BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah “Indonesia” sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah salah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei).
Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi (dalam Luxemburg, 1989 : 5). Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. (dalam Sarjidu, 2004 : 2). Sastra Indonesia modern yang menjadi tonggak pembeda dengan sastra Melayu Lama adalah sastra Barat atau Eropa dalam bidang prosa yang kemudian dikenal dengan istilah novel dan cerpen, bidang puisi, maupun bidang drama dan teater.
Sejak masuknya pengaruh Eropa kini telah menggeser apa yang dimaksudkan sebagai karya sastra asli Indonesia atau sastra Melayu sebagai leluhurnya. Kini, ketika sastra Indonesia disebut dengan sastra Indonesia mutakhir, hamper semua jenis karya sastra yang diproduksi adalah karya sastra Barat. Sekarang penyair Indonesia tidak lagi menulis berupa pantun atau pun sekedar anasir-anasir pantun dan sejenisnya, mereka kini menulis puisi yang beranasirkan puisi Eropa. Penulis prosa Indonesia, baik novelis maupun cerpenis, tidak lagi mengusung idiom dan gaya cerita model penglipurlara, melainkan sederet anasir penulisan prosa Eropa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dapat ditarik suatu rumusan masalah antara lain adalah sebagai berikut.
1). Bagaimanakah pengertian kesusastraan Indonesia ?
2). Bagaimanakah proses penciptaan kesusastraan Indonesia ?
3). Apa saja jenis-jenis kesusastraan Indonesia ?
4). Bagaimanakah perkembangan kesusastraan Indonesia ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan paper ini antara lain adalah sebagai berikut.
1). Untuk mengetahui pengertian kesusastraan Indonesia.
2). Untuk mengetahui bagaimanakah proses penciptaan kesusastraan Indonesia.
3). Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis kesusastraan Indonesia.
4). Untuk mengetahui bagaimanakah perkembangan kesusastraan Indonesia.
- Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan paper ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang kesusastraan Indonesia terkait dengan pengertian perkembangan dan jenis-jenisnya, serta untuk memenuhi tugas perkuliahan pada mata kuliah kesusastraan Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kesusastraan Indonesia
Secara etimologi (menurut asal-usul kata) kesusastraan berarti karangan yang indah. “sastra” (dari bahasa Sansekerta) artinya : tulisan, karangan. Akan tetapi sekarang pengertian “Kesusastraan” berkembang melebihi pengertian etimologi tersebut. Kata “Indah” amat luas maknanya. Tidak saja menjangkau pengertian-pengertian lahiriah tapi terutama adalah pengertian-pengertian yang bersifat rohaniah. Misalnya, bukankah pada wajah yang jelak orang masih bisa menemukan hal-hal yang indah.
Sebuah cipta sastra yang indah, bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama. Ia harus dilihat secara keseluruhan: temanya, amanatnya dan strukturnya. Pada nilai-nilai yang terkandung di dalam cipta sastra itu. Ada beberapa nilai yang harus dimiliki oleh sebuah ciptasastra. Nilai-nilai itu adalah : Nilai-nilai estetika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai yang bersifat konsepsionil. Ketiga nilai tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan sama sekali. Sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral. Tidak ada keindahan tanpa moral. Tapi apakah moral itu ? Ia bukan hanya semacam sopan santun ataupun etiket belaka. Ia adalah nilai yang berpangkal dari nilai-nilai tentang kemanusiaan. Tentang nilai-nilai yang baik dan buruk yang universil. Demikian juga tentang nilai-nilai yang bersifat konsepsionil itu. Dasarnya adalah juga nilai tentang keindahan yang sekaligus merangkum nilai tentang moral.
Nilai-nilai estetika kita jumpai tidak hanya dalam bentuk (struktur) ciptasastra tetapi juga dalam isinya (tema dan amanat) nya. Nilai moral akan terlihat dalam sikap terhadap apa yang akan diungkapkan dalam sebuah ciptasastra cara bagaimana pengungkapannya itu. Nilai konsepsi akan terlihat dalam pandangan pengarang secara keseluruhan terhadap masalah yang diungkapkan di dalam ciptasastra yang diciptakan. Sebuah cipta sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat (realitas-objektif). Akan tetapi ciptasastra bukanlah hanya pengungkapan realitas objektif itu saja. Di dalamnya diungkapkan pula nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dari sekedar realitas objektif. Ciptasastra bukanlah semata tiruan daripada alam (imitation of nature) atau tiruan daripada hidup (imitation of life) akan tetapi ia merupakan penafsiran-penafsiran tentang alam dan kehidupan itu (interpretation of life).
Sebuah ciptasatra mengungkapkan tentang masalah-masalah manusia dan kemanusian. Tentang makna hidup dan kehidupan. Ia melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangannya, kasih sayang dan kebencian, nafsu dan segala yang dialami manusia. Dengan ciptasastra pengarang mau menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung. Mau menafsirkan tentang makna hidup dan hakekat kehidupan. Dapat saja sebuah ciptasastra menceritakan tentang kehidupan binatang, seperti misalnya karyasastra yang besar ‘Pancatanteran” atau “Hikayat Kalilah dan Daminah”, namun sebetulnya manusia. Jadi sesungguhnya karya tersebut tetap mengungkapkan kehidupan manusia akan tetapi ditulis perlambang-perlambang.
Sebuah ciptasasra yang baik, mengajak orang untuk merenungkan masalah-masalah kehidupan. Mengajak orang untuk berkontemplasi, menyadarkan dan membebaskan dari segala belenggu-belenggu pikiran yang jahat dan keliru. Sebuah ciptasastra mengajak orang untuk mengasihi manusia lain. Bahwa nasib setiap manusia meskipun berbeda-beda namun mempunyai persamaan-persamaan umum, bahwa mereka ditakdirkan untuk hidup, sedang hidup bukanlah sesuatu yang gampang tapi penuh perjuangan dan ancaman-ancaman. Ancaman-ancaman yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam (diri sendiri).
Bahwa kemanusiaan itu adalah satu, “Mankind is one”, dan sama di mana-mana. Inilah yang diungkapkan dan ingin dikatakan kesusastraan. Alangkah besar dan luasnya. Jika disimpulkan maka “kesusastraan” adalah merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan). Ada dua daya yang harus dimiliki oleh seorang pengarang. Yakni daya kreatif dan daya imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk memciptakan hal-hal yang baru dan asli. Manusia penuh dengan seribu satu kemungkinan tentang dirinya. Maka seorang pengarang berusaha memperlihatkan kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia yang substil dan bervariasi dalam ciptasatra-ciptasatra yang ia tulis. Sedang daya imajinasi adalah kemampuan membayangkan dan mengkhayalkan serta menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya imajinasi yang kaya ialah apabila ia mampu memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan dan masalah-masalah serta pilihan-pilihan dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil tidaknya sebuah ciptasastra.
2.2 Proses Penciptaan Kesusastraan Indonesia
Seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas objektif itu dapat berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan lain-lain bentuk-bentuk realitas objektif itu. Ia ingin memberontak dan memprotes. Sebelum pemberontakan tersebut dilakukan (ditulis) ia telah memiliki suatu sikap terhadap realitas objektif itu. Setelah ada suatu sikap maka ia mencoba mengangankan suatu “realitas” baru sebagai pengganti realitas objektif yang sekarang ia tolak. Hal inilah yang kemudian ia ungkapkan di dalam ciptasastra yang diciptakannya. Ia mencoba mengutarakan sesuatu terhadap realitas objektif yang dia temukan. Ia ingin berpesan melalui ciptasastranya kepada orang lain tentang suatu yang ia anggap sebagai masalah manusia.
Ia berusaha merubah fakta-fakta yang faktual menjadi fakta-fakta yang imajinatif dan bahkan menjadi fakta-fakta yang artistik. Pesan-pesan justru disampaikan dalam nilai-nilai yang artistik tersebut. Ia tidak semata-mata pesan-pesan moral ataupun khotbah-khotbah tentang baik dan buruk akan tetapi menjadi pesan-pesan yang artistik. Pesan-pesan yang ditawarkan dalam keterpesonaan dan senandung. Dalam kesusastraan Indonesia masalah itu dengan jelas dapat dilihat. Misalnya kenyataan-kenyataan yang ada sekitar tahun 20-an terutama dalam masyarakat Minangkabau ialah masalah : kawin paksa. Pengarang kita pada waktu itu punya suatu sikap dan tidak puas dengan realitas objektif itu. Sikap itu bersifat subjektif: bahwa ia tidak senang dan memprotes. Akan tetapi sikap itu juga bersifat intersubjektif karena sikap itu dirasakan pula sebagai aspirasi yang umum. Sikap-sikap subjektif dan intersubjektif itulah yang kemudian diungkapkan di dalam ciptasastra-ciptasasra.
Ciptasatra-ciptasastra tiu tidak saja lagi sebagai pernyataan dari sikap akan tetapi juga merupakan pernyataan dari ciri-ciri berhubung dengan realitas objektif tresebut. Diungkapkan dalam suatu transformasi (warna) yang artistik, sesuai dengan ukuran-ukuran (kriteria-kriteria) kesusastraan. Karena itu sebuah ciptasastra selain merupakan pernyataan hati nurani pengarangnya, ia juga merupakan pengungkapan hati nurani masyarakatnya. Di dalamnya terdapat sikap, visi (pandangan hidup), cita-cita dan konsepsi dari pengarangnya. Dari masalah kawin paksa misalnya dalam kesusastraan Indoneisa lahirlah ciptasastra-ciptasastra : “Siti Nurbaya” dari Marah Rusli, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dari Hamka dan “Salah Asuhan” dari Abdul Muis (untuk menyebut beberapa ciptasastra- ciptasastra yang baik).
Sebuah ciptasastra merupakan kritik terhadap kenyataan-kenyataan yang berlaku. Atau seperti yang dikatakan Albert Camus (seorang pengarang dan filsuf Perancis yang pernah mendapat hadiah Nobel) merupakan pemberontakan terhadap realitas. Karyasastra Marah Rusli “Siti Nurbaya” merupakan kritik terhadap tata kehidupan masyarakat Minang kabau sekitar tahun 1920-1930. Demikian juga dengan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” ataupun “Salah Asuhan”. “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana merupakan kritik terhadap kehidupan masyarakat Indonesia yang masih statis. Karya Idrus “Surabaya” juga adalah kritik terhadap ekses-ekses dan hal-hal yang negatif dari revolusi fisik. Demikian pula dengan sajak-sajak Khairil Anwar, kumpulan puisi Taufik Ismail ‘Benteng” dan “Tirani” atau juga novel Bambang Sularto “Domba-Domba Revolusi”.
Ciptasastra merupakan sintesa dari adanya tesa dan anti tesa. Tesa disini adalah kenyataan-kenyataan yang dihadapi. Antitesa adalah sikap-sikap yang bersifat subjektif dan intersubjektif. Sedangkan sintesa adalah hasil dari perlawanan antara tesa dengan antitesa itu. Bersifat idealis, imajinatif dan kreatif, berdasarkan cita-cita dan konsepsi pengarang. Semuanya diungkapkan melalui bahasa sebagai media. Dengan demikian di dalam kesustraan ada beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan. Yaitu faktor-faktor : Persoalan yang diungkapkan, keindahan pengungkapan dan faktor bahasa atau kata. Dalam kesusastraan Indonesia, yang dimaksudkan adalah pengungkapan persoalan-persoalan dan nilai-nilai tentang hidup (manusia dan kemanusiaan), terutama persoalan-persoalan dan nilai-nilai lain yang berhubungan dengan bangsa Indonesia serta diungkapkan dengan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai media.
2.3 Jenis-Jenis Kesusastraan Indonesia
Ada beberapa bentuk kesusastraan yang dikenal di Indonesia adapun jenis-jeniusnya adalah sebagi berikut :
1). Puisi
2). Cerita Rekaan (fiksi)
3). Essay dan Kritik
4). Drama
Apakah yang membedakan antara puisi dengan cerita rekaan? Perbedaan itu akan terlihat dalam proses pengungkapannya. Dalam puisi akan dijumpai dua proses yang disebut Proses konsentrasi dan proses intensifikasi. Proses konsentrasi yakni proses pemusatan terhadap suatu focus suasana dan masalah, sedang proses intensifikasi adalah proses pendalaman terhadap suasana dan masalah tersebut. Unsur-unsur struktur puisi berusaha membantu tercapainya kedua proses itu. Inilah hakekat puisi, yang kurang terlihat dalam proses (cerita rekaan, esei dan kritik serta drama). Pada prosa, suasana yang lain atau masalah-masalah yang lain dapat saja muncul di luar suasana dan masalah pokok yang ingin diungkapkan seorang pengarang dalam ciptasastranya.
Cerita-cerita (fiksi) sering dibedakan atas tiga macam bentuk yakni : Cerita pendek (cerpen), novel, dan roman. Akan tetapi di dalam kesusastraan Amerika hanya dikenal istilah : cerpen (short story) dan novel. Istilah roman tidak ada. Yang kita maksud dengan “roman” dalam kesusastraan Amerika adalah juga “novel”. Perbedaan antara ketiga bentuk cerita rekaan itu tidaklah hanya terletak pada panjang pendeknya cerita tersebut atau pada jumlah kata-katanya namun ada ukuran lain yang membedakannya. Cerita-pendek(cerpen) merupakan pengungkapan suatu kesan yang hidup dari fragmen kehidupan manusia. Daripada tidak dituntut terjadinya suatu perubahan nasib dari pelaku-pelakunya. Hanya suatu lintasan dari secercah kehidupan manusia, yang terjadi pada suatu kesatuan waktu.
Novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang) dimana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya. Beberapa contoh novel dalam kesusastraan Indonesia misalnya adalah “Belenggu” karya Armin Pane, “Kemarau” karya A.A. Navis, “Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang. Dalam “Belenggu” misalnya setelah terjadi konflik-konflik antara dr. Sukartono, Sumartini, Rokhayah, maka akhirnya terjadilah perubahan jalan hidup pada masing-masing pelaku novel tersebut. Begitu juga antara Sutan Duano dalam “kemarau” dengan anaknya setelah terjadi konflik-konflik kemudian diikuti pula dengan perubahan jalan nasib. Demikian pula dalam “Merahnya Merah”. Tokoh kita, Fifi dan Maria mengalami perubahan jalan nasib setelah terjadi konflik-konflik.
Roman merupakan bentuk kesusastraan yang menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas dari kehidupan manusia. Biasanya dilukiskan mulai dari masa kanak-kanak sampai menjadi dewasa, akhirnya meninggal. Sebagai contoh misalnya roman “Siti Nurbaya”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” ataupun roman “Atheis” karya Akhdiat Kartamiharja. Istilah roman bersalah dari kesusastraan Perancis. “Roman” adalah bahasa rakyat sehari-hari di negeri Perancis. Kemudian berkembang artinya menjadi cerita-cerita tentang pengalaman-pengalaman kaum ksatria dan cerita-cerita kehidupan yang jenaka, dari pedesaan. Sekarang pengertian roman telah menyangkut tentang kehidupan manusia pada umumnya. Hakekat dari cerita rekaan ialah bercerita ada yang diceritakan dan ada yang menceritakan.
Bentuk ciptasatra yang lain adalah esei dan kritik. Esei adalah suatu karangan yang berisi tanggapan-tanggapan, komentar, pikiran-pikiran tentang suatu persoalan. Setiap esei bersifat subjektif, suatu pengucapan jiwa sendiri. Di dalam esei bila kita lihat pribadi dan pendirian pengarang. Pikiran-pikirannya, sikap-sikapnya, ciata-citanya dan keinginannya terhadap soal yang dibicarakannya. Atau terhadap hidup pada umumnya. Dalam esei tidak diperlukan adanya suatu konklusi (kesimpulan). Esei bersifat sugestif dan lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif. Berbeda dengan esei adalah studi. Ia merupakan suatu karangan sebuah ciptasastra. Suatu kritik juga bersifdat subjektif meskipun barangkali menggunakan term-term yang objektif. Kritik merupakan salah satu bentuk esei. Suatu kritik (sastra) yang baik juga harus lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif daripada memberikan vonis. Beberapa penulis esei yang terkenal dalamf kesusastraan Indonesia adalah Gunawan Mohammad, Arief Budiman, Wiratmo Sukito, Sujatmoko, Buyung Saleh (Tokoh Lekra), Umar Khayam dan lain-lain. Sedang tokoh-tokoh kritikus yang terkenal antara lain adalah : H.B. Yassin, Prof. Dr. A. Teeuw, M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, Boen Sri Umaryati, M. Saleh Saad, Umar Yunus dan lain-lain.
Bentuk kesusastraan yang lain adalah drama atau sandiwara (sandi = rahasia, Wara = pelajaran). Artinya pelajaran yang disampaikan secara rahasia. Drama atau sandiwara yang digolongkan ke dalam ciptasastra bukanlah drama atau sandiwara yang dimainkan (dipergelarkan) tetapi adalah cerita, atau naskah, atau reportoar yang akan dimainkan tersebut. Hakekat drama adalah terjadinya suatu konflik. Baik konflik antara tokoh, ataupun konflik dalam persoalan maupun konflik dalam diri seorang tokoh. Konflik inilah nanti yang akan mendorong dialog dan menggerakkan action.
2.4 Perkembangan Kesusastraan Indonesia
Sastra Indonesia berkembang dari waktu kewaktu, bahkan sebelum bahasa Indonesia diresmikan pada 28 Oktober 1928. Pada zaman dahulu bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kerajaan dan bahasa sastra (Purwoko, 2004 : 84), hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak tertulis juga sudah ditemukan sejak abad ke-19. Sementara itu, pondasi pendirian sastra Indonesia baru tegak berdiri pada tahun 1920-an dengan munculnya Balai Poestaka. Sejak saat itu sastra berkembang sampai saat ini, sastra Indonesia secara umum terbagi menjadi beberapa periode, yaitu angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan 1950, angkatan 1966, dan angkatan 1970 sampai dengan sekarang. Di era 2000-an seperti sekarang mulai dikenal cyber sastra, yaitu sastra yang beredar luas di dunia cyber atau internet.
1). Zaman Sastra Melayu Lama
Zaman ini melahirkan karya sastra berupa mantra, syair, pantun, hikayat, dongeng, dan bentuk yang lain. Karya sastra pada kesusastraan lama masih berkisar pada cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut (lisan). Hasil karya sastranya berupa dongeng, mantra, dan hikayat. Cerita pada masa ini bersifat istana sentries (mengisahkan kehidupan raja-raja).
2). Zaman Peralihan
Zaman ini dikenal tokoh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karyanya dianggap bercorak baru karena tidak lagi berisi tentang istana danraja-raja, tetapi tentang kehidupan manusia dan masyarakat yang nyata, misalnya Hikayat Abdullah (otobiografi), Syair Perihal Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah. Pembaharuan yang ia lakukan tidak hanya dalam segi isi, tetapi juga bahasa. Ia tidak lagi menggunakan bahasa Melayu yang kearab-araban.
3). Zaman Sastra Indonesia
(1). Angkatan Balai Pustaka (1920 – 1933)
Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F. 25.000 setiap tahun guna keperluan sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti nama Balai Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat” bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu,
a). Merekrut dewan redaksi secara selektif
b). Membentuk jaringan distribusi buku secara sistematis
c). Menentukan kriteria literer
d). Mendominasi dunia kritik sastra
Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel yang mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu
a). Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
b). Alur : Alur Lurus.
c). Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
d). Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
e). Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang dapat menganggu kelancaran teks.
f). Corak : Romantis sentimental.
g). Sifat : didaktis (pendidikan)
h). Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
i). Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
j). Puisinya berbentuk syair dan pantun.
k). Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
l). Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.
Ciri umum angkatan ini adalah tema berkisari tentang konflik adat antara kaum tua dengan kaum muda, kasih tak sampai, dan kawin paksa, bahan ceritanya dari Minangkabau, bahasa yang dipakai adalah bahasa Melayu, bercorak aliran romantik sentimental. Tokohnya adalah Marah Rusli (roman Siti Nurbaya), Merari Siregar (roman Azab dan Sengsara), Nur Sutan Iskandar (novel Apa dayaku Karena Aku Seorang Perempuan), Hamka (roman Di Bawah Lindungan Ka’bah), Tulis Sutan Sati (novel Sengsara Membawa Nikmat), Hamidah (novel Kehilangan Mestika), Abdul Muis (roman Salah Asuhan), M Kasim (kumpulan cerpen Teman Duduk)
(2). Angkatan Pujangga Baru (1933-1942)
Pada tahun1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sultan Takdir Alisjahbana mendirikan sebuah majalah yang diberi nama Poejangga Baroe. Majalah Poedjangga Baroe menjadi wadah khususnya bagi seniman atau pujangga yang ingin mewujudkan keahlian dalam berseni. Poedjangga Baroe merujuk pada nama sebuah institusi literer yang berorientasi ke aneka kegiatan yang dilakukan para penulis pemula. Majalah ini diharapkan berperan sebagai sarana untuk mengoordinasi para penulis yang hasil karyanya tidak bisa diterbitkan Balai Poestaka (Purwoko, 2004: 154).
Selain memublikasikan karya sastra, majalah ini juga merintis sebuah rubrik untuk memuat esai kebudayaan yang diilhami oleh Alisjahbana dan Armijn Pane. Kelahiran majalahPoedjangga Baroe menjadi titik tolak kebangkitan kesusastraan Indonesia. S.T. Alisjahbana, dalam artikel Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru, menjelaskan bahwa sastra Indonesia sebelum abad 20 dan sesudahnya memiliki perbedaan yang didasari pada semangat keindonesiaan dan keinginan yang besar akan perubahan.
Adapun karakteristik karya sastra pada masa itu terlihat melalui roman-romannya yangsangat produktif dan diterima secara luas oleh masyarakat. Pengarang yang paling produktif yaitu Hamka dan Alisjahbana. Hamka, dalam Mengarang Roman, mengatakan Roman adalah bentuk modern dari hikayat. Roman memperhalus bahasa yang sebelumnya sangat karut marut menyerupai kalimat Tionghoa sehingga secara tidak langsung roman-roman yang ada mampu memicu minat baca masyarakat yang awalnya tidak gemar membaca.
Berdasarkan isi cerita, tema-tema yang ada memperlihatkan kecenderungan para pengarang yang membuat tokoh-tokoh dalam ceritanya berakhir pada kematian. Pengaruh Barat yang sangat kental pada perkembangan sastra Indonesia dalam periode Pujangga Baru menghasilkan beberapa perbedaan pandangan dalam kalangan sastrawan pada saat itu.Sebagai contoh, novel pertama yang diterbitkan majalah ini, Belenggu, pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena dianggap mengandung isu tentang nasionalisme dan perkawinan yang retak. Dengan alasan didaktis, kedua isu budaya tersebut dianggap tidak cocok dengan kebijakan pemerintah kolonial.
Cirinya adalah :
a). Bahasa yang dipakai adalah bahasa indonesia modern,
b). Temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup masalah yang kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelek, dan sebagainya,
c). Bentuk puisinya adalah puisi bebas, mementingkan keindahan bahasa, dan mulai digemari bentuk baru yang disebut soneta, yaitu puisi dari italia yang terdiri dari 14 baris,
d). Pengaruh barat terasa sekali, terutama dari angkatan ’80 belanda,
e). Aliran yang dianut adalah romantik idealisme, dan
f). Setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan.
Tokohnya adalah STA Syhabana (novel Layar Terkembang, roman Dian Tak Kunjung Padam), Amir Hamzah (kumpulan puisi Nyanyi Sunyi, Buah Rindu, Setanggi Timur), Armin Pane (novel Belenggu), Sanusi Pane (drama Manusia Baru), M. Yamin (drama Ken Arok dan Ken Dedes), Rustam Efendi (drama Bebasari), Y.E. Tatengkeng (kumpulan puisi Rindu Dendam), Hamka (roman Tenggelamnya Kapa nVan Der Wijck).
(3). Angkatan ’45
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia dengan menampilkan sajak-sajak yang bernilai tinggi memberikan sesuatu yang baru bagi dunia sastra tanah air. Bahasa yang dipergunakannya adalah bahasa Indonesia yang berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra (Rosidi, 1965: 91). Dengan munculnya kenyataan itu, maka banyaklah orang yang berpendapat bahwa suatu angkatan kesusateraan baru telah lahir. Angkatan ini memiliki beberapa sebutan, yaitu Angkatan ’45, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru, Angkatan Pembebasan, dan Generasi Gelanggang.
Angkatan ’45 adalah angkatan yang muncul setelah berakhirnya Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini terbentuk karena Angkatan Pujangga Baru dianggap gagal menjalankan gagasannya. Pujangga Baru yang semula memiliki gagasan baratisasi sastra Indonesia, nyatanya hanya mentok pada belandanisasi. Dengan kata lain, tokoh-tokoh atau karya-karya seni dan sastra yang diambil sebagai acuan dan sumber inspirasi hanya berasal dari negeri Belanda saja, bukan dari penjuru Barat. Untuk meluruskan persepsi tersebut, muncullah Angkatan ’45 sebagai gantinya.
Keberadaan angkatan ini erat hubungannya dengan Surat Kepercayaan Gelanggang. Konsep humanisme universal menjadi acuan Perkumpulan Gelanggang karena mereka merasa karya-karya yang dibuat oleh Angkatan Pujangga Baru kurang realistis pada masa itu. Angkatan Pujangga Baru yang beraliran romatis dinilai terlalu utopis dan hanya mementingkan estetika. Berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45 beraliran ekspresionisme-realistik. Karya-karya yang dihasilkan bergaya ekspresif, menggambarkan identitas si seniman dan juga realistis. Dalam hal ini, realistis berarti fungsional atau berguna untuk masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Angkatan ’45 menganut pendapat seni untuk masyarakat, sementara Pujangga Baru menganut pendapat seni untuk seni.
Tema yang banyak diangkat dalam karya-karya seni Angkatan ’45 adalah tema tentang perjuangan kemerdekaan. Dari karya-karya bertemakan perjuangan itulah amanat yang menyatakan bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan tak hanya dapat dilakukan melalui politik atau angkat senjata, tetapi perjuangan juga dapat dilakukan melalui karya-karya seni.Angkatan ’45 mulai melemah ketika sang pelopor, Chairil Anwar, meninggal dunia. Selain itu, Asrul Sani, yang juga merupakan salah satu pelopor mulai menyibukkan diri membuat skenario film. Kehilangan akan kedua orang tersebut membuat Angkatan ’45 seolah kehilangan kemudinya. Akhirnya, masa Angkatan ’45 berakhir dan digantikan dengan Angkatan’50.
Angkatan ’45 memiliki gaya yang berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru. Gaya ini dipengaruhi oleh kondisi politik masing-masing angkatan. Angkatan Pujangga Baru memiliki gaya romantis-idealis karena pada saat itu perjuangan kemerdekaan belum sekeras yang dialami Angkatan ’45. Sementara Angkatan ’45 yang terbentuk pada saat gencarnya perjuangan kemerdekaan memilih gaya ekspresionisme-realistik agar dapat berguna dan diterima oleh masyarakat. Pada akhirnya, semua angkatan yang ada sepantasnya menyadari fungsi sosial mereka. Setiap angkatan harus memikirkan letak kebermanfaatan mereka bagi masyarakat karena mereka hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.
Ciri umumnya adalah bentuk prosa maupun puisinya lebih bebas, prosanya bercorak realisme, puisinya bercorak ekspresionisme, tema dan setting yang menonjol adalah revolusi, lebih mementingkan isi daripada keindahan bahasa, dan jarang menghasilkan roman seperti angkatan sebelumnya. Tokohnya Chairil Anwar (kumpulan puisi Deru Capur Debu, kumpulan puisi bersama Rivai Apin dan Asrul Sani Tiga Menguak Takdir), Achdiat Kartamiharja (novel Atheis), Idrus (novel Surabaya, Aki), Mochtar Lubis (kumpulan drama Sedih dan Gembira), Pramduya Ananta Toer (novel Keluarga Gerilya), Utuy Tatang Sontani (novel sejarah Tambera)
(4). Angkatan 1950
Angkatan ini dikenal krisis sastra Indonesia. Sejak Chairil Anwar meninggal, lingkungan kebudayaan “Gelanggang Seniman Merdeka” seolah-olah kehilangan vitalitas. Salah satu alasan utama terhadap tuduhan krisis sastra tersebut adalah karena kurangnya jumlah buku yang terbit. Sejak tahun 1953 , Balai Pustaka yang sejak dulu bertindak sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya sudah tidak menentu (Rosidi, 1965: 137). Sejak saat itu aktivitas sastra hanya dalam majalah-majalah, seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Poedjangga Baroe, dll.
Karena sifat majalah, maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan yang dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka tak anehlah kalau para pengarangpun lantas hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan lain yang pendek-pendek (Rosidi, 1965: 138). Hal itulah yang memunculkan istilah “sastra majalah” pada masa itu. Berikut pendapat Soeprijadi Tomodihardjo, dalam artikelnya “Sumber-Sumber Kegiatan”1
a). Kesusastraan sedang memasuki masa krisis, masalah kualitas dan kuantitas.
b). Ekspansi ideologi ke dalam dunia seni mengakibatkan banyak orang meninggalkan nilai-nilai seni yang wajar, dan ideologi politik kian menguat.
c). Seni dan politik adalah pencampuradukan yang lahir dari kondisi masa itu.
d). Pada masa itu pula telah lahir organisasi-organisasi kegiatan kesenian yang mengarahkan kegiatanya pada seni sastra dan seni drama.
e). Hal ini mengindikasikan seni mendapat perhatian.
f). Kesusastraan berhubungan erat dengan adanya tempat berkegiatan, Jakarta di angggap sebagai pusatnya. Anggapan ini diluruskan, Jakarta hanya sebagai pusat produksi dan publikasi
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa angkatan 1950 merupakan angkatan yang sepi oleh karya karena sastra Indonesia yang ada dianggap sudah tidak lagi memiliki identitas, kesusasteraan mengalami krisis baik kualitas maupun kuantitas karena lahirnya pesimisme dan penggunaan seni ke ranah politik yang tidak dibarengi dengan tanggung jawab.
(5). Angkatan ’66
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal pertumbuhannya sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik (Rosidi, 1965: 177). Pada masa ini sastra sangat dipengaruhi oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra dan Manikebu. Pada tahun 1961 Lekra,organ PKI yang memperjuangkan komunisme, dinyatakan sebagaiorganisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik adalah panglima”.
Sementara Menifes Kebudayaan merupakan sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan dan merupakan sebuah reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra. Manifes kebudayaan di tuduh anti-Manipol dan kontra Revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia. Pelarangan Manifes Kebudayaan diikuti tindakan politis yang makin memojokkan orang-orang Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku karya pengarang-pengarang yang berada di barisan. Adapun buku-buku yang pernah dilarang, antara lain Pramudya Ananta Toer, Percikan Revolusi, Keluarga Gerirya, Bukan pasar Malam ,Panggil Aku Kartini Saja , Korupsi dll; Utuy T. Sontani,Suling, Bunga Rumah makan,Orang-orang Sial, Si Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra, Jejak Langkah , Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern.
Menurut H. B. Jassin, ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut.
a). Mempunyai konsepsi Pancasila
b). Menggemakan protes sosial dan politik
c). Membawa kesadaran nurani manusia
d). Mempunyai kesadaran akan moral dan agama
Ciri umumnya adalah tema yang menonjol adalah protes sosial dan politik, menggunakan kalimat-kalimat panjang mendekati bentuk prosa.
Tokohnya adalah W.S. Rendra (kumpulan puisi Blues untuk Bnie, kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Tercinta), Taufiq Ismail (kumpulan puisi Tirani, kumpulan puisi Benteng), N.H. Dini (novel Pada Sebuah Kapal), A.A. Navis (novel Kemarau), Toha Mohtar (novel Pulang), Mangunwijaya (novel Burung-burung Manyar), Iwan Simatupang (novel Ziarah), Mochtar Lubis (novel Harimau-Harimau), Mariannge Katoppo (novel Raumannen).
(6). Angkatan 70-an sampai sekarang
Pada masa ini karya sastra berperan untuk membentuk pemikiran tentang keindonesiaan setelah mengalami kombinasi dengan pemikiran lain, seperti budaya. Ide, filsafat, dan gebrakan-gebrakan baru muncul di era ini, beberapa karya keluar dari paten dengan memperbincangkan agama dan mulai bermunculan kubu-kubu sastra populer dan sastra majalah. Pada masa ini pula karya yang bersifat absurd mulai tampak.
Di tahun 1980-1990-an banyak penulis Indonesia yang berbakat, tetapi sayang karena mereka dilihat dari kacamata ideologi suatu penerbit. Salah satu penerbit yang terkenal sampai sekarang adalah Gramedia. Gramedia merupakan penerbit yang memperhatikan sastra dan membuka ruang untuk semua jenis sastra sehingga penulis Indonesia senantiasa memiliki kreativitas dengan belajar dari berbagai paten karya, baik itu karya populer, kedaerahan, maupun karya urban. Sementara setelah masa reformasi, yaitu tahun 2000-an, kondisi sastra tanah air dapat digambarkan sebagai berikut.
a). Kritik Rezim Orde Baru
b). Wacana Urban dan Adsurditas
c). Kritik Pemerintah terus berjalan
d). Sastra masuk melalui majalah selain majalah sastra.
e). Sastra bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana pada jaman sekarang
f). Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun 2000-an, banyak karya Pram yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan, Remy Sylado, dsb.
Seperti seorang anak, Sastra mengalami masa pertumbuhan. Masa pertumbuhan sastra tidak akan dewasa hingga jaman mengurungnya. Sastra akan terus menilai jaman melalui pemikiran dan karya sastrawannya. Pada tahun 1970-an, sastra memiliki karakter yang keluar dari paten normatif. Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, sastra memiliki karakter yang diimbangi dengan arus budaya populer. Pada tahun 2000-an hingga saat ini, sastra kembali memiliki keragaman kahzanah dari yang populer, kritik, reflektif, dan masuk ke ranah erotika dan absurditas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesusastraa yaitu segala hasil cipta karya manusia dengan bahasa sebagai alat atau instrumennya yang dirangkai dengan indah dan baik, sehingga dapat meningkatkan budi pekerti manusia melalui makna dan pesan yang disampaikan oleh penulis. Dalam proses penciptaan sebuah karya sastra seorang penulis berusaha merubah fakta-fakta yang faktual menjadi fakta-fakta yang imajinatif dan bahkan menjadi fakta-fakta yang artistik. Pesan-pesan yang disampaikan dikemas menjadi nilai-nilai yang artistik yang tidak semata-mata ingin menyampaikan pesan moral ataupun khotbah-khotbah tentang baik buruk suatu perbuatan akan tetapi juga ungkapan ekspresi imajinasi yang dituangkan dengan kemasan-kemasan artistik. Ada beberapa bentuk kesusastraan secara umum yang dikenal di Indonesia yaitu 1). Puisi 2). Cerita Rekaan (fiksi) 3). Essay dan Kritik 4). Drama. Secara umum terbagi menjadi beberapa periode, yaitu angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, angkatan 1945, angkatan 1950, angkatan 1966, dan angkatan 1970 sampai dengan sekarang. Di era 2000-an seperti sekarang mulai dikenal cyber sastra, yaitu sastra yang beredar luas di dunia cyber atau internet.
3.2 Saran
Pada saat ini kesusastraan di Indonesia keberadaannya sangat dikesampingkan, karena pada jenjang pendidikan umumnya lebih mengedepankan serta mementingkan pembelajaran yang sifatnya ilmiah. Padahal dengan memplajari kesusastraan secara mendalam dapat turut berperan dalam pembentukan kepribadian, watak, dan sikap yang tentunya akan lebih baik jika diterapkan sejak dini dalam tahapan jenjang Pendidikan Sekolah Dasar pada umumnya. Seharusnya Sastra dapat dioptimalkan pembelajarannya sehingga dapat diapresiasikan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Leroy, Diana. 2003. Sastra Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta : Erlangga.
Wijaya, Putu. 2011. Pengajaran Sastra. http : / / sastra-indonesia . com / 2011 / 03 / pengajaran-sastra /. Diakses pada tanggal 20 / 02 / 2017 10:03
Wibisono, B Kunto. 2010. Pembelajaran Sastra Dorong Sikap Kritis. http : / / www . antaranews . com / berita / 206353 / pembelajaran-sastra-dorong-sikap-kritis. Diakses pada tanggal 21 / 02 / 2017 7:47
Arif, Mohammad. 2008. Pembelajaran Sasta Secara Integratif. http : / / re-searchengines . com / mohamad 0708 . html. Diakses pada tanggal 21/02/2017 9:53
Hamid, Mukhlis A. Pengajaran Sastra Indonesia Di Sekolah. http : / / gemasastrin . wordpress . com / 2007 / 04 / 20 / pengajaran-sastra-indonesia-di-sekolah / . Diakses pada tanggal 22 / 02 / 2017 8:42
Pembelajaran Sastra Indonesia. http : / / guru pembaharu . com / home / ? p = 9911. Diakses pada tanggal 23 / 02 / 2017 8:03
Related Articles
No user responded in this post