Desa Tenganan, Bali. Umumnya, masyarakat Tenganan memiliki kain gringsing berusia ratusan tahun yang digunakan dalam upacara khusus. Kata gringsing berasal dari gring yang berarti ‘sakit’ dan sing yang berarti ‘tidak’, sehingga bila digabungkan menjadi ‘tidak sakit’. Maksud yang terkandung di dalam kata tersebut adalah seperti penolak bala. Di Bali, berbagai upacara, seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara keagamaan lain, dilakukan dengan bersandar pada kekuatan kain gringsing.[1][2]

Daftar isi

Sejarah

Berdasarkan mitos, adanya kain tenun gringsing berawal dari Dewa Indra, pelindung dan guru kehidupan bagi masyarakat Tenganan. Dewa Indra kagum dengan keindahan langit di malam hari dan dia memaparkan keindahan tersebut melalui motif tenunan kepada rakyat pilihannya, yaitu rakyat Tenganan. Dewa itu mengajarkan para wanita untuk menguasai teknik menenun kain gringsing yang melukiskan dan mengabadikan keindahan bintang, bulan, matahari, dan hamparan langit lainnya. Kain tenun yang berwarna gelap alammi digunakan masyarakat Tenganan dalam ritual keagamaan atau adat dan dipercaya memiliki kekuatan magis. Kain ini juga disebut-sebut merupakan alat yang mampu menyembuhkan penyakit dan menangkal pengaruh buruk. Pakar tekstil menyataan bahwa teknik penenunan kain gringsing ini hanya dijumpai di tiga lokasi di dunia, yaitu Tenganan (Indonesia), Jepang, dan India.[3]

Pada tahun 1984, Urs Ramseyer (1984) dalam tulisannya yang berjudul Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali, menyatakan dugaan bahwa masyarakat Tenganan sebagai sesama penganut Dewa Indra merupakan imigran dari India kuno. Imigran tersebut kemungkinan membawa teknik dobel ikat melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh dan mengembangkan teknik tersebut secara independen di Tenganan. Kemungkinan lain adalah para imigran menguraikan kutipan-kutipan dari beberapa jenis tenun patola untuk dikembangkan di Indonesia.[4]

Proses dan Teknik Pembuatan

 

 

Buah kemiri yang sudah matang dan jatuh ke tanah untuk pembuatan kain gringsing.

Proses pembuatan kain gringsing dari awal hingga akhir dikerjakan dengan tangan. Benang yang digunakan merupakan hasil pintalan tangan dengan alat pintal tradisional, bukan mesin. Benang tersebut diperoleh dari kapuk berbiji satu yang didatangkan dari Nusa Penida karena hanya di tempat tersebut bisa didapatkan kapuk berbiji satu. Setelah selesai dipintal, benang akan mengalami proses perendaman dalam minyak kemiri sebelum dilanjutkan ke proses ikat dan pewarnaan. Perendaman tersebut bisa berlangsung lebih dari 40 hari hingga maksimum satu tahun dengan penggantian air rendaman setiap 25-49 hari. Semakin lama perendaman, benang akan makin kuat dan lebih lembut.[1]

Buah kemiri (Aleurites moluccana) diambil langsung di hutan Tenganan dan pembuat kain gringsing harus menggunakan kemiri yang benar-benar matang, serta jatuh dari pohonnya. Hal ini sesuai dengan awig-awig (aturan adat) yang menyatakan bahwa beberapa jenis pohon tertentu (kemiri, keluak, tehep, dan durian) yang tumbuh di atas tanah milik individu tidak boleh dipetik oleh pemiliknya, melainkan hatus dibiarkan matang di pohon dan kemudian jatuh.[5]

Benang akan dipintal menjadi sehelai kain yang memiliki panjang (sisi pakan) dan lebar (sisi lungsi) tertentu. Untuk merapatkan hasil tenunan, benang akan didorong menggunakan tulang kelelawar. Kain yang sudah jadi akan diikat oleh juru ikat mengikuti pola tertentu yang sudah ditentukan. Proses pengikatan menggunakan dua warna tali rafia, yaitu jambon dan hijau muda. Setiap ikatan akan dibuka sesuai proses pencelupan warna untuk menghasilkan motif dan pewarnaan yang sesuai.[1]

Proses penataan benang, pengikatan, dan pewarnaan dilakukan pada sisi lungsi dan pakan, sehingga teknik tersebut disebut dobel ikat. Pada teknik tenun ikat biasa, umumnya hanya sisi pakan yang diberi motif, sedangkan sisi lungsi hanya berupa benang polos, atau sebaliknya. Pola yang dibuat pada kain harus ditenun dengan ketrampilan dan ketelitian sehingga setiap warna pada lungsi akan bertemu dengan warna yang sama pada pakan dan menghasilkan motif kain yang terlihat tegas.[1]

Pewarna

Motif kain gringsing hanya menggunakan tiga warna yang disebut tridatu. Pewarna alami yang digunakan dalam pembuatan motif kain gringsing adalah ‘babakan’ (kelopak pohon) Kepundung putih (Baccaurea racemosa) yang dicampur dengan kulit akar mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai warna merah, minyak buah kemiri berusia tua (± 1 tahun) yang dicampur dengan air serbuk/abu kayu sebagai warna kuning, dan pohon Taum untuk warna hitam.[3]

Motif

Konon, dulunya jenis tenun gringsing berjumlah sekitar 20 jenis. Namun, hingga tahun 2010, yang masih dikerjakan hanya ± 14 jenis, beberapa di antaranya adalah:

  • Lubeng, dicirikan dengan kalajengking dan berfungsi sebagai busana adat dan digunakan dalam upacara keagamaan. Ada beberapa macam motif Lubeng, yaitu Lubeng Luhur yang berukuran paling panjang (tiga bunga berbentuk kalajengkin yang masih utuh), Lubeng Petang Dasa (satu bunga kalajengking utuh di tengah dan di pinggir hanya setengah), dan Lubeng Pat Likur (ukurannya terkecil).
  • Sanan Empeg, dicirikan dengan tiga bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah-hitam. Fungsi kain gringsing bermotif ini adalah sebagai sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu sebagai pelengkap sesajian bagi masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Bagi masyarakat Bali di luar desa Tenganan, kain ini digunakan sebagai penutup bantal/alas kepala orang melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi.
  • Cecempakaan, dicirikan dengan bunga cempaka dan berfungsi sebagai busana adat dan upacara keagamaan. Jenis-jenis Gringsing Cecempakaan adalah Cecempakaan Petang Dasa (ukuran empat puluh), Cecempakaan Putri, dan Geringsing Cecempakaan Pat Likur (ukuran 24 benang).
  • Cemplong, dicirikan dengan bunga besar di antara bunga-bunga kecil sehingga terlihat ada kekosongan antara bunga yang menjadi cemplong. Gringsing cemplong juga berfungsi sebagai busana adat dan upacara agama. Jenis-jenisnya terdiri dari ukuran Pat Likur (24 benang), senteng/anteng (busana di pinggang wanita), dan ukuran Petang Dasa (40 benang) yang sudah hampir punah.
  • Gringsing Isi, motifnya semua berisi atau penuh, tidak ada bagian kain yang kosong. Motif ini berfungsi hanya untuk sarana upacara dan kuran yang ada hanya ukuran Pat Likur (24 benang).
  • Wayang, terdiri dari gringsing wayang kebo dan gringsing wayang putri. Motif ini paling sulit dikerjakan dan memerlukan waktu pembuatan hingga 5 tahun. Motif wayang hanya terdiri dari dua warna, yaitu hitam sebagai latar dan garis putih yang relatif halus untuk membentuk sosok wayang. Untuk menciptakan garis putih dengan tersebut diperlukan ketelitian tinggi karena tingkat kesulitan selama pengikatan dan penenunan kain relatif sulit. Wayang kebo memiliki motif wayang lelaki, sedangkan wayang putri hanya berisi motif wayang perempuan.[1]
  • Batun Tuung, yang dicirikan dengan biji terung, Ukurannya tidak besar dan digunakan untuk senteng (selendang) pada wanita dan sabuk (ikat pinggang) tubumuhan pada pria. Motif ini sudah hampir punah.[6]

Motif-motif kuno kain gringsing lainnya yang masih dikenal meliputi: Teteledan, Enjekan Siap, Pepare, Gegonggangan, Sitan Pegat, Dinding Ai, Dinding Sigading, dan Talidandan. Warna dan keunikan desain ikat mulai mengalami perubahan dibandingkan dengan motif kain-kain kuno yang sebagian tersimpan di museum-museum di Eropa, seperti Museum Basel, Swiss. Pada tahun 1972, kelompok peneliti dari Museum Fur Volkerkunde, Basel, membawa foto-foto kain gringsing yang sebagian sudah tidak ditemukan lagi di Desa Tenganan. Foto-foto tersebut dipelajari dan dibuat kembali oleh masyarakat Tenganan untuk melestarikan motif-motif kuno kain gringsing.[4

Ada satu lagi alasan kuat, mengapa banyak wisatawan berkunjung ke desa adat Tenganan. Selain terpesona pada kehidupan mereka maupun ritual tiap tahun yaitu perang pandan, banyak di antara mereka datang ke sana untuk membeli kain Gringsing. Kain Gringsing merupakan salah satu kesenian peninggalan leluhur desa Tenganan. Tercatat di dunia, selain Kimono asal jepang, kain Gringsing lah yang juga menggunakan seni tenun ikat ganda dalam pembuatannya.

Tenun ikat ganda memiliki kerumitan lebih dibanding tenun ikat tunggal biasa. Dalam tenun ikat ganda, motif kain sudah direncanakan sejak pembuatan warna pada benangnya. Dalam seni menenun Gringsing dikenal 2 macam benang, benang vertikal disebut Lusi dan horizontal disebut Pakan. Kedua benang tersebut, vertikal dan horizontal, warna seutas benangnya berbeda-beda, dan harus ditenun agar dapat terbentuk motif yang sudah direncanakan.

Semua bahan yang diperlukan dalam pembuatan kain Gringsing terbuat dari alam dan dapat ditemukan di sekitar perkebunan desa Tenganan, kecuali daun Taum atau daun Indigo sebagai pembuat warna biru. Proses pembuatannya pun dilakukan secara tradisional dengan tangan tanpa mesin dan memakan waktu lama. Tak heran jika harga jual satu kain bernilai tinggi. Ukuran terkecil saja, sekitar 60 cm x 150 cm berharga 400 ratus hingga 500 ribu rupiah.

Proses pertama pembuatan kain Gringsing dimulai dengan pembuatan warna pada benang. Umumnya warna kain Gringsing hanya terdapat 3 sampai 4 warna, kuning, biru, merah, dan hitam. Jaman dahulu, sempat tersiar kabar kalau pembuatan warna merah pada kain Gringsing terbuat dari darah manusia. Kabar tersebut sengaja mereka sebarkan agar desa lain di luar desa Tenganan tidak ada yang meniru proses pewarnaan alami mereka. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga kekhasan kesenian mereka.

Proses pewarnaan pertama adalah pemberian warna dasar pada benang, yaitu warna kuning. Untuk menghasilkan warna kuning, benang direndam di minyak kemiri selama 1 bulan 7 hari. Kemudian dijemur hingga benar-benar kering. Setelah itu, benang berwarna kuning tersebut dililitkan pada kerangka kayu sesuai dengan ukuran kain Gringsing yang hendak dibuat. Setelah ketahuan ukurannya, baru dibuatkan pola motif. Cara pembuatannya adalah motif yang hendak diberi warna merah, hitam, ataupun mempertahankan warna kuning tersebut, dililitkan tali rafia berbeda warna sesuai warna yang hendak dibuat. Sisanya dibiarkan terbuka tanpa lilitan rafia untuk dicelup ke rendaman daun Taum atau daun Indigo selama seminggu untuk menghasilkan warna biru. Untuk proses ini, benang dikirim ke kota dekat pantai agar menghasilkan warna biru yang lebih maksimal. Mengapa pantai? Karena kadar air di sana lebih sedikit.

Kemudian setelah pemberian warna biru, benang dikirim lagi ke Tenganan untuk dilanjutkan kembali proses pewarnaannya yaitu warna merah. Untuk menghasilkan warna merah, digunakan rendaman akar kulit sunti atau mengkudu. Pewarnaan merah ini sangat memerlukan waktu lama bisa 2 sampai 4 tahun karena proses pengeringannya membutuhkan waktu banyak. Itupun sudah dipercepat, dulu bisa memakan waktu hingga 10 tahun karena pengeringannya menggunakan angin bukan matahari demi menghasilkan warna merah yang lebih bagus. Proses pewarnaan merah merupakan proses terakhir. Hitam sendiri bisa dibuat dari warna biru yang ditimpa warna merah berkali-kali.

Setelah proses pewarnaan selesai, benang-benang tersebut direndam ke dalam air beras untuk memperkuat warna pada benang dan kemudian dijemur cukup sehari saja. Setelah semua proses itu selesai, baru dilakukan tenunan. Menenun untuk mendapatkan motif yang diinginkan memerlukan ketelitian dan kesabaran. Proses menenun kain Gringsing itu sendiri memerlukan waktu 3 hingga 4 minggu.

Arti kata Gringsing itu sendiri jika diterjemahkan secara harafiah berarti ‘tidak sakit’. Ketiga warna pada kain Gringsing yaitu merah melambangkan api, putih atau kuning berarti angin, dan hitam berarti air. Semua elemen itu adalah elemen penyeimbang yang diperlukan tubuh agar tidak sakit. Karena itu dipercaya, tenunan kain Gringsing memberikan kekuatan tersendiri pada si pemakai. Dalam masyarakat Bali secara keseluruhan, kain ini dipakai dalam uparaca khusus, salah satunya upacara potong gigi ketika hendak menikah untuk memberikan kekuatan pada sang calon mempelai. Bahkan beberapa orang menyimpang benang berwarnanya saja seakan sebagai jimat kekuatan mereka.

Inilah kerajinan yang paling terkenal sekaligus dibanggakan oleh penduduk desa Tenganan. Kain khasnya telah menjadi incaran para kolektor kain di seluruh dunia. Yang unik dari kain ini, semakin tua kain tersebut, warna-warnanya semakin keluar dan bagus. Tidak seperti kain pada umumnya yang semakin memudar warnanya. Untuk menghasilkan warna yang lebih bagus lagi, pencuciannya pun unik, cukup dikasih air hujan, lebih lama lebih baik. Kandungan dalam air hujan dapat mengeluarkan warna pada kain Gringsing dibanding air tawar biasa

Motif kain tenun tenganan pegringsingan

ada sejumlah motif kain gringsing yakni lubeng, wayang putri, wayang kebo, cecempakan, cemplong, dingding sigading, dingsing ai, pepare, pat likur, pedang dasa, semplang, cawet, anteng dan lainnya. Motif-motif itu sendiri penuh dengan simbol-simbol seperti tapak dara (tanda silang) dan lainnya.

 

Ragam Jenis Tenun Gringsing
Konon dahulu, ragam jenis Tenun Geringsing ada 20 jenis. Namun kini yang masih dikerjakan hanya 14 jenis yaitu:
1) Geringsing Lubeng, yang terdiri

Gringsing Lubeng Luhur, Gringsing Lubeng Petang Dasa dan Gningsing Lubeng Pat Likur.
Motifnya bernama Lubeng.  Kekhasannya adalah berisi kalajengking. Lubeng Luhur ukurannya paling panjang dengan 3 bunga berbentuk kalajengking yang masih utuh bentuknya. Sedangkan pada Lubeng Petang Dasa bunga kalajengkingnya utuh hanya satu di tengah sedang yang di pinggir hanya setengah-setengah. Sedang Lubeng Pat Likur adalah yang ukurannya terkecil. Fungsinya sebagai busana adat dan upacara agama.

2) Geringsing Sanan Empeg

Geringsing Sanan Empeg fungsinya hanya sebagai sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu sebagai pelengkap sesajian bagi masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Sedangkan bagi masyarakat Bali di luar desa Tenganan hanya dipergunakan sebagai penutup bantal/alas kepala orang melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi. Ciri khas dan motif Sanan Empeg adalah adanya tiga bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah dan hitam.

3) Geringsing Cecempakan

Geringsing Cecempakan bermotif bunga cempaka. jenisnya: Gringsing Cecempakan Petang Dasa (ukuran empat puluh). Geringsing Cecempakan Putri, Geringsing Cecempakan Pat Likur (ukuran 24 benang). Fungsinya adalah sebagai busana adat dan upacara agama.

4) Geringsing Cemplong.

Motif Geringsing Cemplong adalah karena ada bunga-bunga besar diantara bunga-bunga kecil seolah-olah ada kekosongan/lobang-lobang diantara bunga itu menjadi kelihatan cemplong. Jenisnya : ukuran Pat Likur (24 benang), senteng/anteng (busana di pinggang wanita), sedangkan yang ukuran Petang Dasa (40 benang) sudah hampir punah. Fungsinya adalah sebagai busana adat dan upacara agama.

5) Geringsing Isi.

Pada Geringsing Isi ini sesuai namanya pada motifnya semua berisi atau penuh, tidak ada bagian kain yang kosong, ukuran yang ada hanya ukuran Pat Likur (24 benang) dan berfungsi hanya untuk sarana upacara, bukan untuk busana.

6) Geringsing Wayang.

Motifnya ada dua yaitu Geringsing Wayang Kebo dan Geringsing Wayang Putri.
Fungsi dan ukuran kedua kain ini sama yaitu untuk selendang, yang berbeda adalah motifnya. Pada Geringsing Wayang Kebo teledunya (Kalajengkingnya) bergandengan sedangkan pada Gringsing Wayang Putri lepas . Pada tenun Geringsing Wayang Kebo berisi motif wayang laki dan wanita. Sedangkan pada tenun Geringsing Wayang Putri hanya berisi motif Wayang Wanita.

7) Geringsing Batun Tuung.

Batun Tuung artinya biji terong. Dengan demikian pada Geringsing Batun Tuung motifnya penuh dengan biji-biji terong. Ukurannya tidak besar, untuk senteng (selendang) pada wanita dan untuk sabuk (ikat pinggang) tubumuhan bagi pria. Jenis Geringsing ini sudah hampir punah.

55 Komentar on “GRINGSING” kain dari zaman megalitikum

  1. A片 berkata:

    ????

    goodddd thankssss youuuu

  2. porno} berkata:

    ????

    goodddd thankssss youuuu

  3. instant withdrawal online casino usa 2020 https://1freeslotscasino.com/