SENI PEWAYANGAN BALI

index    Dunia pewayangan dan pedalangan Bali mengandung beberapa dimensi. Dimensi itu antara lain pewayanngan itu merupakan media pendidikan moral yang efektif, hiburan bahkan digunakan sebagai media untuk penyampaian pesan tertentu, di samping memiliki unsure cerita yang dapat di bangun oleh dalang berupa plot atau struktur dramatic tertentu. Selain itu, tidak dapat dikesampingkan bahwa pewayangan juga mengandung unsure magis religious. Pada abad XI, kecuali dalam penggunaan yang bersifat religius, Wayang merupakan bentuk seni drama yang mengesankan, yang dapat menggetarkan kalbu sehingga penonton dan pendengar ikut hanyut dan terharu karenanya. Bahwa pada zaman jawa kuno pagelaran wayang dapat menghanyutkan perasaan penonton sehingga penonton dapat bertahan hingga pargelaran itu berakhir. Pertanyaan kemudin muncul, factor apakah yang menyebabkan penonton tersedot perhatiannya selama menyaksikan pargelaran wayang tersebut? Mungkin banyak hal yang dapat dikemukakan untuk enjawab pertanyaan ini, namun suatu hal tidak dapat dilupakan dan memegang peranan yang paling besar dan penting adalah kemampuan sang dalang dalam menata cerita, melukiskan karakter dan prilaku tokoh, dan sisipan humor dan kesedihan dalam membangun suasana yang menyentuh perasaan penonton. Pertanyaan demikian tentu saja masih dapat dilanjutkan , yakni apakah membuat sang dalang memiliki dan menguasai “kemampuan” semacam itu? Disamping bakat, tentu saja dalang harus menguasai seluk-beluk pedalangan yang dalam teks ini disebut penititala pewayangan.
Begitu pentingkah seorang dalang memahami dan menguasai penititala pewayangan ? Memang, pertanyaan ini tidak perlu dijawab dengan tegas dan perkataan ya saja, namun untuk menyatakan bahwa hal ini penting seyogianya dilihat dari kecendrungan sekularisasi pewayangan, yang bermuara pada pergeseran struktur dramatic pewayangan (change of dramatic content) oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Pergeseran ini dapat dilihat pada struktur dramatic lakon dan struktur pertunjukan kesenian, yang menjadi tampak berbeda dengan apa yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kecendrungan ini terjadi menyusul perubahan yang terjadi hampir dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Harus dikatakan kembali, belakangan banyak seniman dalang dan mungkin seniman seni pertunjukan lainnya, secara sadar dan perlahan melakukan perubahan dalam karya pewayangan atau seni pertunjukan. Adegan-adegan yang sesungguhnya serius namun dianggap berkepanjangan lalu dipenggal sedemikian saja hanya untuk memenuhi rasa humor penonton karena disangkanya bahwa penonton hanya tertarik pada adegan-adegan dan ungkapan-ungkapan yang lucu dan kocak. Penyajian adegan yang kocak dan seringkali berlarut-larut tanpa keinginan untuk kembali kestruktur dramatic yang telah dirancang sehingga pargelaran itu kehilangan esensinya dan kehilangan landasan literer (sastra) yang seharusnya menjadi dasaratau pijakan. Kecendrungan demikian mungkin saja dianggap wajar mengingat suatu pertunjukan kesenian memang mengandung elemen efficacy dan entertainment. Sementara itu muatan artistiknya , nilai pendidikannya , kritik social dan pesan-pesanya masih tetap ada, namu tidak dapat di seni pewayangan ke titik itu hanya akan menyebabkan seni pewayngan menjadi seni hiburan semata. Tidak heran jika para seniman tua melontarkan komentarnya bahwa seni tidak serius (balih-balihan matelek) semakin langka tergantikan seni hiburan.
Hal-hal apakah yang mendorong pergeseran-pergeseran itu? Salah satu diantaranya adalah belum adanya model pembelajaran pedalangan yang konseptual dan sistematik. Apa lagi tradisi pendidikan pedalangan umumnya dilakukan secara oral dan turun temurun, dengan demikian cara yang umum dilakukan hanyalah meniru;sekarang model ini tentu saja tidak dapat lagi dipertahankan dengan alas an kurang relevan. Tradisi ini mengacu pada tiga model, yakni dharma pewayangan, pakem dan buku-buku umum tentang pedalangan. Oleh karena itu perlulah disusun suatu model pemblajaran pedalangan yang sistematin dan relevan serta komprehensif. Dalam upaya inilah dipilih teks Purwa-Wasana karya Ida Bagus Gede Purwa (alm) dari gria Gunung Rata Kesiman Denpasar. Teks ini mengungkapkan metodologi pemblajaran pedalangan Bali. Karena itu teks ini dapat dikategorikan sebagai sebuah Penititala Pedalangan, yaitu sebuah kesutraan baru dengan kandungan teks pemblajaran pedalangan dari awal (purwa) sampai akhir (wasana). Sastra tersebut merupakan penititala tempat berkiprahnya dalang dalam mencurahkan apresiasi kreatifnya, ekspresi jiwanya sertta inspirasi pikirannya kedalam berbagai bentuk karya seni termasuk wayang kulit.
Selain itu sangat jelas bahwa konsep pembelajaran yang diinginkan oleh teks Purwa-Wasana adalah pembelajaran yang sistematis, tertib dan berurut, serta komprehensif, yaitu pembelajaran pedalangan yang di mulai dari awal “purwa” sampai akhir atau selesai “wasana”. Dengan demikian teks Purwa-wasana dapat dianggap sebagai penititala atau standarisasi pembelajaran pedalangan dalam proses ngajar mengajar. Implikasi teks ini adalah ada seni pedalangan, dimna eksitensi kesenian ini didukung oleh seniman dalang dan seni pertunjukan. Kegiatan tersebut dilakukan melalui proses pembelajaran baik formal maupun non formal dengan materi-materi seperti Pakem, Dharma pewayangan, dan linteratur-linteratur baik ilmiah maupun tradisi. Selanjutnya representasi pembelajaran yang dikaji bedasarkan teks Purwa-Wasana dengan tetap berpedoman pada paradigm kajian budaya (bentuk, fungsi dan makna).
Dengan demikian akan terjadi hubungan timbale balik antara pembelajaran yang ada dimasyarakat dengan teks Purwa-Wasana. Selanjutnya seniman dalang dapat menggunakan teks ini sebagai rambu-rambu baik dalam tataran teori atau konsep dan juga dalam tataran praktik dan pertunjukannya. Namun disisi lain kreatifitas seniman dalang yang ber “pakem” juga dapat memberikan konstribusi pada teks ini. Sehingga terjadi hubungan sui generis progresif sesuai dengan kebutuhan zaman. Selain teks Purwa Wasana, teks lain mengenai pedalangan. Namun teks-teks ini tidak selengkap dan sekomprensifp teks Purwa-Wasana. Teks I Gusti Bagus Sugriwa (Ilmu Pewayanagn dan Pedalangan), misalnya memang mengulas secara sangat sederhana mengenai beberapa ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pewayangan/pedalangan. Di antaranya yang relevan dengan tema tulisan ini tentang penjelasan “ilmu pewayangan dan pedalangan, bentuk cirri-ciri kias wayang” Menurut Sugriwa, bagai seorang dalang unggul, cerdik dan pandai, dapat menguasai jiwa dan rasa panca indra para penontonnya dipulut tautan dalam tiap-tiap tokoh adegan wayang yang dipertunjukan selain itu seorang dalang harus hendaknya, mengetahui bentuk dan cirri-ciri kias wayang, seperti wayang kiri dan wayang kanan dan wayang atas.

BENTUK GAMELAN GONG LUANG SINGEPADU GIANYAR SEBAGAI TABUH IRINGAN PROSESI, TABUH PEMBUKA, DAN TABUH UPACARA

gamelan  Dibali gamelan gong luang termasuk gamelan golongan madya, yang barungannya lebih kecil dari barungan Gong Kebyar. Termasuk salah satu jenis gamelan yang jarang di mainkan untuk mengiringi suatu pertunjukan seni tari maupun drama. Kalaupun gamelan gong luang dimainkan di atas pentas, seperti dalam parggelaran dramatari calonarang, barungan barungan ini hanya dipakai untuk mengringi adegan memandikan mayat atau madusang-dusangan. Barungan gamelan gong luang banjar apuan singapadu dimainkan oleh 16 orang.
Barungan gamelan gong luang banjar apuan singapadu dibentuk oleh gabungan antara instrument berpencon dan istrumen bilahan. Semua instrument berpencon terbuat dari perunggu (kerrawang) sedangkan instrument berbilah di buat dari perunggu atau bambu. Instrumen-instrumen lain yang juga menjadi bagian dari barungan gong luang adalah berongga. Diantara empat instrument yang tercangkup dalam gamelan gong luang, instrument yang berbentuk pencon adalah yang paling dominam dalam pengertian yang memainkan peranan paling penting membawakan tabuh-tabuh.
Instrumen-instrumen yang digunakan dalam gamelan gong luang memiliki tugas secara umum, sepeerti ditawarkan bandem (1983), dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Pembawa lagu (yang memainkan melodi)
b. Pemangku lagu (yang menandakan ruas-ruas lagu termasuk finalis)
c. Pemurba irama (yang menandakan cepat maupun lambatnya lagu)
Instrumen-instrumen yang bertugas sebagai pembawa lagu adalah terompong gede (besar), terompong cenik (kecil), dan saron. Instrumen-instrumen pemangku lagu yaitu, gangsa jongkok gede, gangsa jongkok cenik, kajar, dan jegogan. Instrumen pemurba irama adalah ceng-ceng dan kendang.
Dalam gamelan gong luang instrument berpencon terdiri atas lima jenis yaitu :
a. Tungguh terompong besar (dengan 8 buah pencol)
b. 1 Tungguh terompong kecil (dengan 8 buah pencon)
c. 1 Tungguh gong
d. 1 Tungguh kempur
e. 1 Tungguh kajar
Inatruen berbentuk bilahan meliputi :
a. 1 Tungguh gangsa jongkok besar
b. 1 Tungguh gangsa jongkok kecil
c. 1 Pasang jegogan
Ketiga instrument tersebut bilahannya terbuat dari kerrawang atau perunggu
d. 1 Pasang pemade
e. 1 Pasang kantil ( satu-satunya instrument yang bilahnya tidak terbuat dari perunggu adalan saron yang terbut dari bambu.

Dalam pertunjukannya, gong luang banjar apuan-singapadu memiliki kebiasaan untuk menempatkan alat-alat gamelan yang digunakan dengan menempatkan instrument-instrumen berpasangan atau berhadap-adapan ,berdekatan. Terompong gede berpasangan dengan terompong cenik sehingga empat orang penabuhnya (masaing-masing penabuh setiap instrument 2 orang) duduk saling brhadapan. Gangsa gede jongkok berhadapan dengan gangsa cenik jongkok dalam posisi berhadapan. Posisi yang sama juga dilihat pada jegogan, dimana kedua jegogan diletakkan berhadapan masing-masing instrument di mainkan oleh satu orang.

Gamelan gong luang banjar Apuan Singapadu dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : Tabuh Prosesi, Tabuh Pembuka, dan Tabuh Upacara dapat di jelaskan sebagai berikut :
a. Tabuh Prosesi
Tabuh Prosesi yang biasa diminkan oleh Gong Luang adalah tabuh baleganjur. Sesuai dengan kesedihan instrument yang ada dalam barungannya ini, tabuh baleganjur yang dimainkan oleh gong luang dapat dikatakan sederhana ; menggunakan satu buah gong tanpa bende, dan tanpa kempli. Jumblah ceng-ceng kopyak yang digunkan terbatas.
b. Tabuh Petegak (pembuka)
Tabuh adalah sajian pembuka atau selingan sebelum masuk ke tabuh iringan upacara. Dua buah tabuh biasa disajikan sebagai tabuh petegak oleh gong luang adalah Gilak Adeng dan Tabuh Telu.
Sebelum upacara prosesi upacara pengabenan dimulai, para penabuh biasanya memainkan Tabuh Petegak. Tabuh yang disajikan bernama tabuh ketut baru yang berbentuk gilak. Oleh para penabuh gong luang ini sering disebut dengan tabuh “gilak kopi” karena biasanya tak lama setelah memainkan tabuh ini tuan rumah atau yang memiliki upacara akan datang membawa suguhan kopi lengkap dengan jajan. Kebiasaan memainkan tabuh “Gilak Kopi” sebagai sajian pembuka masih terus berlanjut sampai sekarang, dan uniknya tak lama setelah memainkan tabuh ini penabuh gong luang akan mendapatkan suguhan kopi serta jajannya.
c. Tabuh Iringan Upacara
Tabuh-tabuh yang biasa digunakan sebagai pengiring upacara adalah ginada/Cinada, Lilit, Mekar sari, Warga sari, dan tabuh rigrig. Dari penuturan para pelaku atau penabuh sekha Gong Luang Banjar Apuan-Singapadu, Sukawati, Gianyar Bali.

TEKTEKAN MUSIK PROSESI YANG ATRAKTIF

rangda nebek   Bali merupan daerah yang kaya dengan khasanah budaya baik seni rupa, seni pertunjukan, seni drama dan seni-seni yang lainnya. Perkembangan dan perjalanan sejarah membuktikan bahwa kehidupan berkesenian di Bali tumbuh dengan suburnya. Hal ini tidak terlepas dari kesadaran orang-orang bali bahwa budaya dan agama satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Umat hindu dimana pun mereka berada dalam melaksanakan ritual tidak pernah terlepas dengan penggunaan bunyi gamelan. Ritual dalam agama hindu merupakan bentuk implementasi dari filsafat dan etika. Pada beberapa bentuk upacara dalam skala kecil sampai skala besar mempergunakan beberapa jenis gamelan tergantung dari upacara yang dilakukan. Pada upacara yang bersekala besar misalnya pada upacara Turun Kabeh di Besakih, upacara piodalan ring Tri Kayangan Tiga misalnya, menggunakan beberapa jenis barung gamelan baik yang tergolong barungan kecil, menengah maupun barungan besar. Pada upacara yang bersekala kecil misalya mecaru di pekarangan rumah cukup menggunakan barungan gamelan baleganjur.
Dibali tidak kurang dari 30 jenis barungan gamelan yang tersebar diseluruh pelosok pulau bali, baik yang tergolong barungan besar, menengah dan kecil. Dibali disebutkan bahwa gamelan bali dapat dikelompokkan atas barungan kecil(alit), menengah atau sedang (madya), dan barungan besar (ageng). Barungan alit biasanya dimainkan oleh 4-10 orang, barungan madya antara 11-15 orang, dan barungan ageng sampai 25 orang. Dan gamelan bali dibagi menjadi tiga kelompok yaitu gamelan tua (zaman kuno), gamelan madya (zaman pertengahan) , dan gamelan ageng (zaman modern dan sekarang). Walaupun begitu banyaknya jenis barungan gamelan yang ada di bali, para seniman tiada henti-hentinya untuk bereksprimen untuk mencoba dan mencoba terus guna menemukan hal-hal yang baru baik berupa karya karawitan ataupun alat-alat karawitan itu pun.
Tektekan merupakan sebuah barungan gamelan yang sangat baru munculnya pada zaman modern ini sebagai hasil kreatifitas masyarakat dengan memadukan beberapa alat/instrument didalamnya , yang dikemas sedemikian rupa sehingga mengasilkan sebuah barungan gamelan baru yang disebut juga dengan tektekan. Tektekan diperkirakan muncul pada tahun 70-an di desa Kerambitan, Tabanan sebagai akibat dari adanya perkembangan pariwisata yang masuk kedaerah tersebut. Barungan gamelan ini lahir diperkirakan terinspirasi dari kegiatan munuh/nektek(mencari sisa hasil panen padi disawah) yang dilakukan oleh para petani secara bergembira dan bersama-sama. Sehingga alat-alat instrument dari barungan ini amat sederhana sekali akan tetapi dapat menghasilkan nuansa music yang amat menarik.

JENIS TEKTEKAN
Munculnya tektekan sebagai barungan gamelan adalah gabungan dari beberapa alat/instrument yang mana instrument pokoknya adalah kentongan (kulkul) yang terbuat dari bambu, dan okokan yang besar yang terbut dari kayu. Instrumen-instrumen pendukung lainnya adalah satu pasang kendang cedugan, ceng-ceng kopyak, ceng-ceng kecek, gong, kempur, tawa-tawa, kemong dan beberapa suling lainnya sebagai pengisi melodi. Begitu sederhana alat yang digunakan dalam gamelan ini menandakan bahwa lahirnya tektekan akibat terinspirasi dari kegiatan munuh disawah. Berkumpulnya kelompok-kelompok kecil yang kemudian membuat suatu kegiatan music dengan mempergunakan alat kulkul sebagai media merupakan inspirasi dari lahirnya tektekan ini. Aktifitas seperti ini biasanya dilakukan pada saat-saat tertentu sacara spontanitas. Misalnya pada saat sehari sebelum hari raya Nyepi (pengerupukan), pada saat ada salah satu penduduk desa disembunyikan roh-roh halus, pada saat penduduk desa diserang wabah penyakit, ataupun pada saat panen tiba. Aktifitas semacam ini tidak saja dilakoni oleh orang tua tetapi anak-anak pun ikut terlibat didalamnya. Berdasarkan uraian tersebut tektekan dapat dibagi kedalam beberapa jenis bedasarkan fungsi dan kegunaannya.

 TEKTEKAN REREONGAN
Kata rereongan berarti kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak yang berumur 7 sampai 12 tahun secara spontanitas pada saat-saat tertentu. Oleh karena itu tektekan rereongan biasanya muncul sebelum atau menjelang hari raya Nyepi. Kegiatan ini diawali dari masing-masing pintu rumah yang dilakukan anak-anak sengan memukul kentongan maupun alat-alat apa saja yang mereka jumpai seperti kaleng bekas, besi tua, panic bekas dan laim sebagainya asalkan mengeluarkan suara , pada saat menjelang malam. Dari pintu kepintu pada akhirnya berkumpul menjadi satu group tektekan yang siap berkeliling dijalan-jalan dilingkungan desa setempat. Kegiatan ini biasanya dilakukan rutin oleh anak-anak pada sore menjelang malam hari sampai pada saat hari pengrupukan.

 TEKTEKAN UNDANGAN
Tektekan undangan biasannya dilakukan pada saat-saat tertentu apa bila ada suatu kegiatan di masing-masing banjar. Tektekan ini bias terlaksana apabila salah satu banjar diundang oleh banjar lain untuk datang ke banjarnya untuk menampilkan kebolehannya bermain tektekan. Tektekan undangan dilakukan secara bergantian oleh masyarakat satu banjar yang diundang dengan melibatkan anak-anak , pemuda dan orang dewasa , yang tergabung dalam suatu group yang dinamakan sekha tektekan. Dalam penampilannya kadang-kadang menggunakan atau memakai cerita dan ada pula juga yang nggak memakai cerita yang hanya menyajikan banyolan-banyolan sajasebagai hiburan. Adapun cerita yang umumnya dipakai adalah I Cetrung, I Ubuh, I Bojog teken I Macan dan yang laim-lainnya.

 TEKTEKAN BARANANGAN
Alam semesta beserta isinya merupan ciptaan tuhan yang tak ternilai. Semua unsur yang ada di ala ini bias hidup dengan baik apa bila ada kseimbangan ekosistem yang hidup tumbuh didalamnya. Ssesungguhnya tanggapan masyarakat terhadap tantangan yang timbul dari perkembangan lingkungan dan sejarah itu sendiri tidak akan jauh menyimpang dari mekanisme control yang berupa nilai-nilai, gagasan utama dan keyakinan yang mendominasi cara melihat, memahami dan memilah-milah kejadian yang terjadi.
Pada kepercayaan orang-orang dahulu bahwa suatu penyakit dapat berasal dari”skala”(alam nyata) dan “niskala” (alam tak nyata). Penyakit yang diakibatkan oleh alam niskala dapat berasal dari manusia sakit, pita, butha, dan lain-lain. Semua penyakit ini diyakini dapay disembuhkan hanya dengan mempersembahkan sesajen kehadapan pitra, butha, dan lain-lain untuk menebus kesalahan yang mungkin pernah diperbuat. Untuk membangkitkan suasana gembira dikalngan penduduk yang mengalami gejala alam tersebut maka diadakanlah tektekan beranangan ini. Kegiatan ini dilakukan secara spontanitas oleh para penduduk pada sore menjelang malam yang langsung keluar dengan membawakan kentongan kecil yang terbuat dari bambu sehingga menimbulkan suasana gaduh dan ramai. Fungsi dari tektekan ini adalah untuk mengusir roh jahat yang dipercayai sebagai penyebab dari datangnya wabah penyakit tersebut. Selain berfungsi sebagai pengusir roh jahat, tektekan ini juga dipakai apabila ada salah seorang penduduk desa hilang/disembunyikan oleh roh halus (memedi), tanaman diserang hama penyakit maka penduduk desa melakukan tektekan semacam ini.

 TEKTEKAN SEBAGAI SENI PERTUNJUKAN
Sebuah hasil dari karya seni, sudah barang tentu yang pertama dinitmakti adalah nilai estetis dari hasil karya tersebut apakah berupa gerak, bunyi, maupun suara yang ditimbulkan dari suatu alat music. Sebagai seni pertunjukan tektekan dapat memberikan nuansa yang berbeda dengan dibandingkan dengan gemelan –gamelan yang ada di bali. Gmelan tektekan adalah barungan gamelan yang mirip dengan barungan gamelan baleganjur. Kendatipun demikian tektekan memiliki pola-pola gegilakan dab bebapangan, Sebagai pemegang melodi pada gamelan ini adalah suling. Didaerah Kerambitan Tabanan barungaan gamelan tektekan ini biasanaya di pakai sebagai pengiring atau mengiringi drama tarai calonarang yang dikenal dengan dramatari calonarang tektekan. Dramatari ini biasanya di pentaskan untuk mengibur para turis yang berkunjung ke Puri Kerambitan pada malam hari. Sebelum dramatari calonarang ini dimulai biasanya diawali dengan music prosesi yang berkeliling diareal puri mengiringi ibu-ibu membawa gebogan masuk ketempat pertunjukan. Diawali dengan menampilkan dua sekha secara berhadap-hadapan membawakan kebolehannya dihadapan para tamu. Lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu yang bertempo cepat dengan pola-pola gegilakan yang bergemuruh dengan memadukan kentongan (kulkul) , ceng-ceng kopyak, dan okokan sehingga suasana yang ditimbulkan begitu semarak dan bergemuruh.
Sebagai music pengiring dramatari, selain menggunakan lagu-lagu yang bermotif gegilakan juga menggunakan motif-motif lain seperti bapang dan batel. Struktur lagu seperti kawitan, pengawak dan pengecet masih tetap digunakan gamelan tektekan ini, akan tetapi sebagai kecil saja. Gending-gending untuk mengiringi pementasan dramatari calonarang tektekan mengambil dari gending-gending bebarongan, penggambuhan dan penyalonarangan. Mnengenai fungsi masing-masing instrument pada barungan tektekan adalah sebagai berikut: kulkul (kentongan yang terbuat dari bambu) dimainkan dengan pola kekilitan seperti pada ritme cak atau ceng-ceng kopyak pada tabuh baleganjur. Kendang sebagai pemurba irama yaitu mengatur jalannya lagu apakah lagu itu dimainkan cepat, lambat, keras, ririh, dan lain sebagainya.

 SEBAGAI MUSIK PROSESI
Sepertinya halnya dengan barungan gamelan yang lain, taktekan adalah sebuah barungan gamelan yang tidak kalah menariknya apa bila ditata sebagai music prosesi. Dengan menfaatkan instrument-instrumen yang ada dapet menimbulkan suasana yang berbeda dibandingkan dengan gamelan yang lain. Okokan yang bentuknya besar dan dengan jumblah alat kurang lebih 20 buah dipakai dalam gamelan ini, dapat menimbulkan suasana yang sangat menggelegar dan bergemuruh., dengan dipadu dengan kulkul (kentongan) yang jumblahnya hamper 20 buah. Ceng ceng kopyak dapat menghasilkn irama yang menghentak-hentak dan aksen-aksen yang kuat menambah semaraknya suara yang ditimbulkan. Ketiga instrument tersebut apabila dipadukan dengan instrument-instrumen yang lain seperti kendang, suling,tawa-tawa gong dalam gamelan tektekan dapat mengasilkan suasana gamelan yang berbeda dengan gamelan yang lainnya.

BERALIHNYA SENIMAN BALI UTARA KE GAYA BALI SELATAN DAN TABUH LELAMBATAN GAYA BADUNG

gambel 3     Salah satu bentuk kekayaan di bidang seni karawitan Bali adalah komposisi tabuh lelambatan pegongan. Komposisi karawitan ini dapat didefenisikan sebagai bentuk komposisi karawitan instrumental yang biasanya dimainkan dengan media Gong Gede dan gamelan Gong Kebyar. Keberadaan komposisi ini sangat popular di masyarakat, dimana penyebarannya sangat merata di bali. Tidak ada wilayah kabupaten dan kota yang tidak memiliki komposisi ini, dan keberadaannya pun sangat bragam dengan cirri-ciri dan gaya yang berbeda. Dilihat dari daerah kelahirannya terdapat berbagai macam gaya. Gaya-Gaya tersebut masing-masing memiliki cirri khas serta karakter tersendiri yang membedakan satu dengan yang lainnya. Kuatnya karakter yang dimiliki masing-masing gaya tersebut, terkadang mampu menunjukan identitas wilayah kelahirannya. Di Bali terdapat berbagai macam gaya karawitan di mana masing-masing memiliki karateristik serta identitas yang sangat kuat. Keberadaan gaya-gaya tersebut sangat eksis di masyarakat dan memiliki arti yang sangat penting sebagai sebuah identitas, sehingga kalangan masyarakat dan seniman khususnya dapat dengan mudah mengenali sebuah gaya music dengan memperhatikan idiom-idiom dari masing-masing gaya tersebut. Aspek fisik (pelawah) dari barungan gamelan, ornamentasi (ukiran), merupakan idiom non-musikal yang dapat mencerminkan identitas kedaerahan, sedangkan bentuk music pengungkapan dan pengolahan musikalitas serta expresi penyajiannya menjadi idiom musical yang mudah dikenal.
Dewasa ini, sisi lain perkembangan seni karawitan Bali adalah sulitnya mengidentifikasikan gaya-gaya karawitan. Keberadaan gaya-gaya yang sebelumnya eksis dan mengakar dimasyarakat serta menjadi identitas personal dan regional menjadi kabur, bahkan ada di antaranya terancam punah karena mulai di tinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Hal ini terjadi karena semata-mata gaya tersebut dianggap kurang kompetitif dan tidak mampu bersaing pada event-event festival atau parade yang di gelar oleh pemerintah. Fenomena yang terjadi diwilayah Bali Utara adalah merupakan salah satu contoh yang sangat menarik untuk di ungkapkan karena untuk dapat meraih prestasi dalam festival, para seniman dan pemerintah meninggalkan gaya Kakebyaran yang sebelumnya begitu kuat mengakar dengan beralih ke gaya kekebyaran Bali Selatan. Beralihnya seniman-seniman Bali Utara ke gaya Bali Selatan karena apa dimiliki dianggap masih sangat tradisional dan apa yang muncul serta berkembang di Bali Selatan dianggap lebih modern dan lebih dapat diterima di masyarakat.
Di zaman modern, sering kali terjadi kesulitan dalam mempertahankan keberlanjutan sebuah tradisi karena ada anggapan bahwa hal-hal yang berbau tradisi dianggap menghambat jalannya proses modernisasi. Untuk itu, sebagai upaya pencapaian status modern serta dapat dikatakan ada ditatanan tersebut, struktur dan nilai-nilai tradisional secara total haru harus di ganti dengan seperangkat struktur dan nilai-nilai modern (surwasono dan Alvin Y So,2000 : 23).
Proses modernisasi dalam seni karawitan Bali menyebabkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek bauk aspek musical dan non-musikal. Pada salah satu bentuknya yaitu komposisi tabuh lelambatan telah mengalami berbagai perubahan yang mengarah perwujudan komposisi lelambataan kreasi baru yang bernuansa modern. Terjadinya perubahan berpengaruh terhadap penampillan gaya-gaya lelambatan yang tersebar di seluruh Bali. Tingginya intensitas kegiatan lomba yang terjadi di Bali, menimbulkan keinginan yang kuat dari para seniman untuk menampilkan gaya-gaya terbaik. Adanya keinginan ini terkadang para seniman meninggalkan gaya-gaya yang di miliki sebelumnya dan mengacu ke gaya yang lain yang terlah muncul sebagai karya-karya terbaik sebelumnya. Tingginya otoritas yang dimiliki seniman karawitan dalam bekarya seni, hal ini dimanfaatkan untuk memberikn sentuhan-sentuhan kreasi dalam komposisi lelambatan. Dari sentuhan-sentuhan tersebut seorang seniman ingin menonjolkan atau menguatkan personalitasnya sebagai seniman. Kuatnya pengaruh yang di miliki seorang seniman, gaya-gaya individu yang di ciptakan terkadang mampu memberikan perubahan terhadap gaya-gaya kedaerahan yang sebelumnya telah mengakar sangat kuat. Mengemukanya gaya-gaya individu tersebut memberikan dampak yang sangat signifikan dalam perkembangan dunia seni Karawitan Bali. Secara positif hak tersebut tentunya akan memperkaya khasanah seni Karawitan Bali, namu pada sisi lainnya semakin semaraknya muncul gaya individual tersebut gaya-gaya kolektif yang merupakan identitas kedaerahan mulai memudar. Sebagai fenomena umum yang terjadi dalam perkembangan seni Karawitan Bali, pergeseran gaya-gaya ini juga di alami oleh komposisi lelambatan gaya Badung. Berkembangnya daya kreatifitas para seniman, gaya lelambatan yang sebelumnya yang sudah mengakar akhirnya mengalami perubahan karena mengikuti arah perkembangan jaman. Terkait dengan perubahan gaya yang terjadi pada tabuh lelambatan gaya Badung, hal tersebut dilihat dari perkembangan yang terjadi tabuh-tabuh lelambatan yang digarap dan disajikan oleh para seniman-seniman Badung event Festival Gong Kebyar.
Tabuh Lelambatan Gaya Badung adalah salah satu bentuk komposisi Lelambatan Pagongan yang lahir dan berkembang di wilayah badung. Gaya ini telah menjadi identitas tersendiri bagi daerah badung yang membedakannya dengan gaya-gaya tabuh lelambatan pagongan lainnya di Bali. Keberadaan Lelambatan gaya Badung adalah merupakan salah satu Gaya yang popular di masyarakat khususnya yang berkecimpung di dunia seni Karawitan Bali. Kepopuleran gaya ini tidak saja dikenal dikalangan seniman karawitan di daerah badung namun juga di kenal oleh kalangan seniman yang ada di luar wilayah badung. Kelebihan dn keunggulan dalam bahasa musical serta keharmonisan dalam penataannya, menyebabkan lelambatan gaya Badung menjadi karya terbaik dan dijadikan acuan dalam penggarapan tabuh-tabuh lelambatan yang ditampilkan dalam berbagai event seperti Festival Gong Kebyar dan event-event lainnya.
Lelambatan di perkirakan berasal dari kata lambat yang berarti pelan yang mendapatkan awalan Le dan akhiran an kemudian menjadi Lelambatan yang berarti komposisi atau lagu yang di mainkan dengan tempo atau irama lambat/pelan. Tambahan kata pagongan adalah merupakan repertoar dari gending-gending yang di mainkan dengan memakai barungan “Gong”. Gamelan Gong di maksud adalah gamelan-gamelan yang tergolong dalam kelompok barungan yang memiliki Patutan Gong yaitu istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan kelompok gamelan bali yang mempergunakan laras pelog 5 (lima) nada. Adapun kelompok gamelan yang berlaras lima nada diBali ada beberapa jumblahnya diantaranya: Gamelan Gong Gede, Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Palegongan, Gamelan Bebarongan, Gamelan Gandrung. Namun demikian dari berbagai jenis tersebut biasanya dipergunakan untuk menyajikan tabuh-tabuh lelambatan pagongan adalah gamelan Gong Gede dan Gamelan Gong Kebyar.