REVIEW 5 BUKU

July 6th, 2010

judul : pengetahuan pedalangan 1

Penulis  : Poniran Sumarno, Atot Rasona

Tahun    : 1983

Seni pedalangan bagi Bangsa Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak kekayaan budaya warisan leluhur yang sangat tinggi nilainya.

Seni pedalangan dengan keindahannya merupakan pencerminan kehalusan jiwa manusia dan tidak hanya merupakan sesuatu pertunjukan permainan yang diperuntukkan sebagai hiburan belaka. Cerita pewayangan besar sekali artinya, karena banyak hal – hal yang perlu dihayati.

Kata kunci     : Falsafah, Mahabarata dan Ramayana

Judul        : Horoskope Cina

Penulis     : Barry Fantony

Penerbit    : Effhar dan Dahara Prize, 1992

Horoskope cina tidak mengajarkan sesuatu yang akan terjadi dimasa mendatang, melainkan membimbing untuk mengetahui diri sendiri, hari ini, dan setiap hari.

Belajar mengetahui siapa diri kita melalui pengaruh shio, dan akan membuat kehidupan kita lebih berharga dan bervariasi.

Kata kunci          : Perwatakan, Manusia, Shio

Judul       : Manunggaling Kawula Gusti ( Pantheisme dan Monisme dalam sastra suluk Jawa )

Penulis    : P. J. Zoetmulder

Penerbit   : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tahun       : 1990

Filsafat dan Theologia bukan sebagai pedoman, melainkan pengetahuan dan pengalaman, bagaimana manusia dapat berhubungan dengan Tuhan.

Dalam mencari kemanunggalan manusia dengan Tuhan dilukiskan dengan parabel – parable dan amsal – amsal yang diambil dari dunia pewayangan dan keindahan puisi Jawa.

Kata kunci         : Filsafat, Theologi

Judul          : Perkembangan Topeng Bali sebagai Seni Pertunjukan

Penulis       : I Made Bandem M.A dan I Nyoman Rembang

Penerbit      : Pemerintah Daerah Tingkat I Bali

Tahun         : 1976

Pertunjukan Topeng merupakan proses lanjut dari pertunjukan bertapel yang primitif yang sudah ada di Bali sejak Zaman Pre – Hindu, yang pertamanya berfungsi sebagai media komunikasi kepada leluhur.

Kesenian tari topeng di Bali mempunyai unsur – unsur

esthetik yang kuat dalam karakter. Disamping kehidupan ekspresi/imajinasi.

Kata kunci         : Seni Drama, Topeng

Judul           : Bali yang Meradang

Penulis        : Putu Setia

Penerbit       : Pustaka Manikgeni, Denpasar

Tahun          : 2006

Judul           : Bali yang Meradang

Kesenian hanya satu sector dari kebudayaan. Kehidupan social keagamaan orang Bali ternyata memperihatinkan.

Pengaruh perubahan kebudayaan Bali di sector adat – istiadat dan agama sangat kentara sekali, itu akibat dari arus globalisasi, dan factor utama perubahan tersebut juga berasal dari sejauh mana masyarakat Bali tahan akan pengaruh tersebut.

Kata kunci              : Moral, Agama

Gender Wayang

April 6th, 2010

Musik yang mengiringi wayang kulit Bali disebut gender wayang. Teknik permainan dari pada gambelan ini adalah sangat elaborate, intricate, pholyponic, melodie, dan bermacam-macam sistim  ketekan atau interlocking figuration yang dipergunakan.

Masing-masing instrument berlaras Selendro dan memakai 10 (sepuluh) keys. Urutan nada dalam gender wayang adalah sebagai berikut: dong, deng, dung, dang, ding, dong, deng, dung, dang, ding.

Biasanya dalam pertunjukan Ramayana 4 (empat) gender di atas ditambah lagi dengan kendang, kempur, ceng-ceng, klenang, kajar, dan beberapa rhythmic lainnya.

Bentuk:

Di dalam pertunjukan wayang kulit yang lengkap biasanya memakai 10 (sepuluh) jenis motif gending. Adapun semua gending2 itu dapat dijadikan dua kelompok, yaitu: gending-gending petegak dan gending-gending petegak yang mengikuti sebetan wayang (tetangkisan).

Gending-gending tersebut adalah:

  1. Petegak

Didalam gending-gending petegak ini terdiri dari jenis-jenis komposisi Kuna dan Baru, seperti gending Sekati Sekar Gendot, Sekar Sungsang dan lain-lain.

  1. Pamungkah

Gending ini sangat panjang, biasanya dari 45 menit sampai 60 menit dan terdiri dari bermacam-macam gending seprti:

Gending Brayut, Tulang Lindung, Jojor, Omang-omangmdan lain-lainnya.

Pamungkah ini mengiringi Dalang didalam melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Persembahyangan dan selamatan
  2. Pemukulan kropak dengan sebuah cepala, yang terletak di sebalah kiri Dalang untuk menyimpan wayang, kemudian tutup kropak ini dipindahkan juga tempat memupuk wayang yang akan dipaki.
  3. Kemudian Dalang memulai pertunjukan dengan sebuah kayon/gunungan yang menandakan pertunjukan sudah dimulai dan kemudian gunungan itu ditancapkan di pertengahan kelir.
  4. Dalang menaruh wayang disebelah kanan dan kiri gunungan tergantung dari pada tokohnya sendiri-sendiri. Wayang yang berwatak baik disebelah kanan dan sebaliknya. Dan semua wayang yang dimainkan kurang lebih berjumlah 100 (seratus) buah dan Dalang disini sudah mulai doa dan mantra-mantra untuk keselamatan di dalam pertunjukan. Setelah semua wayang dicabut (kecuali kayon) dan sudah diletakkan teratur, maka dalang lagi memberi aba-aba kepada gambelan dengan cepala untuk memainkan satu lagu untuk mencabut kayon.
  1. Petakilan

Biasanya pada pertunjukan lengkap ada dua macam gending petangkilan yaitu gending Alas Arum dan Rundah. Gending Alas Arum ini untuk wayang berwatak halus dan Gending Rundah untuk wayang yang berwatak keras. Lagu-lagu ini biasanya dipakai setelah gunungan dicabut dan ini adalah marupakan narrative yang pertama dari dalang itu sendiri.

  1. Pengalang Ratu

Gending ini adalah merupakan pendahuluan dan pengenalan masing-masing karakter di dalam pewayangan dan selalu dipakai sebelum dialog dimulai.

  1. Angkat-angkatan

Gending-gending ini berbentuk ostinato, terdiri dari empat atau delapan ketuk. Banyak sincopatie yang dipakai dan untuk mengiringi adegan sibuk seperti keberangkatan laskar, perjalanan dan sebagainya.

  1. Rebong

Gending rebong yang terkenal sebagai expresi romantis di dalam pewayangan terdiri dari dua bagian yaitu:

  1. Tenang, liris: bagian ini untuk mengiringi adegan romantic.
  2. Hidup: merupakan kelanjutan dari gending diatas yang biasa disebut dengan Pengecet Rebong dan dipakai untuk mengiringi adegan romantis dari para panakawan.
  1. Tangis

Gending ini yang bentuknya tenang liris biasanya digaris baawahi dengan sesendon untuk mengiringi suasana sedih.

  1. Tunjang

Gending-gending ini berkarakter keras dan dipakai untuk mengiringi para raksasa.

  1. Batel

Lagu ini berbentuk ostinato yang terdiri dari dua nada. Suasana sangat semangat dan dipakai untuk mengiringi adegan perang.

  1. Panyudamalan

Gending ini sangat intricate yang dimainkan setelah permainan wayang.

Dirangkum dari buku yang berjudul “Pengantar Karawitan Bali” oleh I Wayan Dibia S.T.T

Tahun 1977/1978

Fungsi Gamelan Gong Gede Batur

April 6th, 2010

Oleh Pande Mustika (Dosen PS Seni Karawitan)

Fungsi Ritual

Gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur, sebagai salah satu wujud budaya, yang kehadirannya masih didukung oleh masyarakat Bali khususnya masyarakat Desa Pakraman Batur. Berfungsi sebagai persembahan dalam berbagai keperluan pada kehidupan masyarakatnya, yaitu sebagai persembahan untuk keperluan upacara agama khususnya upacara dewa yadnya.

Adapun upacara puja wali yang dapat diiringi barungan gamelan Gong Gede adalah :

Upacara puja wali di Pura Jati dilaksanakan tiga hari sebelum purnama kasa dengan penyajian gamelan Gong Gede yang lebih diistilahkan sebagai tedun terompong.

Upacara puja wali pada purnama karo, merupakan puja wali yang dilaksanakan tepat di depan pelinggih Padmasana di Pura Ulun Danu Batur dengan penyajian gamelan Gong Gede yang komplit atau tedun Trompong, dan lama kegiatan selama tiga hari.

Upacara puja wali pada purnama kelima dilangsungkan tiga hari di Pura Kental Gumi atau di Pura Ulun Danu, dengan disajikan gamelan Gong Gede lengkap atau tedun trompong.

Upacara puja wali pada purnama kaulu dilangsungkan di Pura Ulun Danu selama tiga hari, dengan disajikan gamelan Gong Gede atau tedun terompong.

Upacara puja wali pada purnama kedasa dilangsungkan di Pura Ulun Danu Batur yang merupakan puncak upacara. Menurut Jero Gede Duuran dan Jero Gede Alitan mengatakan upacara ini disebut upacara Bhatara Turun Kabeh yang dilangsungkan selama 11 hari sampai 14 hari dengan penyajian barungan gamelan Gong Gede (tedun trompong) dengan gamelan bebonangan. Pada saat terakhir upacara (penyineban) gamelan Gong Gede turun dari bale gong (tempat penyimpenan) tempat penyajiannya menuju madia mandala untuk mengiringi tarian baris perang-perangan, metiti suara dan menampilkan tabuh-tabuh lelambatan klasik.

Gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur merupakan bagian integral dari ritual keagamaan yang memiliki ciri-ciri sebagai seni ritual. Pada prinsipnya eksistensi gamelan Gong Gede menunjukkan ciri-ciri seni ritualistik seperti itu. Selain sebagai seni tirual, penyajian gamelan Gong Gede juga pendukung suasana yang dapat dijadikan salah satu ciri (cihna) sedang berlangsungnya upacara keagamaan.

Fungsi Sosial

Dalam hubungannya dengan masyarakat berfungsi sebagai pengemban seni (karawitan), barungan Gong Gede hampir setiap bulan purnama di undang (tuwur) oleh krama yang melaksankan piodalan (Pura Puseh, Pura Desa, Pura Dalem, dan Pura-pura lainnya) di desa pekraman Batur. Jero gambel yang melaksanakan tugasnya tidak menerima upah dalam bentuk uang (ngayah).

MAKNA GAMELAN GONG GEDE BATUR

Makna gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebagai ungkapan emosional dari pelaku seni yang diungkapkan lewat bahasa musik mempunyai makna sebagai berikut: makna religius, makna pelestarian budaya, makna keseimbangan.

Makna Religius

Pertunjukan gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebagai salah satu karya seni, sebagai ungkapan yang dapat dilihat dari penyajian karawitan (tabuh), tidak sekedar sebagai ungkapan estetik tetapi juga mempunyai makna religius. Dalam konteks religius, semua unsur masyarakat terlibat sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing yang dilandasi dengan perasaan tulus yang disebut dengan ngayah.

Barungan gamelan Gong Gede dalam mengiringi upacara keagamaan (ritual) memiliki makna religius. Penabuh gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebelum melaksanakan tugasnya selalu diperciki Tirta untuk mendapatkan keselamatan.

Makna Pelestarian Budaya

Derasnya aliran informasi dalam era globalisasi terutama di bidang seni (khususnya seni karawitan) membawa dampak positif dan negatif, hal ini mengakibatkan banyak hilangnya keaslian watak dan kemandirian budaya yang dimiliki. Kesadaran untuk melestarikan warisan budaya yang luhur (Gong Gede) memberi makna hidup dan rasa kemuliaan. Untuk menghadapi tantangan harus ada kemauan yang murni sesuai dengan pandangan hidup masyarakat Batur.

Makna Keseimbangan

Dalam pelaksanaan upacara tertentu Kehadiran gamelan Gong Gede sudah menjadi kebutuhan. Keterikatan gamelan Gong Gede dengan ritual keagamaan melahirkan perilaku-perilaku sosial yang mengarah kepada pembentukan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pedoman bagi warga masyarakatnya.

Barungan gamelan Gong Gede dipandang sangat penting karena dapat memenuhi kebutuhan warga masyarakat secara moral dan spiritual sehingga terwujud rasa kesehimbangan. Keseimbangan yang mencakup persamaan dan perbedaan dapat terefleksi dalam beberapa dimensi. Refleksi keseimbangan yang banyak ditemukan dalam kesenian Bali adalah refleksi estetis yang dapat menghasilkan bentuk-bentuk simetris yang sekaligus asimetris atau jalinan yang harmonis sekaligus disharmonis yang lazim disebut dengan rwa bhineda. Dalam konsep rwa bhineda terkandung pula sernangat kebersamaan, adanya saling keterkaitan, dan kompetisi mewujudkan intraksi dan persaingan. Konsep rwa bhineda oleh seniman Pengrawit dituangkan dalam gamelan Bali (Gong Gede). Hal ini dapat diamati pada sistem pelarasan ngumbang-isep dan instrumen yang berpasangan (lanang wadon).

Categories: Artikel, Berita
Tags:
Gong Gede, Karawitan, Musik