RESENSI BUKU SENI KEKEBYARAN

 

TUGAS RESENSI BUKU SENI KEKEBYARAN

 

 

    I KETUT PANDE ASTA MARGAWA

NIM. 201102008

 

 

INSTITUT SENI INDONESIA

DENPASAR

2013

 

 

 

 

 

RESENSI BUKU SENI KEKEBYARAN

           

 

 

Judul               : Seni Kakebyaran

Pengarang       : I Wayan Dibia

Penerbit           : Balimangsi Foundation

 

Tebal               : 121 halaman

 

 

 

            Seni Kebyar dibentuk oleh dua suku kata yaitu “seni” dan “kekebyaran”. Seni adalah ekspresi jiwa dari seniman yang diwujudkan menjadi bentuk kesenian tertentu. Kekebyaran berasal dari kata kebyar yang berarti letupan atau sinar memancar dengan tiba-tiba sehingga dapat membuat kita terkejut. Seni kebyar pada awalnya lahir sebagai sebuah ekspresi musikal berupa tetabuhan dengan bunyi keras yang datang secara tiba-tiba, menggelegar dan meledak-ledak. Musik kebyar pertama kali muncul di Desa Bungkulan sekitar tahun 1914. Musik kebyar muncul akibat pengaruh dari musik jazz, sebagai unsur musik barat yang diperkenalkan ke Bali melalui daerah Buleleng. Hal ini membuktikan bahwa gong kebyar telah mengalami proses globalisasi dari sejak awal kelahirannya. Sejak tahun 1930-an seni kebyar telah tersebar ke seluruh Bali dan menjadi pertunjukan yang sangat digemari masyarakat sehingga secara tidak langsung menggeser keberadaan barungan-barungan gamelan kuno yang dilebur menjadi barungan gamelan gong kebyar.

            Gong kebyar dengan tari-tarian kekebyaran telah hidup penuh gairah. Sebagai sebuah perwujudan ekspresi masyarakat Bali masa kini gong kebyar telah memberikan kontribusi yang signifikan  bagi jagat kesenian. Gong kebyar dengan tradisi lombanya, terutama dalam kaitannya dengan PKB telah berkiprah mengawal dan mengangkat prestise para senimannya, banjarnya, desanya, dan juga sanggarnya.           

Meski penulis tidak membuat semua tentang seni kekebyaran, tapi ada yang dijadikan beberapa poin, maka dari itu justru lebih mudah bagi si pembaca untuk memahami isi dari buku tersebut, dan mudah dicerna.  Kelebihan lain dari buku ini yaitu dilengkapi juga dengan gambar seni tari dan gong kebyar. Seperti: gambar-gambar tarian-tarian kekebyaran dan juga gambar tokoh yang sangat berperan bagi seni kekebyaran yang bisa membuat pembaca menjadi tertarik untuk membacanya dan si pembaca mengetahui tokoh-tokoh yang ada dalam seni kekebyaran. Jadi, pembaca tidak merasa bosan kala membaca buku ini.

            Dalam buku ini dijelaskan juga mengenai dampak negative dari berkembang pesatnya seni kekebyaran, yaitu rontoknya Sekaa Gong Sebunan dan Terpojoknya Seniman Alam.gagasan awal untuk membangkitkan sekaa seni sebunan mellui festifal kini sudah menjadi using dan batasan sekaa sebunan juga sudah mulai terkoyak-koyak. Sekaa sebunan kini sudah tidak lagi sebatas banjar dan desa, tetapi sudah melebar ke wilayah kecamatan bahkan kabupaten.

Dari sekian banyak dijelaskan, menurut pendapat saya, sajian yang dijelaskan dalam buku ini sangatlah menarik, di mana dijelaskan seni kekebyaran yang ada di Bali, sejarah/ sumber seni kekebyaran, jenis-jenis seni kekebyaran Bali di dalam buku “ SENI KEKEBYARAN”.

.

 

KEKAWIN RAMAYANA

 

KEKAWIN RAMAYANA “UTARA KANDA”

Tan kacerita kakawonin punika yadnya sang prabu maruta olih sang rawana. Meled raris kayun ipune, jage ngasoran sekatah pare agunge, ten wenten sane tan arep rsi punika sami-sami karauhin olih ipun. Wenten raris sang prabu, harania pesengan idane panggih ipun. Ida ketantangin jagi meperang tanding, nanging nenten kebukan pikayun ida sang prabu pageh ngajerihin medal sang prabu rsi wadue miwah palinggihanne, magutin pangamuk prajurit raksasane ane purusa, ane sakti, ade ane ngabe sompret, sungu. Semalihe sang prabu punika tusing pradnyan sakti purusa. Punika mawinane tanjangkenyang ring kapurusan wirosa niwakun panah wibekin telaga payudan nenten kirang ring kajumbuhan.

Ngeraris katamplak duur idane antuk telapakan tangan kiwe. Macepuk raris sang prabu tan sida malawanan raris ida. Karang sarang raris niwakan pemastu pangandikan idane: e ibe sang rawana tuara pesan kalah di pasiatan ban kai ya diastun ban kesaktian ento dewane katiman mapikayun maileh lakar ngelawan ibe. Pagentosne seda ne sang prabu narania tuara len tuah dadi sarana arawatne kasinahannyane”. Tuara nyidayang ngalahang prebawan kai ne, mawinan ngewales manira ngardi pemastu kamatian ibane. Tuara katurunan manire dogen ngewales teken ibene pioleh ibene ngerusak tusing katurunan ibane.

Yen kasuecan sube ento pamuputan bacakan sunia, buine yen sube mekadi yadnya ajakian sube ngelarang tapa brata. Apa buin nia jakti-jakti patut baan manire ngerakse jagat, tuara pocol pemstune teken ibe. Ade sang rama putran sang dasa rata pesengan ide manian. Mangresti dittos ike siakune. Ide lakar ngematiang manian. Jakti-jakti tuara dadi lenyok pemastune kanyekan sapunika pengandikan ide sang prabu arania. Kapireng raris suaran langite marupe tatit lan grudugan, maduluran saber sekar nyiknayang pemargin sang prabu ngungsing ring suarga lokane.

TERJEMAHAN

Diceritakan ada upacara, ditinggalkan sebuah upakara yadnya sang prabu maruta oling sang sang rawana, kemudian malu perasaan dia, maunya menjajahi semua raja-raja yang ada diwilayah tersebut tidak ada yang tidak sapakat untuk tidak mengikuti ajakan mereka. Kemudian diceritakan seorang raja yang bernama raja Arania namanya dilihat oleh mereka, kemudian dia ditantang untuk beryudha Tapi tidak masalah bagi dia, dipikir oleh raja tersebut. Kemudian tanpa perasaan yang takut sedikitpun dari rakyatnya semua, mereka semuanya mau berperang melawan bala pasukannya.

Disana raja tersebut berbicara sangat keras sekali. hahaha, kamu rahwana, kamu ridak pernah mau mengalah ditempat bertempur mengadu kesaktian, walaupun kesaktiannya seperti dewata, iya mau bantai juga karena tidak ada yang bisa mewaspadai kesaktiannya dia. Disanalah seorang kekecewaan seorang pandita lebih-lebih ia mengutarakan kata-kata mengutuk. Ia berkata “ tidak akan nada keturunannya yang akan membalas, tetapi semua yang ada di negeri tersebut akan membalasnya juga. Tetapi kalau masih ada kasihsayangnya mereka kepada mereka semua niscaya dia mampu berbuat seenaknya, apalagi sudah berbuat yang baik yang disebut tapa bratha, apalagi sungguh-sungguh berbuat seperti kehendak alam dan tidak rugi dia mengutarakannya.

Ada raja yang bernama Sang Rama putra anak dari Sang Dasaratha dari ayodya. Menjelma kembali diwangsanya tersebut dia akan mau membunuh dihari-hari berikutnya, benar-benar tidak boleh lepas dari kutukannya, setelah lepas dia berkata demikian Sang Prabu Arania.terdengar kemudian suara Gambelan diangkasa diikuti hujan bunga, itu membuktikan bahwa perjalanan Sang Raja mengungsi ke suarga loka.

ULASAN

Ramayana adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Cerita epos lainnya adalah Mahabharata.Ramayana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Ramayana, dan gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin ini.Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rama yang isinya berbeda dengan kakawin Ramayana dalam bahasa Jawa kuna.Di India dalam bahasa Sanskerta, Ramayana dibagi menjadi tujuh kitab atau kanda sebagai berikut:

  1. Balakanda
  2. Ayodhyakanda
  3. Aranyakanda
  4. Kiskindhakanda
  5. Sundarakanda
  6. Yuddhakanda
  7. Uttarakanda

RESENSI BUKU SENI KEKEBYARAN

 

    I KETUT PANDE ASTA MARGAWA

NIM. 201102008

Judul               : Seni Kakebyaran

Pengarang       : I Wayan Dibia

Penerbit           : Balimangsi Foundation

 

Tebal               : 121 halaman

 

 

 

            Seni Kebyar dibentuk oleh dua suku kata yaitu “seni” dan “kekebyaran”. Seni adalah ekspresi jiwa dari seniman yang diwujudkan menjadi bentuk kesenian tertentu. Kekebyaran berasal dari kata kebyar yang berarti letupan atau sinar memancar dengan tiba-tiba sehingga dapat membuat kita terkejut. Seni kebyar pada awalnya lahir sebagai sebuah ekspresi musikal berupa tetabuhan dengan bunyi keras yang datang secara tiba-tiba, menggelegar dan meledak-ledak. Musik kebyar pertama kali muncul di Desa Bungkulan sekitar tahun 1914. Musik kebyar muncul akibat pengaruh dari musik jazz, sebagai unsur musik barat yang diperkenalkan ke Bali melalui daerah Buleleng. Hal ini membuktikan bahwa gong kebyar telah mengalami proses globalisasi dari sejak awal kelahirannya. Sejak tahun 1930-an seni kebyar telah tersebar ke seluruh Bali dan menjadi pertunjukan yang sangat digemari masyarakat sehingga secara tidak langsung menggeser keberadaan barungan-barungan gamelan kuno yang dilebur menjadi barungan gamelan gong kebyar.

            Gong kebyar dengan tari-tarian kekebyaran telah hidup penuh gairah. Sebagai sebuah perwujudan ekspresi masyarakat Bali masa kini gong kebyar telah memberikan kontribusi yang signifikan  bagi jagat kesenian. Gong kebyar dengan tradisi lombanya, terutama dalam kaitannya dengan PKB telah berkiprah mengawal dan mengangkat prestise para senimannya, banjarnya, desanya, dan juga sanggarnya.           

Meski penulis tidak membuat semua tentang seni kekebyaran, tapi ada yang dijadikan beberapa poin, maka dari itu justru lebih mudah bagi si pembaca untuk memahami isi dari buku tersebut, dan mudah dicerna.  Kelebihan lain dari buku ini yaitu dilengkapi juga dengan gambar seni tari dan gong kebyar. Seperti: gambar-gambar tarian-tarian kekebyaran dan juga gambar tokoh yang sangat berperan bagi seni kekebyaran yang bisa membuat pembaca menjadi tertarik untuk membacanya dan si pembaca mengetahui tokoh-tokoh yang ada dalam seni kekebyaran. Jadi, pembaca tidak merasa bosan kala membaca buku ini.

            Dalam buku ini dijelaskan juga mengenai dampak negative dari berkembang pesatnya seni kekebyaran, yaitu rontoknya Sekaa Gong Sebunan dan Terpojoknya Seniman Alam.gagasan awal untuk membangkitkan sekaa seni sebunan mellui festifal kini sudah menjadi using dan batasan sekaa sebunan juga sudah mulai terkoyak-koyak. Sekaa sebunan kini sudah tidak lagi sebatas banjar dan desa, tetapi sudah melebar ke wilayah kecamatan bahkan kabupaten.

Buku ini pada bagian akhirnya juga disuguhkan beberapa tokoh yang terlibat dalam penulisan buku ini, seperti: I Wayan Rai S (Prof.,Dr.,MA), Pande Made Sukerta (Prof.,Dr.,SKar.,M.Si), Kede Arya Sugiartha (SSKar.,M.Si), I Nyoman Windha (SSKar.,MA), Ni Ketut Arini Alit (SST), I Wayan Mandra Aryasa (Drs.,MA), I Gusti Sudiatmaka Sugriwa (Drs.,MM.,MBA), I Ketut Suwentra (Dr.,Msc), I Ketut Gede Asnawa (SKar.,MA), I Made Bandem (Prof.,Dr.,MA).

Dari sekian banyak dijelaskan, menurut pendapat saya, sajian yang dijelaskan dalam buku ini sangatlah menarik, di mana dijelaskan seni kekebyaran yang ada di Bali, sejarah/ sumber seni kekebyaran, jenis-jenis seni kekebyaran Bali di dalam buku “ SENI KEKEBYARAN”.

.

 

BIOGRAFI I NYOMAN ASTITA

Biografi

Beginilah jalan hidup I Nyoman Astita sebagai seorang pengrawit dan komponis: ia lahir dan tumbuh di tengah-tengah kehidupan kesenian Bali, yang kemudian turut ia dalami dan rawat hampir sepanjang hidupnya. Astita, anak keenam dari sepuluh bersaudara, lahir di Denpasar pada 24 September 1952 dari pasangan petani I Ketut Degur dan Ni Wayan Taman. Ketika muda, bapaknya pernah menjadi penari Gandrung, kesenian klasik yang mengungkapkan kegembiraan panen.

“Dengan suasana lingkungan seperti itulah saya mengenal kesenian,” kenang Astita. Masa kecilnya berjalan ketika sawah-sawah menjadi tempat untuk bercengkrama mencari belut, menjaga padi supaya tidak dihinggapi burung-burung, mandi ke sungai bersama teman, dan belajar bermain gamelan di balai banjar pada malam hari. Astita kecil gemar menonton pertunjukan wayang kulit dan tari Topeng. Atraktifnya pertunjukan Gong Kebyar yang ditontonnya saat remaja membekaskan kesan mendalam pada dirinya, dan ini pula yang akhirnya mengetuk hatinya untuk belajar dan mendalaminya.

“Asah keterampilan dalam seni karawitan Bali sudah saya lakoni pada usia delapan tahun di bawah asuhan paman-paman saya, I Ketut Geria dan I Nyoman Gebiyuh.,” ujarnya. Gebiyuh, pamannya yang seorang undagi (ahli pertukangan dan peralatan upacara), mengarahkannya masuk Sekolah Teknik Negeri (STN) di Denpasar. Namun ketika Astita tamat dari sekolah tersebut pada 1968, “Saya banting stir melanjutkan ke Konservatori Karawitan (Kokar).”

Sejak itu pilihan profesi sebagai seniman karawitan menjadi semakin kokoh bagi suami dari Ni Putu Lastini ini. Setamatnya dari Kokar, ia melanjutkan studi ke Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), Denpasar, dan lulus sebagai Sarjana Muda pada 1976. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi dosen di almamaternya itu.

Pengalaman Astita sebagai seorang komponis karawitan mendapat tantangan ketika ia membuat sebuah karya monumental dengan menggabungkan gamelan Angklung, gamelan Semarpegulingan, dan gamelan Gong Kebyar dalam satu kesatuan komposisi kreasi baru. Komposisi berjudul Kembang Rampai ini kemudian dipertunjukkan dalam Pesta Kesenian Bali yang pertama kali, pada 1979.

Dalam ajang Pekan Komponis Muda pada 1979, ia menampilkan komposisi karawitan kontemporer bertajuk Gema Eka Dasa Rudra. Selain Astita, enam komponis lain yang turut serta: Nano Suratno (Bandung) dengan karyanya Sangkuriang, Sri Hastanto (Surakarta) menampilkan Dandang Gula, Rahayu Supanggah (Surakarta) menampilkan Gambuh, Kristiyanto Christinus (Jakarta) menampilkan A dan B, Otto Sidharta (Jakarta) menampilkan “Kemelut”, dan Sutanto (Yogyakarta) menampilkan Sketsa.

Atas kerjasama ASTI Denpasar dengan San Diego State University (SDSU), California, Amerika Serikat, ia berkesempatan studi lanjut dengan mengambil program Etnomusikologi sambil mengajar gamelan. Pada 1986, gelar Master of Art (M.A.) berhasil digondolnya. Selama belajar dan mengajar di SDSU, ia juga mengajar gamelan di Cal Art dan kelompok gamelan Sekar Jaya di San Fransisco (1983). Pengalaman lain Astita: menjadi profesor tamu selama setahun di Montreal University of Canada (1987), sebagai pendiri dan pengajar di Gamelan Giri Mekar di West Hurly–Hudson, New York (1983), dan mendapat Fulbright Grant mengajar gamelan di Union College, Schenectady, New York (2006).

Kini, I Nyoman Astita tengah mempersiapkan diri untuk maju ke promosi gelar doktor di bidang Kajian Budaya di Universitas Udayana Denpasar, dengan judul penelitiannya “Transformasi Epos Ramayana Ke Dalam Sendratari Ramayana Bali”. “Sebuah kajian tekstual yang saya yakini mempengaruhi aspek mental dan aspek fisik kebudayaan Bali,” tulisnya melalui surat elektronik.


 

Profil

I Nyoman Astita adalah seniman berlatar tradisi Bali yang aktif menulis komposisi berdasar idiom-idom musik modern Barat. Sebagai seniman tradisi yang tumbuh di era globalisasi, ia memandang stigma tradisi-modern sebagai sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. “Bagi saya, tradisi-modern adalah sebuah proses, atau sebuah frame work kreatif untuk melahirkan karya-karya baru. Tidak ada karya komposisi yang luput dari unsur-unsur tradisi, atau sebaliknya, tidak ada karya masa lalu yang luput dari nuansa kekinian,” ungkap Astita. Dalam mentransformasikan komitmen dan mengadopsi modernitas dalam berkarya, menurutnya, diperlukan adanya keseimbangan dengan wacana yang berubah mengikuti perkembangan jaman.

Maka itu bagi Astita, agar tak tergerus modernitas, jati diri adalah hal yang perlu diperkuat di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Baginya, proses kreatif tidak terlepas dari kondisi lingkungan hidup, dan dengan demikian sebuah karya kreatif tidak akan bebas nilai karena adanya komitmen menggali, mengembangkan, dan melestarikan kebudayaan masing-masing. Paradigma macam inilah yang kemudian menuntun Astita dalam berkarya.

Karyanya berjudul Kotekan for Two Marimbas, Flute, and Chime adalah wujud dari pemikiran tersebut. Karya ini dibuat sebagai materi resital dalam mempertanggungjawabkan Master Degree-ya di San Diego State University, California, Amerika Serikat. Dalam karya ini Astita mencoba memilah sisi kreativitas yang bersifat tradisional sebagai medium pelestarian, dan sisi kreativitas yang bersifat eksperimen sebagai medium berkolaborasi dengan ide-ide musik global lainnya. Dalam karya ini ia mengangkat ornamen karawitan Bali yang ditata dalam bentuk Sonata dengan tiga bagiannya, Moderato, Adagio, dan Allegro.

Gema Eka Dasa Rudra adalah karya lain Astita yang disebut-sebut sebagai salah satu karya terawal dalam dunia musik karawitan Bali kontemporer. Karya yang dipentaskan dalam Pekan Komponis Muda 1979 ini membuat terobosan dengan konsep minimalis, yakni dengan menggabungkan warna bunyi dari alat-alat tradisional yang disebar di sudut-sudut panggung, tetapi dimainkan oleh pemain yang terbatas, sehingga di dalam pementasannya ada mobilitas pemain yang bergerak secara konstan mengikuti alur komposisi.

“Di dalam Gema Eka Dasa Rudra saya membangun suasana musikal yang pergerakannya tidak saja mengalun, meninggi, dan merendah, tetapi bunyi-bunyi itu juga berdatangan dari atas, dari samping, menyatu, memberai, dan bergolak,” jelas Astita. “Ada semacam transformasi gerak bunyi silih berganti dan bertebaran di mana-mana,” lanjutmya. Hasil dari penerapan teknik tersebut adalah efek teatrikal dan komposisi pandang genial yang sekaligus memberikan efek akustik yang abstrak. Dengan konsep seperti itu, para pengamat dan kritikus musik menyebut karyanya sebagai karya musik kontemporer, karena menembus batasan-batasan konvensional.

Dengan segala perjalanan hidup yang sudah ditempuhnya, berkesenian dan berkarya bagi Astita memerlukan komitmen untuk mempertimbangkan logika, etika, dan estetika. Di Bali ketiga hal itu disebut Siwam, Satyam, dan Sundaram. Siwam terkait dengan nilai-nilai filsafat kehidupan (eksistensi), Satyam terkait dengan aturan-aturan benar-salah dalam lingkungan sosial, dan Sundaram adalah masalah rasa yang memberikan manfaat kebersamaan dalam keharmonisan.
Karya

Semara Winangun (1979a)
Gema Eka Dasa Rudra (1979b)
Uma Sadina 1 (1980)
Uma Sadina 2 (1986a)
Kotekan for Two Marimbas, Flute, and Chimes (1986b)
Beranta (1987a)
Ombak Buluh dan Pencon (1987b)
Paksi Ngelayang (1990)
Gebyar Baris (1994)
Waton (1995a)
Dolanan (1995b)
Wari Drawa (1995c)
Panji (1997)
Waton II(1998a)
Waton III (1998b)

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN GONG KEBYAR DI DESA CELUK

DEFINISI

Gong Kebyar adalah sebuah barungan baru. Sesuai dengan nama yang diberikan kepada barungan ini (Kebyar yang bermakna cepat, tiba-tiba dan keras) gamelan ini menghasilkan musik-musik keras dan dinamis. Gamelan ini dipakai untuk mengiringi tari-tarian atau memainkan tabuh-tabuhan instrumental. Secara fisik Gong Kebyar adalah pengembangan kemudian dari Gong Gede dengan pengurangan peranan, atau pengurangan beberapa buah instrumennya. Misalnya saja peranan trompong dalam Gong Gebyar dikurangi, bahkan pada tabuh-tabuh tertentu tidak dipakai sama sekali, gangsa jongkoknya yang berbilah 5 dirubah menjadi gangsa gantung berbilah 9 atau 10 . cengceng kopyak yang terdiri dari 4 sampai 6 pasang dirubah menjadi 1 atau 2 set cengceng kecil. Kendang yang semula dimainkan dengan memakai panggul diganti dengan pukulan tangan.

Gong Kebyar berlaras pelog lima nada dan kebanyakan instrumennya memiliki 10 sampai 12 nada, karena konstruksi instrumennya yang lebih ringan jika dibandingkandengan Gong Gede. Tabuh-tabuh Gong Kebyar lebih lincah dengan komposisi yang lebih bebas, hanya pada bagian-bagian tertentu saja hukum-hukum tabuh klasik masih dipergunakan, seperti Tabuh Pisan, Tabuh Dua, Tabuh Telu dan sebagainya.

PERMASALAHAN

Tujuan saya mengangkat judul “perkembanga gong kebyar di Desa Celuk” untuk mengetahui sejarag dan perkembanan gong kebyar yang ada di Desa Celuk, dan saya kurang mengerti barungan yang dibuat ini.Karena seni tidak begitu diperhatikan di Desa Celuk.

SEJARAH

Awal pembelian barungan Gong Kebyar di Desa Celuk yaitu sekitar tahun 1950-an. Barungan tersebut terdiri dari 1 instrument terompong, 4 instrument gangsa giying, 4 gangsa kantilan, 1 buah reong, 2 instrumen penyacah, 2 instrument calung, 2 instrument jegog, 2 instrument gong, 1 instrument kempur + 2 instrument gender rambat + gong bebarongan. Pada tahun 1990-an dilakukan peleburan pada instrument terompong dan reong karena instrument tersebut sudah rusak dan terdapat penambahan 1 instrument yaitu Ugal.

Pada awalnya barungan ini hanya digunakan untuk mengiringi sesuunan mesolah saja, tetapi sejak ada penambahan instrument “ugal” gamelan ini sering juga digunakan untuk mengiringi tari-tarian lepas. Hanya kendang dan instrument gong bebarongan yang dikeramatkan dan dikeluarkan saat sesuunan mesolah saja. Pada suatu saat dikeluarkannya gong yang dikeramatkan tersebut, tidak sengaja gongjatih ke tanah, dan anehnya gong itu pecahnya berkeping-keping.

Selain itu, instrument calung yang umumnya memiliki 5 bilah saja, tetapi di Celuk memiliki instrumen calung yang memiliki 6 bilah yaitu dari nada “nding” ke “nding”. Jadi pada instrument calung tersebut memiliki 2 nada “nding”.  Menurut Kelihan Gong di Desa Celuk, hal tersebut dikarenakan barungan Gong Kebyar tersebut sudah kuno, karena barungan Gong Kebyar dimasa lalu instrument calung memang meiliki 6 bilah.

Pada tahun 2008 Celuk merencanakan pembelian barungan gong kebyar baru, karena barungan yang lama akan khusus digunakan untuk  mengiringi sesuunan mesolah saja (dikeramatkan). Sekarang setelah ada barungan yang baru, barungan ydiletakkan di jaba tengah Pura Desa Celuk, dan barungan yang lama diletakkan di Wantilan Jaba Pura Desa Celuk.