Sejarah Gamelan Angklung di Desa Tanjung Benoa, kecamatan Kuta Selatan, Badung

Gamelan Bali atau Gambelan Bali, atau juga dikenal dengan Karawitan Bali, dibedakan menjadi tiga jenis, berdasarkan zamannya. Ketiga jenis itu antara lain Gamelan Wayah, Gamelan Madya dan Gamelan Anyar. Gamelan Wayah atau Gamelan Tua diperkirakan telah ada sebelum abad XV. Umumnya didominasi oleh alat-alat berbentuk bilahan dan tidak mempergunakan kendang. Kalaupun mempergunakan kendang, dapat dipastikan tidak memiliki peranan yang menonjol. Gamelan Wayah ini terbagi atas Angklung, Balaganjur, Bebonangan, Caruk dan Gambang. Gamelan Madya dan Gamelan Anyar.

Gamelan Madya berasal dari sekitar abad XVI-XIX. Gamelan ini sudah memakai kendang dan instrumen-instrumen bermoncol (berpencon). Dalam Gamelan jenis ini, kendang sudah mulai memainkan peranan penting. Yang termasuk dalam Gamelan Madya adalah Batel Barong, Bebarongan, Gamelan Joged Pingitan, Gamelan Penggambuhan, Gong Gede, Pelegongan, Semar Pagulingan. Sedangkan Gamelan Anyar adalah gamelan golongan baru, yang meliputi jenis-jenis barungan gamelan yang muncul pada abad XX. Permainan kendang yang sangat menonjol menjadi ciri khas dari jenis Gamelan Anyar ini. Gamelan Anyar memiliki beberapa jenis, antara lain Gamelan Manikasanti, Gamelan Semaradana, Gamelan Bumbang, Gamelan Geguntangan, Gamelan Genta Pinara Pitu, Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Janger dan Gamelan Joged Bumbung.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menjelajah Desa Tanjung Benoa yang berada di sebelah selatan Nusa Dua, tepatnya di Desa Adat  Pekraman Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, yang tak hanya dikenal karena pantainya, juga terkenal akan musik Gamelan Angklungnya. Gamelan Angklung adalah jenis gamelan tua yang terdapat di Bali. Gamelan Angklung ini sempat sangat populer pada zaman dulu di hampir wilayah Bali. Jenis Gamelan ini memiliki fungsi utama sebagai pengiring upacara adat di Bali. Gamelan Angklung dipakai sebagai pengiring upacara Pitra Yadnya (Ngaben), sebuah upacara kematian untuk umat Hindu di Bali. Adapun Di sekitar kota Denpasar dan beberapa tempat lainnya, penguburan mayat warga Tionghoa seringkali diiringi dengan Gamelan Angklung, yang menggantikan fungsi gamelan Gong Gede yang dipakai untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya (odalan) serta upacara-upacara keagamaan yang lainnya. Gamelan Angklung tersebut disebut juga sebagai Angklung Klasik. Sedangkan saat ini, Gamelan Angklung mengalami perkembangan dari segi penggunaannya. Selain Angklung Klasik untuk upacara Ngaben, juga terdapat Angklung Kebyar, yang berfungsi sebagai musik pengiring tari-tarian dan juga pagelaran drama di Bali. Meskipun begitu, dibandingkan dengan jenis musik gamelan yang lain, Gamelan Angklung dianggap sebagai musik gamelan yang sakral, karena masih digunakan sebagai pengiring upacara adat sampai saat ini.

Gamelan Angklung memiliki laras Slendro yang dibentuk oleh instrumen berbilah dan pencon dari krawang, kadang-kadang ditambah angklung bambu kocok (yang berukuran kecil). Di wilayah Bali, penggunaan nada dalam Gamelan Angklung memiliki sedikit perbedaan. Di Bali Selatan gamelan ini hanya mempergunakan 4 nada sedangkan di Bali Utara mempergunakan 5 nada. Pada festival-festival Pura, keriangan melodi 4-nada gamelan angklung dimainkan dengan alunan kontras dan sakral dengan komposisi lelambatan yang seringkali terdengar dimainkan terus menerus.

Dalam Gamelan Angklung, terdapat nama-nama untuk setiap tabuhannya, seperti tabuh Asep Menyan, Capung Manjus, Capung Ngumbang, Dongkang Menek Biu, Guwak Maling Taluh, Sekar Jepun, Berong, Sekar Ulat, Glagah Katununan, Jaran Sirig, Kupu-kupu Tarum, Meong Magarong, Pipis Samas, Sekar Sandat, Cecek Magelut. Selain itu juga, Barungan Gamelan Angklung klentangan terdiri dari 3 pasang : Pemade, Tiga pasang kantil, Empat tungguh reong, Sepasang jegogan, Sebuah tungguh kempul, Sebuah kelenang, Sebuah tawa-tawa, Sebuah suling atau lebih, Sepangkon ricik, Sepancar genta orag dan sepasang kendang lanang,wadon berukuran kecil. Beberapa instrumen juga terkadang ditambahkan seperti jublag, kendang gupekan, kempur,kemong,dan gong.  Secara umum tungguhan gamelan angklung pada waktu lampau masih berbentuk lelengisan, dan hanya dipernis, tetapi dewasa ini kita lihat sudah diprada sebagaimana Gong Kebyar. Secara  fisik pada awalnya angklung menggunakan empat bilah nada, kemudian para senimannya pada perkembangannya menambahkan lagi beberapa bilah untuk mendukung kebutuhan komposisi lagu. Perubahan atas bertambahnya bilah nada dalam gamelan angklung adalah tidak terlepas dari factor terkena imbas dari pengaruh gender wayang dan dan factor kedua adalah karena ada difungsikan untuk mengiringi Joged Bumbung (Sudirga,Komang, 2004, 2).

Desa Adat Tanjung Benoa adalah salah satu wilayah di Bali yang sangat aktif melestarikan Gamelan Angklung ini. Hal ini dapat dilihat dari adanya sebuah organisasi tradisional yang memiliki tujuan sosial. Organisasi itu dikenal dengan nama Seeke Angklung Segara Putra. Sekee ini berada di lingkungan Desa Pekraman Tanjung Benoa, Nusa Dua, Kabupaten Badung.  Organisasi ini membantu secara sukarela kepada masyarakat yang membutuhkan iringan musik Gamelan Angklung untuk mengiringi upacara. Mereka secara sukarela membantu tanpa meminta pamrih. Sebenarnya, apabila ada yang ingin menyewa Gamelan Angklung, mereka harus membayar uang sewa. Tetapi melalui organisasi ini, mereka tidak membayar sama sekali untuk menyewa Gamelan Angklung ini.

Belakangan ini, Gamelan Angklung mengalami berbagai  perubahan. Tidak hanya berupa bentuk fisik instrumentasinya, tetapi juga terjadi perkembangan repertoar dan fungsi, di dalam konteks kehidupan sosial masyarakat di Bali. Hingga sampai saat, Gamelan Angklung telah diangkat untuk ajang sebuah kreativitas, yang dapat tampil sebagai Angklung Kebyar dan angklung dengan kreativitas seni modern.

Itulah Gamelan Angklung, yang eksistensi masih terjaga sampai saat ini, terutama di Desa Tanjung Benoa. Keeksistensiannya tak lepas dari perubahan-perubahan yang terjadi pada Gamelan Angklung ini. Tak hanya sebagai sebuah alat untuk mengiringi upacara keagamaan, yang mengiringi jenasah menuju alam baka, tetapi juga telah mengalami perubahan sebagai sarana pengiring tari-tarian dan pagelaran drama, yang kehadirannya menambah nilai keindahan tersendiri di setiap pementasannya. Tentu saja ini merupakan sebuah inovasi yang dilakukan oleh seniman-seniman Bali, untuk tetap menjaga dan melestarikan Gamelan Angklung, yang secara historis mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi mengingat jenis gamelan Bali ini merupakan yang tertua dibandingkan dengan jenis-jenis gamelan Bali yang lain. Kegemaran masyarakat untuk memainkan Gamelan Angklung sampai saat ini, merupakan nilai tersendiri yang menjadi nilai tambah bagi keberhasilan para seniman Bali ini.

Semoga apa yang telah dilakukan oleh para seniman di Desa Tanjung Benoa dalam melestarikan Gamelan Angklung ini dapat ditiru dan menjadi teladan bagi seniman-seniman dari daerah lain, agar warisan luhur bangsa ini dapat tetap lestari dan digemari oleh masyarakat sejalan dengan perkembangan zaman yang sangat dinamis ini.

Biografi Seniman Alam I Nyoman Kaler

I Nyoman Kaler, nama yang hampir menjadi legenda. Seorang Mpu Tari dan Tabuh yang melahirkan banyak kreasi-kreasi, yang kemudian melambungkan nama Bali di seluruh dunia. Bersama dua rekannya, I Wayan Lotering dan I Ketut Marya, Berata menjadi tokoh seniman Bali yang telah melegenda

Profil Tokoh:
I Nyoman Kaler lahir pada tahun 1892 di Desa Pamogan, Kecamatan Denpasar Selatan . Ayahnya I Gde Bakta adalah seorang seniman serba bisa pada zamannya. Sang ibu, Ni Ketut Taro, juga memiliki seni Kakeknya, I Gde Salin, kemudian darah ayahnya sendiri merupakan guru tari dan tabuh yang punya nama. Kaler sendiri berguru kepada kakek dan ayahnya, yang nantinya mewariskan padanya tari nandhir, baris kupu-kupu, sisia Calonarang, wayang wong, dan parwa. Kaler tak pernah mengenyam pendidikan formal, sebab seingatnya, sampai tahun 1900 di Denpasar belum dibuka sekolah-sekolah. Namun kemampuannya baik baca tulis aksara Bali maupun huruf Latin tak bisa diragukan. Kepandaian ini didapat dari pendidikan non-formal di sela-sela kesibukannya memperdalam seni tari dan tabuh. Dalam penguasaan tari dan tabuh pagambuhan ia sempat dididik oleh I Gusti Gede Candu, I Made Sariada, I Made Nyankan. semuanya dari Denpasar, dan I Made Sudana dari Tegal Taniu. Pada tahun 1918, dalam usia 26 tahun, I Nyoman Kaler memperdalam tari Legong Kraton pada gurunya, Ida Bagus Boda dari Kaliungu Klod, Denpasar. Tahun 1924 memperdalani tari dan tabuh pada Anak Agung Rai Pahang dari Sukawati. Gianyar. Kaler sangat terkesan pada gurunya yang satu ini. Cara mengajar gurunya yang luar biasa itu meinungkmkan Nyoman Kaler memahami seluk-beluk dan gerak tari dengan mendalam. Kaler pun menjadi murid kesayangan karena bakatnya yang mengagumkan. Sampai-sampai sang guru menganugerahkan seekor kuda pada murid yang rajin ini. Kaler menguasai hampir seluruh perangkat gambelan Bali dan memahami betul semua gending-gending pegongan, gender, angklung, semar pagulingan, dan sebagainya. Dari pengetahuan yang dimiliki maka Nyoman Kaler telah mulai mengajar sejak tahun 1918.

Beberapa Karya dari I Nyoman Kaler

Tari Mregapati merupakan karakter babancihan keras yang melukiskan gerak-gerik raja hutan sedang mengintai mangsa, kemudian dikiaskan dalam kegagah-perkasaan seorang raja. Tarian ini mula-mula bernama Kebyar Dang, dibawakan pertama kali oleh Luh Murma asal Penarungan, Badung, yang kini berdomisili di Denpasar. Babancihan keras lainnya adalah tari Wiranata yang menggambarkan kegagah-beranian seorang raja. Kekhasan tarian ini terletak pada gerakan mata nguler — gerakan memutar bola mata dengan cepat dan akan menjadi hebat bila pemerannya memiliki pandangan tajam. Penari pemulanya adalah Ni Rabeg, sedangkan yang tenar membawakannya adalah Jero Gadung dari Tabanan, setelah tarian itu direvisi oleh Ridet.

Ciptaan Kaler yang termasuk babancihan karakter halus adalah Panji Semirang dan Demang Miring. Tari Panji Semirang pada mulanya bernama Kebyar Dung yang memiliki struktur tari hampir sama dengan tari perempuan Candra Metu. Namun Panji Semirang lebih berkembang dan dibawakan pertama kali oleh Luh Cawan sebagai murid Kaler yang sangat cocok memerankannya. Tarian ini mengisahkan pengembaraan Candra Kirana mencari kekasihnya Panji Inu Kertapati dengan menyamar berpakaian laki-laki. Tari Demang Miring yang sering disebut Tabuh Telu, menggambarkan seorang raja berburu ke hutan yang dalam perjalanannya disambut meriah oleh rakyat karena keramah-tamahannya. Tarian ini memakai gerak-gerak tari Prabu dan tayog Demang (patih kerajaan dalam cerita Gambuh). Penari awalnya adalah Luh Melok Kartini dari Kerobokan, kemudian Darmi yang terkenal membawakannya.

Deskripsi Profesi:
Hampir sepenuhnya riwayat hidup Nyoman Kaler diabdikan untuk kesenian. Dari tahun 1918 – 1959 Kaler bak bintang yang menyala. Karya dan pemikirannya terhadap seni tumbuh subur. Sebagai seorang guru seni, Nyoman Kaler melahirkan banyak seniman tari yang belakangan namanya juga menjadi cukup monumental. Mulai dari mendirikan sekaa Legong Kraton di Pura Jurit Klandis, Denpasar, tahun 1924, yang nantinya melahirkan penari Ni Ketut Ciblun dan Ni Ketut Polok. Pada tahun yang sama, ia mengajar pula tari janger di Banjar Kedaton, dari sini lahir penari terkenal Ni Gusti Ayu Rengkeng, Ni Ketut Reneng, Ni Rening, dkk. Pada tahun 1933 ia mengajar Legong Kebyar di Banjar Lebah, Kesiman, melahirkan penari I Wayan Rindi, Ni Luh Cawan, Ni Sadri.

Penghargaan:
• Atas pengabdiannya terhadap seni, ia telah menerima penghargaan tertinggi bidang seni dari pemerintah RI pada 1968 yakni Wijaya Kusuma dan pada 1980 • Dharma Kusuma dari Pemda Bali. • Selain itu, ia pernah mengikuti muhibah ke Singapura, Srilangka dan India.

I Nyoman Kaler, nama yang hampir menjadi legenda. Seorang Mpu Tari dan Tabuh yang melahirkan banyak kreasi-kreasi, yang kemudian melambungkan nama Bali di seluruh dunia. Bersama dua rekannya, I Wayan Lotering dan I Ketut Marya, Berata menjadi tokoh seniman Bali yang telah melegenda

Profil Tokoh:
I Nyoman Kaler lahir pada tahun 1892 di Desa Pamogan, Kecamatan Denpasar Selatan . Ayahnya I Gde Bakta adalah seorang seniman serba bisa pada zamannya. Sang ibu, Ni Ketut Taro, juga memiliki seni Kakeknya, I Gde Salin, kemudian darah ayahnya sendiri merupakan guru tari dan tabuh yang punya nama. Kaler sendiri berguru kepada kakek dan ayahnya, yang nantinya mewariskan padanya tari nandhir, baris kupu-kupu, sisia Calonarang, wayang wong, dan parwa. Kaler tak pernah mengenyam pendidikan formal, sebab seingatnya, sampai tahun 1900 di Denpasar belum dibuka sekolah-sekolah. Namun kemampuannya baik baca tulis aksara Bali maupun huruf Latin tak bisa diragukan. Kepandaian ini didapat dari pendidikan non-formal di sela-sela kesibukannya memperdalam seni tari dan tabuh. Dalam penguasaan tari dan tabuh pagambuhan ia sempat dididik oleh I Gusti Gede Candu, I Made Sariada, I Made Nyankan. semuanya dari Denpasar, dan I Made Sudana dari Tegal Taniu. Pada tahun 1918, dalam usia 26 tahun, I Nyoman Kaler memperdalam tari Legong Kraton pada gurunya, Ida Bagus Boda dari Kaliungu Klod, Denpasar. Tahun 1924 memperdalani tari dan tabuh pada Anak Agung Rai Pahang dari Sukawati. Gianyar. Kaler sangat terkesan pada gurunya yang satu ini. Cara mengajar gurunya yang luar biasa itu meinungkmkan Nyoman Kaler memahami seluk-beluk dan gerak tari dengan mendalam. Kaler pun menjadi murid kesayangan karena bakatnya yang mengagumkan. Sampai-sampai sang guru menganugerahkan seekor kuda pada murid yang rajin ini. Kaler menguasai hampir seluruh perangkat gambelan Bali dan memahami betul semua gending-gending pegongan, gender, angklung, semar pagulingan, dan sebagainya. Dari pengetahuan yang dimiliki maka Nyoman Kaler telah mulai mengajar sejak tahun 1918.

Beberapa Karya dari I Nyoman Kaler

Tari Mregapati merupakan karakter babancihan keras yang melukiskan gerak-gerik raja hutan sedang mengintai mangsa, kemudian dikiaskan dalam kegagah-perkasaan seorang raja. Tarian ini mula-mula bernama Kebyar Dang, dibawakan pertama kali oleh Luh Murma asal Penarungan, Badung, yang kini berdomisili di Denpasar. Babancihan keras lainnya adalah tari Wiranata yang menggambarkan kegagah-beranian seorang raja. Kekhasan tarian ini terletak pada gerakan mata nguler — gerakan memutar bola mata dengan cepat dan akan menjadi hebat bila pemerannya memiliki pandangan tajam. Penari pemulanya adalah Ni Rabeg, sedangkan yang tenar membawakannya adalah Jero Gadung dari Tabanan, setelah tarian itu direvisi oleh Ridet.

Ciptaan Kaler yang termasuk babancihan karakter halus adalah Panji Semirang dan Demang Miring. Tari Panji Semirang pada mulanya bernama Kebyar Dung yang memiliki struktur tari hampir sama dengan tari perempuan Candra Metu. Namun Panji Semirang lebih berkembang dan dibawakan pertama kali oleh Luh Cawan sebagai murid Kaler yang sangat cocok memerankannya. Tarian ini mengisahkan pengembaraan Candra Kirana mencari kekasihnya Panji Inu Kertapati dengan menyamar berpakaian laki-laki. Tari Demang Miring yang sering disebut Tabuh Telu, menggambarkan seorang raja berburu ke hutan yang dalam perjalanannya disambut meriah oleh rakyat karena keramah-tamahannya. Tarian ini memakai gerak-gerak tari Prabu dan tayog Demang (patih kerajaan dalam cerita Gambuh). Penari awalnya adalah Luh Melok Kartini dari Kerobokan, kemudian Darmi yang terkenal membawakannya.

Deskripsi Profesi:
Hampir sepenuhnya riwayat hidup Nyoman Kaler diabdikan untuk kesenian. Dari tahun 1918 – 1959 Kaler bak bintang yang menyala. Karya dan pemikirannya terhadap seni tumbuh subur. Sebagai seorang guru seni, Nyoman Kaler melahirkan banyak seniman tari yang belakangan namanya juga menjadi cukup monumental. Mulai dari mendirikan sekaa Legong Kraton di Pura Jurit Klandis, Denpasar, tahun 1924, yang nantinya melahirkan penari Ni Ketut Ciblun dan Ni Ketut Polok. Pada tahun yang sama, ia mengajar pula tari janger di Banjar Kedaton, dari sini lahir penari terkenal Ni Gusti Ayu Rengkeng, Ni Ketut Reneng, Ni Rening, dkk. Pada tahun 1933 ia mengajar Legong Kebyar di Banjar Lebah, Kesiman, melahirkan penari I Wayan Rindi, Ni Luh Cawan, Ni Sadri.

Penghargaan:
• Atas pengabdiannya terhadap seni, ia telah menerima penghargaan tertinggi bidang seni dari pemerintah RI pada 1968 yakni Wijaya Kusuma dan pada 1980 • Dharma Kusuma dari Pemda Bali. • Selain itu, ia pernah mengikuti muhibah ke Singapura, Srilangka dan India.

KOMENTAR TENTANG VIDEO GONG KEBYAR

YouTube Preview Image

TABUH KREASI UDGITA

GONG KEBYAR KABUPATEN KLUNGKUNG

TAHUN 2004

 

 

 

Komentar video Gong Kebyar Tabuh kreasi Udgita Kabupaten Klungkung

 

Dari suara sound suara gong dan kempur tidak kedengara, kemudian suara kendang lebih dominan kendang wadon dan kendang lanang kurang jelas bahkan tidak kedengaran, suara penyacah sangat tidak jelas,suara suling hilang saat semua instrument dimainkan, yang menonjol hanya suara gangsa dan reong,

Kemudian penaruhan instrument kurang kreatif . Selain itu dari segi pengambilan gambar juga kurang bagus. Tidak adanya efek lampu dan para penabuh kurang berekspresi, hasil rekaman terpotong-potong

 

Sekian komentar saya, yang bisa saya ungkapi kalau ada kesalahan atau kekurangan kata-kata yang kurang berkenan di hati anda, saya mohon maaf dengan. Ini hanyalah pendapat saya. Sekian dan terima kasih

 

JEGOG

Gambelan Jegog Kesenian Khas Kabupaten Jembrana, Bali

D i Bali Barat tepatnya di Kabupaten Jembrana 100 km arah ke Barat dari Kota Denpasar menampilkan, kesenian berupa gambelan bambu (musik dari pohon bambu) lebih dominan, salah satunya adalah Gambelan Jegog yang merupakan kesenian khas Kabupaten Jembrana.

Gambelan “Jegog” adalah gambelan (alat musik) yang terbuat dari pohon bambu berukuran besar yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi seperangkat alat musik bambu yang suaranya sangat merdu dan menawan hati.

Kisah Awalnya Kesenian Jegog

Kesenian ini diciptakan oleh seniman yang bernama Kiyang Geliduh dari Dusun Sebual Desa Dangintukadaya pada tahun 1912.

Kata “Jegog” diambil dari instrumen Kesenian Gong Kebyar yang paling besar.

Kesenian Jegog hanyalah berupa tabuh (barung tabuh) yang fungsi awalnya sebagai hiburan para pekerja bergotong royong membuat atap rumah dari daun pohon rumbia, dalam istilah bali bekerja bergotong royong membuat atap dari daun pohon rumbia disebut “nyucuk”, dalam kegiatan ini beberapa orang lagi menabuh gambelan jegog.

Dalam perkembangan selanjutnya Gambelan Jegog juga dipakai sebagai pengiring upacara keagamaan, resepsi pernikahan, jamuan kenegaraan, dan kini sudah dilengkapi dengan drama tarian-tarian yang mengambil inspirasi alam dan budaya lokal seperti yang namanya Tabuh Trungtungan, Tabuh Goak Ngolol, Tabuh Macan Putih dengan tari-tariannya seperti Tari Makepung, Tari Cangak Lemodang, Tari Bambu, sebagai seni pertunjukan wisata.

Penampilan Gambelan Jegog begitu menohok, para penabuh menari-nari di atas gambelan, suara Jegog begitu gemuruh, rancak, riuh, bergaung dan sering menggelegar menembus ruang batas yang bisa didengar dari jarak jauh apalagi dibunyikan pada waktu malam hari suaranya bisa menjangkau jarak sampai 3 (tiga) Km.

Jegog Mebarung

Kesenian Jegog ini bisa dipakai sebagai atraksi pertarungan Jegog.

Pertarungan Jegog dalam bahasa Bali disebut “Jegog Mebarung”, yaitu pementasan seni Jegog dengan tabuh mebarung (bertarung).

Mebarung artinya bertarung antara dua jegog atau bisa juga bertarung antara tiga Jegog, dalam Bahasa Bali disebut Jegog Barung Dua atau Jegog Barung Tiga.

Jegog mebarung ini biasanya dipertontonkan pada acara-acara syukuran yaitu pada acara suka ria di Desa.

Untuk diketahui Bagaimana penampilan Jegog Mebarung, dapat dijelaskan sebagai berikut :
– Dua perangkat gambelan jegog atau tiga perangkat gambelan jegog ditaruh pada satu areal yang cukup untuk dua atau tiga perangkat gambelan jegog.
– Masing-masing Kru Jegog ini membawa penabuh 20 orang.

Pada saat mebarung masing-masing Jegog mengawali dengan menampilkan tabuh yang namanya Tabuh Terungtungan yaitu suatu tabuh sebagai ungkapan rasa terima kasih dan hormat kepada para penonton dan penggemar seni jegog, dengan durasi waktu masing-masing 10 menit.

Tabuh Terungtungan ini adalah tabuh yang suaranya lembut dan kedengarannya sangat merdu karena melantunkan lagu-lagu dengan irama yang sangat mempesona sebagai inspirasi keindahan alam Bali.

Setelah penampilan Tabuh Terungtungan baru dilanjutkan dengan atraksi jegog mebarung yaitu masing-masing penabuh memukul gambelan jegog secara bersamaan antara Kru jegog yang satu dengan kru jegog lawan mebarung.

Penabuh memukul gambelan jegog (musik jegog) dengan sangat keras sehingga kedengarannya musik jegog tersebut sangat riuh dan sangat gaduh dan kadang-kadang para penonton sangat sulit membedakan suara lagu musik jegog yang satu dengan yang lainnya.

Karena saking kerasnya dipukul oleh penabuh, maka tidak jarang sampai gambelan jegognya pecah dan suaranya pesek (serak).

Tepuk tangan dari para penonton sangat rame begitu juga sepirit dari masing-masing Kru jegog sangat riuh saling ejek dan saling soraki.

Apalagi Gambelan Jegognya sampai pecah dipukul oleh penabuh, maka sepirit dari kru Jegog lawannya menyoraki sangat riuh dan mengejek dengan melakukan tari-tarian sambil berteriak-teriak yang bisa kadang-kadang menimbulkan emosi bagi sipenabuh Jegog.

Penentuan kalah dan menang Jegog mebarung ini adalah para penonton karena Jegog mebarung ini tidak ada tim juri khusus jadi tergantung penilaian para penonton saat itu.

Apabila suara salah satu gambelan jegog kedengarannya oleh sipenonton lebih dominan dan teratur suara lagu-lagunya, maka jegog tersebut dinyatakan sebagai pemenang mebarung.

Sedangkan hadiahnya bagi sipemenang adalah berupa suatu kebanggaan saja bagi kru Jegog tersebut.

Karena Jegog mebarung adalah pertunjukan kesenian yang tujuannya untuk menghibur para penonton dan para penggemarnya, pertunjukan jegog mebarung adalah pertunjukan hiburan.

Kesenian Jegog ini sudah melanglang buana karena sudah sering melawat ke Luar Negeri dan telah menembus 3 Benua seperti Eropa, Afrika dan Asia.

Sedangkan intensitas lawatan ke Jepang yang paling menonjol sejak tahun 1971 di kota Saporo, Pulau Hokaido oleh Nyoman Jayus hingga tahun 2003 di Kota Okayama.

Demikian adanya Kesenian Jegog di Kabupaten Jembrana yang terus berkembang dan tidak pernah surut oleh perkembangan jaman dan apabila ingin menikmati keindahan kesenian musik Jegog bisa ditampilkan setiap saat di Kabupaten Jembrana.

 

JEGOG

Gambelan Jegog Kesenian Khas Kabupaten Jembrana, Bali

D i Bali Barat tepatnya di Kabupaten Jembrana 100 km arah ke Barat dari Kota Denpasar menampilkan, kesenian berupa gambelan bambu (musik dari pohon bambu) lebih dominan, salah satunya adalah Gambelan Jegog yang merupakan kesenian khas Kabupaten Jembrana.

Gambelan “Jegog” adalah gambelan (alat musik) yang terbuat dari pohon bambu berukuran besar yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi seperangkat alat musik bambu yang suaranya sangat merdu dan menawan hati.

Kisah Awalnya Kesenian Jegog

Kesenian ini diciptakan oleh seniman yang bernama Kiyang Geliduh dari Dusun Sebual Desa Dangintukadaya pada tahun 1912.

Kata “Jegog” diambil dari instrumen Kesenian Gong Kebyar yang paling besar.

Kesenian Jegog hanyalah berupa tabuh (barung tabuh) yang fungsi awalnya sebagai hiburan para pekerja bergotong royong membuat atap rumah dari daun pohon rumbia, dalam istilah bali bekerja bergotong royong membuat atap dari daun pohon rumbia disebut “nyucuk”, dalam kegiatan ini beberapa orang lagi menabuh gambelan jegog.

Dalam perkembangan selanjutnya Gambelan Jegog juga dipakai sebagai pengiring upacara keagamaan, resepsi pernikahan, jamuan kenegaraan, dan kini sudah dilengkapi dengan drama tarian-tarian yang mengambil inspirasi alam dan budaya lokal seperti yang namanya Tabuh Trungtungan, Tabuh Goak Ngolol, Tabuh Macan Putih dengan tari-tariannya seperti Tari Makepung, Tari Cangak Lemodang, Tari Bambu, sebagai seni pertunjukan wisata.

Penampilan Gambelan Jegog begitu menohok, para penabuh menari-nari di atas gambelan, suara Jegog begitu gemuruh, rancak, riuh, bergaung dan sering menggelegar menembus ruang batas yang bisa didengar dari jarak jauh apalagi dibunyikan pada waktu malam hari suaranya bisa menjangkau jarak sampai 3 (tiga) Km.

Jegog Mebarung

Kesenian Jegog ini bisa dipakai sebagai atraksi pertarungan Jegog.

Pertarungan Jegog dalam bahasa Bali disebut “Jegog Mebarung”, yaitu pementasan seni Jegog dengan tabuh mebarung (bertarung).

Mebarung artinya bertarung antara dua jegog atau bisa juga bertarung antara tiga Jegog, dalam Bahasa Bali disebut Jegog Barung Dua atau Jegog Barung Tiga.

Jegog mebarung ini biasanya dipertontonkan pada acara-acara syukuran yaitu pada acara suka ria di Desa.

Untuk diketahui Bagaimana penampilan Jegog Mebarung, dapat dijelaskan sebagai berikut :
– Dua perangkat gambelan jegog atau tiga perangkat gambelan jegog ditaruh pada satu areal yang cukup untuk dua atau tiga perangkat gambelan jegog.
– Masing-masing Kru Jegog ini membawa penabuh 20 orang.

Pada saat mebarung masing-masing Jegog mengawali dengan menampilkan tabuh yang namanya Tabuh Terungtungan yaitu suatu tabuh sebagai ungkapan rasa terima kasih dan hormat kepada para penonton dan penggemar seni jegog, dengan durasi waktu masing-masing 10 menit.

Tabuh Terungtungan ini adalah tabuh yang suaranya lembut dan kedengarannya sangat merdu karena melantunkan lagu-lagu dengan irama yang sangat mempesona sebagai inspirasi keindahan alam Bali.

Setelah penampilan Tabuh Terungtungan baru dilanjutkan dengan atraksi jegog mebarung yaitu masing-masing penabuh memukul gambelan jegog secara bersamaan antara Kru jegog yang satu dengan kru jegog lawan mebarung.

Penabuh memukul gambelan jegog (musik jegog) dengan sangat keras sehingga kedengarannya musik jegog tersebut sangat riuh dan sangat gaduh dan kadang-kadang para penonton sangat sulit membedakan suara lagu musik jegog yang satu dengan yang lainnya.

Karena saking kerasnya dipukul oleh penabuh, maka tidak jarang sampai gambelan jegognya pecah dan suaranya pesek (serak).

Tepuk tangan dari para penonton sangat rame begitu juga sepirit dari masing-masing Kru jegog sangat riuh saling ejek dan saling soraki.

Apalagi Gambelan Jegognya sampai pecah dipukul oleh penabuh, maka sepirit dari kru Jegog lawannya menyoraki sangat riuh dan mengejek dengan melakukan tari-tarian sambil berteriak-teriak yang bisa kadang-kadang menimbulkan emosi bagi sipenabuh Jegog.

Penentuan kalah dan menang Jegog mebarung ini adalah para penonton karena Jegog mebarung ini tidak ada tim juri khusus jadi tergantung penilaian para penonton saat itu.

Apabila suara salah satu gambelan jegog kedengarannya oleh sipenonton lebih dominan dan teratur suara lagu-lagunya, maka jegog tersebut dinyatakan sebagai pemenang mebarung.

Sedangkan hadiahnya bagi sipemenang adalah berupa suatu kebanggaan saja bagi kru Jegog tersebut.

Karena Jegog mebarung adalah pertunjukan kesenian yang tujuannya untuk menghibur para penonton dan para penggemarnya, pertunjukan jegog mebarung adalah pertunjukan hiburan.

Kesenian Jegog ini sudah melanglang buana karena sudah sering melawat ke Luar Negeri dan telah menembus 3 Benua seperti Eropa, Afrika dan Asia.

Sedangkan intensitas lawatan ke Jepang yang paling menonjol sejak tahun 1971 di kota Saporo, Pulau Hokaido oleh Nyoman Jayus hingga tahun 2003 di Kota Okayama.

Demikian adanya Kesenian Jegog di Kabupaten Jembrana yang terus berkembang dan tidak pernah surut oleh perkembangan jaman dan apabila ingin menikmati keindahan kesenian musik Jegog bisa ditampilkan setiap saat di Kabupaten Jembrana.