Identitas Diri

10270449_762625047105043_4097813038094827752_nNama saya I Nyoman Ngurah Sudarma. Panggilan akrab saya dirumah adalah Nyoman dan panggilan akrab saya di sekolah adalah Kantri. Tapi kebanyakan orang lebih mengenal saya dengan nama Kantri. Saya lahir di Badung tanggal 26 Mei 1995 dan umur saya sekarang 18 tahun. Saya sudah mengeyam pendidikan selama 13 tahun. Dari SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Saya waktu SD bersekolah di SD 3 Munggu lalu melanjutkan ke SMPN 3 Mengwi setelah tamat SMP saya melanjutkan SMA ke SMAN 2 Mengwi dan sekarang saya bersekolah di Institut Seni Indonesia Denpasar semester 2. Hobi saya adalah berkesenian khususnya di bidang karawitan ( megambel ). Saya mulai menyenangi hobi dibidang seni karawitan ini mulai kelas 3 sekolah dasar, hingga  sekarang. Saya menganggap seni itu adalah sebagian dari hidup saya, karena dengan seni kita bisa berekspresi dengan segala kemampuan kita. Maka dari itu saya memilih melanjutkan sekolah ke Institut Seni Indonesia Denpasar.  Saya mempunyai cita-cita yaitu menjadi seniman. Saya ingin menjadi seniman karena saya ingin melestarikan atau terus mengembangkan seni karawitan yang ada di daerah saya agar tidak punah dan tidak di lupakan oleh generasi penerus nanti di jaman globalisasi. Saya adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Saya mempunyai satu kakak laki-laki dan satu kakak perempuan. Kakak pertama saya bernama I Putu Gede Waristana, kakak saya adalah tamatan Institut Seni Indonesia Denpasar  tahun 2009 jurusan seni rupa. Saat ini kakak saya bekerja sebagai pelukis. Kakak saya ini sangat mendukung saya dalam berkesenian. Ia selalu membantu saya disetiap ada tugas yang tidak bisa saya kerjakan, karena kebetulan kakak saya yang pertama juga mempunyai hobi yang sama dengan saya yaitu seni karawitan. Kakak kedua saya bernama Ni Kadek Ayu Dewi Sukartini, ia adalah tamatan Universitas Mahasaraswati tahun 2008 jurusan matematika dan saat ini sudah mengajar di sd 1 kaba-kaba. Saya mempunyai orang tua yang lengkap yaitu ayah dan ibu. Ayah saya bernama I Ketut Reji. Pekerjaan beliau sehari hari adalah sebagai wiraswasta. Ibu saya bernama Ni Nyoman Karmi. Pekerjaan beliau adalah sebagai wiraswasta. Kedua orang tua saya ini sangat mendukung saya dalam berkesenian dan mereka selalu memberi saya semangat dalam setiap kegiatan yang saya lakukan. Saya waktu SD sangat dekat dengan nenek melibihi dekat dengan ibu, karena apa yang saya minta selalu di turuti oleh nenek dan nenek sangat menyayangi dan memanjakan saya sehingga jika saya dimarahi oleh ibu karena saya nakal pasti nenek selalu memberi tahu ibu agar dia tidak marah kepada saya. Berbalik dengan saya, karena saya sering dimanja oleh nenek saya menjadi tambah nakal dan selalu meminta ini itu kepada nenek tanpa saya memikirkan nenek saya mempunyai uang atau tidak. Kalau kemauan saya tidak di turuti saya sering mengamuk dirumah, hingga suatu hari saya nenek saya jatuh dari tangga dan mengalami kelumpuhan. Disanalah sedikit demi sedikit saya mulai sadar bahwa perbuatan saya selama ini sangat tidak baik karena seharusnya saya menyayangi nenek dan merawatnya bukan mengamuk agar diberikan sesuatu. Selama nenek saya tidak bisa berjalan, saya selalu merawat ia dan menyayangi dia seperti dulu dia menyayangi saya semasih sehat. Hingga pada suatu hari nenek saya meninggal dunia. Mulai saat itu juga, saya sangat ingin membahagiakan dan membanggakan orang tua karena saya tidak ingin menyianyiakan beliau yang sudah selalu mendukung dan membiayai saya dari baru lahir hingga sekarang. Setelah menginjak ke Sekolah Menengah Atas saya mulai rajin belajar. Terlebih lagi dalam bidang berkesenian. Saya selalu giat berlatih dan dibimbing oleh guru saya yang bernama bapak Wayan Wiryadi ( Kiung ). Pak Wiryadi adalah sosok guru yang sangat berjasa membimbing saya hingga saya menjadi seperti sekarang ini. Pak wiryadi membimbing saya dari sekolah dasar hingga sekarang. Pak Wiryadi orangnya sangat disiplin, walau dia jika mengajar sedikit keras tetapi itu semua demi anak didiknya agar menjadi sukses. Banyak lomba yang saya ikuti semenjak SD sampai SMA mulai dari baleganjur, gong kebyar, maupun FLS2N. Memangagar bisa menjadi seperti saat ini tidaklah mudah bagi saya, disana sangat memerlukan ketekunan dan semangat yang tinggi untuk bisa menjadi pintar dan berhasil. Perjalanan saya di bidang seni sangat berliku-liku, karena banyak cobaan dan rintangan yang harus saya hadapi dan jalani agar saya bisa menjadi seperti sekarang ini. Saya disini mempunyai basic dalam memainkan gambelan yaitu riong dan gangsa. Dari sekolah dasar hingga SMA jika saya mengikuti perlombaan baleganjur saya selalu mendapatkan bagian dalam memainkan riong sedangkan jika saya mengikuti gong kebyar saya biasanya memainkan gambelan gangsa ( sangsih ). Prestasi yang sudah saya miliki hingga sekarang adalah dari 3 Sekolah Menengah Pertama saya mendapatkan juara 1 lomba baleganjur tingkat SMP se-kabupaten Badung, dilanjutkan kelas 1, 2, dan 3 Sekolah Menengah Atas saya mendapatkan juara 1 lomba baleganjur tingkat SMA se-kabupaten Badung, saya juga pernah mengikuti lomba gong kebyar anak-anak se-kabupaten Badung tahun 2009 dan 2010, dan lomba gong kebyar dewasa se-kabupaten badung tahun 2012 kebetulan pada saat itu SMAN 2 Mengwi ditunjuk mewakili Kecamatan Mengwi dan memperoleh juara 3. Saya pada saat itu dipercaya untuk memainkan gangsa ( sangsih ). Selain itu saya juga pernah mengikuti FLS2N mewakili Bali ke Yogyakarta pada tahun 2009 dan mendapatkan juara 1. Saya sangat bangga dan senang bisa membawa nama Provinsi Bali ke ajang Nasional. Karena ini adalah ajang yang sangat bergengsi dan belum tentu semua orang mendapatkan kesempatan itu. Saya juga pernah mengikuti Duta Seni Pelajar ( DSP ) ke Yogyakarta pada tahun 2012. Kebetulan disini saya dan teman-teman saya dari kabupaten Badung ditunjuk mewakili Bali. Di dalam ajang DSP ini saya sangat banyak mendapatkan pengalaman, karena disana saya dapat banyak menyaksikan pertunjukan dari provinsi-provinsi yang lain yang ada di negara Indonesia. Saya dapat meraih semua prestasi ini juga berkat Pak Wiryadi yang selalu membimbing saya dengan tekun hungga menjadi seperti saat ini. Sya juga aktif di kalangan pemuda pemudi di dalam bergotong royong atau sering adanya kegiatan-kegiatan utamannya dalam bidang kesenian.  Di dalam hidup saya selain orang tua dan kakak-kakak saya ada juga seseorang yang sangat spesial dalam hidup saya yang selalu mendukung saya dalam berkesenian dan menyemangati saya, dia bernama Ni Luh Supitri Dewi, berasal dari Br. Basangkasa, Kuta. Dia sekarang bersekolah di SMAN 2 Mengwi kelas XI. Dia adalah orang yang selalu memberi saya support disaat saya senang maupun sedih, dia juga selalu ada buat saya jika saya memerlukan bantuannya. Saya mulai menjalin hubungan dengan dia pada 11 Oktober 2012 dan sampai sekarang saya sudah menjalin hubungan dengan dia selama 1 tahun 5 bulan. Memang dia orangya sedikit cerewet dan manja tapi saya tahu kecerewetannya dia itu karena dia sayan kepada saya. Saya sangat bangga memiliki orang seperti dia, karena tanpa dia saya tidak akan bisa bersemangat seperti sekarang ini. Demikian biografi dari saya, dan mohon maaf bila ada salah kata yang tertulis dalam biografi ini, karena tidak ada manusia yang tidak luput dari kesalahan. Karena kesermpuranaan hanya milik Tuhan.

sumber : I Nyoman Ngurah Sudarma

CV Banjar Gambang Desa adat Munggu

kjjjkjjkjSejarah banjar gambang : banjar gambang yang terletak pada desa munggu ini yang sebagian besar anggotanya  masyarakatnya berkasta kesatria atau (soroh masyarakat banjar gambang munggu ini sebagian besar ialah “ARYA SUKAHAT”). Karana dahulu ada pendeta yang bernama “ NGURAH JIWA KARANGASEM” ini beliu membangun asrama yang berletak di munggu di grya pemaron beliau juga yang bergelar pedanda munggu , beliau lah I gusti ngurah jiwa karangasem ini mungkin juga yang menyebarkan soroh arya sukhat dan trutamanya di banjar gambang ini . Banjar gambang ini memiliki gong gambang juga yang konon katanya di warisi oleh leluhur yang dlu , akan tetapi sampai sekarang gong gambang itu tidak ada yang brani memainkan alatnya , karana menurut keyakinan masyarakat banjar gambang itu gong gambang yang ada di banjar gambang itu kramat atau tenget sekali , dan sampai sekarang yang saya ketahui gong gambang itu di tempatkan\di diamkan letaknya di rumah masyarakat banjar gambang itu yang berlokasi di tempekan kaje kangin ( “ prauan “) , disamping itu dahulu nenek moyang masyarakat banjar gambang menggunakan gong gambang itu sebagai pengiring upacara ngaben, ketika itu masih gong gambang di pakai akan tetapi sekarang gong gambang yang berada di banjar gambang munggu itu tidak di mainkan lagi saya juga tidak tau msalah itu, akan tetapi sekarang gong gambang yang berada di desa saya itu suda digantikan oleh aklung untuk mengiring upaca ngaben , aklung ini yang di miliki oleh masyarakat banjar gambang juga, yanga belokasi pada tempekan kelod kauh (sadar) , di bnjar gambang ada 4 arahan yatu tempekan kaje kangin, kaje kauh, kelod kangin dan kelod kauh , di banjar gambang juga ada pura yaitu pura sakenan , di pura sakenan ini ada pelawatan barong ket yang di sebut dengan ratu bagus selain itu ada juga rangde yang sering di sebut rayu ayu dan ada pula ratu mas . disitu juga yang memaksan(memiliki plawatan itu sebagian besar masyarakat banjar gambang dan soroh “ARYA SUKAHAT”) . setiap tumpek wayang pelawatan yang berada di banjar gambang munggu ini biasanya melakukan ngider bhuana atau keliling desa , terkadang setiap manis kuniangan pelawatan di pura sakenan bnjar gambang munggu biasanya ngiring ke sakenan yang berada di serangan , di sana pelawatan pura sakenan juga mesolah atau istilah nya pentas, setahu saya banjar gambang dahulu sebelum di renopasi seperti sekarang ini ialah banjar yang sedarhana catnya yang berwarna kuning dan lantainya yang berwarna kuning juga dulu juga ada pompa air di banjar saya ini seiringnya perkembangan jaman dan setelah di renopasi ulang pompa air itu di bongkar dan dig anti menjadi air PAM baru-baru ini bale paon banjar gambang juga di renopasi karana bangunanya suda mulai tua ,bale paonya atau tempat-tempat yang khusus di jadikan serana  untuk melakukan kegiatan dan sangkep masyarakat banjar dan muda mudi yang berada di banjar gambang , banjar gambang termasuk kecamatan mengwi kabupaten badung, biarpun banjar gambang desa adat munggu ini pebatasan tempatnya , terkadang banjar saya ini di bilang kabupaten tabanan, kebetulan sekali rumah saya berada di sebelah banjar gambang itu, saya setidaknya tw apa saja kegiatan dari anggota masyarakat banjar gambang ini, masyarakat banjar gambang sanget gemar sekali bergotong royong dan suka menanam pohon di jalan-jalan atau pengijauan , anggota masyarakat kami jumalahnya bekisar 200 kk , ketua atau kelian banjar gambang yang bernama Pak sukaja ini sebagai kelian adat dan ada pula kelian oatis nya yang bernama Pak rai suardi banjar gambang lah yang terbanyak di desa munggu ini. Banjar gambang yang tekenal juga karana kreativitas stt nya yg di adakan setiap tahun atau di sebut juga terkenal nya karana ogoh-ogohnya, setiap tahun pasti banjar gambang ya masuk saja lah terbaik dalam pembuatan ogoh-ogoh.stt dari banjar gambang ini setiap minggu itu melakukan kegiatan gotong royong di lingkungan banjar gambang,  Di samping itu anggota masyarakat banjar gambang juga suka kesenian seperti ,mekidung, megambel, menari , di banjar gambang ada dua gong kebyar , dan ada juga beberapa sanggar tari dan menabuh , contoh sanggar semarandana yamg lokasianya deket sama banjar saya ini , sanggar semarandhana ini terkenal karana setiap tahun menerima mahasiswa asing atau BSBI, nah saya akan mecoba menceretikan tradisi yang berada di desa munggu dan termasuk anggota masyarakat banjar gambang ikut berperan dalan tradisi ini , Ialah tradisi mekotek namanya atau sering di sebut tradisi ngerebeg , tradisi ngerebeg ini biasanya di lakukan pada saat kuningan alat yang di gunakan pada saat mekotek itu ialah kayu pullet , kayu pullet ini susah carinya dan kayu pullet ini patahnya to tidak gampang , dahili katanya sebelum menggunakan kayu pullet itu sarana yang di pakai ialah tombak , konon katanya tradisi mekotek ini mencerita kebahagiaan dari prajurit atau kesatria  masyarakat munggu termasuk banjar gambang ,  kebahagian itu dating saat kemenangan berperang ke luar pulau ialah ke blambangan ketia itu kerajaan mengwi menang melawan kerajaan blambangan , dan akhirnya bahagia lah prajurit kerajaan mengwi dan sampe tombangnya itu di “kotekan atau di satukan ujungnya yang runcing” tetpai yang sekarang tradisi yang berada di banjar gambang desa adat munggu ini senjata tobaknya sudah dig anti oleh kayu pullet, dan juga di samping itu tradisi yang di lakukan tiap kuningan itu setiap tradisi itu di lakukan pasti ujung dari tombang itu bersatu sehingga ada salah satu orang yang brani menaiki ujung dari kayu pullet itu senidiri tanpa rasa takut. Kalau katanya tidak melakukan tradisi ini masyarakat desa munggu dan termasuk masyarakat banjar gambang atau banjar lainya akan terkena grubug atau pralaya di setiap –setiap banjar yang ada di desa munggu termasuk banjar saya ini,Banyak tradisi dan kegiatan-kegiatan lainya yang berada di banjar saya ini , terutama kegiatan kesenian , masyarakat banjar gambang ini sangat memberikan dan menyemangati di setiap kegiatan yang berkesenian , contohnya dahulu pada tahun 2003 dan 2007 banjar saya pernah di tunjuk untuk mengikuti seleksi gong kebyar antar kecamatan se kabupaten badung , tapi sayangnya tidak lulus , di banjar gambang juga mempunyai gayor gong kebyar , biasanya orang yang yang lomba di puspem atau di buat festival itu menyewa gayor yang ada di banjar gambang , adapun sekhe gong banjar gambang munggu yang bernama skekhe gong  “MERTHA KENCANA” , sekhe gong ini terdiri dari sekhe anak-anak , ibuk-ibuk ( PKK ), dan dewasa , banjar gambang adat istiadatnya sangat erat , dan tidak begitu ada awig-awig atau peraturan seperti desa atau banjar – banjar lainya , bukan kesenian saja yang menonjol dulu banjar gambang juga terkenal karana pemain volley nya juga dan samapai sekarang banjar gambang banyak mempunyai piala – piala yang di dapatkan dari pelobaan yang lainya ,di banjar gambang setiap orang yang meninggal itu bole di bakar atau di lebon , pernag juga dulu di banjar saya ini menerapkan awig-awig yang mnyebutkan setiap orang yang meninggal itu mayatnya tidak bole di lebon atau di bakar , karan nanti stiap lima tahun sekali akan di adakan ngaben masal , ya tapi seiring nya waktu berjalan awig – awig itu tidak di pakai , saya juga tidak tau kenapa awig- awig itu tidak di pakai biarpun di banjar gambang atau banjar saya ini tidak ada awig-awignya akan tetapi di lingkungan banjar gambang ini aman dan tertib adanya , Dan sampai sekarang pun tidak ada awig-awig nya . di banjar gambang odalanya jatuh pada purnama ning kapat odalan banjar saya ini juga bersamaan dengan odolan pura desa lan puseh yang letaknya di bencingah , lokasi banjar gambang ini letaknya di jalan nusa indah dan tempatnya dket prempatan , saya bangga menjadi dan terlahir di banjar gambang ini karana mungkin disini di banjar gambang desa adat munggu ini terkenal karana banyak hal seperti tradisinya , seperti terkenal karana ogoh-ogohnya dan banyak lainya lagi.

Sumber : Kelihan Adat Banjar Gambang Munggu

tari sang hyang

ljjljjTari Sanghyang. Dalam beberapa literatur disebutkan ada banyak jenis Tari Sanghyang di Bali. Jane Belo di dalam bukunya yang berjudul Trance in Bali ( 1960 ), semua itu  ditulis berdasarkan studinya antara tahun 1930-an sampai dengan tahun 1940-an di Bali mencatat jenis-jenis tari Sanghyang seperti berikut :Sanghyang Lelipi, Sanghyang Celeng, Sanghyang Kuluk, Sanghyang Bojog, Sanghyang Sripuput, Sanghyang Memedi, Sannghyang Capah, Sanghyang Sela Perahu, SanghyangSampat, Sanghyang Dedari, Sanghyang Lesung, Sanghyang Kekerek, Saghyang Jarang Gading, Sanghyang Jaran Putih, Sanghyang Teter, Sanghyang Dongkang, Sanghyang Penyu, Sanghyang Lilit Litig, Sanghyang Sambe, dan Sanghyang Tutup.Namun, pada kenyataan pada kehidupan seni ( Sannghyang ) di Bali tidak semua yang ditulis oleh Jane Belo masih aktif / hidup. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa ASTI / STSI Denpasar, hingga tahun 1980-an di beberapa  desa di Bali ditemukan sembilan macam tari Saghyang yang masih aktif dipentaskan di masyarakat. Kesembilan macam tari yang Sanghyang yang dimaksud adalah : Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Jaran, Sanghyang Celeng, Sanghyang  Bojog, Sanghyang Memedi, Sanghyang Sampat, Sanghyang Penyalin, dan Sanghyang Sengkrong. Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan sekelumit hal-ikhwal tari Sanghyang tersebut diatas seperti berikut :

  1. Sanghyang Dedari. Sang dedari sampai saat ini masih ada di beberapa desa di Bali seperti di desa Cemenggon / Sukawati, desa Bona / Blahbatuh, biasanya  ditarikan oleh dua orang gadis cilik yang belum akil balik, atau belum mengalami menstruasi. Dengan memakai busana yang menyerupai Legong Keraton ( hiasan kepalanya ) mereka menari dengan mata tertutup di sekeliling arena tempat pementasan setelah kemasukan roh suci para bidadari dari Kahyangan.Tari Sanghyang Dedari pada umumnya diiringi dengan musik vokal atau nyanyian koor yang berlaras slendro. Di beberapa desa, koor laki-laki dan cak juga dipakai untuk mengiringi tarian ini, di desa Cemenggon  Sukawati tarian ini juga diiringi gambelan Palegongan. Sebagai tarian sakral, tari Snhyang Dedari lazimnya dipentaskan di halaman Pura.
  2. Sanghyang Deling. Deling adalah sebuah boneka kecil yang dibuat dari daun rontal. Tarian Sanghyang Deling memakai sarana Deling,  dua buah boneka deling digantungkan pada seutas benang yang kedua ujung-ujungnya diikatkan pada batang pohon dadap yang beralaskan sebuah dulang. Dua orang gadis cilik penari Sanghyang Deling masing-masing memegang pohon dadap, menggetarkan dan menggoyangkan, sehingga dua boneka delig bergerak-gerak bagaikan menari. Diransang oleh irama nyanyian vokal yang semakin cepat dari sekelompok penyanyi wanita, gerakan boneka deling menjadi semakin cepat, dan kedua  penaripun tak lama kemudian menjadi kesurupan. Seperti dalam tari Sanghyang Dedari, kedua penari Sanghyang Deling bergerak dengan kedua mata tertutup sambil menginjak-injak bara api. Puncak dari pertunjukan tari Sanghyang Deling adalah kketika kedua penari naik dan menari diatas pundak juru pundut ( laki-laki yang membopongnya ). Tari  Sanghyang  Deling hingga kini masih ada di daerah Kintamani, Bangli.
  3. Sanghyang Jaran. Tari Sanghyang Jaran adalah tarian kerawuhan yang terjadi karena penariya kemasukan roh kuda suci ( tunggangan  para dewata )  dari sorga. Berbeda  dengan tari Sanghyang Dedari dan Sanghyang Deling. Sanghyang Jaran dibawakan oleh seorang penari laki-laki. Penari yang sudah kerawuhan, sambil menggerak-gerakkan boneka kuda-kudaan yang ditungganginya, penari bergerak berjingkrak-jingkrak, berlari, melompat, dan meloncat, menirukan gerak-gerik seekor kuda. Puncak dari pertunjukan tari Sanghyang Jaran adalah ketika Sanghyang Jaran menceburkan diri ke dalam bara api seolah-olah sang kuda hendak bermandikan bara api. Tari Sanghyang Jaran hingga kini masih ada di beberapa desa di kabupaten Gianyar, Tabanan, dan Denpasar.
  4. Sanghyang Celeng. Tari Sanghyang Celeng adalah tarian kerawuhan yang terjadi karena penarinya kemasukan roh babi dari kahyangan. Dibawakan oleh seorang penari laki-laki yang mengenakan busana sangat sederhana yaitu kain buletan dengan sekujur tubuhnya dibalut ijuk sehingga menyerupai bulu babi, tarian ini biasanya dilakukan di halaman balai banjar atau twmpat-tempat tertentu lainnya. Dalam keadaan kesurupan penari bergerak menirukan tingkah pola seekor babi yang dengan ganasnya menyeruduk ( ngelumbih ) gundukan tanah untuk mencari makan. Nyanyian koor yang dibawakan oleh sekelompok penyanyi berisikan kata-kataejekan yang dapat membuat sang babi menjadi marah. Dalam keadaan seperti ini tidak jarang penari Sanghyang Celeng lari ke kebun-kebun penduduk untuk mencari umbi-umbian, yang unik dalam tarian ini adalah penarinya tidak boleh kena air. Jika penariya kena air maka ia pun akan sadar kembali dan ini berarti pertunjukan akan terhenti. Tari Sanghyang Celeng hingga kini masih ada di desa Duda, Selat, Karangasem.
  5. Sanghyang Bojog. Tari Sanghyang ini terjadi karena adanya roh kera suci dari kahyangan yang memasuki tubuh penari. Sanghyang Bojog dipentaskan pada malam hari. Dibawakan oleh penari laki-laki yang memakai bbusana yang amat sederhana ( kain buletan ), topi, dan ekor yang diuat dari ijuk. Dalam keadaan kerawuhan penari bergerak dengan lincahnya seperti halnya seekor kera. Sambil menirukan suara kera, penari memanjat pohon bambu atau lainnya yang telah dipersiapkan. Ketika naik pohon, penari memanjat pohon dengan kepala di atas namun ketika turun kepalanya ke bawah. Penari Sanghyang Bojog tidak boleh kena air karena akan dapat terhenti. Biasanya Sanghyang Bojog yang hingga kini hanya ada di daerah Duda, Selat, Karangasem, dipentaskan setelah matahari terbenam.
  6. Sanghyang Memedi. Di dalam bahasa bali, mamedi berarti roh halus yang suka menyembunyikan manusia, binatang, atau benda-benda milik seseorang. Sanghyang Mamedi adalah sebuah tarian kerawuhan yang terjadi karena penarinya kemasukan roh mamedi. Tarian ini biasanya dibawakan oleh penari laki-laki ( pemangku ) dan diiringi dengan musik vokal berupa nyanyian-nyanyian dan kidung yang dimainkan oleh penyanyi wanita. Pada waktu menari, penari Sanghyang Mamedi berbusana serba putih, membawa sebilah keris terhunus. Beberapa kali penari melakukan gerakan menusuk  seolah-olah membunuh sesuatu. Tari Sanghyang Mamedi dipentaskan sebagai penolak wabah atau memohon kesuburan.
  7. Sanghyang Sampat. Tari sanghyang sampat adalah tarian kerawuhan yang memakai sapu lidi ( sampat ) sebagai media. Dalam mempertunjukannya, sebuah sapu lidi yang telah dihias dengan bunga-bungaan dan kain putih kuning diletakkan pada sebuah tempat ( dulang ). Seorang penari yang telah ditentukan duduk sambil memegang sapu tersebut. Melalui suatu proses pedudusan yang diiringi dengan nyanyian-nyanyian koor oleh sekelompok penari penyanyi pria dan wanita, penari sanghyang kemudian kerawuhan lalu menari sambil membawa sapu ke sekeliling arena. Yang unik dalam pertunjukan tarian sanghyang yang berada di puluh-puluh Tabanan ini adalah proses kerawuhan yang terjadi secara estapet. Setiap orang yang disentuh oleh penari sanghyang yang sudah kerawuhan menjadi ikut kesurupan dengan merebut sapu yang dibawa oleh penari sebelumnya.
  8. Sanghyang Penyalin. Tari sanghyang penyalin adalah tarian kerawuhan yang memakai sebatang rotan ( sekitar 6 meter ) sebagai media. Dalam pertunjukannya, sebatang penyalin yang digulung diletakkan pada sebuah tempat ( dulang ). Seorang penari yang telah ditentukan duduk sambil memegang rotan tersebut. Tarian ini adalah tarian penolak bala.
  9. Sanghyang Sengkrong. Tarian kerawuhan ini mempergunakan media berupa sebuah gelungan sobrat ( gambrang ) dengan rambut panjang. Oleh warga desa Pemogan, Badung banyak dikaitkan dengan Ida Ratu Mayun Anom Sakti menginginkan agar dibuatkan tempat berupa persemayaman. Oleh warga setempat, tari sanghyang sengkrong dipentaskan sebagai penolak bala. Tari sanghayng sengkrong dibawakan oleh seorang penari laki-laki yang sudah dewasa dan telah disucikan terlebih dahulu. Penarinya mengenakan busana serba putih dan membawa kipas.

Sumber : Buku tentang tari sakral

musik kontemporer

kkjMusik Eksperimental ( Kntemporer ). Menjelang akhir tahun 1970-an seni karawitan bali memasuki era baru yang ditandai dengan munculnya karya-karya karawitan yang bersifat eksperimental atau sering disebut dengan musik kontemporer, karya-karya musik Bali garapan baru mencerminkan ekspresi seni kekinian ( contemporary ), kebebasan kreativitas individu dari komposernya, tanpa meninggalkan nuansa budaya balinya. Dari hasil pengamatannya terhadap beberapa karya musik garapan baru di Bali dan Indonesia pada umumnya, Tenzer mengatakan bahwa musik-musik ini dilahirkan bukan untuk diguakan dalam konteks “ tradisional “ melainkan unutuk yang lebih bersifat universal, dan untuk bahan apresiasi musik lintas budaya yang lebih luas. Lebih jauh dikatakan Tenzer bahwa musik garapan baru Indonesia sangat berafam yyang diwarnai oleh kesadaran komposernya unttuk melakukan dan mencoba sumber-sumber bunyi yang baru, pada umumnya yang masih terkait denga gamelan namun ada pula dengan tradisi musik lainnya dari kepulauan Indonesia.

  1. Musik Gamelan. Dua contoh karya seni musik, yang masih menggunakan alat-alat gamelan, patut diketengahkan dalam pembhasan terhadap seni musik eksperimental atau kontemporer di bali akhir-akhir ini. Karya yang dimaksud adalah: Gema Eka Dasa Ludra karya I Nyoman Astita dan Palapa karya I Nyoman Windha. Patut dicatat bahwa kelahiran musik-musik eksperimental di bali tidak bisa dilepaskan dari Pekan Komponis Muda di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Diadakan sejak akhir tahun 1970-an, pekan komponis ini telah membuka jalan bagi para komposer bali untuk menampilkan karya-karya musik bali garapan baru.

Gema Eka Dasa Ludra. Pada tahun 1979, sesuai upacara Eka Dasa Ludra di pura Besakih, I Nyoman Astita menciptakan sebuah karya karawitan yang diberi nama Gema Eka Dasa Ludra. Dalam garapan ini Astita mencoba untuk menuangkan interprestasinya terhadap suasana religius dari upacara tersebut ke dalam karya musik sehingga menghasilkan sebuah karya musik teatrikal, yaitu sebuah garapan musik yang dipadukan dengan gerak-gerak akting dan tari. Gamelan yang digunakan adalah semara pagulingan ( tujuh nada ) dengan penambahan beberapa instrumen gamelan seperti gong, kempur, ceng-ceng kopyak, suling pegambuhan, kendang bedug ( jawa ) dan alat-alat lainnya seperti penumbuk padi ( kentungan ), kentongan ( kulkul ), dan sapu lidi ( sampat ). Dengan gabungan alat-alat gamelan dan bunyi-bunyian seperti ini Astita mencoba untuk memainkan nuansa musikal dari berbagai gamelan seperti gong gede, baleganjur angklung, dan gong bheri dengan gamelan semara pagulingan untuk mengungkapkan rangkaian suasana upacara, dari sejak persiapan, pelaksanaan, dan akhir upacara.

Selain memadukan alat-alat gamelan dan bunyi-bunyian Gema Eka Dasa Ludra lahir dengan menawarkan dua gagasan baru. Pertama, eksplorasi terhadap berbagai patet seperti selisir, tembung, dan lainnya dalam karawitan bali yang dimiliki oleh gamelan semara paguligan. Eksplorasi seperti ini memungkinkan terjadinnya gending-gending atau tabuh yang berlaras pelog atau selendro untuk menggambarkan suatu rangkaian kegiatan upacara yang berbeda-beda. Kedua, sepanjang penyajian, para pemain musik bergerak, menari, dan menyanyi sambil melakukan perubahan posisi gamelan. Dengan gerak-gerak sederhana para pemain mencoba untuk memvisualkan beberapa aktivitas yang terjadi dalam kaitan upacara ritual yang konon diadakan setiap seratus tahun sekali ini. Dengan demikian, karya ini menjadi suatu perpaduan dari musikalisasi dan dramatisasi terhadap upacara ritual Eka Dasa Ludra. Dikatakan musikalisasi karena rangkaian upacara ritual ini diungkapkan kedalam media seni musik, dan dikatakan dramatisasi karena suasana-suasana yang ada diperagakan, divisualkan, dan di dramatisir.

Palapa. Dengan menggabungkan beberapa alat gamelan Bali dan Jawa, pada tahun 1986, i Nyoman Windha melahirkan sebuah garapan baru yang diberi judul Palapa. Dengan garapan ini, yang mengingatkan kita dengan sumpah palapanya Gajah Mada di zaman Majapahit, Windha menyampaikan pesan persatuan melalui jalinan melodi dan ritme yang dimainkan dengan menggunakan alat-alat gamelan dari dua tradisi budaya ( Bali dan jawa ). Tampaknya getaran dan rasa musik daerah lainnya di Indonesia dan juga musik-musik dari budaya asing, telah menyentuh lubuk hati komposer asal Singapadu-Gianyar ini, sehingga sebagian besar karya musik yang dihasilkan kemudian, seperti Merajut Tali Teberagaman ( 2000 ), Lekesan ( 2002 ), Jaya Baya ( 2005 ), dan Mulih ke Bali ( 2006 ) sangat kental nuansa multi-kulturnya.

  1. Musik Non-Gamelan. Tiga karya musik eksperimental dari koposer bali pantas untuk ditampilkan dalam pembahasan mengenai perubahan seni musik ( karawitan ) bali dewasa ini. Ketiga karya ini adalah : Gerauch, Kosong dan Sepedaku.

Gerauch. Dalam ujian tugas akhir di ISI Denpasar tahun 2005 seorang mahasiswa jurusan karawitan, Sang Nyoman Arsa Wijaya menampilkan sebuah garapan musik yang diberi judul Gerauch. Kata Gerauch ( dari bahasa Jerman yang berarti suara gaduh atau bunyi keras ) konon dipilih karena dengan garapan ini sang komposer, Arsa Wijaya yang akrab dipanggil Sang Nyoman ingin menampilkan musik yang memekakan telinga.

Garapan musik Gerauch sangat berbeda dengan karya-karya musik lainnya karena tidak menggunakan alat musik yang lazim digunakan. Tampaknya Arsa Wijaya yang sudah menggeluti dunia gamelan Bali sejak usia anak-anak, ingin melahirkan sebuah musik dengan nuansa yang berbeda dengan gamelan bali. Tidak main-main, alat bunyi  yang digunakan antara lain : empat set potongan-potongan pipa besi dan satu buah gong besi. Tungguhan pipa yang bersuara keras, diposisikan dikeempat pojok stage ( dua diatas panggung dan dua lainnya di tengah-tengah penonton ) dimainkan sedemikian rupa sehingga mengingatkan penonton dengan “ kotekan “ Bali. Klimaksnya adalah ketika Arsa Wijaya menggosok permukaan gong besi dengan mesin grinda di atas panggung yang gelap. Suara keras dan percikan api dari mata grinda yang “memotong” permukaan gong, menjadikan suguhan audio visual salah satu keunikan komposisi musik dengan bunyi-bunyi keras dan gaduh ini.

Kosong. Penyelenggara Pekan Komponis Muda Jakarta, Suka Harjana konon pada suatu krtika “ menantang “ dengan meminta para komposer muda bali yang datang ke PKM untuk membawa musik tanpa pakai alat gamelan. Asnawa menjawab tantangan ini dengan garapan musik yang berjudul Kosong. Musik Kosong yang mendapat inspirasi dari kesunyian dengan suasana kosong selama Hari Raya Nyepi di Bali, diciptakan pada tahun 1984. Dalam garapan yang semula diberi nama Windu ( bulatan ) ini, Asnawa menggunakan beberapa instrumen ttanpa laras yang tetap seperti ceng-ceng kopyak, bumbung gebyog, timbung, sapu lidi dan batu-batuan. Untuk memainkan alat-alat ini Asnawa memberi kebebasan kepada para pemainnya untuk menemukan caranya masing-masing dalam memainkan sumber bunyi, berdasarkan interprestasi merekan terhadap tema sentral-Nyepi.

  1. Pada tahun 2009, dalam ujian tugas akhir, seorang mahasiswa jurusan Karawitan ISI Denpasar, I Made Putrawan asal tatasan kaja Denpasar, menampilkan sebuah garapan musik menggunakan sepeda. Dalam garapan ini Made Putrawan yang lebih akrab dipanggil Dek Koh menampilkan 3 buah secara utuh di atas stage. Tidak urung, garapan ini menjadi satu sajian musik yang agak lain dibandingkan dengan komposisi-komposisi musik yang disajikan oleh para peserta ujian tugas akhir lainnya.

Tiga buah sepeda, dengan ukuran dan jenis yang berbeda ( sepeda gayung biasa, sepeda mini, dan sepeda modifikasi dengan roda depan yang besar ), dijadikan sumber bunyi dalam garapan ini. Diatas pentas, sepeda ini tidak saja dipukul-pukul pada beberapa bagiannya tetapi juga dikendarai melintasi arial pentas sambil membunyikan belnya yang berbeda-beda. Selain menyanyikan bunyi-bunyi keseharian namun dengan pola ritme yang telah dibuat sedemikian rupa, aksi bersepeda para pemainnya juga menjadikan karya ini sebuah garapan audio visual yang mampu memancing tawa penonton.

sumber :  Dibia, I Wayan 1979. Pengetahuan Karawitan Bali. Denpasar. Akadami Seni Tari Indonesia Denpasar

Musik Balaganjur

kjkjjkjkjkBaleganjur. Gamelan balegsnjur adalah salah satu dari sedikitnya sepuluh jenis gamelan golongan kuno yang hingga kini masih tetap eksis di Bali. Hingga kini ada dua pengertian berbeda yang melekat dengan gamelan prosesi ini. Pertama, musik pengusir bhuta kala sehingga gamelan ini disebut dengan kalaganjur. Kedua, musik pembangkit semangat sehingga ia disebut dengan baleganjur.

Barungan baleganjur dibentuk oleh sejumlah instrumen musik dan yang paling dominan adalah alat-alat berpencon ( gong, kempul, bende, reyong, kajar, tawa-tawa, kempli ) alat-alat berbentuk piringan ( ceng-ceng kopyak ) serta sepasang kendang. Salah satu ciri khas dari musik baleganjur terlihat pada permainan ceng-ceng kopyak yang menggunakan pola kekilitan ( interlocking ) tiga jenis yang terdiri atas pukulan polos yang sejalan dengan pukulan kajar, pukulan sangsih yang mendahului kajar, dan sanglot yang bermain di tengah-tengah untuk mengikat atau merangkul kedua pukulan diatas ( polos dan sangsih ).

Perubahan yang cukup mendasar dari gamelan baleganjur belakangan ini adalah yang menyangkut fungsi dan statusnya, dari yang selama ini sebagai gamelan pengiring prosesi menjadi gamelan yang di pertunjukan secara mandiri. Hal ini mengigatkan kita akan kecak di tahun 1930-an, dari yang semula sebagai bagian organik dari pertunjukan sanghyang menjadi dramatari musikal, dengan lakon Ramayana, yang berdiri sendiri. Perubahan fungsi dan sttus baleganjur seperti ini bermula dari kontes gamelan baleganjur pada tahun 1986-an, oleh Himpunan Seniman Remaja ( HSR ), dalam rangka menmperingati HUT Puputan Badung. Dengan adanya perubahan ini estetika baleganjur perlahan-lahan berubah dan tabuh-tabuh yang dimainkan dalam gamelan ini mulai menggunakan struktur komposisi formal dengan rasa musikal yang semakin mendekati kebyar. Tidak kalah menariknya adalah penampilan dari para penabuhnya yang semakin demonstratif karena mereka mulai memainkan gamelan dengan gerak-gerak tubuh yang dipolakan atau dikoreografikan.

Hingga pertengahan tahun 1980-an, baleganjur pada umumnya dimainkan untuk mengiringi prosesi keagamaan seperti prosesi upacara ke pura, prosesi ke laut, atau ngaben dan prosesi lainnya. Untuk mengiringi prosesi-prosesi ini grup baleganjur yang biasanya ditempatkan di bagian paling belakang ( seebagai penutup prosesi ), dengan tabuh-tabuh gilak pejalan, dalam tempo yang bervariasi, dari pelan, sedang, hingga cepat. Di mata masyarakat Bali, musik-musik baleganjur dieasakan mampu menambah wibawa dan keagungan dari prosesi yang tengah berlangsung.

Ketika tampil dalam prosesi-prosesi ritual keagamaan seperti ini sikap tampil para penabuh baleganjur, yang berjumlah antara 25 sampai 30 orang, pada umumnya biasa-biasa saja dan tidak demonstratif. Mereka sepertinya menyadari bahwa fungsi musik yang mereka mainkan adalah untuk melengkapi prosesi, bukan sebagai sajian tabuh yang sengaja untuk diperdengarkan atau dipertontonkan.

Ketika gamelan baleganjur mulai disajikan sebagai atraksi utama, maka para pemainnya mulai mengubah sikap tampil. Mereka mulai menabuh sambil menari-nari. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan konteks pertunjukan gamelan baleganjur dapat mempengaruhi sikap pemain. Dalam hal ini, lomba baleganjur 1986 selain memulai sebuah tradisi musik baru juga menandakan lahirnya pertunjukan musik baleganjur. Salah satu tonggak perubahan bentuk tabuh dan penampilan baleganjur adalah lahirnya Adhi Merdangga pada tahun 1984 oleh STSI Denpasar. Gamelan prosesi garapan baru ini, yang sering disebut sebagai Traditional Marching Band sering ditampilkan dalam pawai pembukaan PKB. Dalam baleganjur baru ini, antara lain dilakukan penambahan instrumen dan pemain, dari yang biasanya sekitar 22 buah instrumen dengan sekitar 35 pemain menjadi 70 instrumen dengan sekitar 100 orang pemain. Pengembangan bentuk dan struktur komposisi tabuh dengan cara memasukkan pola-pola ritme marching band. Semua penabuhnya yang terdiri dari laki dan perempuan, memainkan alat-alat gamelan sambil menari. Sebagai salah satu unsur penting dari barungan baru ini adalah puluhan orang penari laki dan perempuan yang menari mengikuti irama musik. Terlepas dari kenyataan bahwa Lomba Baleganjur pertama di Denpasar baru terjadi dua tahun kemudian, rasa musikal dan teknik permainan baleganjur banyak meniru adhi Merdangga. Rasa musik dan teknik penampilan adhi Merdangga, yang menggunakan motif-motif gerak tari yang sederhana, perubahan pola lantai untuk membentuk konfigurasi-konfigurasi tertentu, mulai banyak ditransfer ke dalam baleganjur. Semenjak itu masyarakat Bali mulai menyaksikan sajian gamelan baleganjur menjadi lebih visual sehingga menarik untuk disaksikan. Kini masyarakat bali sudah terbiasa menonton lomba baleganjur di mana bberbagai jenis tabuh baleganjur dipertontonkan sebagai sajian karya musik yang mandiri. Dengan dimulainya tradisi baru ini, lomba-lomba baleganjur yang dilaksanakan dalam berbagai event di Bali telah berhasil membuat gamelan prosesi ini menjadi semakin populer di masyarakat terutama di kalangan generasi muda. Salah satu kegiatan budaya yang menjadi ruang pentas bagi gamelan baleganjur adalah dalam pawai ogoh-ogoh menjelan hari raya Nyepi. Sejak diadakannya pawai ogoh-ogoh di Denpasar, semakin banyak banjar yang memiliki sekaa-sekaa baleganjur termasuk yang banjar-banjar pendatang yang ada di kota ini. Semuanya ini merupakan bukti nyata dari perubahan dan peningkatan status sosial gamelan baleganjur di masyarakat dari unsur pelengkap menjadi sajian utama. Sejalan dengan perubahan ini adalah mulai lahirnya tabuh-tabuh baleganjur kreasi baru dengan tema serta struktur komposisi formal mengikuti prinsip tri-angga yang meliputi tiga bagian pokok : kawitan, pengawak atau pengadeng dan pekaad. Pada lomba yang pertama misalnya, Sekaa Baleganjur Kaliungu Kaja menampilakan kreasi tabuh baleganjur berjudul Angga Yowana karya I Ketut Gede Asnawa. Sejak lima tahun terakhir ini muncul kreasi-kreasi tabuh seperti Jagra Nirbaya oleh sanggar Lestari, Tanggun Titi, Tonja-Denpasar (2001), Durga Murti oleh Sekaa Truna Eka Bhuana Dharma, Banjar Sengguan, Tonja-Denpasar (2002), atau Sumpah Palapa oleh sanggar Werdhi Cwaram, Padang Sambian Denpasar (2002). Akibat dari dimasukkannya instrumen-instrumen melodis seperti beberapa buah suling bambu ukuran menengah, beberapa buah reyong tambahan serta penambahan tawa-tawa dan sejumlah ceng-ceng kopyak, kini fisik gamelan baleganjur yang berkembang di desa-desa di Bali relatif lebih besar dari barungan baleganjur di masa lalu. Beberapa sekaa baleganjur bahkan ada yang menggunakan reyong berlaras pelog tujuh nada sehingga mereka bisa memainkan tabuh-tabuh dengan melodi yang berisikan nada-nada miring ( pamero ), termasuk yang berlaras selendro, untuk memperkaya nuansa musikal dari tabuh-tabuh yang dibawakan. Tabuh-tabuh baleganjur yang banyak dimainkan dalam forum-forum festival belakangan ini cenderung “ ngebyar “ dalam pengertian menampilkan tabuh gamelan dengan kecepatan tinggi diselingi hentak-hentakan, ditambah dengan menonjolkan permainan kelompok instrumen seperti reyong, kendang atau ceng-ceng, yang menjadi identitas Kebyar. Selain itu, hampir semua group baleganjur menggunakan pukulan kendang “ jejagulan” yang kemudian diikuti oleh pukulan ceng-ceng kopyak yang khas. Pola-pola tabuh yang sama cenderung juga digunakan pada prosesi, baik untuk prosesi odalan maupun ngaben. Akibatnya masyarakat sering tidak lagi bisa mengenali jenis prosesi yang akan berlalu atas dasar gamelan baleganjur yang mengiringinya. Di masa-masa lampau, jika terdengar ada tabuh baleganjur yang memainkan tabuh-tabuh gilak yang agung dan berwibawa, hampir setiap orang tahu bahwa prosesi yang akan berlalu adalah peed odalan, melasti, atau iring-iringan yang mengusung benda-benda sakral seperti barong ke suatu pura. Akan tetapi, jika terdengar tabuh baleganjur yang didominir oleh tabuh-tabuh bertempo cepat seperti kale, seringkali disertai sorak-sorai, maka prosesi yang akan berlalu adalah prosesi ke kuburan ( ngaben ). Pembaruan rasa musikal gamelan baleganjur seperti ini dapat dimaknai lebih dari pembaruan ekspresi seni musik, melainkan juga mulai kaburnya batas-batas antara nilai-nilai ke luan ( suci ) dengan yang ke teben ( tidak suci ). Perubahan gamelan baleganjur memperlihatkan adanya transformasi budaya musik sejalan dengan perubahan masyarakat Bali.

sumber :  Dibia, I Wayan 1979. Pengetahuan Karawitan Bali. Denpasar. Akadami Seni Tari Indonesia Denpasar