Wayang Wong Tejakula

Tradisi berkesenian orang Bali di tandai oleh cirri-ciri local yang sangat kuat. Hal itu menjadi penanda terpenting mengenai keanekaragaman kesenian pada sebuah pulau kecil, yang terletak diantara Jawa dan Lombok , di Indonesia. Teater barong Brutuk, misalnya,hanya di temukan di turunya (kab,Bangli di Bali tengah ). Music Joged telah   telah menjadi semacam mascot kesenian Jembrana, di Bali barat. Komposisi gong kebyar di kembangkan di pesisir pantai bali utara. Sampai saat ini cirri khas nya tetap di pertahankan di tengah situasi kesenian bbali kontemporer yang diam-diam mengarah kepada standarisasi monolisi – estetik tradisi festival serta formalitas-akademik-pendimonilitik/estetik tradisi festival serta formalitas – akademikpendidikan seni. Cerita-cerita rakyat juga di lokalkan sampai pada tataran desa sehingga satu cerita di kenal dalam sejumlah versi. Masih di temukan contoh lain yang dapat memperpanjang contoh-contoh di atas.

            Teater wayang wong Tejakula adalah salah satu bukti lokalitas kesenian di bali. Hal itu di buktikan oleh keadaan yang menunjukan bahwa hanya di daerah ini (di desa tejakula ) teater ini berkembang dengan caara dan tradisi lokalnya sendiri. Lokalitas teater wayang wong tejakula di tandai oleh kontruksi-kontruksi tradisi setempat (dalam tataran relijius , estetik, dan social).sehingga teater ini menjadi orientasi citra estetik dan bersamanya sejumlah kecil teater wayang wong di tejakula (secara reseptil) terreduksi. Hal itu menyebabkan penyambutan teater wayang wong (untuk kontes Bali) harus engembalikanya kepada penyertaan komunitasnya, yakni tejakula, sebagai sebuah lokalitas kesenian.

            Tejakula sebagai sebuah lokalitas teater wayang wong. Di dalam nya tradisi teater wayang wong Bali di kembangkan serta di jaga dalam rangka tetap membawanya ke masa kini, penting sekali di kaji. Dalam rangka sebuah exklusifitas estetik yang secara operational klasik di pahami sebagai kesakralan atau kesucian. Orang-orang Tejakula membangun resepsi-resepsi relijius terhadap teater wayang wongnya. Internasiolitas Epos Ramayana, yang menjadi teks satu-satunya (semacam repetoar reproduksi-reproduksi pertunjukannya) bagi teater wayang wong     Tejakula tidak lagi penting di bicarakan karena tendesi penelitian kesenian telah melahirkan satu dominasi bahwa para peneliti –peneliti kesenian dengan objek kesenian yang di pertunjukan di atas panggung. Hal itu di buktikan , misalnya dengan munculnya sebutan “masyarakat seni pertunjukan Indonesia atau MSPI”.

            Bukti lain yang menunjukan dominasi itu adalah dsiplinilmu dan metodologi penelitian yang di kembangkan. Apap yang di kerjakan oleh Kladen (1998) dalam studynya terhadap teater lenong betawi , yang lebih banyak berbicara pada tataran komunikasi yang mendukung nya , belum banyak di teliti. Sementara ini, yang bekerja dalam wilayah-wilayah itu adalah para antropolog atau bahkan para sosiolog.

            Ketika pariwisata tertarik dengan eksotisme Bali. Tertarik pada dengan eksotisme bali. Tertarik pada teater-teater puranya, maka majemen itu di kembangkan untuk memenuhi tujuan hidup yang lai, profesional kesenian, ingin hidu dari seni-seni desa atau seni-seni pura. Landasannya adalah karena desa dari luar, yaitu komersialisasi kesenian dan cara pandang baru terhadap seniman-seniman desa. Maka, lembaga baru pun di bangun di tejakula, yaitu lemba gat eater wayang wong duplikat.

            Tata kerjanya mengacu kepada manajemen di pakraman. Lembaga duplikat ini menunjukkan jika teater wayang wong tejakula telah mengalami perkembangan. Hal ini tidak hanya terjadi di desa ini. Di bali ini lumrah dan konteksnya adalah kesenian pariwisata. Memang ini tidak mungkin hanya tolenransi tejakula terhadap komersialisasi kesenian atau modernisasi yang sampai ke batas kesadaran yang di pilih sebagai strategi. Sehigga tidak ada kehancuran antara sakralisasi dan profansasi.

            Tesk Ramayana di Tejakula tdak sanggup di perdebatkan batas-batas suci dan profannya. Hal ini adalah salah satu resiko atau konsekuensi reseptif , bahwa teks Ramayana akan mejadi suci atau tidak komersial, pada konteks mana dan bagaimana konteks ini di nikmati atau di terima dalam kontruksi. Kuatnya system perlembagaan teater wayang wong di tejakla , terlepas dari jaminan bagi tejakula bahwa tradissi ini akan pergi ke masa depan. Di jumpai-menjumpi,dimiliki , oleh generasi masa depan . itulah kehidupan tradisi teater wayang wong dan Ramayana yang selalu di miliki. Semakin menjadi milik dengan cara-cara yang mudah.

Konsep seke atau organisasi sebdesa adat adalah tanan atau pelembagaan beberapa apsek kehidupan di Bali. Hl ini, oleh GEERTZ (1996) di kenal dengan system organisasi berlapis. Setiap anggota dalam satu wilayah desa adat di Bali pasti menjadi anggota sejumlah organisasi yang didasari pada system-sistem ikatan yang berbeda.

Kelembagaan itu tidak semata-mata territorial-administratif karena ada organisasi tertentu yang keanggotaanya melintasi sejumlah desa adat. Di sector kesenian juga banyak di bangun seke atau organisasi. Seke ini sangat permanen dan di wariskan secara ejeg dan lurus , dengan legitimasi- legitimasi magis. Hal itu di jalankan dengan kesadaran social tinggi bahwa kelembagaan seni tersebut juga bagian dari seprastruktur di desa adat. Hal ini memang dapat di lacak dalam pemikiran Goldmann. Institusionalisasi seni karena melihat dan menyadari fungsi kesenian itu dalam system yang lebih besar. Sudah di pahami dari Bali, bahwa kesenian adalah social menjadi bagian peralatan hidup dalambudaya bali, dan sama sekali sama bukan tipe fine art atau art menurut pandangan barat.

Melalui konsep Institusionalisasi kesenian, di Bali, di ketahuai bahwa di sanalah letak integritasi-integritasi seni dengan kehidupan. Jadi, para pelaku seni tidak mesti propesional, hidup dan berkesenian tersebut. Karena , di Bali, seni awalnya bukan pekerjaan komersial. Di sini seni adlah akktivitas daalam rangka pekerjaan system ritual yang lebih besar. Dalam system yang telah mapan dan menyingkat, yaitu adminitrasi dan hokum republic desa adat.