Musik Kiai Kanjeng

Organologi dan Sistem Nada

Gamelan KiaiKanjeng bukan nama grup musik, melainkan nama sebuah konsep nada pada alat musik ‘tradisional’ gamelan yang diciptakan oleh Novi Budianto. Kalau dalam khasanah musik Jawa terutama pada gamelan lazimnya sistem tangga nada yang dipakai adalah laras pentatonis yang terbagi ke dalam dua jenis nada yakni pelog dan slendro, maka gamelan yang digubah oleh Novi ini tidak berada pada jalur salah satunya, alias bukan pelog bukan slendro.

Disebut demikian karena memang bila ditilik dari konsep tangga nadanya, ia berbeda dengan gamelan-gamelan pentatonis baik yang pelog maupun slendro. Meskipun bila ditinjau dari segi bahan dan bentuknya gamelan KiaiKanjeng tetaplah sama dengan gamelan Jawa pada umumnya. Dan perbedaan nada tersebut terletak pada jumlah bilahannya serta kenyataan bahwa gamelan KiaiKanjeng juga merambah ke wilayah diatonis, meski tidak sepenuhnya. Tepatnya: sel-la-si-do-re-mi-fa-sol, dengan nada dasar G=do atau E Minor.

Konsep nada Gamelan KiaiKanjeng adalah solmisasi yang belum sempurna: sel, la, si, do, re, mi, fa, sol. Penyempurnaan terus dilakukan dengan memakai instrumen gamelan (saron, bonang dan lainnya) yang baru, karena sesungguhnya yang diperlukan jauh melebihi yang sekarang ada. Pelarasan nada ini oleh Novi pada mulanya dipilih berdasarkan pengalamannya menata musik-puisi Emha Ainun Nadjib sejak berproses bersama di Teater Dinasti.

Sistem Notasi

‘Ngeng’ atau metode kesepakatan bunyi yang lahir dari naluri musikal dan kepekaan akan  pijakan nada, merupakan system notasi yang dipakai oleh musik KiaiKanjeng. Potensi ‘sense of ngeng’ inilah yang menjadi faktor mendasar dalam berolah musik. Ngeng juga menjadi ‘partitur abstrak’ dalam pe-notasi-an dan acuan penciptaan musik KiaiKanjeng.

Meskipun demikian, tidak menutup penggunaan sistem notasi yang lain, sebagaimana diambil oleh para pemain musik dari latar belakang, keberangkatan dan kemampuan musikal yang berbeda. Notasi balok dipakai pada instrumen biola, flute, karena memang pemainnya berangkat dari latar belakang musik klasik dan lingkungan akademik.

Bagi yang kemampuan musikalnya biasa saja, maka penggunaan notasi angka menjadi pegangan yang mendasar, dan ini biasa dipakai oleh para pemain saron, demung, dan bonang.

Aspek Personifikasi

Para penabuh Gamelan KiaiKanjeng (yang boleh ditabuh oleh siapapun saja) tidak saling terikat sebagai anggota suatu kelompok. Masing-masing bebas dan saling membebaskan untuk bermain musik di manapun saja dan dengan siapa saja. Seandainya di antara mereka ada yang tak bisa ikut pentas karena sudah terlanjur berjanji turut pentas dengan; misalnya — Orkes Gambus ‘Al-Ikhtiar’, OM. Mahardhika, Kelompok Suara Ratan atau barangkali The Rolling Stones maka bukan saja diperbolehkan, melainkan didukung dan diikhlasi.

Termasuk lahirnya puluhan ‘anak-anak KiaiKanjeng’ di seluruh pelosok tanah air, sehingga meskipun instrument dan jenis lagunya sama dengan KiaiKanjeng, tetapi pasti akan berbeda ketika musik itu dimainkan langsung oleh KiaiKanjeng. Meskipun sesungguhnya personil KiaiKanjeng ini berasal dari latar belakang yang beraneka warna, mulai dari pegawai negeri, santri, pemusik jalanan dan sarjana musik, justru lahir unity atau satu kesatuan yang memiliki inner musik yang khas sebagai idiom tersendiri pada musik KiaiKanjeng.

Keterikatan yang paling kongkret di antara mereka adalah proses ‘sejarah’ bahwa mereka telah bersama-sama mengerjakan sejumlah karya yang menggunakan instrumen Gamelan KiaiKanjeng. Komitmen yang membuat mereka selalu kental satu sama lain adalah pergaulan yang tulus, cinta kasih sebagai sesama orang yang berupaya dan berkarya, sikap saling memanusiakan, serta kesetiaan untuk mencari hal-hal yang baik terus menerus — antara lain dalam berkarya seni. Namun tidak ada ikatan korps, ikatan organisasional atau aturan-aturan ‘kelompok’.

disalin dari http://padhangmbulan.com/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=32

Comments are closed.