SEJARAH GAMELAN SELONDING DI DESA BUGBUG, KARANGASEM
SEJARAH GAMELAN SELONDING DI DESA BUGBUG, KARANGASEM
Gamelan Selonding adalah merupakan peninggalan historis dari kegiatan berkesenian nenek moyang di masa silam. Gamelan Selonding merupakan salah satu contoh mengenai lokal genius dari leluhur, sehingga mampu mengantarkan kepada suatu jenjang puncak budaya, sehingga keberadaanya masih eksis sampai saat ini. Peninggalan historis tersebut masih mampu menjembatani suatu masa ribuan tahun yang lalu, dengan masa kini. Di Bali masa lampau dan masa sekarang adalah satu dan tak dapat dipisahkan.Gamelan Selonding memang masih dapat bertahan dari terpaan gelombang peradaban manusia dalam rentang waktu yang cukup lama dan ini hanya dimungkinkan oleh adanya suatu vitalitas nilai universal yang terkandung di dalamnya dan terjalin erat dengan masyarakat pendukungnya.Pada dasarnya Gamelan Selonding yang lahir dari cipta,rasa dan karsa nenek moyang, sebagai perwujudan dan pengalaman estetis dikala keadaan jiwa sedang mengalami kedamaian dan kesucian. Pendakian ini hanya mungkin dapat dicapai dengan penghayatan dan pengalaman dari ajaran Agama Hindu.
Secara umum asal-usul Gamelan Selonding belum begitu banyak diungkap dalam arti tuntas oleh masyarakat pendukungnya. Di Desa Trunyan Gamelan Selonding merupakan lambang suci Bhatara Gangga dan Bhatari Indra sebagai “Pemuput Pegaman” Ratu Sakti Pancering Jagat. Setelah upacara selesai bhatara bhatari dilebar lalu disineb, lambang-lambang suci ini (dua tungguh Gamelan Selonding suci) disimpan pada Pelinggih Ratu Sakti Gangga atau Ida Ayu Maospahit.
Legenda Selonding di Tenganan Pegringsingan , Kecamatan Manggis , Kabupaten Karangasem diyakini sebagai Piturun. Menurut cerita yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya, bahwa cerita itu memang benar-benar terjadi mengenai adanya tiga bilah Gamelsn Selonding yang amat disakralkan dan dikeluarkan pada waktu upacara-upacara tertentu. Gamelan itu berfungsi sebagai lambang suci dan diberi gelar Bagus Selonding.Turunnya gamelan ini menurut cerita orang-orang tua di Tenganan Pegringsingan, konon didahului dengan suara gemuruh menderu-deru di atas desa Tenganan. Suara gemuruh itu datangnya bergelombang-gelombang. Gelombang pertama mendekat ke bumi dan akhirnya turun di desa Bungaya, yaitu selanjutnya gelombang berikutnya di Desa Tenganan. Setelah suara itu sampai di bumi ternyata di tempat tersebut diketemukan tiga bilah Gamelan Selonding, yang kini disungsung di Tenganan Pegringsingan sebagai lambang suci.Kemudian adanya Selonding di Tigawasa rupanya tidak jauh berbeda dengan legenda Selonding Piturun di Tenganan. Menurut cerita rakyat di desa itu asal-usul Selonding yang ada di Tigawasa bermula dari adanya suara dari angkasa di atas desa Cempaga dan Pedawa. Konon suara itu bergerak ke angkasa di atas desa Sidatapa dan Sepang. Lalu para pemangku dan tetua desa Sidatapa dan Sepang melakukan suatu upacara dan mengharapkan supaya “Bhatara” berkenan turun tetapi suara-suara itu terus bergerak menuju desa Tigawasa. Di desa Tigawasa ini juga diadakan upacara pemendak oleh tetua desa daan pemangku. Akhirnya suara di angkasa itu berkenan turun metapakan Selonding yang sampai kini amat disucikan oleh masyarakat pendukungnya di desa Tigawasa.
Pada suatu perisriwa diadakan suatu upacara piodalan oleh masyarakat Datah untuk merayakan pujawali Ida Batara Ayu Gaaluh, salah seorang puteri dari Batara Gede Puseh di Bugbug dan Batara Gede Puseh diharapkan hadir pada saat itu untuk memimpin upacara tersebut. Pada hari yang ditetapkan beraangkatlah rombongan Batara Gede Puseh di Bugbug. Setelah upacara selesai, kembali lah rombongan Batara Gede Puseh untuk pulang ke Bugbug. Setibanya rombongan di sebuah tepi sungai yang kering sebelah Barat Desa Datah, tiba-tiba salah seorang rombongan paling depan menemukan sesuatu di sungai tersebut. Ternyata ditemukan beberapa bilah-bilah Selonding di sungai itu. Ini merupakan aturan(persembahan) dari Batara Ayu Galuh yang sengaja dikirim dari sorga. Dari semenjak itu setiap ada upacara piodalan di Pura Puseh di Datah, dan bila Batara Gede Puseh di Bugbug ngelunganin ke Datah Gamelan Selonding itu harus dibawa dan setibanya di sungai dimana ditemukannya gamelan ini, maka Gamelan Selonding itu harus ditabuhkan. Sampai sekarang tempat ini dikenal dengan nama Tukad Selonding. Tradisi Bhatara di Bugbug mengadakan perjalanan ke Datah sampai sekarang masih tetap berlanjut.Pada awalnya pedekan Batara di Bugbug belum bisa menabuh Selonding, tetapi lama-kelamaan mereka bisa menabuh Gamelan Selonding karena jasa salah seorang warga di Bugbug yang gemar bertapa dan akhirnya mendapatkan sebuah gending dari mendengarkan gending-gending yang didendangkan oleh anak-anak burung gagak.
Gambelan Selondingadalah gambelan Kuno yang paling sakral dalam melengkapi upacara keagamaan (Hindu) di Bali yang
berlaras pelog Sapta Nada, contohnya seperti Selonding yang ada di Trunyan, di Bugbug,
Tenganan, Ngis Selumbung , Timbrah, Asak, Bungaya, Besakih, Selat, Bantang dan lainlainnya.Dalam konteks Desa Adat Bugbug, Selonding (yang disimpan di dekat Pura Piit
Bugbug) ini selalu mengiringi prosesi upacara besar di Pura-pura di Bugbug, seperti Usaba
Sumbu dan rangkaian Usaba Gumang di Bukit Juru. Para penabuhnyapun bukanlah orang
Menurut Lontar Prekempa bahwa semua tetabuhan atau gambelan lahir dari suaraning
Genta Pinara Pitu, Suaraning Genta Pitara Pitu adalah suara sejati yang berasal dari suaranya
alam semesta atau bhuana, suara suara yang utama yang berasal dari suaranya semesta itu ada
tujuh suara banyaknya yang disebut dengan sapta suara. Suara ini berasal dari Akasa disebut
Byomantara Gosa. Ada pula suara yang disebut Arnawa Srutti yaitu suara yang keluar dari
unsur Apah. Yang lain ada disebut dengan Agosa, Anugosa, Anumasika dan Bhuh Loko Srutti.Yang terakhir disebutkan suara yang keluar dari unsur Pertiwi
Teknik pemukulan instrumen selonding ini relatif sama dengan teknik pemukulan gender wayang. Kedua tangan dilengkapi dengan panggul. Satu tangan berfungsi sebagai pemukul dan penekep. Instrumen dalam kerawitan selonding ini meliputi peenem petuduh dan reong masing-masing sebanyak 2 tungguh. Satu tungguh terdiri dari 4 bilah. Instrumen selonding yang lain meliputi nyong-nyong agung dan nyong-nyong alit yang menampilkan permainan ubit-ubitan. Instrumen dari selonding yang lain meliputi curing, dan gong kempur. Gong kempur khususnya untuk memberikan penegasan pada akhir lagu dalam kerawitan selonding.
Dikutip dari buku “SELONDING” oleh Pande Wayan Tusan, halaman 279-290, penerbit: CV. KARYA SASTRA. Cetakan I, Desember 2001.
dwiriasta is | Topic: Tak Berkategori | Tags: None
No Comments, Comment or Ping