BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
fiksi merupkan salah satu bentuk karya yang kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan kreatifitasnya. Fiksi mengandung dan menawarkan model kehidupan seperti yang disikapi dan dialami oleh tokoh-tokoh cerita sesuai dengan pandangan pengarang terhadap kehidupan itu sendiri. Oleh karenanya pengarang sengaja menciptakan dunia dalam fiksi, ia mempunyai kebebasan penuh untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita sesuai dengan seleranya, siapapun orangnya, apapun status sosialnya bagaimana pun perwatakanya, dan permasalahan apapun yang dihadapinya, singkatnya pengarang berhak menampilkan tokoh, siapapun dia orangnya walau hal itu berbeda dengan dunianya sendiri di dunia nyata
Tokoh cerita mempunyai tempat strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral ataupun sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Keadaan ini juga sering berakibat kurang menguntungkan para tokoh cerita itu sendiri dilihat dari segi kewajaranya dalam segi bersikap dan bertindak. Tidak jarang tokoh-tokoh cerita dipaksa dan diperalat sesbagai pembawa pesan sehingga sebagai tokoh cerita dan sebagai pribada kurang berkembang. Secara ekstern boleh dikatakan, mereka hanya sebagai robot yang selalu tunduk kepada kemauan pengarang dan kepribadianya sendiri.tidak lagi mengusung idiom dan gaya cerita model penglipurlara, melainkan sederet anasir penulisan prosa Eropa.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dapat ditarik suatu rumusan masalah antara lain adalah sebagai berikut.
- Bagaimanakah Perbedaan Tokoh dan Penokohan ?
- Apa SajakahJenis-jenis Penokohan ?
- Bagaimana Tehnik Penyajian Tokoh ?
- Analisis Cerpen
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan paper ini antara lain adalah sebagai berikut.
1). Untuk Mengetahui Perbedaan Tokoh dan Penokohan
2). Untuk Mengetahui Apa Sajakah Jenis-jenis Penokohan
3). Untuk Mengetahui Bagaimana Tehnik Penyajian Tokoh
4). Untuk Mengetahui Bagaimanakah Cara Menganalisis Cerpen
- Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan paper ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang tokoh dan penokohan dan jenis-jenisnya, serta untuk memenuhi tugas perkuliahan pada mata kuliah kesusastraan Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perbedaan tokoh dan penokohan
Sebelum kita mengetahui perbedaan tokoh dan penokohan sebaiknya kita perlu juga mengetahui pengertian di antara tokoh dan penokohan, brikut adalah pengertianya.
A .Tokoh, menurut Aminudin (2002: 79) tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Istilah tokoh mengacu pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 1995: 165). Tokoh adalah salah satu unsur yang penting dalam suatu novel atau cerita rekaan. Menurut Sudjiman (1988: 16) tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro 1995:165) tokoh cerita merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama oleh pembaca kualitas moral dan kecenderungan-kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa tokoh cerita adalah individu rekaan yang mempunyai watak dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita.
B .Penokohan, penokohan dan perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berubah, pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya. Menurut Jones dalam Nurgiyantoro (1995:165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Sudjiman (1988:22) watak adalah kualitas nalar dan jiwa tokoh yang membedakannya dengan tokoh lain.
Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut penokohan. Penokohan dan perwatakan sangat erat kaitannya. Penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokohnya serta memberi nama tokoh tersebut, sedangkan perwatakan berhubungan dengan bagaimana watak tokoh-tokoh tersebut. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa penokohan adalah penggambaran atau pelukisan mengenai tokoh cerita baik lahirnya maupun batinnya oleh seorang pengarang.
Jadi perbedaan di antara tokoh dan penokohan adalah sebagai brikut tokoh cerita adalah individu rekaan yang mempunyai watak dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita, sedangkan penokohan adalah hanyalah sebuah penggambaran dari tokoh itu sendiri atau lebih tepatnya bisa di sebut sebagai sifat.
2.2 Jenis-jenis penokohan
Adapun delapan jenis penokohan di antaranya adalah sebagai brikut.
- Protagonis
Protagonis adalah tokoh utama, pelaku utama atau disebut juga Tokoh Putih. Tokoh Protagonis adalah tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua figur tokoh protagonis utama dan dibantu tokoh lain yang terlibat dalam cerita. Tokoh Protagonis biasanya berwatak baik, dan menjadi idola pembaca atau pendengar.
- Antagonis
Antagonis adalah tokoh utama, penghambat pelaku utama atau disebut juga tokoh hitam. Tokoh antagonis adalah tokoh yang menjadi penentang cerita. Biasanya ada satu,dua atau lebih figur tokoh yang menentang cerita. Tokoh jenis ini sudah pasti berwatak jahat dan dibenci oleh pembaca dan pendengar.
- Deutragonis
Deutragonis adalah tokoh yang berpihak pada tokoh utama. Deutragonis adalah tokoh lain yang berada di pihak tokoh protagonis. Peran ini ikut mendukung menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh tokoh protaganis.
- Foil
Foil adalah tokoh yang berpihak kepada tokoh lawan tokoh utama.
- Tetragonis
Tetragonis adalah tokoh yang tidak memihak kepada salah satu tokoh lain. Contoh,
- Compiden
Compiden adalah tokoh yang menjadi tokoh pengutaraan tokoh utama.
- Reisonneur
Reisonneur adalah tokoh yang menjadi corong bicara pengarang.
- Yuticiling
Yuticiling adalah tokoh pembantu, baik tokoh hitam maupun tokoh putih.
2.3 Tehnik penyajian tokoh
TEKNIK PENOKOHAN
Teknik penokohan adalah cara pengarang melukiskan atau mendiskripsikan perwatakan tokoh agar dikenali oleh pembaca. Terdapat dua macam teknik penokohan, yaitu teknik penokohan analitik (langsung) dan teknik penokohan dramatik (tidak langsung)
Teknik Penokohan Analitik.Teknik penokohan analitik, atau naratif, adalah cara penampilan tokoh secara langsung melalui uraian, deskripsi atau penjelasan oleh sang pengarang.
Tokohnya dihadirkan ke hadapan pembaca dengan tidak berbelit-belit (sifat, watak, tingkah laku, ciri fisik). Teknik penokohan ini sangat sederhana dan ekonomis karena tidak membutuhkan banyak deskripsi. Dengan ini, sang pembaca akan lebih memerhatikan kepada cerita dan plot. Teknik ini mengurangi kesalah pahaman. Namun, sang pengarang harus mempertahankan konsistensi karakter dari tokoh itu. Sang pengarang harus tetap mempertahankan dan mencerminkan pola kedirian tokoh itu.
Cara-cara mempertahankan teknik analitis: konsistensi dalam pemberian sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan juga kata-kata yang keluar dari tokoh yang bersangkutan. Namun sisi negatif dari teknik penokohan ini adalah sang pembaca tidak ikut serta secara aktif berpikir dan menafsirkan sendiri karakter-karakter dalam cerita. Tapi dengan ini adanya kemungkinan salah tafsir menjadi kecil.
Contoh teknik penokohan analitik: “Aku tersenyum pahit. Kulihat tangan dan jari-jariku.tulang bersalut kulit semata. Kuraba pipiku: cekung. Pernah badanku berat 58 kilo. Minggu yang lalu Cuma 47 kilo lagi.“ Dari percakapan itu kita tahu bahwa Hasan sangat kurus, dari pemberitahuan sang narator, yaitu Hasan sendiri.
TEHNIK PENOKOHAN DRAMATIK
Teknik penokohan dramatik adalah cara penampilan tokoh secara tidak langsung. Pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan serta tingkah laku tokoh.
Untuk mengetahui watak tokoh pembaca harus menafsirkan sendiri ucapan, pikiran, perbuatan, bentuk fisik, lingkungan, reaksi, ucapan dan pendapat karakter tersebut. Penampilan tokoh cerita dengan menggunakan teknik dramatik dilakukan secara tidak langsung. Sang pengarang membiarkan para tokoh untuk memperlihatkan karakter-karakternya melalui tingkah laku, peristiwa yang terjadi, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti kejadian-kejadian yang terjadi di sebuah karya fiksi tidak hanya untuk memperkembangkan plot, tetapi menceritakan pendirian masing-masing tokoh.
Teknik penokohan ini lebih efektif daripada teknik penokohan analitik, karena berfungsi ganda, kaitan yang erat antara berbagai unsur fiksi seperti contoh plot, latar, dan sebagainya. Teknik ini lebih realistik, sangatlah mungkin tokoh berubah karakternya karena pengaruh lingkungan baru, teman baru, pekerjaan, dan lainnya.
Terdapat beberapa jenis wujud penggambaran teknik dramatic, yaitu:
- Teknik cakapan
Percakapan didalam sebuah karya fiksi tidak hanya dilakukan untuk memajukan plot, tapi juga dimaksudkan untuk menggambarkan karakteristik-karakteristik tokoh yang bersangkutan. Namun sang pembaca hanya akan mendapatkan sepotong sifat kedirian tokoh yang bersangkutan itu.
- Teknik tingkah laku
Tingkah laku seorang tokoh dapat menunjukkan karakteristik dan kedirian dari tokoh tersebut. Namun tidak semua tingkah laku tokoh menunjukan sifat–sifat tokoh itu, ini disebut tingkah laku yang bersifat netral.
- Teknik pikiran dan perasaan
Pikiran dan perasaan seorang tokoh dapat menunjukkan kedirian dari tokoh itu. Tokoh sangat mungkin untuk berpura-pura dalam bertingkah laku, tetapi sangatlah tidak mungkin tokoh dapat berpura-pura dengan pikiran dan perasaannya sendiri.
- Teknik arus kesadaran/ stream of consciousness
Teknik ini berhubungan dengan teknik sebelumnya, teknik pikiran dan perasaan karena keduanya menunjukkan tingkah laku batin tokoh.
- Teknik reaksi tokoh
Reaksi tokoh terhadap suatu kejadian dapat menunjukan kendirian tokoh itu.
- Teknik reaksi tokoh lain
Reaksi tokoh-tokoh lain terhadap suatu kejadian yang dilakukan oleh sang tokoh dapat menunjukan kedirian tokoh itu. Dengan kata lain, ini merupakan opini tokoh-tokoh lain terhadap tokoh tertentu.
- Teknik pelukisan latar
Tempat dimana suatu cerita terjadi, dapat menunjukkan karakter dari tokoh tersebut. Pelukisan latar tidak hanya akan menunjukkan karakter tokoh, tetapi juga merupaka awal sebuah cerita.
- Teknik pelukisan fisik
Penampilan fisik dari tokoh berhubungan langsung dengan ciri-ciri sang tokoh karena sang pengarang mendeskripsikan tokoh itu dengan maksud tertentu. Teknik ini sangat penting dalam penokohan, karena sangatlah efektif.
2.4 Ceperpen malam pertama calon pendeta
Karena pendirian Ni Krining yang kukuh dan tulus terus-menerus, Aji Punarbawa perlahan-lahan melunak juga. Ia menerima, kendati tak rela, dan bingung, bagaimana mungkin seorang istri setia mendesak suami kawin lagi? Jangan-jangan ini siasat, agar perempuan itu bisa melepaskan diri. Sudah berulang kali Aji menolak, sekian kali pula Krining mendesak.
“Engkau yang memutuskan, Ning. Jika engkau menolak, tetap tak akan ada pendeta di keluarga besar ini.”
”Berulang saya sampaikan, saya menerima. Bukankah saya mendesak terus agar Aji segera madiksa jadi pendeta?”
”Aku mengerti, tapi, itu berarti aku harus….”
”Harus kawin lagi, dan perempuan itu mesti seorang brahmana. Keluarga segera memilihkan untuk Aji.”
Semula Krining bimbang, sampai kemudian ia berada di simpang jalan, antara mempertahankan keutuhan rumah tangga dan mengembalikan martabat keluarga besar suami.
”Ini bukan semata masalah suami-istri. Ini urusan keluarga besar, dan mereka mengharap pengorbanan saya. Apa salah kalau saya bersedia?”
Tidak semua orang menganggap tindakan Krining sebagai pengorbanan. Banyak yang menilai sebagai keharusan dan kepatutan, karena ia bukan perempuan brahmana. Memang, keluarga Aji Punarbawa tidak menolak pernikahan mereka, tapi tidak berarti mereka sepenuhnya merestui. Bahkan tidak sedikit yang menyayangkan, mengapa Aji tidak memilih perempuan brahmana saja, agar keturunan mereka berhak jadi pendeta.
”Tidak apa-apa, kalau memang sudah jodohmu,” ujar ibu Punarbawa dengan suara datar, terasa ia menerima dengan terpaksa.
”Bersyukurlah kamu, karena bisa memilih calon istri dengan bebas, tanpa direcoki keluarga besar,” komentar ayahandanya. ”Ini awal baik membangun rumah tangga bahagia. Istri akan patuh, anak-anak bakal menghormati ayahnya. Kamu akan jadi kepala keluarga bermartabat.”
Martabat itu memang berhasil menjadi mahkota keluarga Krining dan Aji, tapi tidak bagi keluarga besar brahmana di Gria Rangkan. Mereka merasa sudah sangat lama kehilangan martabat, karena tak seorang pun berminat meneruskan tradisi kependetaan. Pegangan hidup kependetaan terbenam dalam puluhan lontar berdebu di gria itu, teronggok usang di sebuah almari kayu jati tinggi besar. Tak seorang pewaris pun tertarik mempelajarinya. Tiga generasi Gria Rangkan lebih memilih jadi pegawai negeri, dosen, guru, dokter. Yang lain jadi pengusaha, politikus. Selebihnya karyawan hotel, penari dan sopir taksi. Mereka tak peduli pada tinggi gelar kebangsawanan untuk mengambil pekerjaan rendah sekalipun. Bagi mereka ilmu kependetaan terlalu kalem dan teduh, tak ada riaknya. Untuk apa menghukum diri dan mengekang indra dengan mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran usang tentang adat dan agama?
Tapi, ketika orang-orang brahmana itu beranjak tua, mereka mulai sadar harus ada yang meneruskan riwayat kependetaan di Gria Rangkan. Bertahun-tahun kesadaran itu mengendap dan mengental, tetap tak seorang pun bersedia dikukuhkan sebagai pendeta. Mereka justru ingin menikmati ketenangan dan kebebasan ketika uzur, tidak mengisinya dengan kelelahan menjadi pelayan umat. Harapan pun ditumpahkan pada Aji Punarbawa, seorang guru agama sekolah menengah.
”Kamu yang paling cocok menjadi pendeta, bukankah sebagai guru agama kamu paham banyak tentang filsafat, etika dan upacara?” rajuk para tetua.
Aji tak berminat, ia punya alasan untuk itu. ”Apakah tidak keliru menunjuk saya? Istri saya bukan wanita brahmana. Saya tak berhak jadi pendeta.”
”Ah, gampang mengaturnya, itu masalah kecil. Yang penting kamu bersedia!”
”Saya tak sudi jadi pendeta karena akal-akalan. Itu melanggar hukum kaum brahmana, kutukan taruhannya,” serang Aji.
Para tetua itu terkekeh-kekeh. ”Tak ada yang dilanggar. Kita menempatkan perempuan sederajat laki-laki. Jika seseorang madiksa sebagai pendeta, istrinya akan jadi pendeta pula.”
”Tapi, istri saya bukan seorang brahmana.”
”Tidak ada larangan kamu beristri lagi dengan perempuan brahmana.”
Aji segera menemui Krining, memeluknya, karena ternyata ia sudah mendengar semua rencana itu, tapi ia pendam sampai Aji menyampaikan langsung.
”Ini rencana gila dan dungu, Ning! Kenapa kita mesti menerima?”
”Karena jika Aji bersedia, semua orang akan lega dan bahagia.”
Aji Punarbawa terbelalak. ”Engkau bahagia jika aku kawin lagi?”
Krining mengangguk. ”Ya, jika itu demi syarat Aji jadi pendeta.”
Aji mendatangi semua tetua di Gria Rangkan, menyampaikan ia menolak jadi pendeta. Ia tak mau kawin lagi, tak sudi menyakiti istrinya.
”Kalau begitu, kita dengar pendapat Krining. Dia yang memutuskan nasib dan kehormatan gria ini,” jelas para tetua.
Dalam pertemuan yang dihadiri semua brahmana sudah berkeluarga, Krining menyampaikan keikhlasan jika suaminya kawin lagi. ”Ini kehormatan dan kesempatan bagi hamba untuk menunjukkan keluhuran budi,” jelasnya.
”Engkau perempuan ajaib yang pernah kukenal, Ning,” ujar Aji malam terakhir ia punya seorang istri. Besok pernikahan akan dilangsungkan, selepas tengah hari. Empat puluh dua hari kemudian pasangan itu akan dikukuhkan sebagai pendeta.
Aji Punarbawa menatap Krining yang duduk di tepi ranjang dengan seprai baru dicuci. Aroma segar dan harum menebar ke seluruh ruangan. Temaram lampu di sudut membuat tubuh Krining tampak lebih jenjang, seperti bayang-bayang senja. Aji duduk di samping meja jati dengan kedua telapak tangan di atas lutut.
”Pasti engkau punya alasan melakukan semua ini. Katakan dengan jujur, Ning.”
”Dulu Gria Rangkan tempat pendeta-pendeta bijak dan sakti, Aji. Tapi, sudah tujuh puluh tahun tak ada lagi pendeta di sini. Sudah saatnya…”
”Itu bukan alasanmu, Ning. Itu ocehan semua brahmana tua di gria ini. Mereka cuma mau menikmati, tak sudi dibebani, ingin tampil sebagai pahlawan tanpa harus bertindak dan berkorban. Aku ingin mendengar alasan dari hatimu, yang jujur dan sejati, karena engkaulah yang berkorban.”
Krining menatap mata Aji dalam temaram sinar. Ia sangat mencintai laki-laki yang lima belas tahun bersamanya, dan memberi dua anak itu. Ia dirasuki bayangan masa muda, tatkala bersua seorang brahmana yang sudi memilih perempuan biasa sebagai istri. Perlahan-lahan matanya hangat, terkenang bagaimana dulu ia meminta agar Aji meninggalkan saja dirinya, sehingga ia bebas memilih perempuan lain dari kaum brahmana pula. Jika kemudian mereka akhirnya menikah, tentu ia benar-benar perempuan pilihan, yang ditakdirkan hidup dalam hiruk-pikuk orang-orang brahmana modern.
”Katakan Ning, apa pun tak akan mengubah keputusan. Kalian sudah keluar sebagai pemenang. Aku cuma ingin mendengar kata hatimu.”
”Saya hanya ingin lontar-lontar itu ada yang membaca dan melakoni.”
Aji tertawa. ”Jangan bercanda, Ning. Aku bersungguh-sungguh. Engkau menyimpan sesuatu yang harus dijelaskan.”
Krining meremas tepi ranjang dengan kedua tangan, dan tetap menatap Aji. Mereka beradu pandang seperti saling menerka isi hati.
”Selain Aji, tak ada yang menggubris keberadaan saya di gria ini,” ujar Krining berusaha tenang. ”Sekarang saya punya kesempatan untuk dihargai. Sungguh luar biasa, ketika para brahmana meminta pendapat saya, membujuk dan memelas agar saya sedia berkorban. Mereka akhirnya harus mengakui, yang mengembalikan wibawa kependetaan dan kesucian Gria Rangkan adalah seorang perempuan biasa.”
Aji Punarbawa melangkah mendekati Krining, mengangkat betis dan merengkuh lututnya, kemudian merebahkannya pelan-pelan di ranjang.
”Tidakkah semua itu berarti engkau lebih menghargai orang lain dibanding diri sendiri?”
Krining tak menjawab, ia tersedu dalam pelukan laki-laki yang mutlak menjadi miliknya hanya saat itu. Aji memberi kehangatan seperti hanya malam itu yang tersisa. Krining menikmatinya dengan raga dan jiwa membuncah, seolah tak ada lagi malam-malam lain bersama suaminya kelak. Mereka menikmati sepenuh malam itu hingga waktu memisahkan, karena pagi tiba, dan Aji harus bersiap melangsungkan upacara perkawinan.
Aji memberi kecupan di kedua mata dan dahi ketika melepas istrinya. Krining melipat seprai yang terpilin-pilin, masih terasa hangat, dan lembab di bagian tengah. Nanti malam ranjang itu akan berselimut seprai baru, untuk Aji bersama perempuan lain. Krining beranjak lima puluh langkah ke barat, ke sebuah kamar di bawah jineng, tempat menyimpan hasil panen. Jineng itu tak lagi digunakan, karena hasil panen sudah dijual langsung di sawah.
Krining membersihkan dipan, menutup kasur kusam dengan seprai yang masih kuat menyisakan bau peluh percintaan mereka. Ia mengunci diri, bersimpuh di lantai, bersamadi menenangkan dada yang berdebar-debar, menguatkan jiwa yang gundah dan getir. Selepas tengah hari ia mendengar gelak tawa genit dan meriah ketika upacara pernikahan berlangsung. Guyonan-guyonan jorok oleh mereka yang menyaksikan perkawinan itu, di antara suara genta, menampar-nampar telinganya. Matanya hangat, sekuat perasaan ia mencoba tidak menangis.
Ia tetap di kamar ketika malam tiba, berusaha sekuat tenaga agar tidak diganggu oleh bayangan gairah pasangan calon pendeta itu menikmati malam pertama. Waktu terasa beranjak malas dan sangat lamban. Dinding-dinding kamar mengepung dan mengimpit, atap bagai hendak ambruk menimpa, membenamkan tubuhnya dalam-dalam ke lantai. ”Kuatkan jiwa hamba, Hyang Widhi,” dia berdoa lirih tanpa henti. Tubuhnya lemas, perasaannya lunglai.
Ketika hendak merebahkan diri di ranjang, ia mendengar suara gaduh beruntun dari arah timur, disertai jerit perempuan berulang-ulang disela isak tangis. Sudah larut malam, saat Krining mendengar langkah terseret-seret menghampiri jineng.
Pintu diketuk berulang-ulang, suara lelaki memanggil-manggil. ”Buka, Ning, buka!”
Krining terkesiap, di hadapannya Aji Punarbawa berdiri dengan napas tersengal-sengal. Di belakangnya seorang perempuan telanjang bersimpuh merunduk tersedu sedan.
”Aku tak sanggup melakukannya, Ning,” ujar Aji dengan tubuh gemetar. ”Terus-menerus aku teringat dirimu yang pasti dirundung sakit hati dan sunyi.”
”Saya meminta, karena Aji suami saya,” isak perempuan bersimpuh itu buru-buru menjelaskan, agar tidak disalahkan. Rambutnya tergerai menggerayangi pinggulnya yang mulus, padat dan kencang.
Krining tak mengerti, mengapa Aji menolak melakukan tugas mulia yang menggairahkan di malam pertama. Tubuh ranum perawan itu dengan sepasang kuntum payudara segar, yang terguncang-guncang menahan deras isak, pasti menantang berahi lelaki mana pun. Bagaimana bisa Aji Punarbawa tak tergoda hanya karena terganggu oleh bayangan derita istri?
Perlahan Krining menarik seprai, agar debu dari kasur kusam tidak beterbangan. Ia gamit pundak perempuan itu berdiri, dan menyelimuti tubuhnya yang telanjang dengan seprai. Betapa lemas jemari perempuan itu terasa oleh Krining ketika menuntunnya kembali ke kamar pengantin, lima puluh langkah ke timur. Aji Punarbawa mengikuti seperti seekor anak kucing membuntuti induknya. Di depan pintu Krining melepas seprai dan meminta perempuan yang dibalut gairah itu memasangnya di ranjang. Aji bengong dan bingung melihat tingkah istrinya.
”Sekarang Aji pasti sanggup,” ujar Krining. ”Bayangkan malam pertama ketika Aji menggumuli saya. Hirup bau keringat kita di seprai, semua akan berlangsung seperti biasa.”
”Berarti aku memerkosa, karena melakukan tanpa cinta.”
”Tak apa, tebuslah empat puluh dua hari nanti, ketika Aji madiksa jadi pendeta,” ujar Krining seperti bercanda.
Aji Punarbawa membungkukkan badan, perlahan-lahan duduk bersila, mencakupkan kedua tangan di depan dada dengan takzim, kemudian memeluk betis Krining dan mencium lututnya.
”Tak pantas calon pendeta menyembah perempuan biasa, Aji.”
”Engkau wanita luar biasa, Ning.”
Seprai sudah terpasang, perempuan itu tergolek telanjang menunggu penuh harap berlumur berahi. Terbayang zaman gemilang yang akan dilaluinya sebagai penampung benih penerus generasi kependetaan Gria Rangkan.
Krining membimbing Aji berdiri, menuntunnya masuk kamar, lalu menutup pintu dari luar. Setenang dan setegar mungkin ia berusaha menempuh lima puluh langkah ke barat, kembali ke jineng. Dalam sunyi hening ia terkenang para leluhur, yang ia yakini selalu mengawasi perilakunya sehari-hari. Di depan pintu ia terpekur, berdoa semoga leluhur merestui tindakannya, dan tidak menghujatnya sebagai perempuan bodoh yang menistakan diri sendiri.
Sudah lewat tengah malam ketika Krining merebahkan diri di dipan dengan kasur kusam, tanpa seprai. Namun, ia merasa sangat nyaman, tetap sebagai perempuan biasa.
Analisi cerpen Malam Pertama Calon Pendeta.
Unsur Intrinsik
– Tema: Seorang wanita biasa yang rela di poligami demi sebuah kasta.
– Amanat: Aji Punarbawa melangkah mendekati Krining, mengangkat betis dan merengkuh lututnya, kemudian merebahkannya pelan-pelan di ranjang.
”Tidakkah semua itu berarti engkau lebih menghargai orang lain dibanding diri sendiri?”
– Alur: jalan cerita. Maju
– Sudut pandang: Campuran
– Latar: Tempat, Gria Rangkan,
suasana, hening di balut keresahan
– Penokohan: NI Krining, bijaksana
Aji Purnabawa, bijaksana, dan kurang konsisten
– Majas: Krining menatap mata Aji dalam temaram sinar. Ia sangat mencintai laki-laki yang lima belas tahun bersamanya, dan memberi dua anak itu. Ia dirasuki bayangan masa muda, tatkala bersua seorang brahmana yang sudi memilih perempuan biasa sebagai istri. Perlahan-lahan matanya hangat, terkenang bagaimana dulu ia meminta agar Aji meninggalkan saja dirinya, sehingga ia bebas memilih perempuan lain dari kaum brahmana pula. Jika kemudian mereka akhirnya menikah, tentu ia benar-benar perempuan pilihan, yang ditakdirkan hidup dalam hiruk-pikuk orang-orang brahmana modern.
Unsur ekstrinsik
– Latar belakang sosial pengarang
Melalui MPSCP, Aryantha seakan menyuarakan kegelisahannya terkait pengelompokan kasta di Bali. Tersirat keinginan untuk memperlihatkan dampak-dampak nyata dari sistem pembagian masyarakat berdasarkan golongan yang telah berlangsung lama. Cerpen ini layak untuk dijadikan bahan renungan masyarakat Bali yang masih minim kesadaran untuk membuka pikirannya tentang masalah-masalah sosial seperti kasta. Untuk mengingatkan kembali cerita MPSCP, ada baiknya disajikan ringkasnya. Berikut ulasannya.
– Psikologi pengarang
Resah oleh dijaman modern seperti kini masih marak terjadi problematika tentang kasta, terutama di Bali,
Lingkaran kasta yang menjerat tokoh Krining dan tokoh Aji telah ada di Bali ketika peradaban belum maju. Kelas-kelas sosial ini berusaha dilestarikan di masyarakat oleh beberapa golongan sehingga menjadi budaya yang tidak bisa dipisahkan oleh Bali. Namun sesungguhnya kasta merupakan politik pemecah belah yang dipraktekan oleh Belanda dengan butir-butir yang diambil dari ajaran Hindu, Catur Warna. Kesalahpahaman itu pun terus berkembang luas dikalangan masyarakat dan menimbulkan suatu kepekatan persepsi antar golongan.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Dari berbagai penjelesan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut antara lain:
Istilah tokoh dan penokohan menunjuk pada pengertian yang berbeda. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. sedangkan Penokohan dan karakteristik menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita.
Secara garis besar perbedaan tokoh dapat dibagi menjadi beberapa bagian antara lain:
- jenis tokoh bila dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya dalam suatu cerita, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan
- dilihat dari sifat tokoh, ada dua jenis tokoh, yaitu tokoh protagonis dan Tokoh antagonis
- Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi: Tokoh sederhana dan Tokoh bulat
- Bedasarkan kriteria bekembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dibedakan menjadi:Tokoh Statis, dan Tokoh Berkembang
- Bedasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok manusia dalam kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi:Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Ø Teknik pelukisan tokoh secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu teknik ekspositori dan teknik dramatik
Ø Penokohan harus terjalin erat dengan berbagai unsur pengembangan dalam sebuah cerita
Serta dengan menganalisis cerpen dan memplajari tentang penokohan ini,kita dapat mengetahui unsur intrinsik dalam cerpen yaitu tema,alur,tokoh,latar,sudut pandang,gaya bahasa, dan amanat.jadi,dengan ini kita mengetahui bahwa unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen sedikit berbeda dengan unsure intrinsic yang terdapat dalam novel.
3.2 saran – saran
Karna kita sudah memperdalam pembelajaran tentang penokohan maupun analisis cerpen, apa salahnya kita sebagai orang seni berkarya membuat suatu inovasi yang belum pernah kita coba, sebagai bukti bahwa kita berproses dalam pembelajaran sastra Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Leroy, Diana. 2003. Sastra Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta : Erlangga.
Wijaya, Putu. 2011. Pengajaran Sastra. http : / / sastra-indonesia . com / 2011 / 03 / pengajaran-sastra /. Diakses pada tanggal 20 / 02 / 2017 10:03
Wibisono, B Kunto. 2010. Pembelajaran Sastra Dorong Sikap Kritis. http : / / www . antaranews . com / berita / 206353 / pembelajaran-sastra-dorong-sikap-kritis. Diakses pada tanggal 21 / 02 / 2017 7:47
Arif, Mohammad. 2008. Pembelajaran Sasta Secara Integratif. http : / / re-searchengines . com / mohamad 0708 . html. Diakses pada tanggal 21/02/2017 9:53
Hamid, Mukhlis A. Pengajaran Sastra Indonesia Di Sekolah. http : / / gemasastrin . wordpress . com / 2007 / 04 / 20 / pengajaran-sastra-indonesia-di-sekolah / . Diakses pada tanggal 22 / 02 / 2017 8:42
Pembelajaran Sastra Indonesia. http : / / guru pembaharu . com / home / ? p = 9911. Diakses pada tanggal 23 / 02 / 2017 8:03
Related Articles
No user responded in this post