SEJARAH TARI REJANG DI DESA BUGBUG, KARANGASEM
⊆ Juli 11th by dwiriasta | ˜ No Comments »SEJARAH TARI REJANG DI DESA BUGBUG, KARANGASEM.
Salah satu desa yang memiliki kelompok Rejang di daerah Bali timur adalah desa Bugbug, Karangasem.
Tari Rejang yang ada di desa Bugbug, Karangasem merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang yang tidak boleh dilupakan. Hal ini disebabkan karena tarian ini wajib untuk disajikan setiap tahunnya dalam suatu upacara ritual yang disebut dengan usabha, demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Upacara agama tersebut didukung oleh Rejang.
Sejarah Tari : Menurut para sesepuh desa, dikatakan bahwa ketika itu desa yang ada sekarang, belum terbentuk. Orang-orang tinggal di areal persawahan (pra-desa) yang dekat dengan sungai yang disebut Tukad Buhu. Suatu ketika terjadi hujan lebat yang tiada henti-hentinya dan menyebabakan banjir dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga menjadi penghambat bagi orang-orang (Krama Desa) sekitarnya untuk melakukan aktifitas mereka, termasuk penguburan mayat. Kemudian timbul keinginan Ide Gde (Bhatara Gde Gumang) untuk mempersatukan gubuk-gubuk tersebut di sebuah tempat yang layak dan terbebas dari banjir. Untuk tujuan tersebut, maka tempat yang pertama dipilih adalah Pangiyu (lateng ngiyu). Tetapi setelah diperhatikan, tempat tersebut sangat sempit dan kurang mendukung.
Kemudian ditinjaulah daerah di bagian timur Bukit Penyu (Bukit Dukuh), yang tenyata terdapat genangan air berwarna biru yang disebut Telaga Ngembeng atau Banu Wka. Tempat ini merupakan tempat yang sangat baik, datar, dan luas, sehingga cocok untuk dijadikan tempat pemukiman untuk sebuah desa. Dengan upaya, menimbun genangan air tersbeut untuk mengumpulkan (mempersatukan) orang-orang yang mendiami gubuk-gubuk yang tersebar di areal persawahan (pra-desa). Setelah lama menimbun genangan air tesebut, tetapi genagan air tetap saja demikian adanya, tidak tertimbun. Setelah hampir mencapai puncak keputusan dari orang-orang yang bekerja menimbun genangan air tersebut, kemudian Ida Gde beryoga dan mempersatukan bayu, sabda, dan idep untuk menyatu (manunggal) dengan Bhatara Kala, tanpa diketahui oleh orang-orang. Tidak lama kemudian, muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa yang merupakan wujud lain dari Ide Gde yang sudah menyatu dengan Bhatara Kala. Orang-orang tidak mengenali siapa sebenarnya yang datang tersebut. Beliau menamakan dirinya Ki Taruna Bali. Perwujudan Dewata inilah yang menyanggupi untuk menimbun genangan air tersebut. Tetapi beliau memberi persyaratan kepada orang-orang agar dirinya ditanggung makan dan minumnya oleh orang-orang yang telah mendirikan gubuk-gubuk sementara di sekitar Telaga Ngembeng tersebut. Orang-orang itupun menyanggupinya untuk menanggung makan dan minumnya hingga selesai.
Setelah beberapa lama melakukan pekerjaan menimbun genangan air tersebut, porsi makan dan minum Ki Taruna Bali semakin hari semakin bertambah. Maka, orang-orang yang tadinya berjanji dan siap untuk menanggung makan dan minumnya menjadi kewalahan. Tidak lama kemudian setelah hampir selesai menimbun genangan iar tersebut, di saat itulah muncul niat yang kurang baik dari orang-orang untuk memperdaya (membinasakan) Ki Taruna Bali. Tetapi Ki Taruna Bali yang merupakan perwujudan Dewata, mengetahui niat orang-orang tersebut. Karena keprihatinan Beliau akan kesetiaan dan ketulusan dari orang-orang tersebut, Ki Taruna Bali yang sangat bijaksana memberikan jalan keluarnya dengan memberikan isyarat da pamoran doeng, yang maksudnya adalah jangan menorehkan kapur saja. Secara lebih luas, maksudnya adalah janganlah senantiasa memiliki niat yang kurang baik seperti itu. Beliau berkata kepada orang-orang agar nantinya ia melakukan kewajiban menyelenggarakan upacara dan upakara babanten pacaruan (caru) lengkap dengan rajah (gambar) wong-wongan Sang Hyang Yamaraja Dhipati Uriping Bhuana pada natar Pura Penataran Bale Agung Desa Pakraman Bugbug, Karangasem. dan dikelilingi oleh tarian rejang. Tarian rejang ini nantinya ditarikan oleh anak-anak mereka yang masih muda yang disebut dengan Daha. Agar selalu ditaati oleh orang-orang yang menjadi Krama Desa hingga kelak, maka terbentuklah desa yang dinamakan desa Bugbug (dalam bahasa Bali berarti pusat atau dipersatukan).
Tari Rejang tersebut memiliki gerak yang sangat sederhana. Hal ini disebabkan karena tidak mementingkan keindahan gerak, tetapi maksud yang diinginkan dari penyajiannya. Gerak tarinya hanya berdiri biasa, tangan kiri memegang kain putih yang digunakan oleh penari yang ada di belakangnya dan penari yang ada di barisan paling depan kain putih yang digunakan diselempangkan ke kanan, dengan gerak membentangkan tangan ke samping kiri, kanan, dan kedua tangan, yang diulang hingga dua kali. Untuk gerak membentangkan kedua tangan ke samping untuk yang kedua kalinya, dilakukan bersamaan dengan pukulan gong. Tarian ini tidak harus dilakukan dengan kompak atau bersamaan antara satu penari dengan penari lainnya, melainkan yang ditekankan di sini adalah geraknya dilakukan dua kali (diulang) dan gerak terakhir tepat pada saat pukulan gong.
Setelah satu frase gerak selesai, penari yang berada di barisan paling depan pindah ke belakang dan tidak menari. Demikian pula gerak selanjutnya sama dengan gerak pertama, dan seterusnya hingga ada yang memberitahu untuk mengakhirinya. Hanya satu frase gerak yang digunakan, sehingga tidak memerlukan waktu untuk latihan. Seperti yang telah disebutkan di atas pada sejarah tari rejang ini, penarinya adalah anak-anak gadis yang merupakan Krama Desa Ngarep yang disebut dengan Daha. Usia penarinya, yaitu kurang lebih antara 17 tahun sampai 26 tahun yang belum menikah dan sudah mengalami akil balik. Ada rapat khusus untuk menentukan usia penari. Selain itu juga, tidak ada proses inisiasi (penyucian) atau prosesi khusus untuk menentukan penarinya karena penarinya sudah didaulat. Cara yang dilakukan untuk mendaulat penarinya adalah dengan cara memeberikan ketipat sumbu kepada calon penarinya dan pada usabha yang akan datang, harus sudah mulai menarikan tarian Rejang tersebut. Jumlah penarinya tidak ditentukan karena tergantung dari penari yang ada dan sudah didaulat.
Sumber : klianDesaAdatBugbug, Karangasem ( JeroWayan Mas ).
Topic: Tak Berkategori | Tags: None
Komentar Terbaru