Karang Memadu Desa Penglipuran

Karang Memadu Desa Penglipuran

Penglipuran yang terkenal dengan kebersihan dan keseragaman bangunannya ternyata menyimpan aturan adat unik yang jarang diketahui oleh orang banyak. Ini adalah satu-satunya desa di Bali yang tegas melarang poligami. Kaum laki-laki tidak diperkenankan mengangkat istri lebih dari satu. Mereka yang melanggar aturan adat tidak bisa lagi tinggal bersama masyarakat di desa, melainkan diasingkan di Karang Memadu yang berada di selatan dekat rumah penduduk .

Sanksi sosial yang diberikan cukup berat, salah satunya tidak boleh bergabung melaksanakan upacara adat dengan masyarakat, dilarang masuk pura mana pun di Penglipuran, dilarang melintasi perempatan desa di bagian utara, dan dikucilkan (kasepekang) oleh masyarakat desa.

Karang Memadu artinya tempat khusus bagi yang beristri lebih dari satu. Luas lahan yang disiapkan sekitar 921 meter. Tempat ini terpisah dengan tembok tinggi dengan akses jalan sempit menuju lokasi.

Warga Penglipuran, Nini Purniasih mengatakan Karang Memadu dianggap sebagai lahan leteh atau kotor. Masyarakat bahkan tidak boleh mengambil hasil tanaman yang tumbuh di areal ini untuk persembahyangan, seperti pisang dan bunga-bunga.

“Sudah puluhan tahun dan tidak ada yang berani melanggar awig-awig adat di sini. Orang takut dikucilkan,” kata Nini kepada Republika.

Pengunjung akan menjumpai plang bertuliskan Karang Memadu, tanda pintu masuk menuju lokasi pengasingan ini. Mereka harus berjalan cukup jauh untuk mencapai lokasi. Jalannya sempit dan hanya bisa diakses dengan berjalan kaki. Kondisi lahan saat ini ditumbuhi dengan pohon pisang, bunga, tanaman liar, dan sebagian tanaman bambu.

Seorang warga sepuh, Wayan Mangku Winten (65 tahun) mengatakan masyarakat Penglipuran sangat menghormati perempuan sejak zaman leluhur (dresta kuna). Laki-laki dididik untuk setia pada satu pasangan. Masyarakat menghindari potensi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Laki-laki yang berpoligami dituntut menjamin kesejahteraan istri-istrinya. Jika yang bersangkutan tidak dapat berlaku adil, maka pertentangan biasanya muncul dan berujung pada konflik rumah tangga.

Mangku Winten bercerita pernah ada seorang pria yang masih bersaudara jauh dengannya melanggar aturan adat tersebut. Pria tersebut awalnya menikah dengan seorang perempuan, namun tidak dikaruniai anak. Dia kemudian mengangkat adik istrinya sebagai istri kedua dan akhirnya mereka memperoleh anak.

“Sayangnya kedua istrinya sama-sama tak mau diceraikan, sehingga yang bersangkutan diasingkan di Karang Memadu,” kata Mangku Winten.

Menurut aturan, pihak desa adat yang akan membuatkan rumah sepetak untuk pasangan yang berpoligami di Karang Memadu. Laki-laki bersama istri-istri dan keturunannya hanya boleh tinggal di sana. Saudara dari Mangku Winten itu tidak tahan dengan kehidupannya dan memutuskan keluar dari Penglipuran. Yang bersangkutan bersama kedua istrinya akhirnya pindah ke Desa Cekeng di Kecamatan Susut sampai akhirnya salah satunya istrinya bersedia diceraikan.

Awig-awig atau hukum adat yang mengatur sanksi masyarakat berpoligami tertuang dalam Awig-awig Desa Pekraman Penglipuran tertanggal 19 Agustus 1989. Pada bab kelima (Sat Sargah), bagian pertama (Palet 1) mengatur Indik Pawiwiwahan.

Bunyi aturannya adalah, Krama Desa Adat Penglipuran tan kadadosang madue istri langkung ring asiki, yening wenten warga desa adat lanang/ wadon ngemaduang, keni pidanda manut ring dresta. Artinya, Warga Desa Adat Penglipuran tidak diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu. Jika ada warga yang berani melakukan poligami atau memadu, maka warga tersebut akan dikenakan hukuman atau sanksi adat sesuai dengan keputusan yang sudah tertuang di dalam awig-awig Desa Adat Penglipuran.

Wagub Bapak Sudikerta Hadiri Karya Ngusaba Agung Di Pura Hyang Tegal Dalem Lagaan,bangli

Wagub Sudikerta Hadiri Karya Ngusaba Agung di Pura Hyang Tegal Dalem Lagaan.

Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta, menghadiri Karya Ngusaba Agung di Pura Hyang Tegal Dalem Lagaan, Br. Tegal, Bebalang, Bangli,
Pada kesempatan tersebut Wagub Bapak Sudikerta menyampaikan rasa syukurnya atas upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Banjar Tegal, Kecamatan Bangli ini.

Menurutnya upacara yadnya ini harus dilakukan, sebagai sujud bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar tercipta kesukertan jagad dan masyarakat juga dalam melakukan hal apapun dapat berjalan lancar.

Selain itu, Bapak Sudikerta juga berpesan kepada krama agar melakukan yadnya secara tulus ikhlas, serta menyesuaikan dengan kemampuan masyarakat agar semua masyarakat bisa menikmati karya tersebut dengan sukacita.

Disamping itu, orang nomor dua di Bali tersebut juga menghimbau kepada masyarakat agar melaksanakan yadnya dengan “Satya”, yang berarti bagaimana pun bentuk dari pelaksana yadnya tersebut agar mengedepankan sikap-sikap kesetiaan. Sehingga yadnya yang dilaksanakan secara tulus ikhlas dan satya dapat semakin dirasakan kesejukannya.

Wagub Bapak Sudikerta juga berharap agar upacara padudusan agung ini bisa berjalan dengan lancar sampai pada penutupan karya nanti.

Sementara itu Ketua Panitia Pelaksana karya Putu Ganda menyampaikan terimakasihnya atas dukungan Wagub Bapak Sudikerta untuk ikut menyaksikan jalanya upacara mapedada tersebut.
Ia mengungkapkan bahwa puncak karya dari Pedudusan Agung ini jatuh pada Saniscara Kliwon Krulut tanggal 29 Agustus 2015, sedangkan runtutan acara sudah dimulai dari tanggal 10 Agustus 2015 dan akan diakhiri pada tanggal 6 September 2015.

Disamping itu ia mengungkapkan bahwa upacara pedudusan ini dilaksanakan setiap 5 tahun sekali yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan sekala dan niskala dari desa pekraman, selain itu juga untuk memohon keselamatan dan kerahayuan untuk masyarakat sekitar.Ia juga mengungkapkan bahwa, karya ini dilaksanakan oleh 126KK yang ada di Banjar Tegal yang merupakan pengempon dari Pura Dalem Tegal Legaan.

Pada kesempatan tersebut Wagub Bapak Sudikerta yang juga didampingi oleh Pejabat Bupati Bangli Dewa Gede Mahendra Putra, beserta Pemangku dan Penglisir Pura melaksanakan upacara nedunan Pusaka Keris dan Pedang, sebagai simbolis upacara Pepada ini.

sebelum upacara Mepada Agung, pemangku dan penglingair di desa setempat melakukan puja untuk menurunkan/nedunang keris Pusaka yang akan dipakai menusuk kerbau.

Pusaka tersebut setelah diturunkan, kemudian digunakan untuk menyembelih secara simbolis hewan persembahan dalam upacara tersebut seperti Kebo, Babi, Kambing, Ayam dan lainnya.

Hadir pula dalam kesempatan tersebut Staff Ahli Gubernur Bali bidang Kemasyarakatan, Perwakilan Camat Bangli, Majelis Madya Desa Pekraman Bangli serta undangan lainnya

Barong Landung

Berawal dari kisah Bali Kuno, yang menceritakan sebuah Kerajaan Balingkang. Dari sinilah kisah kemunculan Barong Landung dimulai. Ketika itu, seorang raja bernama Sri Jaya Pangus memerintah Kerajaan Balingkang. Pada masa pemerintahannya, kehidupan masyarakat amatlah makmur. Kerajaan tenteram dari segi ketahanan militer hingga perdagangannya. Dari hubungan perdangan inilah rumor tentang kemakmuran kerjaan ini terdengar hingga negeri cina. Para saudagar Cina pun memutuskan datang dan menjalin hubungan pertemanan dengan kerajaan yang diperintah oleh Sri Jaya Pangus. Dari hubungan ini, lambat laun Sri Jaya Pangus menemukan sorang wanita Cina pujaan hatinya. Wanita ini bernama Kang Ching Wie, putri seorang saudagar Cina yang kaya raya. Raja Balingkang ini akhirnya memutuskan meminang putri saudagar tersebut menjadi permaisurinya. Pinangan sang raja disetujui, hingga digelarlah upacara pernikahan yang amat megah. Seisi kerajaan dan seluruh rakyat ikut bersuka cita merayakannya.
Bertahun-tahun lamanya setelah pernikahan Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We, kedua mempelai ini belum juga dikaruniai seorang anak. Ini membawa kesedihan yang amat mendalam pada pihak kerajaan dan seluruh rakyat Kerajaan Balingkang. Keadaan kerajaan saat itu menjadi sangat muram. Hampir tidak pernah diadakan perayaan ataupun acara-acara hiburan oleh kerajaan ataupun masyarakat. Hal-hal yang besifat hura-hura sengaja tidak dilakukan, untuk ikut berbela sungkawa atas kejadian ini. Tertekan dengan apa yang terjadi, akhirnya Raja Sri Jaya Pangus memutuskan pergi meninggalkan Kang Cing We untuk mencari pencerahan. Pertualangan pun dilakukan oleh sang raja, hingga akhirnya membuat sang raja terdampar di sebuah tempat di kaki gunung batur.
Di tempat itu Sri Jaya Pangus memutuskan untuk bermeditasi. Kehadiran sang raja ternyata menarik hati seorang dewi yang menguasai daerah tersebut. Dewi ini bernama Dewi Danu. Ia merupakan dewi penunggu Danau Batur. Ditemani oleh para kerabatnya, sang dewi akhirnya menggoda sang raja yang terbangun dari meditasinya. Raja Kerajaan Balingkang inipun akhirnya tergoda, dan memutuskan menikahi Dewi Danu.
Singkat cerita, bertahun-tahun lamanya menunggu, Kang Cing We menatap kesedihan karena sang suami tidak pernah pulang ke kerajaan. Dari rasa penasarannya, akhirnya permaisuri Kerajaan Balingkang ini memutuskan berpetualang untuk mencari suaminya. Melewati hutan belantara dihadapi, namun perjalanan beliau terhalang oleh angin kencang, beliau berusaha untuk melewatinya, tapi akhirnya Kang Cing We terjatuh di sebuah hutan dan tepat di tempat suaminya terdampar dulu. Di sini akhirnya Kang Cing We bertemu dengan seorang anak yang tidak lain adalah anak dari perkawinan suaminya yaitu Raja Sri Jaya Pangus dan Dewi Danu.
Menjumpai kenyataan itu, Kang Cing We merasa kecewa dan sakit hati, lalu memutuskan untuk menyerang Dewi Danu yang merebut suaminya. Serangan dari Kang Cing We mendapat respon negatif dari Dewi Danu, dan akhinya karena kemarahannya iapun mengeluarkan pasukannya yang berbentuk raksasa dan memporak porandakan pasukan Kang Cing We. Tak tega melihat keadaan istri pertamanya yaitu Kang Cing We, sang raja akhirnya memutuskan untuk melindungi Kang Cing We dari serangan Dewi Danu. Raja menyadari cintanya kepada Kang Cing We tidak akan pernah mati walaupun telah lama meninggalkan permaisurinya tersebut. Melihat Kang Cing We dan Sri Jaya Pangus bersatu, membuat Dewi Danu kecewa. Dalam kecewanya, iapun mengutuk kedua pasangan ini menjadi patung.
Berita tentang berubahnya Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We menjadi patung, menyebabkan luka yang sangat mendalam bagi rakyat Kerajaan Balingkang. Kesedihan rakyat ini akhirnya membuat Dewi Danu tersadar telah berbuat kesalahan. Ia pun kemudian datang ke kerajaan tersebut membawa seorang anak yang merupakan anak Sri Jaya Pangus. Dengan kedatangan Sang Dewi, rakyat Balingkang pun memutuskan mengangkat anak dari Sri Jaya Pangus menjadi penerus menggantikan raja. Sang Dewi pun mengingatkan rakyat Balingkang untuk terus menghormati dan mengenang mendiang raja serta permaisurinya. Kedua pasangan ini merupakan sosok seorang pelindung, dimana semasa pemerintahannya Kerajaan Balingkang menjadi makmur, aman dan tenteram. Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We juga disimbolkan sebagai pasangan yang memiliki cinta sejati. Untuk selalu mengenang jasa-jasa sang raja, rakyat Balingkang akhirnya memutuskan untuk memanifestasikannya ke dalam sebuah barong. Mengingat Raja Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We di kutuk oleh Dewi Danu. Dari patung itulah rakyat Balingkang membuat sepasang arca, sehingga arca inilah sebagai Barong Landung.

PURA DALEM TARUKAN

PURA DALEM TARUKAN

Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan

Perjalanan panjang dari Ida Dalem Tarukan akibat pengungsian dari istana, akhirnya menjadi tonggak sejarah perjalanan di Desa Pulasari, Peninjauan, Tembuku, Bangli. Di sanalah berdiri kokoh Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan. Setiap enam bulan sekali atau pada acara-acara lainnya menjadi perhatian umat sedharma terutama warih Dalem Tarukan.

Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan tidaklah sulit mencarinya. Perjalanan bisa lewat dari berbagai arah. Bisa dari Kota Bangli, dari Banjarangkan, Klungkung, atau bisa juga melalui jalan lain sesuai dengan asal pemedek. Pura ini tepatnya berada di Pulasari, Peninjauan, Tembuku, Bangli. Lokasinya berada di daerah sejuk, masih dalam suasana desa. Perjalanan dari Denpasar cukup jauh dan melelahkan. Namun, selama perjalanan banyak melalui hamparan hijau, sehingga bisa memberikan panorama yang indah sepanjang perjalanan.

Luas pura juga cukup memadai. Ada tempat parkir, begitu juga di sebelah timur pura ditemukan areal yang kosong cukup luas. Fasilitas untuk pemedek juga tersedia bahkan kebersihan juga terjamin. Sarana umum seperti wantilan juga mampu menampung ribuan orang. Suasana pura akan tampak lain ketika odalan digelar tepat Buda Kliwon Ugu setiap enam bulan sekali.

Dapat dibayangkan, sesak umat Hindu terutama dari Pertisentana Dalem Tarukan yang tumpah ruah ke pura. Walaupun disediakan waktu nyejer selama tiga hari, toh juga bludakan pemedek tak pernah sepi. Pelataran kahyangan yang cukup luas pun seakan menjadi sempit. Apalagi jumlah perti sentana di seluruh Nusantara seperti dikatakan Bapak I Wayan Waya, S.H sebagai pengurus pusat Sentana Dalem Tarukan jumlahnya 200-an ribu. Tersebar di Jawa, Lombok dan daerah lainnya.

Sementara Jro Mangku Jati mengungkapkan, guna mengetahui bagaimana kisah atau sejarah pura ini sudah ada babad Pula Sari yang mengisahkan perjalanan Ida Dalem Tarukan yang mengungsi dari istana megahnya. Perjalanan ini berhubungan dengan titah sebagai raja menggantikan saudaranya yang tidak mau menjadi raja. Untuk itu berikut cukilan sejarahnya berdasarkan babad Dalem Tarukan.

Jro Mangku Jati yang tingal di Banjar Puseh, Pulasari, Peninjauan, Tembuku, Bangli memberikan/menceritakan sejarah pura berdasarkan data yang sudah tersebar dan sudah banyak dikisahkan dalam babad-babad.

Ida Dalem Tarukan bersaudara 5 orang yaitu:
1.Dalem Agra samprangan
2.Dalem Tarukan
3.Dewa Ayu Swabawa
4.Dalem Ketut Ngulesir
5.I Dewa Tegal Besung
Ayah beliau bernama Sri Aji Dalem Kresna Kepakisan, menjadi raja di Bali tahun 1272 berkedudukan di Puri samprangan Gianyar dan membawa senjata utama yang bernama keris Ki Tanda Langlang.
Setelah Ida Dalem Tarukan dewasa, Ida membangun Puri di Tarukan Pejeng Gianyar, Ida disana bersama istri dari Lempuyang Madya (Bukit Gamongan). Ditemani oleh putra angkat beliau yang Rakriyan Kuda Pinandang Kajar putra Dalem Blambangan, ditemani pula oleh masyarakat dan mahapatih yang setia kepada Ida Dalem Tarukan.
Diceritakan pada saat Kuda Pinandang kajar sakit keras sulit disembuhkan Ida Dalem Tarukan terlanjur ngomong bahwa apabila Kuda Pinandang Kajar bisa sembuh seperti semula akan dijodohkan dengan Dewa Ayu Muter (putri Dalem samprangan). Setelah Ida Dalem Tarukan ngomong demikian ternyata Rakriyan Kuda Pinandang Kajar sembuh. Akhirnya Ida Dalem Tarukan mewujudkan kata-katanya menikahkan Dewa Ayu Muter dengan Rakriyan Kuda Pinandang Kajar tanpa sepengetahuan Dalem Samprangan.

Entah apa yang mempengaruhi kejadian itu membuat Ida Dalem Samprangan marah lalu memerintahkan mengirim pasukan, sebanyak lebih dari tiga ribu orang menyerang ke Puri Pejeng. Mengetahui berita itu untuk menghindari terjadi perang maka Ida Dalem Tarukan mundur meninggalkan puri dan istri yang sedang hamil 6 bulan pergi mengungsi ke desa-desa di pegunungan.

Tempat-tempat pengungsian tersebut sampai sekarang bisa ditelusuri, pada awalnya beliau sampai di desa Taro Gianyar, selanjutnya ke Subak Pulesari sebelah selatan Tampuwagan, Tembuku Bangli. Para pengejar datang beliau bersembunyi menyelinap dalam kumpulan petani yang sedang menanam padi, sedangkan para pengejar terus mengejar kearah utara sampai ke Tampuwagan. Sampai sore tanpa hasil para pengejar akhirnya kembali pulang.

Demi keselamatan disinalah beliau pertama kali nyineb wangsa menjelaskan keberadaannya dengan berkata kepada para petani sebagai berikut : “…de cai macokor I dewa teken aku, magusti, majero, dadi apan aku macita urip…” demikianlah beliau berkata. Setelah itu Ida Dalem Tarukan diantar oleh para petani menuju padukuhan (selatan Dusun Pulasari sekarang) beliau diterima oleh Ki Dukuh Pantunan. Beliau tinggal disini cukup lama. Keberadaan beliau tercium oleh pihak puri maka pengejar datang lagi menyisir setiap tempat di pedukuhan Pantunan. Hampir saja beliau tertangkap, beliau bersembunyi menyelinap dibawah rerimbunan kumpulan pohon pisang, jawa jail, dan ada beberapa ekor burung puyuh lalu lalang bercanda, burung perkutut bersuara bersahutan yang melukiskan suasana tak mungkin ada orang diam disana sehingga beliau terselamatkan dari pengejaran.

Dalam situasi seperti ini akhirnya Ida Dalem Tarukan berjanji:
“…nah iba kedis titiran, kedis puwuh muah jawa jali deni jati iba makrana kai idup nah jani seenyah-enyah aku apang sing dadi amangsa iba…”. (ya engkau burung perkutut, burung puyuh dan pohon jawa jali kalau memang karena engkau membuat aku tetap hidup, ya sekarang seketurunanku tidak boleh memangsa engkau).

Merasa tidak aman di Pantunan akhirnya Ki Dukuh Pantunan menyarankan Ida Dalem Tarukan pindah ke Desa Poh Tegeh (wilayah Songan) diterima oleh Ki Gusti Poh Tegeh (Poh Landung). Oleh Ki Gusti Poh Tegeh, Ida Dalem Tarukan ditempatkan di Jenggala Sekar Desa Tegal Bunga diterima oleh Ki Dukuh Dami. Lama Ida Dalem Tarukan tinggal di Padukuhan Bunga sampai punya putra dan putri tujuh orang dari istri yang berbeda yaitu:

1.I Gusti Gde Sekar dan I Gusti Gde Pulasari (Ibunya bernama Gusti Ayu Kwaji putri dari Ki Gusti Poh Tegeh)
2.I Gusti Gde Bandem (Ibunya bernama Jero Sekar putri dari Dukuh Bunga)
3.I Gusti Gde Dangin (Ibunya bernama Jero Dangin putri dari Dukuh Darmaji)
4.I Gusti Gde Belayu (Ibunya bernama Jero Belayu putri dari Mekel Belayu)
5.I Gusti Gde Balangan dan Gusti Ayu Wanagiri (Ibunya bernama Gusti Luh Balangan Putri Gusti Agung Gelgel menjadi putri angkat Gusti Gde Bekung).

Dari padukuhan Bunga Ida Dalem Tarukan bersama anak istri kembali mengungsi menuju Desa Sekahan, Sekar Dadi, Kintamani, Panerojan (panulisan), Balingkang, Sukawana, (wilayah Bangli). Di Sukawana Ida Dalem Tarukan bertemu dengan Dukuh Darmaji yang membawa takilan beras. Oleh karena semua putranya sangat lapar maka Ida Dalem Tarukan meminta beras dalam takilan tersebut untuk diberikan kepada putra beliau. Setelah beras tersebut dimakan, Gusti Ayu Wanagiri sakit perut sampai beliau meninggal. Melihat kejadian ini Ida Dalem Tarukan sangat marah dan menendang takilan beras tersebut sambil mengutuk beras tersebut supaya tumbuh menjadi haa beras dan seketurunannya tidak boleh makan beras. Lalu Gusti Ayu Wanagiri dikubur di Sukawana mengarah kebarat.

Kemudian Ida Dalem Tarukan mengungsi ke Desa Panek, Desa Ban, Desa Temakung, Desa Cerucut, Paduning Samudra (Desa Sukadana) semuanya wilayah Karangasem. Di Paduning Samudra ini Ida Dalem Tarukan banyak menerima harta benda dari masyarakat dipegunungan membuat hidup Ida Dalem Tarukan berkecukupan sehingga Paduning Samudra ini dinamai Desa Sukadana. Saat Ida Dalem Tarukan di Sukadana Ida Dalem ingat dengan Gusti Ayu Wanagiri yang meninggal di Sukawana, lalu di aben di Sukawana dibuatkan Bade Tumpang Pitu, Patulangan Gajah Mina maulu kepascima. Atma suci beliau di sthanakan di puncak Bukit Mangu karangasem.

Rupanya Ida Dalem Tarukan selalu ingat dengan istri yang ditinggalkan di Puri Tarukan sedang hamil dan membayangkan putra yang lahir sudah menjadi dewasa. Akhirnya Ida Dalem meninggalkan Sukadana diiring oleh para dukuh menuju Desa Poh Tegeh. Kepada I Gusti Poh Tegeh (mertuanya) Ida Dalem Tarukan menyampaikan keinginannya untuk kembali ke panegaran. Lalu Ida Dalem Tarukan pergi kearah barat menuju desa (wilayah) Tembuku Bangli. Dari sini Ida Dalem Tarukan memperkirakan/menganalisa (memarna) marahnya Ida dalem Ketut Ngulesir sudah hilang kemudian desa ini diberi nama Desa Sidaparna. Tidak lama Ida dalem Tarukan tinggal di Desa Sidaparna. Dari Desa Sidaparna Ida Dalem Tarukan kembali mengungsi menuju Wetaning Giri Panida.

Di Wetaning Giri Panida inilah Ida Dalem Tarukan bersama keluarga cocok untuk tinggal menetap, lalu membangun sebuah puri yang dilengkapi dengan merajan sebagai huluning karang. Tempat Wetaning Giri Panida ini oleh Ida Dalem Tarukan dinamai Dusun Pulasantun. Sebagai alasannya adalah untuk mengingat tempat putra putrinya yang lahir di Desa Tegal Bunga (jenggala sekar). Dusun Pulasantun tersebut sampai sekarang sudah terkenal dengan nama Dusun Pulasari, Bangli. Disini beliau hidup dengan bercocok tanam palawija. Diceritakan dari istri yang ditinggal saat mengungsi sedang hamil 6 bulan telah lahir seorang putra sudah dewasa rupawan gagah perkasa diberi nama I Dewa Gde Muter, selalu mencari tahu tentang keberadaan ayah beliau.

Akhirnya atas ceritra dan petunjuk para pengasuh maka I Dewa Gde Muter pergi menuju pedesaan untuk bertemu dengan ayah beliau. Diceritakan Ida Dalem Tarukan sedang membajak sawah, I Dewa Gde Muter datang memandangi dan mengamati orang yang sedang membajak tersebut. Akhirnya lama mereka saling pandang, sapi penarik bajak lalu tunggang langgang yang membuat Ida Dalem Murka. Kemurkaan tersebut mengakibatkan mereka berdua perang tanding cukup lama tanpa ada yang kalah. Dalam situasi itu tanpa sengaja I Dewa Gde Muter mengucapkan kata-kata yang menunjukkan identitasnya. Setelah tahu identitas orang yang dihadapi betapa kagetnya Ida Dalem karena yang dilawannya ternyata putra sendiri yang sedang dirindukan. Seketika beliau memeluk putranya sambil menangis terharu, timbul rasa penyesalan lalu berdua saling memaafkan. Akhirnya Ida Dalem member nama putranya I Dewa Bagus Darma kemudian dipertemukan dengan adik-adiknya semua. Karena semua putra sudah berkumpul Ida Dalem sudah merasa tenang dan kehidupan di Pulasantun berkecukupan maka beliau tidak berniat lagi untuk kembali ke Puri. Beliau menyarankan kepada putranya untuk tetap tinggal bersama dipedusunan jangan lagi pulang ke panegaran. Nasehat ini sangat dihormati dan dipatuhi oleh putra-putra Dalem semua.

Diriwayatkan sejak muda Ida Dalem Tarukan tidak berminat pada kekuasaan (pemerintahan) beliau lebih tertarik dan menekuni ajaran kedhyatmikan/kerokhanian. Oleh kebanyakan orang hal ini dipandang aneh. Selama perjalanan pengungsian disamping terus menekuni kedhyatmikan beliau juga mengisi waktu dengan bertani dan berkebun. Setelah menetap tinggal di Pulasantun kehidupan spiritualitas beliau mencapai puncaknya beliau melaksanakan kebujanggaan, tempat beliau menjadi pusat patirtaan untuk masyarakat pedusunan dan pegunungan. Menjelang Ida Dalem wafat, Ida memberi pewarah-warah, panugrahann, dan sloka sruti kamoksan kepada putra-putra beliau dan para dukuh semua.

Ida Dalem Tarukan wafat pada hari Wraspati Keliwon ukir, Kresna Paksa, Saptami Warsa Isaka Dewa Netra Tri Tunggal (Isaka 1321/1399 M). di upacarai seperti raja dipuja dengan sloka gegaduhan yang dianugerahkan oleh Ida dalem. Upacara palebon dan seterusnya dipuput oleh Ki Dukuh Bunga, Ki Dukuh Pantunan, Dukuh Jati Tuhu, menggunakan sloka sruti panugrahan Ida Dalem Tarukan. Jenasah beliau dibakar di Cungkub (wilayah) Tampuagan. Abunya di hanyut ke tukad Congkang, bablonyohe yang berada pada kelapa gading dipendem di Cungkub Tampuagan lalu kabiakta Ida Dalem Tarukan malingga “Ida I Ratu Dalem Tampuagan”. Palebonnya Ida Dalem Tarukan pada hari Saniscara Paing, Wuku Warigadean, Kresna Paksa Pancami, Sasih Jesta, Rah Tunggal, Tenggek kalih, Isaka 1321 (1399).
Sebulan kemudian dilaksanakan upacara ngeroras di Pulasari kemudian dilanjutkan dengan upacara ngelinggihang/dinarma Dewa hyang (atma pratista) di Dusun Pulasari. Ida Dalem Tarukan distanakan pada Meru Tumpang Pitu.

Setelah semua upacara selesai banyak berupa makanan beras, lungsuran basi sampai rusak (berek) karena tidak habis dimakan oleh masyarakat. Juga berupa uang kepeng menggumpal sukar dilepas sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Disarankan oleh I Dewa Bagus Darma dan adik-adiknya semua beras, makanan, dan uang kepeng yang tidak bisa dimanfaatkan supaya dihanyut (dibuang) ke kali. Yang berupa beras dan makanan dihanyut di kali sebelah barat Dusun Pulasari dan yang berupa uang kepeng dihanyut di kali sebelah timur Dusun Pulasari. Itulah sebabnya sampai sekarang ada tukad Bubuh disebelah barat Pulasari (kalau dihilir dapat dilalui jembatan dipatung gajah Banjar Angkan), Tukad Jinah disebelah timur Dusun Pulasari dihilir dapat dilalui jembatan sebelah barat SMA Klungkung. Dengan dihanyutkannya sisa-sisa upacara tersebut sampai kehilir sungai, hal ini menjadi berita heboh sehingga beritanya sampai kepada Ida Dalem Ketut Ngulesir di Puri Gelgel.

Mendengar berita tersebut Ida Dalem Ketut Ngulesir mengirim utusan agar semua keponakan Ida mau tinggal di Puri Gelgel. Namun semua putra Ida Bhatara Dalem Tarukan tidak memenuhi permintaan Dalem Gelgel putra Dalem memegang nasihat Ajinya agar tidak kembali kepanagaran. Mungkin terjadi miss informasi dianggap para keponakannya menentang sehingga Ida Dalem Ketut Ngulesir murka, maka diseranglah putran Ida Dalem Tarukan ke pulasari dipimpin oleh Gusti Kebon Tubuh. Sebelum menyarang ke Pulasari, Gusti Kebon Tubuh beserta bala tentaranya beristirahat (mejanggelan) disebuah desa yang selanjutnya desa tersebut diberi nama Desa Nyangglan wilayah Banjarangkan Klungkung untuk mengatur strategi perang. Dalam perang besar tersebut I Dewa Bagus Darma direbut dipasangi upas sehingga mengalami kekalahan dan wafat di Siang Kangin (Hyang Pupuh) Bangkiangsidem. Setelah I Dewa Bagus Darma wafat akhirnya semua adik-adiknya ditemani oleh ibunya mau datang ke Puri Gelgel sedangkan I Gusti Gde Dangin dan I Gusti Gde Balangan pergi ke Buleleng dan akhirnya menetap di Sudaji.

Sebagai catatan: setelah karya agung di pura Puri Agung Pejeng tanggal 27 maret 1996 atas kesepakatan pengempon Linggih Ida Bhatara Putra di Sudaji dengan Semeton PGSDT Bangli maka Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Balangan dilinggihkan di pura Pulasari Bebalang Bangli. Mulai saat itulah pura di dusun Bebalang Bangli diberi nama Pura I Gusti Gde Balangan. Pura ini dibangun pada tahun 1994.
Setelah semua putra Ida Dalem Tarukan berkumpul di Puri Gelgel maka Ida Dalem Ketut Ngulesir memberikan panugrahan mantra sasana yang pada intinya berisi sebagai berikut:

1.I Gusti Gde Sekar ditempatkan di Banjar Sekar Nongan bersama ibunya I Gusti Luh Kwaji dan diberikan tanah sebanyak 15 sikut.
2.I Gusti Gde Pulasari ditugaskan kembali ke Pulasari ngerajegang Puri (Ajinya) Ayahandanya.
3.I Gusti Gde Bandem ditempatkan ke Dukuh Nagasari Bandem.
4.I Gusti Gde Dangin dan I Gusti Gde Balangan pergi ke Buleleng menuju desa Sudaji. Namun setelah karya agung di Pura Puri Agung Pejeng tanggal 27 Maret 1996 atas kesepakatan semeton, Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Balangan di stanakan di Pura Pulasari Bebalang Bangli. Mulai saat itulah pura di Dusun Bebalang diberi nama Pura I Gusti Gde Balangan.

Setelah I Gusti Gde Pulasari wafat juga dilaksanakan upacara pitra yadnya, ngeroras dan roh sucinya didharmakan berdampingan dengan linggih Ida Bhatara Dalem Tarukan di Gedong Pajenengan. Upacara menstanakan Dewa Hyang I Gusti Gde Pulasari dilaksanakan sekitar pertengahan abad ke 15 (1450 M). mulai saat itulah di Pulasari ada dua palebahan, Pura Palebahan duhuran pura Padharman Ida Bhatara Dalem Tarukan (Pura Kawitan Para Gotra Sentana Dalem Tarukan), stana Ida Bhatara Dalem Tarukan pada Meru Tumpang Pitu, piodalan setiap Buda Keliwon Ugu. Di Palebahan andapan pura Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Pulasari di stanakan di gedong Pajenengan, piodalannya setiap Tumpek Krulut. Namun karena beberapa pemikiran semenjam Mahasaba I atas kesepakatan dan panugrahan niskala maka pujawali di kedua palebahan pura ini disatukan menjadi setiap Buda Keliwon Ugu. Namun Pakandel yang mengemban mantri sasana dari Raja Gelgel setiap Tumpek Krulut tetap melaksanakan piodalan alit sebagai peringatan sejarah melanjutkan warisan leluhur pakandel.

Karena semakin berkembang dan makin mantapnya kesadaran santanan Ida Bhatara Dalem untuk tangkil ke pura maka tempat untuk sembahyang menjadi terasa sempit, dan pada saat karya Padudusan Agung, Buda Kliwon Ugu nemu purnama tahun 1995 terjadi sembahyang saling berdesakan. Sehingga akhirnya atas kesepakatan pakandel dan pengurus PGSDT maka tahun 1996 tembok penyengker penyekat antara palebahan pura duhuran dan palebahan pura andapan dicapuh dijadikan satu. Namun perbedaan ketinggian natar tampak seperti sekarang menjadi utama mandala duhuran dan utama mandala andapan. Mengingat Pura Padharman di Pulasari merupakan stana Ida Bhatara Dalem Tarukan di utama mandala duhuran dan stana Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Pulasari di utama mandala andapan telah menjadi satu dan untuk linggih Ida Bhatara Putra yang lain sudah ada Pelinggih Gedong Rong Kalih berdampingan dengan Meru Tumpang Pitu, maka Pura Padharman tersebut dinamakan Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan lan Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Pulasari.

Hubungannya Dengan Padharman Dalem Besakih

Padharman Dalem di Besakih merupakan Padharman satrehan Ida Bhatara Lingsir Sri Aji Dalem Kresna Kepakisan. Ida Bhatara Dalem Tarukan merupakan salah satu putra dari Sri Aji Dalem Kresna Kepakisan maka seketurunan Ida Bhatara Dalem Tarukan patut melaksanakan persembahyangan di Pedharman Dalem di Besakih.

Mitos Pura Mas Medewi Banjar Tegal

Mitos tidak menarikan tari Rejang Dewa di Pura Mas Medewi Banjar Tegal. Bebalang, Bangli

Pura Mas Medewi berlokasi di Banjar Tegal, kelurahan Bebalang, kabupaten Bangli. Pura ini didirikan dekat dengan sumber mata air dan maksud pendirian pura ini adalah untuk tetap menjaga kesucian mata air yang ada. Di pura ini distanakanlah Ida Ratu Mas Medewi, yang selanjurnya menjadi nama pura itu sendiri. Sesuai maksud pendirian pura tersebut, maka masyarakat Banjar Tegal tidak memperbolehkan orang yang sedang mengalami cuntaka untuk mandi atau mengambil air disana, serta setiap orang yang mandi tidak diperbolehkan memakai pakaian karena pada sumber air tersebut dibangun sebuah pelinggih tempat pemelastian ida betara setiap ada odalan di pura tersebut. Sumber mata air tersebut juga diyakini masyarakat bahwa, apabila ada pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan dan memohon serta mandi disumber mata air tersebut maka besar harapannya akan terkabul. Tentunya juga ada persyaratan khusus dan memohon dengan hati yang tulus. Beberapa masyarakat Banjar Tegal sudah membuktikannya dan beberapa orang dari luar juga ada yang memohon kesana agar dikaruniai anak. Sumber mata air disana dinamakan dengan pangsut, secara pasti narasumber tidak mengetahui bagaimana sejarah penamaan mata air tersebut, tetapi menurut cerita dari leluhurnya, diperkirakan nama tersebut muncul dari kata ngangsut yang artinya jauh dari pemukiman masyarakat dan dulunya tempat itu adalah ladang warga. Seiring dengan berjalannya waktu, entah kenapa nama sumber mata air tersebut terkenl dengsan sebutan pangsut. Sudah puluhan tahun di Pura Mas Medewi, ketika ada upacara piodalan tidak menggunakan tarian Rejang Dewa yang ditarikan oleh anak-anak. Tentunya, tidak menggunakan tarian tersebut dilandai oleh sebuah mitos yang sampai saat ini masih dipercaya dan diceritakan turun temurun oleh orang-orang tua di Banjar Tegal. Bapak I Wayan Diarsa merupakan salah satu penua di Banjar Tegal yang mengetahui mitos yang ada di pura Mas Medewi.
Diceritakan oleh bapak Wayan Diarsa, bahwa dulunya prosesi piodalan di Pura Mas Medewi sama layaknya di pura lain, yang dilengkapi dengan adanya tari Rejang Dewa yang ditarikan oleh anak-anak yang belum akil balik. Namun terjadi kejadian buruk setiap ditarikan tarian tersebut, penari paling akhir selalu hilang dan tidak diketahui kemana perginya. Kejadian ini terjadi berulang ulang, hingga ada warga yang mengatakan bahwa penari dibarisan terakhir hilang karena dilarikan oleh raksasa. Menurut narasumber, raksasa yang dimaksud berwujud seperti manusia yang besar dan memiliki taring. Keresahan wargapun semakin menjadi-jadi, hingga ketika dilaksanakan Karya Gede di pura ini, warga memiliki inisiatif untuk mengetahui dimana sarang raksasa yang mengganggu tersebut. Akhirnya pada pementasan tari Rejang Dewa, warga mengisi selendang penari dibarisan paling belakang dengan beras putih kuning. Ketika raksasa itu mengambil penari terakhir, beras putih kuning terjatuh sedikit demi sedikit dari selendang penari dan memberikan tuntunan jalan bagi warga untuk menemukan sarang raksasa tersebut. Hingga akhirnya warga menemukan sebuah goa di tengah hutan di atas pura, dan didepan goa tersebut berserakan beras putih kuning itu. Malang nasib penari Rejang tersebut tidak dapat diselamatkan oleh masyarakat Banjar Tegal karena hari sudah malam dan mereka tidak membawa peralatan apapun apabila raksasa itu melawan. Keesokan harinya, warga berbondong-bondong membawa senjata yang dimilikinya untuk mendatangi goa sarang raksasa itu. Sampainya di hutan, ditemukan raksasa itu sedang berada didepan goa, selanjutnya warga menyalakan obor dan melempari raksasa tersebut hingga raksasa itu berhasil diusir. Wargapun memasuki goa dan menemukan tengkorak dan tulang-tulang manusia didalam goa.
Lanjut cerita, ada seorang petani yang sedang mencangkul disawahnya, seketika itu dia didatangi oleh raksasa yang menurut narasumber itu adalah raksasa yang telah diusir dari Banjar Tegal. Awalnya petani tersebut tidak menghiraukan, namun sedikit demi sedikit raksasa itu mendekat sehingga petani tersebut berlari dan beruntung taring raksasa ini tersangkut di pohon ligondi besar yang menaungi pinggir sawah. Raksasa pun merintih kesakitan, seketika itu petani tersebut langsung memukuli kepala raksasa itu dengan pangkal tambah (cangkul). Hal ini diyakini masyarakat sebagai awal munculnya desa Tambahan yang berada disebelah Banjar Tegal. Semenjak kejadian itulah di Pura Mas Medewi setiap ada upacara piodalan, tidak diiringi oleh tari Rejang Dewa anak-anak, karena takut kemungkinan ada raksasa lain yang datang dan mencuri penari Rejang Dewa lagi. Sampai sekarang hal ini masih sangat dipercaya oleh masyarakat Banjar Tegal, sehingga dalam setiap upacara piodalan, tari Rejang Dewa ditarikan oleh Istri Pemangku dan orang-orang tua. Tetapi belakang ini, tari Rejang Dewa lebih sering ditarikan oleh Sekee Truni Banjar Tegal.