Mitos Pura Mas Medewi Banjar Tegal

This post was written by denypraditya on April 6, 2018
Posted Under: Tak Berkategori

Mitos tidak menarikan tari Rejang Dewa di Pura Mas Medewi Banjar Tegal. Bebalang, Bangli

Pura Mas Medewi berlokasi di Banjar Tegal, kelurahan Bebalang, kabupaten Bangli. Pura ini didirikan dekat dengan sumber mata air dan maksud pendirian pura ini adalah untuk tetap menjaga kesucian mata air yang ada. Di pura ini distanakanlah Ida Ratu Mas Medewi, yang selanjurnya menjadi nama pura itu sendiri. Sesuai maksud pendirian pura tersebut, maka masyarakat Banjar Tegal tidak memperbolehkan orang yang sedang mengalami cuntaka untuk mandi atau mengambil air disana, serta setiap orang yang mandi tidak diperbolehkan memakai pakaian karena pada sumber air tersebut dibangun sebuah pelinggih tempat pemelastian ida betara setiap ada odalan di pura tersebut. Sumber mata air tersebut juga diyakini masyarakat bahwa, apabila ada pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan dan memohon serta mandi disumber mata air tersebut maka besar harapannya akan terkabul. Tentunya juga ada persyaratan khusus dan memohon dengan hati yang tulus. Beberapa masyarakat Banjar Tegal sudah membuktikannya dan beberapa orang dari luar juga ada yang memohon kesana agar dikaruniai anak. Sumber mata air disana dinamakan dengan pangsut, secara pasti narasumber tidak mengetahui bagaimana sejarah penamaan mata air tersebut, tetapi menurut cerita dari leluhurnya, diperkirakan nama tersebut muncul dari kata ngangsut yang artinya jauh dari pemukiman masyarakat dan dulunya tempat itu adalah ladang warga. Seiring dengan berjalannya waktu, entah kenapa nama sumber mata air tersebut terkenl dengsan sebutan pangsut. Sudah puluhan tahun di Pura Mas Medewi, ketika ada upacara piodalan tidak menggunakan tarian Rejang Dewa yang ditarikan oleh anak-anak. Tentunya, tidak menggunakan tarian tersebut dilandai oleh sebuah mitos yang sampai saat ini masih dipercaya dan diceritakan turun temurun oleh orang-orang tua di Banjar Tegal. Bapak I Wayan Diarsa merupakan salah satu penua di Banjar Tegal yang mengetahui mitos yang ada di pura Mas Medewi.
Diceritakan oleh bapak Wayan Diarsa, bahwa dulunya prosesi piodalan di Pura Mas Medewi sama layaknya di pura lain, yang dilengkapi dengan adanya tari Rejang Dewa yang ditarikan oleh anak-anak yang belum akil balik. Namun terjadi kejadian buruk setiap ditarikan tarian tersebut, penari paling akhir selalu hilang dan tidak diketahui kemana perginya. Kejadian ini terjadi berulang ulang, hingga ada warga yang mengatakan bahwa penari dibarisan terakhir hilang karena dilarikan oleh raksasa. Menurut narasumber, raksasa yang dimaksud berwujud seperti manusia yang besar dan memiliki taring. Keresahan wargapun semakin menjadi-jadi, hingga ketika dilaksanakan Karya Gede di pura ini, warga memiliki inisiatif untuk mengetahui dimana sarang raksasa yang mengganggu tersebut. Akhirnya pada pementasan tari Rejang Dewa, warga mengisi selendang penari dibarisan paling belakang dengan beras putih kuning. Ketika raksasa itu mengambil penari terakhir, beras putih kuning terjatuh sedikit demi sedikit dari selendang penari dan memberikan tuntunan jalan bagi warga untuk menemukan sarang raksasa tersebut. Hingga akhirnya warga menemukan sebuah goa di tengah hutan di atas pura, dan didepan goa tersebut berserakan beras putih kuning itu. Malang nasib penari Rejang tersebut tidak dapat diselamatkan oleh masyarakat Banjar Tegal karena hari sudah malam dan mereka tidak membawa peralatan apapun apabila raksasa itu melawan. Keesokan harinya, warga berbondong-bondong membawa senjata yang dimilikinya untuk mendatangi goa sarang raksasa itu. Sampainya di hutan, ditemukan raksasa itu sedang berada didepan goa, selanjutnya warga menyalakan obor dan melempari raksasa tersebut hingga raksasa itu berhasil diusir. Wargapun memasuki goa dan menemukan tengkorak dan tulang-tulang manusia didalam goa.
Lanjut cerita, ada seorang petani yang sedang mencangkul disawahnya, seketika itu dia didatangi oleh raksasa yang menurut narasumber itu adalah raksasa yang telah diusir dari Banjar Tegal. Awalnya petani tersebut tidak menghiraukan, namun sedikit demi sedikit raksasa itu mendekat sehingga petani tersebut berlari dan beruntung taring raksasa ini tersangkut di pohon ligondi besar yang menaungi pinggir sawah. Raksasa pun merintih kesakitan, seketika itu petani tersebut langsung memukuli kepala raksasa itu dengan pangkal tambah (cangkul). Hal ini diyakini masyarakat sebagai awal munculnya desa Tambahan yang berada disebelah Banjar Tegal. Semenjak kejadian itulah di Pura Mas Medewi setiap ada upacara piodalan, tidak diiringi oleh tari Rejang Dewa anak-anak, karena takut kemungkinan ada raksasa lain yang datang dan mencuri penari Rejang Dewa lagi. Sampai sekarang hal ini masih sangat dipercaya oleh masyarakat Banjar Tegal, sehingga dalam setiap upacara piodalan, tari Rejang Dewa ditarikan oleh Istri Pemangku dan orang-orang tua. Tetapi belakang ini, tari Rejang Dewa lebih sering ditarikan oleh Sekee Truni Banjar Tegal.

Comments are closed.

Previose Post: