BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dalam makalah ini saya membahas tentang pengertian hak dan pengertian kewajiban, pengertian warga negara, dan hak kewajiban WNI berdasarkan UUD 1945. Ada sebagian masyarakat yang merasa dirinya tidak tersentuh oleh pemerintah. Dalam artian pemerintah tidak membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya, tidak memperdulikan pendidikan dirinya dan keluraganya, tidak mengobati penyakit yang dideritanya dan lain sebagainya yang menggambarkan seakan-akan pemerintah tidak melihat penderitaan yang dirasakan mereka. Dengan demikian mereka menanyakan hak-hak mereka, akankah hak-hak mereka diabaikan begitu saja, atau jangan-jangan hal semacam itu memang bukan hak mereka? kalau memang bantuan pemerintah kepada mereka itu adalah hak yang harus diterima mereka mengapa bantuan itu belum juga datang?
Sedangkan itu mereka tidak mau membela negaranya diakala hak-hak negeri ini dirampas oleh negara sebrang, mereka tidak mau tahu dikala hak paten seni-seni kebudayaan Indonesia dibajak dan diakui oleh negara lain, dan bahkan mereka mengambil dan mencuri hak-hak rakyat jelata demi kepentingan perutnya sendiri Atau mereka paham tentang itu, akan tetapi karena memang hawa nafsu Syaithoniyah-nya telah menguasai akal pikirannya sehingga tertutup kebaikan di dalam jiwanya.
Dalam konteks Indonesia ini yang merupakan suatu Negara yang demokratis tentunya elemen masyarakat disini sangat berperan dalam pembangunan suatu Negara. Negara mempunyai hak dan kewajiban bagi warga negaranya begitu pula dengan warga negaranya juga mempunyai hak dan kewajiban terhadap Negaranya. Seperti apakah hak dan kewajiban tersebut yang seharusnya dipertanggungjawabkan oleh masing-masing komponen tersebut.
Negara merupakan alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat, dan yang paling nampak adalah unsur-unsur dari Negara yang berupa rakyat, wilayah dan pemerintah. Salah satu unsur Negara adalah rakyat, rakyat yang tinggal di suatu Negara tersebut merupakan penduduk dari Negara yang bersangkutan. Warga Negara adalah bagian dari penduduk suatu Negaranya. Tetapi seperti kita ketahui tidak sedikit pula yang bukan merupakan warga Negara bisa tinggal di suatu Negara lain yang bukan merupakan Negaranya.
Suatu Negara pasti mempunyai suatu undang-undang atau peraturan yang mengatur tentang kewarganegaraan. Peraturan tersebut memuat tentang siapa saja kah yang bisa dianggap sebagai warga Negara. Di Indonesia juga salah satu Negara yang mempunyai peraturan tentang kewarganegaraan tersebut.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dalam makal ini diajukan pertanyaan sebagai berikut :
- Apa yang di maksud dengan hak dan kewajiban.
- Hak dan kewajiban menurut UUD 1945.
1.3 Tujuan Penulisan
- Agar masyarakat tahu akan hak dan kewajiban dari seorang warga negara Indonesia
- Mengetahui tugas-tugas sebagai warga negara yang baik.
1.4 Manfaat penulisan
- Supaya pembaca dapat mengetahui segala hal yang menyangkut tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara indonesia.
1.5 Metode Penulisan
- Metode yang digunakan dalam penyusunan papper ini adalah metode kajian pustaka, yaitu penulisan dengan mengumpulkan berbagai sumber referensi yang relevan dengan materi yang disajikan dan kemudian dilakukan pengkajian terhadap materi tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN HAK, KEWAJIBAN DAN WARGA NEGARA
- Pengertian Hak
Hak adalah Sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri. Contohnya: hak mendapatkan pengajaran, hak mendapatkan nilai dari guru dan sebagainya. “Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.
- Pengertian Kewajiban
Wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan melulu oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan (Prof. Dr. Notonagoro). Sedangkan Kewajiban adalah Sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Contohnya : melaksanakan tata tertib di sekolah, membayar SPP.
- Pengertian Warga Negara
Warga Negara adalah penduduk yang sepenuhnya dapat diatur oleh Pemerintah Negara tersebut dan mengakui Pemerintahnya sendiri. Adapun pengertian penduduk menurut Kansil adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh peraturan negara yang bersangkutan, diperkenankan mempunyai tempat tinggal pokok (domisili) dalam wilayah negara itu.
2.2 HAK DAN KEWAJIBAN WNI BERDASARKAN UUD 1945
• Menurut pasal 26 ayat (2) UUD 1945
Penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
• Bukan Penduduk, adalah orang-orang asing yang tinggal dalam negara bersifat sementara sesuai dengan visa.
• Istilah Kewarganegaraan (citizenship) memiliki arti keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dengan warga negara, atau segala hal yang berhubungan dengan warga negara. Pengertian kewarganegaraan dapat dibedakan dalam arti : 1) Yuridis dan Sosiologis, dan 2) Formil dan Materiil.
- Contoh Hak Warga Negara Indonesia
1. Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum
2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
3. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan
4. Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai
5. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
6. Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari serangan musuh
7. Setiap warga negara memiliki hak sama dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sesuai undang-undang yang berlaku
- Contoh Kewajiban Warga Negara Indonesia
1. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara indonesia dari serangan musuh
2. Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda)
3. Setiap warga negara wajib mentaati serta menjunjung tinggi dasar negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, serta dijalankan dengan sebaik-baiknya
4. Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara indonesia
5. Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah yang lebih baik
HAK WARGA : Negara Belum Penuhi Kewajiban
Meskipun di tingkat nasional belum ada keputusan tentang keberadaan Ahmadiyah, peraturan Bupati Pandeglang, Banten, yang melarang keberadaan kelompok itu mulai berlaku tanggal 21 Februari. Hal ini kembali menunjukkan lemahnya komitmen negara melindungi hak-hak dasar warga negara.
Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah dalam pernyataannya di Jakarta, Rabu (23/2), meminta agar pemerintah pusat menyikapi peraturan Bupati Pandeglang tersebut karena muatannya mengingkari mandat UUD 1945, terutama kewajiban negara menjamin hak beragama warga negara.
Menurut Yuniyanti, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri perlu mencegah lahirnya kebijakan di tingkat pusat hingga daerah yang bertentangan dengan konstitusi.
Komisioner dan Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan KH Husein Muhammad mengkhawatirkan peraturan bupati tersebut akan ditiru oleh daerah-daerah lain. Peraturan itu pun bertentangan dengan peraturan di tingkat nasional yang tidak melarang keberadaan Ahmadiyah.
Lahirnya peraturan bupati tersebut menambah jumlah peraturan yang terbit di daerah (perda) yang mendiskriminasi perempuan. KH Husein menyebut, ada 189 perda yang mendiskriminasi perempuan dan bertentangan dengan konstitusi. Komnas Perempuan sudah menyampaikan hal ini kepada Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, dan Bappenas. ”Umumnya pejabat di kementerian tidak memahami perda-perda tersebut mendiskriminasi,” papar KH Husein.
Komnas Perempuan berinisiatif membangun jaringan reformis—terdiri dari eksekutif, legislatif, akademisi, media, dan lembaga swadaya masyarakat—di 16 kabupaten/kota di 7 provinsi yang memiliki perda bermasalah, dan kini juga memantau kerja mereka di dalam jaringan.
Menurut KH Husein, di lapangan ditemui banyak masalah. Mulai dari penyusunan perda yang tidak sesuai UUD 1945 hingga tidak lengkapnya partisipasi masyarakat karena tidak mengundang korban.
Lebih tegas
Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriani meminta pemerintah bersikap lebih tegas menertibkan perda berkaitan Ahmadiyah. Di lapangan, surat keputusan bersama tiga menteri multitafsir, mendorong konflik antarwarga.
Perempuan dan anak warga Ahmadiyah mengalami kekerasan berlapis, mulai dari stigma atas keyakinan oleh masyarakat hingga institusi pendidikan hingga ancaman kekerasan seksual. Dalam kekerasan di Cikeusik, Pandeglang, menurut KH Husein, seorang ibu warga Ahmadiyah mengalami keguguran kehamilan.
”Kami sudah minta pencabutan perda-perda yang mendiskriminasi. Untuk perda berhubungan dengan pungutan retribusi, Menteri Keuangan bisa membatalkan perda tersebut, tetapi untuk perda yang mendiskriminasi perempuan pemerintah pusat tak bertindak?” gugat KH Husein.
Dalam wawancara terpisah, pengajar di IAIN Sunan Kalijaga, Noorhaidi Hasan PhD, mengatakan, pemerintah harus bersikap tegas dalam menjaga landasan berpijak bersama (common platform) yang telah menjadi kesepakatan berbagai pihak yang tertuang dalam konstitusi. Di dalam menjaga landasan pijak bersama itu pemerintah juga harus bersikap adil, tidak memihak kepada kelompok besar yang menjadi arus utama.
Konflik agama yang terjadi saat ini disebabkan sikap ambivalen pemerintah dalam mengawal keberagaman beragama. Seharusnya negara memiliki manajemen pengelolaan keragaman agama tanpa meninggalkan semangat demokrasi.
Dalam globalisasi, tarikan dari tradisional berbasis agama, suku, dan kelompok akan menguat karena banyak anggota masyarakat kehilangan identitasnya. Perda-perda yang bernapaskan agama, menurut Noorhaidi, adalah bagian dari politik identitas di satu sisi, sementara di sisi lain juga katup penyalur dari menguatnya revitalisasi agama sebagai solusi terhadap berbagai persoalan yang ditimbulkan globalisasi.
Friksi muncul ketika globalisasi di satu sisi membuat tidak ada otoritas tunggal dalam menentukan makna simbol-simbol keagamaan, di sisi lain tarikan dari loyalitas tradisional juga menguat.
Karena itu, sikap tegas negara dibutuhkan dalam penegakan hukum disertai agenda sistematis menumbuhkan semangat keberagaman. (NMP)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hak adalah Sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri. Sedangkan Kewajiban adalah Sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Kedua harus menyatu, maksudnya dikala hak-hak kita sebagai warga negara telah didapatkan, maka kita juga harus menenuaikan kewajiban kita kepada negara seperti: membela negara, ikut andil dalam mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang positif yang bisa memajukan bangsa ini.
Warga Negara adalah penduduk yang sepenuhnya dapat diatur oleh Pemerintah Negara tersebut dan mengakui Pemerintahnya sendiri. Adapun pengertian penduduk menurut Kansil adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh peraturan negara yang bersangkutan, diperkenankan mempunyai tempat tinggal pokok (domisili) dalam wilayah negara itu.
Hak-Hak kita warga negara sebagai anggota masyarakat telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar sebagai berikut:
Pasal 27 (2) : Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupannya yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 30 (1) : Tiap-tiap warga negara berhak ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
Pasal 31 (1) : Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
Di samping adanya pasal-pasal yang menyebutkan tentang hak-hak warga negara, di Undang-Undang Dasar juga terdapat di dalamnya tentang kewajiban-kewajiban kita warga negara sebagai anggota masyarkat, adapun bunyinya sebagai berikut:.
Pasal 27 (1) : Segala Warga negara…..wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 30 (1) : Tiap-tiap warga negara berhak ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H.M. Arifin Noor. ISD (Ilmu Sosial Dasar) Untuk UIN, STAIN, PTAIS Semua Fakultas dan Jurusan Komponen MKU. Pustaka Setia: Bandung 2007.
Prof. DR. H. Kaelani, M.S. dan Drs. H. Achmad Zubaidi, M.Si. Pendidikan
Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Penerbit Paradigma:
Yogyakarta 2007.
Kain gringsing adalah satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik teknik dobel ikat dan memerlukan waktu 2-5 tahun. Kain ini berasal dari Desa Tenganan, Bali. Umumnya, masyarakat Tenganan memiliki kain gringsing berusia ratusan tahun yang digunakan dalam upacara khusus. Kata gringsing berasal dari gring yang berarti ‘sakit’ dan sing yang berarti ‘tidak’, sehingga bila digabungkan menjadi ‘tidak sakit’. Maksud yang terkandung di dalam kata tersebut adalah seperti penolak bala. Di Bali, berbagai upacara, seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara keagamaan lain, dilakukan dengan bersandar pada kekuatan kain gringsing.[1][2]
Daftar isi |
Sejarah
Berdasarkan mitos, adanya kain tenun gringsing berawal dari Dewa Indra, pelindung dan guru kehidupan bagi masyarakat Tenganan. Dewa Indra kagum dengan keindahan langit di malam hari dan dia memaparkan keindahan tersebut melalui motif tenunan kepada rakyat pilihannya, yaitu rakyat Tenganan. Dewa itu mengajarkan para wanita untuk menguasai teknik menenun kain gringsing yang melukiskan dan mengabadikan keindahan bintang, bulan, matahari, dan hamparan langit lainnya. Kain tenun yang berwarna gelap alammi digunakan masyarakat Tenganan dalam ritual keagamaan atau adat dan dipercaya memiliki kekuatan magis. Kain ini juga disebut-sebut merupakan alat yang mampu menyembuhkan penyakit dan menangkal pengaruh buruk. Pakar tekstil menyataan bahwa teknik penenunan kain gringsing ini hanya dijumpai di tiga lokasi di dunia, yaitu Tenganan (Indonesia), Jepang, dan India.[3]
Pada tahun 1984, Urs Ramseyer (1984) dalam tulisannya yang berjudul Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali, menyatakan dugaan bahwa masyarakat Tenganan sebagai sesama penganut Dewa Indra merupakan imigran dari India kuno. Imigran tersebut kemungkinan membawa teknik dobel ikat melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh dan mengembangkan teknik tersebut secara independen di Tenganan. Kemungkinan lain adalah para imigran menguraikan kutipan-kutipan dari beberapa jenis tenun patola untuk dikembangkan di Indonesia.[4]
Proses dan Teknik Pembuatan
Buah kemiri yang sudah matang dan jatuh ke tanah untuk pembuatan kain gringsing.
Proses pembuatan kain gringsing dari awal hingga akhir dikerjakan dengan tangan. Benang yang digunakan merupakan hasil pintalan tangan dengan alat pintal tradisional, bukan mesin. Benang tersebut diperoleh dari kapuk berbiji satu yang didatangkan dari Nusa Penida karena hanya di tempat tersebut bisa didapatkan kapuk berbiji satu. Setelah selesai dipintal, benang akan mengalami proses perendaman dalam minyak kemiri sebelum dilanjutkan ke proses ikat dan pewarnaan. Perendaman tersebut bisa berlangsung lebih dari 40 hari hingga maksimum satu tahun dengan penggantian air rendaman setiap 25-49 hari. Semakin lama perendaman, benang akan makin kuat dan lebih lembut.[1]
Buah kemiri (Aleurites moluccana) diambil langsung di hutan Tenganan dan pembuat kain gringsing harus menggunakan kemiri yang benar-benar matang, serta jatuh dari pohonnya. Hal ini sesuai dengan awig-awig (aturan adat) yang menyatakan bahwa beberapa jenis pohon tertentu (kemiri, keluak, tehep, dan durian) yang tumbuh di atas tanah milik individu tidak boleh dipetik oleh pemiliknya, melainkan hatus dibiarkan matang di pohon dan kemudian jatuh.[5]
Benang akan dipintal menjadi sehelai kain yang memiliki panjang (sisi pakan) dan lebar (sisi lungsi) tertentu. Untuk merapatkan hasil tenunan, benang akan didorong menggunakan tulang kelelawar. Kain yang sudah jadi akan diikat oleh juru ikat mengikuti pola tertentu yang sudah ditentukan. Proses pengikatan menggunakan dua warna tali rafia, yaitu jambon dan hijau muda. Setiap ikatan akan dibuka sesuai proses pencelupan warna untuk menghasilkan motif dan pewarnaan yang sesuai.[1]
Proses penataan benang, pengikatan, dan pewarnaan dilakukan pada sisi lungsi dan pakan, sehingga teknik tersebut disebut dobel ikat. Pada teknik tenun ikat biasa, umumnya hanya sisi pakan yang diberi motif, sedangkan sisi lungsi hanya berupa benang polos, atau sebaliknya. Pola yang dibuat pada kain harus ditenun dengan ketrampilan dan ketelitian sehingga setiap warna pada lungsi akan bertemu dengan warna yang sama pada pakan dan menghasilkan motif kain yang terlihat tegas.[1]
Pewarna
Motif kain gringsing hanya menggunakan tiga warna yang disebut tridatu. Pewarna alami yang digunakan dalam pembuatan motif kain gringsing adalah ‘babakan’ (kelopak pohon) Kepundung putih (Baccaurea racemosa) yang dicampur dengan kulit akar mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai warna merah, minyak buah kemiri berusia tua (± 1 tahun) yang dicampur dengan air serbuk/abu kayu sebagai warna kuning, dan pohon Taum untuk warna hitam.[3]
Motif
Konon, dulunya jenis tenun gringsing berjumlah sekitar 20 jenis. Namun, hingga tahun 2010, yang masih dikerjakan hanya ± 14 jenis, beberapa di antaranya adalah:
- Lubeng, dicirikan dengan kalajengking dan berfungsi sebagai busana adat dan digunakan dalam upacara keagamaan. Ada beberapa macam motif Lubeng, yaitu Lubeng Luhur yang berukuran paling panjang (tiga bunga berbentuk kalajengkin yang masih utuh), Lubeng Petang Dasa (satu bunga kalajengking utuh di tengah dan di pinggir hanya setengah), dan Lubeng Pat Likur (ukurannya terkecil).
- Sanan Empeg, dicirikan dengan tiga bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah-hitam. Fungsi kain gringsing bermotif ini adalah sebagai sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu sebagai pelengkap sesajian bagi masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Bagi masyarakat Bali di luar desa Tenganan, kain ini digunakan sebagai penutup bantal/alas kepala orang melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi.
- Cecempakaan, dicirikan dengan bunga cempaka dan berfungsi sebagai busana adat dan upacara keagamaan. Jenis-jenis Gringsing Cecempakaan adalah Cecempakaan Petang Dasa (ukuran empat puluh), Cecempakaan Putri, dan Geringsing Cecempakaan Pat Likur (ukuran 24 benang).
- Cemplong, dicirikan dengan bunga besar di antara bunga-bunga kecil sehingga terlihat ada kekosongan antara bunga yang menjadi cemplong. Gringsing cemplong juga berfungsi sebagai busana adat dan upacara agama. Jenis-jenisnya terdiri dari ukuran Pat Likur (24 benang), senteng/anteng (busana di pinggang wanita), dan ukuran Petang Dasa (40 benang) yang sudah hampir punah.
- Gringsing Isi, motifnya semua berisi atau penuh, tidak ada bagian kain yang kosong. Motif ini berfungsi hanya untuk sarana upacara dan kuran yang ada hanya ukuran Pat Likur (24 benang).
- Wayang, terdiri dari gringsing wayang kebo dan gringsing wayang putri. Motif ini paling sulit dikerjakan dan memerlukan waktu pembuatan hingga 5 tahun. Motif wayang hanya terdiri dari dua warna, yaitu hitam sebagai latar dan garis putih yang relatif halus untuk membentuk sosok wayang. Untuk menciptakan garis putih dengan tersebut diperlukan ketelitian tinggi karena tingkat kesulitan selama pengikatan dan penenunan kain relatif sulit. Wayang kebo memiliki motif wayang lelaki, sedangkan wayang putri hanya berisi motif wayang perempuan.[1]
- Batun Tuung, yang dicirikan dengan biji terung, Ukurannya tidak besar dan digunakan untuk senteng (selendang) pada wanita dan sabuk (ikat pinggang) tubumuhan pada pria. Motif ini sudah hampir punah.[6]
Motif-motif kuno kain gringsing lainnya yang masih dikenal meliputi: Teteledan, Enjekan Siap, Pepare, Gegonggangan, Sitan Pegat, Dinding Ai, Dinding Sigading, dan Talidandan. Warna dan keunikan desain ikat mulai mengalami perubahan dibandingkan dengan motif kain-kain kuno yang sebagian tersimpan di museum-museum di Eropa, seperti Museum Basel, Swiss. Pada tahun 1972, kelompok peneliti dari Museum Fur Volkerkunde, Basel, membawa foto-foto kain gringsing yang sebagian sudah tidak ditemukan lagi di Desa Tenganan. Foto-foto tersebut dipelajari dan dibuat kembali oleh masyarakat Tenganan untuk melestarikan motif-motif kuno kain gringsing.[4
Ada satu lagi alasan kuat, mengapa banyak wisatawan berkunjung ke desa adat Tenganan. Selain terpesona pada kehidupan mereka maupun ritual tiap tahun yaitu perang pandan, banyak di antara mereka datang ke sana untuk membeli kain Gringsing. Kain Gringsing merupakan salah satu kesenian peninggalan leluhur desa Tenganan. Tercatat di dunia, selain Kimono asal jepang, kain Gringsing lah yang juga menggunakan seni tenun ikat ganda dalam pembuatannya.
Tenun ikat ganda memiliki kerumitan lebih dibanding tenun ikat tunggal biasa. Dalam tenun ikat ganda, motif kain sudah direncanakan sejak pembuatan warna pada benangnya. Dalam seni menenun Gringsing dikenal 2 macam benang, benang vertikal disebut Lusi dan horizontal disebut Pakan. Kedua benang tersebut, vertikal dan horizontal, warna seutas benangnya berbeda-beda, dan harus ditenun agar dapat terbentuk motif yang sudah direncanakan.
Semua bahan yang diperlukan dalam pembuatan kain Gringsing terbuat dari alam dan dapat ditemukan di sekitar perkebunan desa Tenganan, kecuali daun Taum atau daun Indigo sebagai pembuat warna biru. Proses pembuatannya pun dilakukan secara tradisional dengan tangan tanpa mesin dan memakan waktu lama. Tak heran jika harga jual satu kain bernilai tinggi. Ukuran terkecil saja, sekitar 60 cm x 150 cm berharga 400 ratus hingga 500 ribu rupiah.
Proses pertama pembuatan kain Gringsing dimulai dengan pembuatan warna pada benang. Umumnya warna kain Gringsing hanya terdapat 3 sampai 4 warna, kuning, biru, merah, dan hitam. Jaman dahulu, sempat tersiar kabar kalau pembuatan warna merah pada kain Gringsing terbuat dari darah manusia. Kabar tersebut sengaja mereka sebarkan agar desa lain di luar desa Tenganan tidak ada yang meniru proses pewarnaan alami mereka. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga kekhasan kesenian mereka.
Proses pewarnaan pertama adalah pemberian warna dasar pada benang, yaitu warna kuning. Untuk menghasilkan warna kuning, benang direndam di minyak kemiri selama 1 bulan 7 hari. Kemudian dijemur hingga benar-benar kering. Setelah itu, benang berwarna kuning tersebut dililitkan pada kerangka kayu sesuai dengan ukuran kain Gringsing yang hendak dibuat. Setelah ketahuan ukurannya, baru dibuatkan pola motif. Cara pembuatannya adalah motif yang hendak diberi warna merah, hitam, ataupun mempertahankan warna kuning tersebut, dililitkan tali rafia berbeda warna sesuai warna yang hendak dibuat. Sisanya dibiarkan terbuka tanpa lilitan rafia untuk dicelup ke rendaman daun Taum atau daun Indigo selama seminggu untuk menghasilkan warna biru. Untuk proses ini, benang dikirim ke kota dekat pantai agar menghasilkan warna biru yang lebih maksimal. Mengapa pantai? Karena kadar air di sana lebih sedikit.
Kemudian setelah pemberian warna biru, benang dikirim lagi ke Tenganan untuk dilanjutkan kembali proses pewarnaannya yaitu warna merah. Untuk menghasilkan warna merah, digunakan rendaman akar kulit sunti atau mengkudu. Pewarnaan merah ini sangat memerlukan waktu lama bisa 2 sampai 4 tahun karena proses pengeringannya membutuhkan waktu banyak. Itupun sudah dipercepat, dulu bisa memakan waktu hingga 10 tahun karena pengeringannya menggunakan angin bukan matahari demi menghasilkan warna merah yang lebih bagus. Proses pewarnaan merah merupakan proses terakhir. Hitam sendiri bisa dibuat dari warna biru yang ditimpa warna merah berkali-kali.
Setelah proses pewarnaan selesai, benang-benang tersebut direndam ke dalam air beras untuk memperkuat warna pada benang dan kemudian dijemur cukup sehari saja. Setelah semua proses itu selesai, baru dilakukan tenunan. Menenun untuk mendapatkan motif yang diinginkan memerlukan ketelitian dan kesabaran. Proses menenun kain Gringsing itu sendiri memerlukan waktu 3 hingga 4 minggu.
Arti kata Gringsing itu sendiri jika diterjemahkan secara harafiah berarti ‘tidak sakit’. Ketiga warna pada kain Gringsing yaitu merah melambangkan api, putih atau kuning berarti angin, dan hitam berarti air. Semua elemen itu adalah elemen penyeimbang yang diperlukan tubuh agar tidak sakit. Karena itu dipercaya, tenunan kain Gringsing memberikan kekuatan tersendiri pada si pemakai. Dalam masyarakat Bali secara keseluruhan, kain ini dipakai dalam uparaca khusus, salah satunya upacara potong gigi ketika hendak menikah untuk memberikan kekuatan pada sang calon mempelai. Bahkan beberapa orang menyimpang benang berwarnanya saja seakan sebagai jimat kekuatan mereka.
Inilah kerajinan yang paling terkenal sekaligus dibanggakan oleh penduduk desa Tenganan. Kain khasnya telah menjadi incaran para kolektor kain di seluruh dunia. Yang unik dari kain ini, semakin tua kain tersebut, warna-warnanya semakin keluar dan bagus. Tidak seperti kain pada umumnya yang semakin memudar warnanya. Untuk menghasilkan warna yang lebih bagus lagi, pencuciannya pun unik, cukup dikasih air hujan, lebih lama lebih baik. Kandungan dalam air hujan dapat mengeluarkan warna pada kain Gringsing dibanding air tawar biasa
Motif kain tenun tenganan pegringsingan
ada sejumlah motif kain gringsing yakni lubeng, wayang putri, wayang kebo, cecempakan, cemplong, dingding sigading, dingsing ai, pepare, pat likur, pedang dasa, semplang, cawet, anteng dan lainnya. Motif-motif itu sendiri penuh dengan simbol-simbol seperti tapak dara (tanda silang) dan lainnya.
Ragam Jenis Tenun Gringsing
Konon dahulu, ragam jenis Tenun Geringsing ada 20 jenis. Namun kini yang masih dikerjakan hanya 14 jenis yaitu:
1) Geringsing Lubeng, yang terdiri
Gringsing Lubeng Luhur, Gringsing Lubeng Petang Dasa dan Gningsing Lubeng Pat Likur.
Motifnya bernama Lubeng. Kekhasannya adalah berisi kalajengking. Lubeng Luhur ukurannya paling panjang dengan 3 bunga berbentuk kalajengking yang masih utuh bentuknya. Sedangkan pada Lubeng Petang Dasa bunga kalajengkingnya utuh hanya satu di tengah sedang yang di pinggir hanya setengah-setengah. Sedang Lubeng Pat Likur adalah yang ukurannya terkecil. Fungsinya sebagai busana adat dan upacara agama.
2) Geringsing Sanan Empeg
Geringsing Sanan Empeg fungsinya hanya sebagai sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu sebagai pelengkap sesajian bagi masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Sedangkan bagi masyarakat Bali di luar desa Tenganan hanya dipergunakan sebagai penutup bantal/alas kepala orang melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi. Ciri khas dan motif Sanan Empeg adalah adanya tiga bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah dan hitam.
3) Geringsing Cecempakan
Geringsing Cecempakan bermotif bunga cempaka. jenisnya: Gringsing Cecempakan Petang Dasa (ukuran empat puluh). Geringsing Cecempakan Putri, Geringsing Cecempakan Pat Likur (ukuran 24 benang). Fungsinya adalah sebagai busana adat dan upacara agama.
4) Geringsing Cemplong.
Motif Geringsing Cemplong adalah karena ada bunga-bunga besar diantara bunga-bunga kecil seolah-olah ada kekosongan/lobang-lobang diantara bunga itu menjadi kelihatan cemplong. Jenisnya : ukuran Pat Likur (24 benang), senteng/anteng (busana di pinggang wanita), sedangkan yang ukuran Petang Dasa (40 benang) sudah hampir punah. Fungsinya adalah sebagai busana adat dan upacara agama.
5) Geringsing Isi.
Pada Geringsing Isi ini sesuai namanya pada motifnya semua berisi atau penuh, tidak ada bagian kain yang kosong, ukuran yang ada hanya ukuran Pat Likur (24 benang) dan berfungsi hanya untuk sarana upacara, bukan untuk busana.
6) Geringsing Wayang.
Motifnya ada dua yaitu Geringsing Wayang Kebo dan Geringsing Wayang Putri.
Fungsi dan ukuran kedua kain ini sama yaitu untuk selendang, yang berbeda adalah motifnya. Pada Geringsing Wayang Kebo teledunya (Kalajengkingnya) bergandengan sedangkan pada Gringsing Wayang Putri lepas . Pada tenun Geringsing Wayang Kebo berisi motif wayang laki dan wanita. Sedangkan pada tenun Geringsing Wayang Putri hanya berisi motif Wayang Wanita.
7) Geringsing Batun Tuung.
Batun Tuung artinya biji terong. Dengan demikian pada Geringsing Batun Tuung motifnya penuh dengan biji-biji terong. Ukurannya tidak besar, untuk senteng (selendang) pada wanita dan untuk sabuk (ikat pinggang) tubumuhan bagi pria. Jenis Geringsing ini sudah hampir punah.
Yang saya kaji ini adalah salah satu bagian dari kekawin ramayana, yang mengisahkan tentang Wibhisana yang diberikan wejangan oleh Sang Rama karena telah berhasil mengalahkan kakaknya yaitu Rawana dan berhasil merebut tahta kerajaan Alengka.
v Kekawin Ramayana :
SARISI : 0-0/00-/0–/00 = 11
v Kekawin :
- Hyang Indra Yama Suryya Candra Nila
- Kuwera Barunagni nahan wwalu
- Sira ta maka angga sang bhupati
- Matangniran inisti asta brata
v Arti :
- Hyang Indra, Yama, Surya, Candra, Nila
- Kuwera, Baruna, Agni punika bacakan asta Dewatane
- Punika patut ragayang sejroning dados pemimpin
- Punika mawinan dados pemimpin ngulengan pikayunan ring sane kabaos asta brata
v Kesimpulannya :
Untuk menjadi seorang pemimpin harus menguasai sifat-sifat ke-delapan dewa tersebut yang disebut dengan asta dewa yaitu: Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kwera, Baruna, dan Agni. Sifat dari kedelapan dewa tersebut harus dimiliki oleh seorang pemimpin dan harus dijalani yang sering disebut dengan asta brata.
v Kekawin :
- Nihan brata ni Sang Hyang Indralapen,
- Siranghudanaken tumrepting jagat,
- Sira ta tuladenta Indrabrata,
- Sudana ya hudanta manglyabi rat,
v Artos:
- Sapunika indik pamargin Sang Hyang Indrayaning Jaga tiru
- Ida makarya sabeh muatang mangda jagate landuh
- Indik pamargin Sang Hyang Indra punika patut pisan katiru
- Mapunia utawi maupadan ring pandita lan ring sang miskin punika satmaka cokor idewa sampun ngaryanin ujan ring jagat lengka.
v Kesimpulannya :
Sifat yang pertama sebagai seorang pemimpin yaitu seperti sifat Dewa Indra yaitu dapat mencurahkan hujan demi suburnya dunia yang artinya sebagai pemimpin harus bisa menyulap daerah kering menjadi daerah yang berair atau tak kekurangan air
v Kekawin :
- Yamabrata dhumanda karmmahala,
- Sirekana malung maling yar pejah,
- Umilwa kita malwa ng olah salah,
- Asing umawarang sarah prih pati,
v Artos :
- Ida Sang Hyang Yama ngeninin danda ring sang duratmaka
- Ida Sang Hyang Yama sae ngeninin danda ring atmane
- Cokor idewa patut taler ngeninin danda ring anake sane makardi tan rahayu
- Patut ngicalang sang sane duratmaka sane mapikayun jaga ngugang gumi
v Kesimpulannya :
Brata Hyang Yama yaitu menghukum orang yang berbuat kejahatan, yang artinya seorang pemimpin harus berani menjalankan keadilan tanpa memandang jabatan, tidak memihak kepada siapapun dan bisa menjalankan aturan –aturan yang ada.
v Kekawin :
- Bhatara Rawi mangisep wwai lana,
- Ndatan kara sanaih-sanaih de nira,
- Samangkana kitat alap pangguhen,
- Tatar gelisa yeka Surya brata,
v Artos :
- Sang Hyang Surya stata mangisep toya
- Sakewanten nenten ja premangkin kewanten alon-alon
- Punika sane patut kemargiang mangda prasida mikolihang kakertan jagat
- Nenten pati kadropon punika sane kabaos Surya Brata
v Kesimpulannya :
Surya brata yaitu harus dapat memberikan jalan terang kepada semua umatnya, seorang pemimpin harus bisa memberikan jalan keluar kepada semua rakyatnya, dan juga terhadap permasalahan yang menimpa Negaranya agar tidak rakyat yang menjadi korban. Dan juga tatkala Sanghyang Surya menghisap air beliau melakukannya dengan pelan-pelan, begitu pula dengan seorang pemimpin agar dapat memutuskan sesuatu hal dengan tidak terburu nafsu harus dipikirkan matang-matang.
v Kekawin :
- Sasibrata humarsuka ng rat kabeh,
- Ulahta mredu komala yan katon,
- Guyunta mamanis ya tulyamreta,
- Asing matuha panditat swagatan,
v Artos :
- Pamargin Ida Sang Hyang Candra satata ngaledangin kayun sarwa maurip
- Pamargin cokor idewa sane bamban alus tur nyonyor manis, setata pacang ngeledangin ia i panjak.
- Kenyung lan samitan cokor idewasane rahayu, prasida ngetisin manah i panjak
- Setata bakti ring anak lingsir pamukiane mantuke ring sang pandita
v Kesimpulannya :
Seorang pemimpin harus laksana bulan, yaitu dapat memikat hati para rakyatnya dengan senyum yang manis, tingkah laku yang baik, dan tutur kata yang lemah lembut agar seorang pemimpin tersebut dihormati oleh rakyatnya danmembuat semua lapisan rakyatnya merasa senang.
v Kekawin :
- Hangin ta kita yat panginte ulah,
- Kumawruhana buddhi ning rat kabeh,
- Sucara ya panon ta natan katon,
- Ya dibya guna suksma Bayubrata,
v Artos :
- Cokor idewa tan bina sakadi angin, ritatkala dados telik sandi
- Mangda uning ring pretingkah masyarakat,
- Telik sandine punika pinaka panyingakan cokor idewa sane nenten kantun
- Punika pamargin Sang Hyang Bayu sane wicaksana tur rasia
v Kesimpulannya :
Seorang pemimpin laksana Dewa Bayu yang berupa angin yaitu seorang pemimpin harus mampu merakyat, berada ditengah-tengah rakyatnya, dan juga seorang pemimpin itu bisa merasakan derita dari masyarakat. Dan juga seorang pemimpin harus mampu memata-matai masyarakat, mampu mengetahui masalah yang diderita rakyatnya dan mampu melengkapi segala kebutuhan yang dibutuhkan rakyatnya.
v Kekawin :
- Mamuktya ng upabhoga sinambing inak,
- Taman panepengeng pangan mwang inum,
- Manandanga mabhusana mahyasa,
- Nahan ta Dhanadabratanung tirun,
v Artos :
- Ritatkala ngalap kasukan
- Sampunang kantos langkung ritatkala maajengan wiadin mainum-inuman
- Yadian ritatkala nganggen busana wiadin papayasan
- Sapunika pamargan Sang Hyang Kuwera sane patut Tiru
v Kesimpulannya :
Pemimpin harus mampu mengatur hawa nafsu, tidak berfoya foya, tidak mengeluarkan uang yang berlebihan untuk kepentingan dirinya dan juga seorang pemimpin harus bisa mengatur keuangan Negaranya dan melengkapi segala sesuatu yang diperlukan oleh negaranya.
v Kekawin :
- Bhatara Barunanggego sanjata,
- Maha wisa nagapasangapus,
- Sirata tuladen ta pasa brata,
- Kitomapusana ng watek durjjana,
v Artos :
- Sang Hyang Baruna ngagem senjata Nagapasah
- Sane mawisya mranen sane stata negul
- Pamrgan Ida Sang Hyang Baruna taler patut margiang cokor idewa
- Cokor idewa madue kuasa ngejuk tur ngrangkeng sang duratmaka
v Kesimpulannya :
Seorang pemimpin bagaikan Dewa Baruna yang membawa senjata Naga Tali yang berbisa, Seorang Pemimpin Harus memiliki omongan yang tajam, yang dapat dipercaya oleh rakyatnya tidak berbohong dan berdusta harus menepati segala janjinya. Pemimpin juga dapat melumpuhkan musuh dengan omongannya yang tajam karena seorang pemimpin merupakan ujung tombak dari negaranya, apabila seorang pemimpin sudah tidak dipervaya maka Negaranya akan Runtuh.
Komparasi lakon adalah membandingkan sebuah lakon yang dibawakan oleh dua dalang yang berbeda, yang dimainkan di tempat yang berbeda pula, yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan dan persamaan, kelebihan maupun kekurangan dari masing-masing dalang yang membawakan lakon tersebut. Dalam meng-komparasikan sebuah lakon lebih menitik beratkan dari struktur lakonnya, yang meliputi ; sinopsis, tema dan amanat, alur, struktur alur dramatik lakon, penokohan, dan yang terakhir adalah setting (latar belakang), disini saya akan mengkomparasikan lakon Bhatara Kala yang dibawakan oleh 2 dalang yang berbeda, yaitu : I Made Setiaria, S.SP dan I Kadek Widnyana, S.SP, M.Si, langsung aja bisa cekidot ke bawah.
Lakon Bhatara Kala versi dalang I Made Setiaria, S.SP
v Sinopsis
Sang Hyang Adikala
Pada suatu ketika suhu dunia yang mula-mula sangat sejuk berubah menjadi panas yang tak terhingga, yang menyebabkan tiga alam menjadi panas yaitu alam bawah (Yamaloka), alam tengah (alam manusia) dan alam atas (alam dewa) yang membuat resah semua umat manusia maupun para dewa, Dewa Indra yang berada di Indraloka menjadi bingung akan panas yang begitu dahsyatnya, sehingga dia mengutus Bhagawan Narada dan pengikutnya Tualen untuk menyelidiki apa yang terjadi. Setelah diselidiki, Bhagawan Narada melapor kepada Dewa Indra bahwa ada api kecil yang berada ditengah laut yang menyebabkan panas itu terjadi. Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Indrapun memerintahkan Bhagawan Narada dan Tualen untuk mengerahkan semua para dewa untuk memadamkan api tersebut, namun tiap kali para dewa berusaha untuk memadamkannya, api tersebut bertambah besar dan berubah menjadi raksasa yang mengerikan. Raksasa itu menjadi sangat marah karena tidurnya diganggu, para dewapun kewalahan menghadapi raksasa tersebut dan membuat para dewa menanggung kekalahan. Seketika itu juga Dewa Siwa datang dan melerai pertempuran itu, Dewa Siwa memberikan wejangan pada raksasa tersebut dan memberitahu bahwa dirinya merupakan anak dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati, yang pada saat bersenang-senang diatas lautan dan tidak disengaja menjatuhkan sperma di tengah laut sehingga api yang panas itu muncul. Pada saat itu juga raksasa itu diberi nama Sang Hyang Adikala karena kesaktianya melebihi para dewa, Dewa Siwa juga memberikan aturan-aturan yang membenarkan dia untuk bertempat tinggal dan apa yang menjadi makanannya.
v Tema dan Amanat
Tema yang saya ambil dari lakon Sang Hyang Adikala ini adalah keisyafan Sang Hyang Adikala, dan amanatnya adalah kita sebagai manusia harus mengikuti aturan yang ada dalam melakukan segala hal. Seperti halnya Sang Hyang Siwa memberikan wejangan kepada Sang Hyang Adikala
v Alur
Alur yang digunakan adalah Alur maju : dilihat dari bentuk cerita yang beurutan dari awal sampai akhir cerita.
v Struktur Alur Dramatik
- Eksposisi : tahap ini ada pada saat dunia menjadi sangat panas sehingga menembus surga yaitu tempat dari para dewa. Dewa Indra menjadi resah dan rasa kebingungan menyelimuti dirinya, sehingga dia mengutus Bhagawan Narada dan Tualen untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
- Konflik : konflik terjadi pada saat Dewa Indra mengetahui bahwa ada api kecil yang berada ditengah laut yang menyebabkan dunia begitu panas sehingga menyebabkan para dewa menjadi resah. Dewa indra pun memerintahkan Bhagawan Narada dan Tualen untuk mengerahkan seluruh para dewa agar memadamkan api tersebut
- Komplikasi : peristiwa mulai menggawat terjadi pada saat para dewa berusaha untuk memadamkan api dan api tersebut tidak kunjung padam yang membuat para dewa menjadi kebingungan akan hal tersebut.
- Krisis : klimaks terjadi pada saat api tersebut berubah menjadi raksasa yang sangat sakti dan mengerikan sehingga membuat para dewa menjadi kewalahan menghadapi raksasa yang sedang marah tersebut dan menanggung kekalahan atas pertempuran itu.
- Resolusi : tahap peleraian ini terdapat pada adegan pada saat Dewa Siwa melerai pertempuran antara Sang Hyang Adikala dan para dewa, dan juga pada saat Dewa Siwa memberikan wejangan pada Sang Hyang Adikala bahwa dia adalah putra dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati sehingga mampu meredam amarah dari Sang Hyang Adikala
v Penokohan
Tokoh protagonis : Sang Hyang Adikala, karena merupakan tokoh utama dalam lakon Bhatara Kala versi dalang I Made Setiaria
Tokoh antagonis : Dewa Indra, karena merupakn lawan atau musuh dari tokoh utama yaitu Sang Hyang Adikala
Tokoh tritagonis : Dewa Siwa melerai pertempuran antara Sang Hyang Adikala dengan para dewa dan juga memberikan solusi agar Sang Hyang Adikala tidak merasa marah lagi.
Tokoh pembantu : Bhagawan Narada dan Tualen karena mereka diperintahkan untuk menyelidiki penyebab terjadinya suhu yang teramat panas dan juga pada saat diutus untuk mengerahkan seluruh para dewa dan juga para Dewa itu Sendiri karena telah membantu Dewa Indra menyerang Sang Hyang Adikala
v Setting
- Di dunia manusia pada saat suhu dunia berubah menjadi panas
- Di Indraloka pada saat Dewa Indra menjadi resah dan mengutus Bhagwan Narada dan Tualen mengerahkan seluruh para dewa
- Di atas samudra pada saat para dewa berusaha untuk memadamkan api dan bertempur melawan Sang Hyang Adikala dan di lerai oleh Dewa Siwa.
Lakon Bhatara Kala versi dalang I Kadek Widnyana, S.SP, M.Si
v Sinopsis
Kama Salah
Suatu ketika, Sang Hyang Siwa dan Dewi Parwati berjalan-jalan melintasi samudra yang indah. Namun secara tiba-tiba angin yang besar datang menghempaskan pakain Dewi Uma dan terlihat lekuk tubuhnya oleh Sang Hyang Siwa, Sang Hyang Siwa pun terbawa nafsu dan meneteskan kama (sperma) beliau ditengah laut. Setelah lama berlalu kama yang jatuh di tengah lautan tersebut berubah menjadi raksasa besar yang mengerikan yang bernama Sang Hyang kala dan memakan semua yang ia temukan termasuk manusia. Melihat kejadian ini Bhagawan Narada beserta pengikutnya yaitu tualen, melapor ke hadapan Dewa Indra, Dewa Indra menjadi resah mendengarkan laporan tersebut, dan akhirnya Dewa Indra mengutus para dewa untuk mengalahkan Sang Hyang Kala. Namun apa daya, seluruh pasukan dewa berhasil dikalahkan oleh raksasa sakti tersebut bahkan Dewa Indrapun merasa kewalahan melawannya. Secara tidak disengaja Sang Hyang Siwa lewat tepat di arena pertempuran itu dan secara tiba-tiba dia menyerang Sang Hyang Siwa, Sang Hyang Siwapun merasa terkejut dan menjadi kelabakan. Sang Hyang Siwa berusaha menenangkan Sang Hyang Kala dari kemarahannya dan mengajaknya berbicara serta memberikan teka teki kepada Sang Hyang Kala, sang Hyang Kala pun tidak bisa menebak teka teki yang diberikan Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Siwa mengungkap kebenaran bahwa Sang Hyang Kala merupakan anak dari Sang Hyang Siwa.
v Tema dan Amanat
Tema yang saya ambil adalah kegagalan dalam mendidik anak, dan amanat yang bisa diambil adalah jika salah mendidik anak akan fatal akibatnya, itu sebabnya hubungan antara orang tua dan anak harus saling mengisi satu sama lain, jika tidak anak akan menjadi berandalan seperti halnya pada cerita kama salah.
v Alur
Alur yang digunakan adalah alur maju berdasarkan cerita yang berurutan dari awal sampai akhir cerita.
v Struktur alur dramatik
- Eksposisi : pada saat Sang Hyang Siwa dan Dewi Parwati berjalan-jalan mengelilingi samudra yang indah.
- Konflik : yaitu pada saat kama Sang Hyang Siwa jatuh ditengah laut dan berubah menjadi raksasa sakti yang mengerikan yaitu Sang Hyang Kala
- Komplikasi : pada Saat Sang Hyang Kala merajalela dan memakan segala sesuatu termasuk manusia.
- Krisis : pada saat Dewa Indra mengutus para dewa untuk berperang melawan Sang Hyang Kala dan para dewa mengalami kekalahan.
- Resolusi : pada saat Sang Hyang Siwa memberikan teka teki kepada Sang Hyang Kala dan memberikan aturan-aturan yang harus ditaati.
v Penokohan
Tokoh protagonis : Sang Hyang Kala, karena merupakn pemeran tokoh utama dari lakon bhatara Kala versi dalang I Kadek Widnyana
Tokoh tritagonis : Sang Hyang Siwa karena berhasil melerai peperangan antara Sang Hyang Kala dan para dewa sekaligus memberikan wejangan dan petuah-petuah kepada Sang Hyang Kala.
Tokoh antagonis : Dewa Indra, karena merupakan lawan dari Sang Hyang Kala
Tokoh pembantu : Bhagawan Narada dan Tualen karena membantu melaporka kejadian yang ada di bumi kepada Dewa Indra, dan juga para Dewa yang menjadi pasukan Dewa Indra.
v Setting
- Di atas samudra : pada saat Sang Hyang Siwa Berjalan-jalan dengan istrinya Dewi Parwati
- Di bumi : pada saat kekacauan yang dibuat oleh Sang Hyang Kala dan pada saat peperangan berlangsung dan juga pada saat Sang Hyang Siwa memberikan wejangan kepada Sang Hyang Kala.
- Di Indraloka : pada saat Bhagawan Narada dan Tualen melapor pada Dewa Indra.
Komparasi lakon Bhatara Kala versi dalang I Made Setiaria, S .SP dengan dalang I Kadek Widnyana, S.SP, M. Si.
v Perbedaan :
- Dari segi judulnya yang berbeda, jika dalang I Made Setiaria menggunakan judul Sang Hyang Adikala sedangkan versi dalang I Kadek Widnyana menggunakan judul Kama Salah.
- Dari Segi Sinopsisnya, dalang I Made Setiaria memulainya dari perubahan drastis suhu yang ada di bumi, sedangkan versi Dalang I Kadek Widnyana dimulai dari Sang Hyang Siwa bejalan-jalan dengan istrinya yaitu Dewi Parwati.
- Dari segi alurnya, dalang I Made Setiaria menggunakan 2 alur yaitu alur maju dan alur mundur, sedangkan dalang I Kadek Widnyana hanya menggunakan 1 alur saja yaitu alur mundur.
v Persamaan :
- Dari segi cerita, sama-sama menggunakan tokoh Bhatara Kala menjadi peran utama.
- Dari segi latar, sama-sama menggunakan tiga latar yaitu di bumi atau alam manusia, diatas samudra dan di Indraloka.
- Di akhir cerita sama-sama diakhiri dengan dewa siwa sebagai pelerai pertempuran antara Sang Hyang Kala dengan para dewa.
- Dari segi penokohan lakon ini sama.
v Kesimpulan
Dalam sebuah lakon yang sama, jika diceritakan atau dipentaskan oleh dalang yang berbeda, maka dalam pementasan lakon tersebut pasti akan timbul perbedaan dan persamaan. Walaupun ada kesan berbeda, itu hanyalah tergantung dari sanggit dalangnya. Seorang dalang bebas untuk berkreasi membuat pementasannya menarik, namun tidak boleh keluar atau menyimpang dari pakem aslinya.
mungkin itu salah satu contoh komparasi lakon, tapi jangan lupa di like ya,,,,
Geguritan adalah sebuah cerita yang dituangkan ke dalam bentuk pupuh, dalam geguritan Bima Swarga ini pupuh yang digunakan adalah pupuh adri, dalam geguritan ini menceritakan dimana semua arwah orang yang meninggal diseleksi oleh sang Jogor Manik dan Sang Suratma di Yama Loka, mulai dari ; petani, preman, dan arwah dari mantan pelacur. untuk lebih jelasnya langsung aja cekidot di bawah ini :
. Ana wong tan wisaya manunun, abot pamargine makamben belulang kambing, cicinge galak mangugut, kamben tapih telas renyuh, saget ngenah druwene, atmane nemah memisuh, Sang Jgor Manik angucap,Wastu tiba maring kawah.
Anak muani akeh lulut, ring ragan titiange, sami tan titiyang nyerihin,bocok bagus sami sampun, titiang makerama ditu, taler titiang nora bagya, lemah lemeng pang plukutsu, tan wenten titiang ngetangang, titiang ngame ngame pianak.
Ne apisan wenten neng pang satus, ngrebut trunane, taler titiang aweh sami, manah titiang mapitulung, ring wang katunan puniku, mangda ipun nawang rasa, titiang nenten takut tuyuh, kewanten ingen ingenang, titang purun dados dasar.
Pecak kawisayan titiang dumun, duk ring marcapada, titiang demen ring anak sakit, sapeteng peteng puniku,titiang mrika ngalih bayu, wireh melede ring erah, rikalaning rare metu, punika idamang titiang, yan tan polih nora suka.
Wenten anak istri lintang ayu, prapteng madya pada, mangkin tan kawarna teki, kancit rauh atma istri ngayang ngayang, raga lempung pamulune bamban alus, Sang Jogor Manik angucap, atma istri kita prapti warah gingsul, matyang apa ta kuna, mwang kawusayanmu warah dening asru, sang atma angucap pukuluningsun yang mami, pejahingsun sinadak awak iringinguang, rare metu ring jero weteng puniku, rah tanpa pegatan, sadina pejah yang mami, apaningsun kapua jaruh ring wong lanang.
Ada wawu rauh, ngojog bale manik, ulat bareng padaduanan, yan bangsa orain kaki, Sang Sri Bhagawan Kenying, tityang brahmana putus, kija ke laku titiyang, ngungsi swargane, luwih patut ipun, linggih Ida Sang Pandhita.
Ih kita wiku dadakan, kasepansepan mabersih,mangulah nampi daksina, tong nawang upeti stiti, sangkan mai teka paling, twara nawang nawang kangin kauh, mangulah enggal majalan, asingenah kejagjagin, mapi weruh sujati tong nawang paran.
Yan cai keneh awang, swargane wekasing luih,twara gampang nagih nawang, tanpa yasa nagih luwih,budi enggal mapikolih,sangkan mula takut tuyuh,idupe mangawi dosa, karma wasanande tampi,patut ingsun maweh upah ne dikawah.
Kene san lacur katemuang, tan sida ban ngrasanin, antuk laksanane timpang, momone baang mamurti, sangkan jani mapikolih, tata laksanane dumun, demen nguluk nguluk timpal, saking istri mangajakin, sangkan payu,ninggal swarga nglih kawah.
Wenten malih ne ungkuran, cihnane wong jati luih, sekatahing cikra bala, tan wani pada manolih, wireh tejane ngulapin, pamrgane juwa manyujur, ngungsi swarga Siwaloka, apsara apsari sami, ne kautus mendakin baan joli mas.
Tiing petunge mejajar, misi atma pagulanting, angin baret mangampehang,ade pegat palaketik, ulung ring pangkung, sawening tanpa santana.
Kawisayan titiang twah mamacul,lemah lemeng reke, lemah mangebet keladi, peteng manyambangin biu, malinge reke bes liu, tatanduran tiang katah, botor komak kacang jagung, kacang rijig muang pagpagan, biaung ubi kasela.
Undis tabya muang tebu ratu, kekarepa selet, padi gaga jagung jali, kasuna bawang cekuh, base gading muang nyuh, icen ke tityang swargane, pacang kapulain jagung saican paduka bhatara, tityang nyadya ne manumbas.
Sang Jogor Manik angucap asru, atma byut prapta, matyang apa ta iki, muwah kawisayanmu, ibuyut ature ijuk,tityang padem labuh reke, maring pangkung ngalap samlung, sampin tityang wus matekap managih amah amahan.
Ih kita wang gede agul agul, paran sesananta matyang apa ta iki, sang pitra bangras umatur,tityang wantah tukang pukul, yan dot tityang ngalih pangan, maak megal mamaling dumun, nyalanang darah ksatrian, matin tityang rebut desa.
Komentar Terbaru