PENDAHULUAN
Pada masa sekarang ini, wacana multikulturalisme menjadi isu penting dalam upaya pembangunan kebudayaan di Indonesia. Wajah persilangan budaya merupakan hal yang tak bisa terelakan bagi sebuah negara yang beradab. Indonesia menjadi indah karena wajah persilangan yang sudah ada menghias kebudayaan Indonesia itu sendiri. Tata cara hidup, kesenian, bahasa merupakan hal-hal yang sangat dekat perpaduan. Namun, yang paling nampak indah dalam perpaduan dua budaya atau lebih adalah pada seni. Seni rupa, seni lukis, seni ukir, seni tari, kesemuanya merupakan wajah abadi yang memamerkan adanya sebuah perpaduan yang indah.
Jika orang Bali pandai menari, menabuh gong, kendang, bermain seruling, kecak itu adalah hal yang biasa dijumpai. Sepertinya menjadi kaum muda Bali identik dengan pemuda berkesenian yang menjunjung kekhasan kekayaan budayanya. Tarian Bali yang memiliki koreo agak rumit dan taksu (jiwa) ini menjadi tantangan bagi orang bukan asli Bali untuk menarikannya dengan sempurna. Menari Bali, baik tarian lelaki maupun wanitanya, tidak cukup hanya dengan mengenakan busana dan tata rias serupa penari Bali. Ada hal yang lebih penting dalam menarikannya, yaitu jiwa atau orang Bali menyebutnya dengan taksu. namun, bukan tidak mungkin bagi mereka pemuda lain untuk menarikan tarian Bali dengan “rasa” Balinya.
Apabila sebuah tarian yang dikenal oleh seluruh orang Bali, tetapi penarinya bukan pemuda Bali asli, tetapi “rasa” Balinya sangat kentara. Ini adalah simbol sebuah silang budaya yang sukses. Tidak menghakimi, melainkan ikut menjaga keluhuran tari Bali sebagai warisan leluhur. Dua budaya yang bertatap secara tidak sengaja, menghasilkan gerakan indah dari sang penari yang indah pula.
Tari Baris di Bali banyak jenisnya. Tari ini merupakan perlambang seorang kesatria atau prajurit gagah perkasa yang siap bertempur di medan laga. Menari Baris dengan tata busana dan gerakan yang cukup menghebohkan membuat siapapun yang melihat memiliki gejolak, semangat, dan keberanian dalam dirinya. Salah satu jenis tari Baris yang dimiliki Bali berdasarkan atas persilangan budaya adalah Tari Baris Cina atau dikenal dengan Tari Baris Tionghoa, sebuah tarian yang berbeda dengan tari Baris biasa. Para penari yang menarikan tari Baris Cina ini telah piawai melebihi pemuda Bali. Penari Baris Cina ini telah memilih jiwanya untuk menarikan sebuah budaya, sebuah rangkulan di tengah perbedaan.
Lebih memesonanya lagi, tari ini dibawakan oleh sekelompok pemuda Tionghoa yang sudah lama menetap dan mencintai budaya Bali. Sungguh mengagumkan. Dalam buku Evolusi Tari Bali, pakar etnonusikologi dan pengamat tari Bali, Profesor I Made Bandem, memperkirakan tari Baris Cina tumbuh sekitar tahun 835 M, saat Prasasti Blanjong dituliskan. Rekam jejak kesenian Tionghoa di Bali juga dapat kita saksikan dalam beberapa peninggalan, seperti Gong Beri yang disucikan di Pura Baris Ratu Tuan, Renon. Ketika zaman berubah, kesenian warisan budaya kaum Tionghoa ini tetap bertahan sesuai dengan semangat perubahan masyarakat setempat.
Baris Cina merupakan salah satu tarian sakral yang lahir, tumbuh, dan dilestarikan di Denpasar, tepatnya di Kelurahan Renon. Tidak banyak yang mengenal Baris Cina secara utuh, ada yang tahu nama Baris Cina, namun menganggap tarian tersebut serupa dengan Tari Baris lain yang juga berkembang di Bali. Bagi mereka yang pernah melihat secara langsung, akan diliputi berbagai pertanyaan, bagaimana dan darimana asal-usul tarian yang jika dilihat tampilan luarnya sama sekali tidak menggambarkan tampilan sebuah tarian yang lahir di Bali pada umumnya.
Tari Baris Cina disakralkan oleh warga penyungsungnya di Kelurahan Renon, Denpasar. Sebagai tarian sakral, Baris Cina hanya dipentaskan di Pura Baris Cina itu sendiri. Membahas Baris Cina, maka sekaligus terkait dengan gamelan pengiringnya yaitu Gong Beri. Menurut masyarakat setempat, Gong Beri tersebut dibawa oleh para leluhur mereka ketika pindah dari Blanjong menuju kawasan Renon. Ketika itu Gong Beri hanya terdiri dari dua buah Gong yaitu Ber dan Bor. Kemudian ditambahkan beberapa jenis instrumen, seperti kendang, tawa-tawa, ceng-ceng dan sebagainya. Menurut Prof. Dr. I Wayan Rai S., MA, yang pernah meneliti Gong Beri dan Baris Cina, menemukan bahwa Gong Beri, Ber dan Bor, berasal dari daratan China. Dalam penelitiannya mengenai Gong, persamaan dari Gong Beri masih ditemukan di Thailand yang hingga kini digunakan dalam upacara perkawinan. Jarak yang begitu jauh antara dua atau beberapa negara, ternyata bertemu dalam lingkaran budaya yang menyatukannya. Begitu ditabuh, perangkat gamelan tersebut menimbulkan bunyi-bunyian yang membakar semangat. Persis seperti musik perang. Apalagi sebelum keseluruhan orkestra dimainkan, musik diawali dengan kumandang sungu (alat musik tiup dari kerang) yang terkesan seperti peperangan.
Tarian Baris Cina tercipta ketika Gong Beri telah ditambahkan berbagai instrument lain dan menjadi satu barungan. Diawali dengan adanya warga yang trance atau kerauhan dan berbicara bahasa China, maka dipilihlah nama Baris Cina sebagai nama tariannya. Bahasa yang diucapkan oleh penari saat trance semacam dialek dalam pementasan kesenian dari daerah Punan di China.
Tari Baris Cina terdiri atas dua kelompok penari yang semuanya laki-laki. Setiap kelompok terdiri atas sembilan penari, termasuk satu orang komandan. Di sinilah para penari mempertontonkan kegagahannya sebagai seorang penari kesatria. Satu kelompok mengenakan pakaian hitam yang disebut Baris Selem, sedangkan kelompok lainnya berpakaian putih yang disebut Baris Putih. Keduanya melambangkan rwa bhineda, hitam putih, yaitu dua kutub berseberangan yang selalu ada di alam semesta ini. Dalam terminologi Thionghoa, disebut dengan Yin-Yang.
Setiap pementasan Tari Baris Cina selalu diawali dengan upacara yang dipimpin oleh seorang pemangku setempat. Setelah upacara dilaksanakan, para penabuh Gong Beri mulai memainkan satu buah lagu dilanjutkan dengan penampilan penari dari kelompok Baris Selem. Sesi kedua, merupakan giliran kelompok Baris Putih mempertunjukkan kepiawaian mereka dalam memainkan jurus-jurus pedang mereka. Sesi terakhir, merupakan bagian di mana kedua kelompok penari berhadapan dan siap untuk bertarung. Pada sesi puncak inilah para penari akan mengalami trance yang biasanya berlanjut dengan menarikan keris dan mereka yang trance akan menusuk dirinya. Ajaibnya tidak satupun dari mereka yang terluka.
PENUTUP
Tari Baris Cina ini merupakan simbol pasukan kerajaan Bali yang sejak dulu dikawal oleh para prajurit yang tangguh dan gagah berani. Gerakan tarian ini lebih menyerupai gerakan pencak silat atau kung fu. Hampir tak ada jejak pepakem (gerak dasar) tari Bali dalam tarian itu. Busana yang dikenakan para penarinya pun unik. Mereka mengenakan setelan celana panjang dan baju berlengan panjang dan berselempang kain. Di pura tertentu, penarinya juga mengenakan kacamata hitam ala juragan Tionghoa. Sebagai penutup kepala, mereka mengenakan topi bundar, bukan udeng atau gelungan sebagaimana yang dikenakan oleh penari tarian maskulin Bali pada umumnya. Senjata yang dibawanya pun bukan keris, melainkan pedang. Sangat unik, bukan?
Seni itu tidak pernah salah. Penduduk asli Bali dan penduduk keturunan Tionghoa bisa menari bersama di Bali, bahkan di China. Perpaduan ini menimbulkan rasa tidak ingin meninggalkan, namun tetap memelihara peradaban ini sebagai cerminan Indonesia yang damai dan penuh kasih. Tarian Baris Cina ini mengajarkan pada kita semua, bahwa perbedaan itu indah. Menarilah terus saudaraku. Kabarkan pada dunia bahwa kita damai meski dalam perbedaan.
Daftar Pustaka: https://www.google.co.id/amp/s/panbelog.wordpress.com/2015/02/22/baris-cina-dan-gong-beri/amp/
Bandem, I Made. 2013. Gambelan Bali di Atas Panggung Sejarah. Denpasar : BP STIKOM BALI

YouTube Preview Image