Sejarah Gamelan Angklung di Desa Tanjung Benoa, kecamatan Kuta Selatan, Badung

This post was written by putrayasa on November 7, 2012
Posted Under: Tak Berkategori

Gamelan Bali atau Gambelan Bali, atau juga dikenal dengan Karawitan Bali, dibedakan menjadi tiga jenis, berdasarkan zamannya. Ketiga jenis itu antara lain Gamelan Wayah, Gamelan Madya dan Gamelan Anyar. Gamelan Wayah atau Gamelan Tua diperkirakan telah ada sebelum abad XV. Umumnya didominasi oleh alat-alat berbentuk bilahan dan tidak mempergunakan kendang. Kalaupun mempergunakan kendang, dapat dipastikan tidak memiliki peranan yang menonjol. Gamelan Wayah ini terbagi atas Angklung, Balaganjur, Bebonangan, Caruk dan Gambang. Gamelan Madya dan Gamelan Anyar.

Gamelan Madya berasal dari sekitar abad XVI-XIX. Gamelan ini sudah memakai kendang dan instrumen-instrumen bermoncol (berpencon). Dalam Gamelan jenis ini, kendang sudah mulai memainkan peranan penting. Yang termasuk dalam Gamelan Madya adalah Batel Barong, Bebarongan, Gamelan Joged Pingitan, Gamelan Penggambuhan, Gong Gede, Pelegongan, Semar Pagulingan. Sedangkan Gamelan Anyar adalah gamelan golongan baru, yang meliputi jenis-jenis barungan gamelan yang muncul pada abad XX. Permainan kendang yang sangat menonjol menjadi ciri khas dari jenis Gamelan Anyar ini. Gamelan Anyar memiliki beberapa jenis, antara lain Gamelan Manikasanti, Gamelan Semaradana, Gamelan Bumbang, Gamelan Geguntangan, Gamelan Genta Pinara Pitu, Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Janger dan Gamelan Joged Bumbung.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menjelajah Desa Tanjung Benoa yang berada di sebelah selatan Nusa Dua, tepatnya di Desa Adat  Pekraman Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, yang tak hanya dikenal karena pantainya, juga terkenal akan musik Gamelan Angklungnya. Gamelan Angklung adalah jenis gamelan tua yang terdapat di Bali. Gamelan Angklung ini sempat sangat populer pada zaman dulu di hampir wilayah Bali. Jenis Gamelan ini memiliki fungsi utama sebagai pengiring upacara adat di Bali. Gamelan Angklung dipakai sebagai pengiring upacara Pitra Yadnya (Ngaben), sebuah upacara kematian untuk umat Hindu di Bali. Adapun Di sekitar kota Denpasar dan beberapa tempat lainnya, penguburan mayat warga Tionghoa seringkali diiringi dengan Gamelan Angklung, yang menggantikan fungsi gamelan Gong Gede yang dipakai untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya (odalan) serta upacara-upacara keagamaan yang lainnya. Gamelan Angklung tersebut disebut juga sebagai Angklung Klasik. Sedangkan saat ini, Gamelan Angklung mengalami perkembangan dari segi penggunaannya. Selain Angklung Klasik untuk upacara Ngaben, juga terdapat Angklung Kebyar, yang berfungsi sebagai musik pengiring tari-tarian dan juga pagelaran drama di Bali. Meskipun begitu, dibandingkan dengan jenis musik gamelan yang lain, Gamelan Angklung dianggap sebagai musik gamelan yang sakral, karena masih digunakan sebagai pengiring upacara adat sampai saat ini.

Gamelan Angklung memiliki laras Slendro yang dibentuk oleh instrumen berbilah dan pencon dari krawang, kadang-kadang ditambah angklung bambu kocok (yang berukuran kecil). Di wilayah Bali, penggunaan nada dalam Gamelan Angklung memiliki sedikit perbedaan. Di Bali Selatan gamelan ini hanya mempergunakan 4 nada sedangkan di Bali Utara mempergunakan 5 nada. Pada festival-festival Pura, keriangan melodi 4-nada gamelan angklung dimainkan dengan alunan kontras dan sakral dengan komposisi lelambatan yang seringkali terdengar dimainkan terus menerus.

Dalam Gamelan Angklung, terdapat nama-nama untuk setiap tabuhannya, seperti tabuh Asep Menyan, Capung Manjus, Capung Ngumbang, Dongkang Menek Biu, Guwak Maling Taluh, Sekar Jepun, Berong, Sekar Ulat, Glagah Katununan, Jaran Sirig, Kupu-kupu Tarum, Meong Magarong, Pipis Samas, Sekar Sandat, Cecek Magelut. Selain itu juga, Barungan Gamelan Angklung klentangan terdiri dari 3 pasang : Pemade, Tiga pasang kantil, Empat tungguh reong, Sepasang jegogan, Sebuah tungguh kempul, Sebuah kelenang, Sebuah tawa-tawa, Sebuah suling atau lebih, Sepangkon ricik, Sepancar genta orag dan sepasang kendang lanang,wadon berukuran kecil. Beberapa instrumen juga terkadang ditambahkan seperti jublag, kendang gupekan, kempur,kemong,dan gong.  Secara umum tungguhan gamelan angklung pada waktu lampau masih berbentuk lelengisan, dan hanya dipernis, tetapi dewasa ini kita lihat sudah diprada sebagaimana Gong Kebyar. Secara  fisik pada awalnya angklung menggunakan empat bilah nada, kemudian para senimannya pada perkembangannya menambahkan lagi beberapa bilah untuk mendukung kebutuhan komposisi lagu. Perubahan atas bertambahnya bilah nada dalam gamelan angklung adalah tidak terlepas dari factor terkena imbas dari pengaruh gender wayang dan dan factor kedua adalah karena ada difungsikan untuk mengiringi Joged Bumbung (Sudirga,Komang, 2004, 2).

Desa Adat Tanjung Benoa adalah salah satu wilayah di Bali yang sangat aktif melestarikan Gamelan Angklung ini. Hal ini dapat dilihat dari adanya sebuah organisasi tradisional yang memiliki tujuan sosial. Organisasi itu dikenal dengan nama Seeke Angklung Segara Putra. Sekee ini berada di lingkungan Desa Pekraman Tanjung Benoa, Nusa Dua, Kabupaten Badung.  Organisasi ini membantu secara sukarela kepada masyarakat yang membutuhkan iringan musik Gamelan Angklung untuk mengiringi upacara. Mereka secara sukarela membantu tanpa meminta pamrih. Sebenarnya, apabila ada yang ingin menyewa Gamelan Angklung, mereka harus membayar uang sewa. Tetapi melalui organisasi ini, mereka tidak membayar sama sekali untuk menyewa Gamelan Angklung ini.

Belakangan ini, Gamelan Angklung mengalami berbagai  perubahan. Tidak hanya berupa bentuk fisik instrumentasinya, tetapi juga terjadi perkembangan repertoar dan fungsi, di dalam konteks kehidupan sosial masyarakat di Bali. Hingga sampai saat, Gamelan Angklung telah diangkat untuk ajang sebuah kreativitas, yang dapat tampil sebagai Angklung Kebyar dan angklung dengan kreativitas seni modern.

Itulah Gamelan Angklung, yang eksistensi masih terjaga sampai saat ini, terutama di Desa Tanjung Benoa. Keeksistensiannya tak lepas dari perubahan-perubahan yang terjadi pada Gamelan Angklung ini. Tak hanya sebagai sebuah alat untuk mengiringi upacara keagamaan, yang mengiringi jenasah menuju alam baka, tetapi juga telah mengalami perubahan sebagai sarana pengiring tari-tarian dan pagelaran drama, yang kehadirannya menambah nilai keindahan tersendiri di setiap pementasannya. Tentu saja ini merupakan sebuah inovasi yang dilakukan oleh seniman-seniman Bali, untuk tetap menjaga dan melestarikan Gamelan Angklung, yang secara historis mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi mengingat jenis gamelan Bali ini merupakan yang tertua dibandingkan dengan jenis-jenis gamelan Bali yang lain. Kegemaran masyarakat untuk memainkan Gamelan Angklung sampai saat ini, merupakan nilai tersendiri yang menjadi nilai tambah bagi keberhasilan para seniman Bali ini.

Semoga apa yang telah dilakukan oleh para seniman di Desa Tanjung Benoa dalam melestarikan Gamelan Angklung ini dapat ditiru dan menjadi teladan bagi seniman-seniman dari daerah lain, agar warisan luhur bangsa ini dapat tetap lestari dan digemari oleh masyarakat sejalan dengan perkembangan zaman yang sangat dinamis ini.

Comments are closed.