PURA PINGIT MELAMBA DESA BUNUTIN

Posted April 9th, 2018 by adityawiratmaja. Comment (0).

 

Pura Pingit Melamba terletak di tanah kelahiran saya yaitu di desa Bunutin, kecamatan Kintamani, kabupaten Bangli, pura ini di tempuh kurang lebih satu setangah jam dari kota bangli, Pura Pingit Melamba jika ditinjau dari namanya yaitu “MELAMBA” berasal dari kata “METAMBA” yg artinya mengobati. Banyak orang yang berdatangan untuk melukat dan memohon kesembuhan di Pura Pingit Melamba ini. Pura Pingit Melamba terletak di sebelah selatan desa Bunutin tepat pada hulu sungai ayung yang merupakan batas antara kabupaten Bangli dan kabupaten Gianyar.

Pura Pingit Melamba merupakan pura yang sangat tua  terbukti dengan adanya tiga arca besar yang sangat tua di perkirakan sudah ada sejak abad ke IV,  ketiga arca tersebut di buat oleh Rsi terdahulu bertujuan untuk mempermudah mengajarkan orang orang bali mula tentang ajaran ketuhanan, yang sebelumnya menyembah batu yang besar atau pohon yang besar. meski pura ini belum begitu di kenal namun perlu diketahui pura ini memiliki tiga arca besar yang bersejarah yaitu Arca Gunamutri, Arca Siwa, dan Arca Ganesha. Arca-arca tersebut sudah ada sejak jaman dahulu, yang ditemukan oleh penglingsir jaman dahulu pada saat mencangkul dan membabat hutan untuk lahan perkebunan menurut dari cerita yang saya dengar.

Arca-arca di Pura Pingit Melamba

  • Arca Gunamutri yaitu merupakan arca ganesa berdiri bertangan delapan belas yang masing-masing tangannya memegang senjata dan memiliki makna dan arti masing-masing, saat ini kondisin acra tersebut bisa dikatakan sedikit usang namun dalam tahap renofasi.
  • Arca Siwa yaitu melambangkan kebesaran dewa Siwa yang mealambangkan kebesarnya sebagai Pelebur. dan Arca Ganesa yang melambangkan kesuburan dan pemberi jalan ke arah kebaikan dan simbolik dari pengetahuan.

Selain itu di pura ini juga terdapat tempat pelukatan panca tirta dan kolam pemandian (gangga, sindhu, saraswati, yamuna, gando wari ) terdapat makna-makna tersendiri dari panca tirta tersebut

Makna dari kelima panca tirta tersebut yakini:

  • Gangga: disini untuk memohon kesucian bagi para penangkil yang hendak melukat atau penyucian diri dengan air suci. di bagian pancoran gangga ini para pemedek atau penangkil memohon pasa Ida Sang Hyang Widhi agar diberikan kesucian diri
  • Shindu: disini memiliki makna kesehatan, agar siapa yang melukat disini agar diberikan kesehatan dan keselamatan
  • Yamuna : disini memiliki makna agar diberikan keharmonisan antar manusia dengan tuhan sebagai pencipta, manusia dengan manusia lainya, dan manusi dengan alam sekitar sebagai bagian konsep dari Tri Hita Karana
  • Gandawarai: disini memiliki makna agara mendapat kemasyuran atau ketenaran, jadi biasanya dilakukan oleh para pejabat agar mendapatkan kewibawaan saat mengemban tugasnya.

Pura Pingit Melamba , Pura yang sangat tua, merupakan simbol peradaban di zaman dahulu dan merupakan Puranya leluhur orang Bali yang terletak di hulu sungai ayung yang menjadi perbatasan dari kota bangli dan gianyar.
Dipura Pingit Melamba ini terdapat dua upacara besar yang dilakukan satu tahun sekali dan enam bulan sekali, yaitu : Upacra ngusaba desa yang dilalakukan satu tahun sekali biasanya dilakukan setelah panen padi yang bertujuan untuk mengucapkan rasa terimakasih atas hasil panen yang telah diberikan pada warga desa.  Upaca ngusaba desa ini biasanya masyarakat desa Bunutin menyebutnya dengan sebutan Pujawali Neduh, dimana upacara neduh ini hanya dilakukan satu hari penuh dari pagi sampai sore. Uniknya dalam tradisi neduh ini yaitu pada sehabis sembahyang masyarakat melakukan tradisi makan bersama di pura atau megibung pada setiap keluarga dengan memakan lungsuran atau prasadam, biasanya berapa jumlah keluarga sebanyak jumlah keluarga itulah memotong ayam yang dipakai untuk sesajen atau banten. Pada setiap upaca ngusaba desa ini semua masyarakat desa tidak diperkenankan membawa kendaraan, smua masyarakat desa berjalan kaki dengan menempuh jarak yang lumayan jauh kira-kira 10 km. Selain itu ada upacara piodalan ring pura yang dilakukan enam bulan sekali yang jatuh pada buda keliwon ugu yang jatuh pertengahan sebelum datangnya galunagan.

DEMIKIANLAH SEJARAH DARI PURA PINGIT MELAMBA

ASPEK SOSIAL BUDAYA DARI TABUH RAH

Posted April 9th, 2018 by adityawiratmaja. Comment (0).

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar belakang

Bali sebagai tujuan wisata, banyak tamu asing yang kebetulan lewat dan melihat aktifitas Tabuh Rah Tajen. Ini mungkin perlu mendapatkan penjelasan yang benar dari pemandu wisatanya, agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap tradisi Tabuh Rah Tajen ini. Maraknya sabung ayam Tajen alias gocekan diseluruh pelosok Bali disebabkan bukanlah karena umat Hindu di Bali tidak taat beragama, tetapi karena belum memahami bahwa tajen yang dibarengi judi itu dilarang dalam Agama.

Tajen adalah sebuah dari kegiatan Tabuh Rah, dimana kata tajen ini diperkirakan berasal dari kata “tajian”. Taji merupakan sejenis pisau tajam  yang meiliki dua sisi mata pisau, yang panjangnya kira-kira sejari telunjuk orang dewasa dan dipasangkan pada kaki ayam jago. Tujuan dari pemasangan “taji” ini agar ayam jago yang diadu tersebut dapat melukai lawannya sehingga ada darah yang menetes ke tanah. Tetesan darah inilah yang disebut “tabuh rah” yang artinya ritual menebarkan darah suci.

“Tajen” merupakan bagian dari acara ritual keagamaan tabuh rah atau prang sata dalam masyarakat Hindu Bali. Yang mana tabuh rah ini mempersyaratkan adanya darah menetes sebagai simbol atau syarat menyucikan umat manusia dari ketamakan atau keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh rah juga bermakna sebagai upacara ritual buta yadnya yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya.

Hal ini merasa merasa menarik untuk saya teliti karena adanya sumber atau literatur yang pasti, maka dari itu saya mengangkat Tabuh Rah sebagai judul dari makalah yang saya buat ini.

1.2 Rumusan Masalah

  1. Apa itu Tabuh Rah ?
  2. Bagaimana dampak pengaruh Tabuh Rah terhadap kehidupan sosial masyarakat ?

 

1.3 Tujuan

  1. Untuk mengetahui tentang Tabuh Rah di Bali.
  2. Untuk mengetahui dampak pengaruh Tabuh Rah terhadap kehidupan sosial masyarat.

1.4 Manfaat

Dengan melakukan penelitian ini saya harap pembaca bisa mengetahui apa itu Tabuh Rah, dan bisa mengetahui dampak pengaruh Tabuh Rah terhadap sosial masyarakat.

 

 

BAB II

KAJIAN SUMBER

  • Pengertian Tabuh Rah

Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Upacara yang bisa dilaksanakan tabuh rah juga tidak semua upacara. Hanya upacara-upacara pecaruan yang layak dan pantas dibarengi dengan tabuh rah. Upacara yang boleh disertai tabuh rah adalah Caru Panca Kelud, Caru Rsi Gana, Caru Balik Sumpah, Tawur Agung, Tawur Labuh Gentuh, Tawur Panca Wali Krama dan Tawur Eka Dasa Rudra. Mengenai tempat dilakukannya tabuh rah adalah di tempat upacara. Yang melakukannya sang yajamana atau mereka yang menggelar upacara bersangkutan. Pakaian yang melakukan tabuh rah diwajibkan menggunakan pakaian adat. Demikian juga dengan jenis-jenis binatang yang digunakan untuk tabuh rah, yang berarti tabuh rah tidak mesti menggunakan ayam. Jenis-jenis binatang yang dijadikan korban adalah ayam, babi, itik, kerbau, dan lain-lainnya. Tabuh rah tidak bisa diidentikkan dengan adu ayam jago. Pasalnya, pelaksanaan tabuh rah bisa dilakukan dengan penyamblehan atau bisa juga dengan menggelar perang satha. Jadi ketika bicara tabuh rah tidak harus diwujudkan dengan mengadu ayam sampai salah satu mengeluarkan darah atau mati. Parisada menegaskan bahwa jalan penyamblehan bisa dilakukan sebagai bentuk tabuh rah.Penyamblehan adalah cara mengeluarkan darah binatang yang kemudian ditaburkan (tabuh rah) dengan jalan memotong leher binatang itu atau menikamnya dengan keris. Di zaman Majapahit cara ini diistilahkan dengan “Menetak gulu ayam”. Kalaupun ada sebuah desa pakraman yang mengharuskan tabuh rah dalam bentuk perang satha yang berarti ada ayam yang harus diadu, Parisada Pusat sebenarnya telah menyarankan diganti dengan penyamblehan. Sekali lagi, tidak harus mengadu ayam jago. Kalaupun memang harus menggelar perang satha, ketentuan sebagai sebuah tabuh rah harus tetap diikuti. Sudah ada uger-uger yang sekaligus menjadikannya mudah dibedakan dengan aktivitas lainnya. Uger-uger tersebut, pertama, jumlah ayam yang diadu tidak boleh lebih dari tiga parahatan (telung saet). Bilangan tiga ini mengandung makna arti magis yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir.

 

  • Dasar- dasar Penggunaan Tabuh Rah.

Dasar- dasar penggunaan tabuh rah tercantum di dalam :

    1. Prasasti Bali Kuna (Tambra prasasti).
    2.  Prasasti Sukawana A l 804 Çaka.
    3. Prasasti Batur Abang A 933 Çaka
    4. Prasasti Batuan 944 Çaka.

Dua Lontar- lontar antara lain :

 

  1. Fungsi Tabuh Rah:

Fungsi tabuh rah adalah runtutan atau rangkaian dan upacara atau upakara agama (Yadnya).

  1. Wujud Tabuh Rah:

Tabuh Rah berwujud taburan darah binatang korban.

  1. Sarana :
  2. Jenis- jenis binatang yang dijadikan korban yaitu : ayam, babi, itik, kerbau, dan lain- lainnya.
  3. Cara Penaburan Darah

Penaburan darah dilaksanakan dengan menyembelih, “perang satha ” (telung perahatan) dilengkapi dengan adu- aduan  kemiri, telur, kelapa, andel- andel, beserta upakaranya

  • Pelaksanaan Tabuh Rah: 
  1. Diadakan pada tempat dan saat- saat upacara berlangsung oleh sang Yajamana.
  2. Pada waktu perang satha disertakan toh dedamping yang maknanya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlasan Sang Yajamana beryadnya, dan bukan bermotif judi.
  3. Lebih lanjut mengenai pelaksanaan tabuh rah

 

Aduan ayam yang tidak memenuhi ketentuan- ketentuan tersebut di atas tidaklah perang satha dan bukan pula runtutan upacara Yadnya. Di dalam prasasti- prasasti disebutkan bahwa pelaksanaan tabuh rah tidak minta ijin kepada yang berwenang. Penjelasan- penjelasan di bawah ini:

  1. Penyambleh Adalah penaburan darah binatang korban dengan jalan memotong leher binatang itu atau menikamnya dengan keris. Di zaman Majapahit diistilahkan dengan “Menetak gulu ayam “.
  2. Perang satha Adalah pertarungan ayam yang diadakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Dalam hal ini dipakai adalah ayam sabungan, dilakukan tiga babak. ( telung perahatan) yang mengandung makna arti magis bilangan tiga yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir. Hakekatnya perang adalah sebagai symbol daripada perjuangan (Galungan) antara dharma dengan adharma.
    • Referensi Tabuh-Rah

Dasar penggunaan tabuh rah adalah prasasti- prasasti Bali Kuna dan lontar- lontar antara lain

  1. Prasasti Batur Abang A l. tahun 933 Çaka

“…………… mwang yan pakaryyakaryya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan, ithaninnya, tan pamwita, tan pawwata ring nayakan saksi………….”

artinya :

“………….. lagi pula bila mengadakan upacara- upacara misalnya tawur Kasanga patutlah mengadakan sabungan ayam tiga sehet (babak) di desanya, tidaklah minta ijin tidaklah membawa (memberitahu.) kepada yang berwenang………..”

  1. Prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Çaka

“………….. kunang yan manawunga ing pangudwan makantang tlung parahatan, tan pamwita ring nayaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli……………”

Artinya :

“………………. adapun bila mengadu ayam di tempat suci dilakukan 3 sehet (babak) tidak meminta ijin kepada yang berwenang, dan juga kepada pengawas sabungan tidak dikenakan cukai :………”

  1. Lontar Çiwa Tattwa Purana

“ Muah ring tileming Kesanga, hulun magawe yoga, teka wang ing madhyapada magawe tawur kesowangan, den hana pranging satha, wnang nyepi sadina ika labain sang Kala Daça Bhumi, yanora samangkana rug ikang ning madhyapada ”

Artinya :

“ Lagi pula pada tilem Kasanga Aku (Bhatara Çiwa)

mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di bumi

ini membuat persembahan masing- masing, lalu

adakan pertarungan ayam, dan Nyepi sehari (ketika) itu beri korban (hidangan) Sang Kala Daça

Bhumi, jika tidak celakalah manusia di bumi ….. “

  1. Lontar Yajna Prakerti

“ ……….. rikalaning reya- reya, prang uduwan, masanga kunang wgila yamanawunga makantang tlung parahatan saha upakara dena jangkep…… “

Artinya :

“ …………… pada waktu hari raya, diadakan pertarungan suci misalnya pada bulan Kasanga, patutlah mengadakan pertarungan ayam tiga sehet lengkap dengan upakaranya…………… “

 

BAB III

PEMBAHASAN

  •  Pengertian Tabuh Rah

Hubungan tabuh rah dengan sabung ayam terdapat pandangan semu dari masyarakat awam, bahwa tabuh rah itu sama dengan sabung ayam (tajen). Oleh karena itu sangatlah perlu pemahaman dari kedua istilah tersebut. Tabuh rah atau perangsata dalam masyarakat Hindu di Bali yaitu mensyaratkan adanya darah yang menetes sebagai symbol atau syarat menyucikan umat manusia dari ketamakan, keserakahan, atau kelobaan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh rah juga bermakna sebagai upacara ritual Bhuta yadnya yang mana darah yang menetes ke Bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya. Oleh karena itu dipandang dari filosofinya, tabuh rah mengandung arti yang penting bagi upacara-upacara dalaam agama Hindu.

Kata tabuh rah merupakan kata majemuk, yaitu rangkaian dua buah kata yang memiliki satu pengertian. Adapun kata dasarnya adalah “tabuh” dan “rah” secara etimologis kata tabuh rah berasal dari kata tawur yang berarti “bayar” sedangkan rah yang berasal dari “darah”. Dengan uraian secara etimologis tersebut, maka kata tabuh rah berarti pembayaran dengan darah yang dilakukan dengan cara menaburkan darah pada tempat-tempat tertentu misalnya di pura-pura. Upacara yang boleh disertai tabuh rah adalah Caru Panca Kelud, Caru Rsi Gana, Caru Balik Sumpah, Tawur Agung, Tawur Lubuh Gentuh, Tawur Panca Wali Krama dan Tawur Eka Dasa Rudra. Mengenai tempat dilakukannya tabuh rah adalah pada tempat upacara.

Jenis-jenis binatang yang digunakan untuk tabuh rah, yang berarti tabuh rah tidak mesti menggunakan ayam. Jenis-jenis binatang yang dijadikan korban adalah ayam, babi, itik, kerbau, dan lain-lainnya. Tabuh rah tidak bisa diidentikan dengan adu ayam jago. Pasalnya, pelaksanaan tabuh rah bisa dilakukan dengan penyamblehan atau bisa juga dengan menggelar perang satha. Jadi ketika bicara tabuh rah tidak harus diwujudkan dengan mengadu ayam sampai salah satu mengeluarkan darah atau mati. Parisada menegaskan bahwa jalan penyamblehan bisa dilakukan sebagai bentuk tabuh rah.Penyamblehan adalah cara mengeluarkan darah binatang yang kemudian ditaburkan (tabuh rah) dengan jalan memotong leher binatang itu atau menikamnya dengan keris. Di zaman Majapahit cara ini diistilahkan dengan “Menetak gulu ayam”. Kalaupun ada sebuah desa pakraman yang mengharuskan tabuh rah dalam bentuk perang satha yang berarti ada ayam yang harus diadu, Parisada Pusat sebenarnya telah menyarankan diganti dengan penyamblehan. Sekali lagi, tidak harus mengadu ayam jago. Kalaupun memang harus menggelar perang satha, ketentuan sebagai sebuah tabuh rah harus tetap diikuti. Sudah ada uger-uger yang sekaligus menjadikannya mudah dibedakan dengan aktivitas lainnya. Uger-uger tersebut, pertama, jumlah ayam yang diadu tidak boleh lebih dari tiga parahatan (telung saet). Bilangan tiga ini mengandung makna arti magis yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir.

 

  1. Dampak Pengaruh Tabuh Rah Terhadap Masyarakat

Bagi sebagian orang Bali tajen adalah bagian dari ritual adat budaya yang identik dengan tabuh rah harus dijaga dan dilestarikan, bagi sebagian orang Bali yang lain, tajen merupakan bentuk perjudian yang harus dihapuskan, karena dianggap tidak sesuai dengan norma-norma dalam agama Hindu-Bali itu sendiri. Maraknya judi di seluruh pelosok Bali disebabkan bukanlah karena umat Hindu di Bali tidak taat beragama, tetapi karena tidak tahu bahwa judi itu dilarang dalam Agama. Judi khususnya tajen sudah mentradisi di Bali. Dampak negatif pariwisata dalam hal ini seolah-olah membenarkan tajen sebagai objek wisata antara lain terlihat dari banyaknya lukisan atau patung kayu yang menggambarkan dua ekor ayam sedang bertarung, atau gambaran seorang tua sedang mengelus-elus ayam kesayangannya. Berjudi juga sering menjadi simbol eksistensi kejantanan. Laki-laki yang tidak bisa bermain judi dianggap banci. Judi juga menjadi sarana pergaulan, mempererat tali kekeluargaan dalam satu Banjar. Oleh karena itu bila tidak turut berjudi dapat tersisih dari pergaulan, dianggap tidak bisa “menyama beraya”. Di zaman dahulu sering pula status sosial seseorang diukur dari banyaknya memiliki ayam aduan. Raja-raja Bali khusus menggaji seorang “Juru kurung” untuk merawat ayam aduannya. Ketidaktahuan atau awidya bahwa judi dilarang Agama Hindu antara lain karena pengetahuan agama terutama yang menyangkut Tattwa dan Susila kurang disebarkan ke masyarakat.

Walaupun tajen telah terbukti berdampak negatif terhadap kondisi perekonomian masyarakat, namun dibalik semua itu terdapat pula segi-segi positif  bagi sebagian masyarakat yang bergelut di dunia tajen tersebut. Bali sebagai tujuan wisata, banyak tamu asing yang kebetulan lewat dan melihat aktifitas tajen, ini mungkin perlu mendapatkan penjelasan yang benar dari pemandu wisatanya. Kalau kita lihat kehidupan dan aktifitas seputar tempat tajen akan banyak dijumpai orang berjualan nasi, kopi, buah-buahan, bakso dan lain-lain. Bebotoh dan penonton menikmati sekali makanan yang dijajakan oleh para pedagang tersebut. Selain pedagang, yang bisa mengais rejeki di tempat tajen adalah tukang ojek, tukang parkir, tukang sapu, dan tukang karcis. Itulah sebabnya, para pembela tajen senang mengatakan bahwa uang yang berputar di tempat tajen tidak lari keluar pulau, melainkan hanya berputar dikalangan masyarakat. Maksudnya barangkali menyindir togel (toto gelap) yang menyedot uang masyarakat dan uang tersebut lari keluar pulau. Untuk memberantas tajen memang sangat dilematis sekali, sekarang kita saja, masyarakat Bali yang harus menilai, apakah tajen ini perlu dilestarikan atau tidak.

 

BAB IV

PENUTUP

  • Simpulan

Tajen yang berkembang di Bali berpangkal dari tradisi tabuh rah yang merupakan bagian dari rangkaian upacara bhuta yadnya. Dalam perkembangannya tradisi tabuh rah tersebut disalah artikan oleh sebagian besar masyarakat Bali. Mereka menganggap tajen adalah bagian dari budaya dan juga bagian dari yadnya yang sudah sejak zaman kerajaan sudah berkembang di Bali sehingga sangat perlu dilestarikan. Selain pemahaman tersebut mereka juga menjadikan adat dan tradisi tabuh rah sebagai topeng yang selalu digunakan dalam mempertahankan tajenketika terancam akan dibubarkan oleh pemerintah. Selain alasan tersebut  para pelaku tajen juga beranggapan bahwa tajen telah mampu mebuka peluang kerja bagi masyarakat di sekitar tempat kegiatan tajen. Banyak masyarakat memperoleh keuntungan dengan adanya judi tajen tersebut, karena mereka bisa berjualan di areal tajen tersebut.

Agama Hindu sama sekali tidak membenarkan segala bentuk perjudian termasuk tajen. Dalam kitab Manawa Dharmasastra dan Rg. Vedasecara jelas disebutkan bahwa segala bentuk perjudian sangat dilarang. Sangat jelaslah bahwa dalam ajaran Hindupun menentang keras adanya penyiksaan mahluk hidup , yang digunakan sebagai media dalam tajen dan perjudian yang menggunakan benda hidup maupun non hidup.

 

  • Saran

Sebagai umat Hindu-Bali yang mencintai budaya dan tradisi nenek moyang tidak sepantasnya mencoreng budaya yang begitu luhur dengan noda-noda perjudian yang jelas-jelas sangat dilarang oleh agama. Tabuh rah akan menjadi sebuah budaya yang indah apabila masyarakat mengerti dan tidak menjerumuskan tradisi tersebut ke ranah perjudian. Walaupun ini adalah persoalan yang sulit dan rumit, namun apabila diupayakan dengan kesucian hati, berpikir rasional dan mampu berlaku bijak maka kebiasaan tajen di Bali akan berubah menjadi tajen dalam konteks sebuah budaya yang positif yang nantinya mampu membawa masyarakat Bali kearah yang lebih sejahtera.

 

ANALISA KEKEBYARAN TABUH PATRA ULANDA

Posted April 9th, 2018 by adityawiratmaja. Comment (0).

Tabuh Kebyar Patra Ulanda

Tabuh Patra Ulanda merupakan tabuh kekebyaran dari bali utara yang diciptakan oleh Nyoman Durpa. Menurut saya tabuh patra ulanda terbagi menjadi dua bagian yaitu ada bagian pertama dan bagian kedua, adapun penjelasannya dalam setiap  bagian yaitu sebagai berikut :

  • Bagian Pertama

Pada bagian ini diawali dengan gineman gangsa  dengan memperlihatkan ornamentasi atau kotekan gangsa, setelah gineman gangsa lalu bermain bersama-sama sebagai pembuka, setelah itu langsung disambung dengan gineman suling yang dimainkan oleh satu orang pemain suling atau disebut dengan permainan suling solo. Pada bagian pertama ini setelah permainan gineman suling langsung disambung dengan kebyar, pada instrument gangsa dengan menonjolkan hentakan ritme dan melodi yang dinamis. Setelah kebyar disambung langsung dengan bapang ¾ sebanyak 3 Gong dan langsung disambung dengan gineman kendang dengan menonjolkan tekhnik gagupekan secara bergantian antara kendang wadon dan kendang lanang dengan kombinasi dengan suling. Setelah permainan gineman kendang tersebut terdapat transisi atau penyalit ke bagian kedua sebanyak 8 gong.

  • Bagian Kedua

Pada bagian ini merupakan lanjutan dari penyalit pada bagian pertama ke bagian kedua, setelah penyalit terdapat bapang ngubeng sebanyak 3 baris  yang diulang-diulang dengan ornamentasi dan tekhnik yang berbeda pada instrument gangsa dan pada instrument reong sehingga dapat memperindah. Bagian ini merupakan bagian akhir degan gending ngubeng dalam satu gong terdapat pukulan kempur sebanyak 3 kali diulang-ulang hingga tabuh ini selesai.

 

Analisa Tabuh Kekebyaran Tari Nelayan

Tari Nelayan adalah ciptaan I Ketut Merdana dari buleleng pada tahun 1960, adapun srtruktur dari tabuh ini yaitu sebagai berikut.

  • Pangawit

Pada bagian pangawit diawali oleh ugal sebagai awal dari tabuh ini dan diikuti oleh instrument lainnya, didalam pangawit ini terdapat motif gegaboran didalam gegaboran terdapat permainan tempo yaitu terdapat tempo lambat dan dan tempo cepat atau disebut dengan ngumbang ngisep, didalam gegaboran ini terdapat pukulan gong pada saat pelan yaitu sebanyak 3,  pukulan gong pada saat tempo cepat terdapat sebanyak 3 kali, pelan terdapat lagi pukulan gong sebanyak 3 kali stelah itu tempo cepat dengan pukulan gong sebanyak 12 kali lalu menuju sebuah transisi atau penyalit yang menghubungkan antara pangawit dan pangawak.

  • Pangawak

Dalam bagian pangawak diawali dengan bapang yang merupakan sambungan dari penyalit yang menyambungkan antara pangawit dan pangawak. Pada bagian bapang terdapat pukulan gong sebanyak 3 kali setelah bapang langung nyambung menuju pangawak dimana dalam pangawak mengisahkan penari saat tertusuk duri ikan. Dalam pangawak terdapat pukulan gong sebanyak 2 kali langsung tempo cepat dan  menuju kebyar yang menghubungkan antara pangawak menuju pangecet. Kebyar yang menonjolkan permainan gangsa yang keras dan melodi yang dinamis.

  • Pangecet

Setelah kebyar yang merupakan bagian penghubung yang menghubungkan dari pangawak ke bagian pangecet, lalu didalam pangecet terdapat bapang dengan sebuah jalinan melodi yang diulang sebanyak 3 kali didalam bapang ini penari megisahkan seseorang sedang menangkap ikan ditengah lautan ada yang mendayung, ada yang menebar jaring, ada yang mengambil ikan dari jarring tersebut. Setelah pengulangan sebanyak 3 kali tersebut tempo langsung naik menuju ke pekaad dimana dalam pekaad terdapat tempo yang cepat dan melodi yang sama dengan pangecet hanya saja tempo dipercepat pengulangan hanya sekali dan setelah itu langsung selesai diakhiri dengan gong.

KEBYAR SEBUAH PENCAPAIAN SPEKTAKULER

Posted April 9th, 2018 by adityawiratmaja. Comment (0).

Resensi Buku Seni Kekebyaran

oleh : I Made Bandem

editor : I Wayan Dibia

  • Asal mula dan perkembangan kebyar

Gong kebyar diperkirakan muncul pada awal abad ke 20 dan gamelan itu semula diciptakan hanya untuk music instrumental. Dalam perkembangan selanjutnya music ini juga digunakan untukmengiringi tari, dan tarianya pun disebut tari kebyar. Tari kebyar di samping memiliki ciri-ciri yang sama dengan gong kebyar dia juga merupakan ekspresi individu atau kelompok yang penuh dengan improvisasi dan komposisi tari yang rumit. Kata “kebyar” sendiri berarti halilintar dan topan.

  1. Periode 1914-1950

Pada tahun 1914 di desa Bungkulan, buleleng para penabuh gamelan mulai memainkan ritme-ritme unison bersama, penuh dengan entakan-entakan tajam, sinkopasi-sinkopasi yang jarang ditemukan di gong kuna. Mereka memasukan “emosi dan aksi dramatis” dalam permainan gamelan menjadi bentuk awal dari gong kebyar.

Pada tahun 1919 ketika pertama kali gong kebyar diperdengarkan di Puri Subamia, Tabanan oleh sekaa gamelan dari desa Bantiran (buleleng) untuk mengiringi upacara palebon. Masih belum juga ada indikasi yang jelas bahwa gong kebyar itu digunakan sebagai iringan tari. Baru kemudian ketika I Marya mengajar tari di desa Busungbiu, dia menarik lagu gong kebyar secara bebas seperti ibing-ibingan dengan juru kendang dengan menari berjongkok yang menjadi cikal bakal tari Kebyar Duduk dan Kebyar Trompong. Baru pada tahun 1920 tercipta tari kebyar duduk dan tahun 1925 tercipta tari kebyar terompong. Tabuh iringan kebyar duduk konon digubah oleh I Wayan Sukra, demikian fenomenalnya I Merya sebagai penarinya.

Pada tahun 1928 ketika Beka dan Odeon meluncurkan rekaman komersial mengenai gamelan Bali, baru diketahui bahwa tercipta beberapa lagu gong kebyar baru seperti lagu kebyar ding surapati, lagu jerebu yang ternyata juga ditarikan oleh I Marya dan muridnya. Kebyar legong sudah diciptakan sebelumnya, namun pendekatan koreografinya masih merupakan konsep tari tunggal yang ditarikan berdua layaknya seperti legong keratin. Tari kebyar legong selanjutnya menjadi tari truna jaya yang diciptakan oleh Pan Wandres dan I Gde Manik. Tarian kebyar  periode 1914-1930 berorientasi pada tari tunggal, keterampilan pribadi, kemampuan menafsirkan, dan ungkapan emosi dan aksi dramatis. Struktur kebyar pada saat itu terdiri atas kawitan, pelayon, kebyar, bapang, dan pangecet.

  1. Periode 1930-1960

Awal tahun 1930-an muncul gagasan untuk menciptakan tari kebyar yang ditarikan oleh wanita. I Nyoman  Kaler menciptakan tari Candrametu, Panji Semirang, Margapati, dan Bayanginte. Pada tahun 1930-an orientasinya pada wanita cantik dan dimana periode 1920-an orientasinya pada ketampanan penari pria. Perubahan estetiknya terjadi, dari tarian yang bersifat improvisasi ke tarian yang terstruktur ketat. Dalam karakternya juga mengalami perubahan seperti seorang penari cantik menarikan tokoh laki-laki atau disebut dengan trafesti. Sebutan bebancihan dikumandangkan sebagai ciri khas tarian kebyar. Pada tahun 1942 I Nyoman Kaler, I Wayan Geria dan I Made Kredek menampilkan sebuah prembon yang tokoh utamanya penari margapati, mengangkat sebuah cerita Arjuna Wiwaha. Terjdinya penjajahan jepang yang membuat berhentinya kreativitas kebyar dan hampir tidak ada ciptaan baru pada masa itu.

Pada tahun 1951 terciptanya tarian oleg tambulilingan yang diciptakan oleh I Marya dan penciptaanya dirangsang oleh John Coast dan Lucy. Kemudian dipopulerkan lewat lawatan sekaa gong kebyar Peliatan ke luar negeri pada tahun 1952. Akhir dekade 1950-an perubahan estetik dalam tarian kebyar terus berkembang. Tari oleg tambulilingan memberikan inspirasi munculnya tari-tarian kebyar berkelompok seperti tari kebyar Rajapala. Pada tahun 1958 terciptalah tari Kupu-Kupu Tarum dan pada tahun 1959 tercipta dua tabuh instrumental kreasi kebyar yaitu tabuh Swabhuwana Paksa dan tabuh Jayasemara di ciptakan oleh I Wayan Beratha.

  1. Periode 1960-1980

Awal tahun 1960-an merupakan periode awal pembangunan dan kemapanan berpolitik di Indonesia. Tema-tema yang senantiasa berfokus pada tari murni dan keindahan semata dan kini berubah menjadi tarian kebyar programatik, merespon perkembangan sosial politik di Indonesia. Masa awal tengah dekade 1960-an tercipta tari Tani dan Nelayan, pada masa ini mulai diperkenalkan ekspresi realistis atau pantonim. Tarian kelompok lebih diutamakan, dalam tata busana dan tata rias lebih realistis, sederhana, mengabstraksikan kehidupan kehidupan sehari-hari. Awal tengah tahun kedua dari periode ini yaitu pada tahun 1966 I Nyoman Kaler menggubah tari Bulutangkis dan tari Memetik Kopi. I Nyoman Kaler ikut hanyut dalam menciptakan dan berkreativitas tari-tariannya bersifat programatik, karena perkembangan sosial politik di Indonesia. Pada periode ini berkembangnya tari kebyar menjadi sendratari, pada decade 1960-an telah tercatat 4 sendratari yaitu Sendratari Jayaprana, Sendratari Rajapala, Sendratari Maya Danawa,  Sendratari Ramayana.

Pada tahun 1968 pemerintahan provinsi Bali melembagakan pementasan gong kebyar ke dalam sebuah wadah yang disebut Merdangga  Utsawa atau disebut lumrah dengan Festival Gong Kebyar, hal ini yang dimotori oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) dalam usaha mengembangkan dan melestarikan budaya bali. Pada tahun 1972 diadakan proyek-proyek penggalian, pemeliharaan, dan pengembangan kesenian klasik seperti gambuh, wayang wong, arja, legong dll, yang di motori oleh Listibiya dan Biro Kesra Pemerintahan Daerah Tingkat 1 Bali. Kemudian lahir Pesta Kesenian Bali (PKB) yang pencetusnya oleh Prof. Dr. I.B. Mantra pada tahun 1979  merupakan sebuah strategi pembinaan dan pengembangan kebudayaan Bali.

  1. Periode 1980-2005

Pada era ini merupakan dimana era bangkitnya ASTI Denpasar yang dengan program Tri Dharma Perguruan Tingginya melakukan kegiatan pengkajian dan pengembangan kesenian yang sangat terkait dengan PKB. ASTI Denpasar secara intensif merumuskan kebijakan kreativitasnya dan sekaligus mensosialisasikannya lewat Kuliah Kerja Nyata (KKN).

  • Kontribusi Gong Kebyar Terhadap Gamelan Lain

Kebyar sebagai musik ansambel sedemikian kaya akan hiasan-hiasan musiknya, sehingga banyak gamelan lain yang meminjam reportoar dari gong kebyar yang kemudian disesuaikan dengan teknik permainan gamelan yang meminjamnya. Lagu-lagu kebyar margapati, panji semirang, belibis dan manukrawa sudah lama kita dengar sebagai reportoar dari gamelan jogged bumbung dan angklung. Prinsip pinjam meminjam dan transformasi terjadi dalam ansambel-ansambel di Bali.

Janger pada awalnya yang hanya menampilkan lagu-lagu rakyat dan iringan batel (gender wayang) atau suling saja, kini telah mengadopsi lagu-lagu kebyar ke dalam musik sebagai selingan dalam lagu janger. Dimulai oleh A.A. Gde Mandera, Granyam, dan I Made Kredek di peliatan pada tahun 1940-an diciptakan sebuah lagu kebyar janger disebut Tambur. Kebyar Tambur ini mengiringi gerak-gerak tari kecak dalam janger. Sangat jelas bahwa gong kebyar telah memberi kontribusi sangat besar terhadap perkembangan gamelan yang lain seperti gender wayang, angklung, gong suling, drama gong dll, bahkan jegog juga telah dimasuki gaya kekebyaran ketika era 1990-an .

Sendratari baik musik maupun tarinya adalah kreasi lanjutan dari gong kebyar. Kita pahami bahwa legong juga memberi inspirasi terhadap sendra tari. Belum lepas dari pengamatan kita, sesungguhnya Adi Merdangga yang diciptakan pada tahun 1984 adalah prinsip dari gamelan balaganjur yang dikebyarkan, dimasukan konsep emosi dan aksi dramatis, sebagai pengganti drumband barat dalam pembukaan PKB 1984. Dalam adi merdangga ini selain angsel-angsel yang rumit berasal dari gong kebyar, beberapa motif, ritme diambil dari  drumband barat. Disitulah fleksibilitas gong kebyar bisa menerima dan mempenhgaruhi gamelan lain, sehingga dapat dianggap sebagai sumber yang kaya raya akan melodi, ritme, harmoni, dan aspek musical lainnya.

Filsafat Seni Legong Raja Cina

Posted April 8th, 2018 by adityawiratmaja. Comment (0).

A. Pengertian Teori Filsafat Seni

Untuk memahami filsafat seni atau estetika, terlebih dahulu kita melihat kedudukan seni dalam keseluruhan sistem filsafat filsuf ini. Istilah seni (art) berasal dari kata latin Ars yang berarti seni, keterampilan, ilmu dan kecakapan. Ada beberapa definisi mengenai seni dan filsafat seni yang dikemukakan oleh para filsuf seni. Diantaranya oleh G.W.F Hegel (1770-1831), seorang Filsuf Idealisme Jerman, berpendapat seni adalah medium material sekaligus faktual. Keindahan karya seni bertujuan menyatakan kebenaran. Baginya kebenaran adalah “keseluruhan”. Sehubungan dengan gagasan kebenaran yang dikemukakannya, karya seni adalah presentasi indrawi dari ide mutlak (Geist) tingkat pertama. Dalam pemikiran Hegel, ide atau roh subyektif dan roh obyektif senantiasa berada didalam ketegangan. Ide-ide mutlak mendamaikan ketegangan ini. Maka sebagai ide mutlak tingkat pertama pada seni roh subyektif dan roh obyektif didamaikan. Subyek dan obyek kemudian berada didalam keselarasan sempurna.

Menurut Arthur Schopenhauer sendiri, seni merupakan segala usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan, tiap orang senang dengan seni musik meskipun seni musik adalah seni yang paling abstrak. Berbicara tentang filsafat seni, simbol-simbol perlu mendapat perhatian untuk mempertahankan segi “misteri” pengalaman manusia.

Filsafat seni bagi para filsuf seni, berbicara mengenai ide, makna, pengalaman, intuisi, semua menunjukkan sifat simbolik dari seni. Pada awalnya, Socrates yang berpikir mengenai filsafat seni, sehingga Ia dikenal sebagai Bapak Filsafat Seni/Keindahan. Panggilan filosofis dalam konteks filsafat seni menuntut kerelaan, keterbukaan, dan tidak pernah prasangka apriori. Artinya, persoalan seni dapat dibahas dari sudut pandang disiplin ilmu manapun. Dalam definisi mengenai seni merupakan proses cipta, rasa, dan karsa. Seni tidak akan ada bila manusia tidak dihadiahi daya cipta. Filsafat dan seni sebagai komunikasi yang kreatif, tetapi cara dan tujuannya berbeda.

Filsafat adalah : usaha mencari kebenaran,sedangkan seni lebih pada kreasi dan menikmati nilai.Bahkan bila seni menggunakan bahasa seperti dalam sastra, penggunaan ini tidak sama dalam filsafat. Tujuan dari seni adalah membangkitkan emosi estetik, sementara dalam filsafat bahasa adalah alat untuk mengucapkan kebenaran. Melalui filsafat seni, pemahaman tentang seni akan lebih kaya. Banyak hal yang dapat dipertanyakan. Namun, pertanyaan sebagai tantangan, bahwa filsafat seni adalah bukan sekedar sejarah seni. (Iryandi,2010)

 

B. Filsafat Seni Dari Tari Legong Raja Cina

1. Pengertian Tari Legong

Legong adalah tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Arti kata Legong berasal dari kata “leg” artinya gerakan tari yang luwes (lentur) dan kata “gong” memiliki arti alat musik gamelan. Sehingga kata “Legong” memiliki arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh alat musik gamelan yang mengiringinya. Tari Legong dahulu dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua. Idenya diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang sedang sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap.Sesuai dengan sejarahnya, para penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong dan selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas.Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad. (Admin, 2014)

Berdasarkan pada sebuah lontar, dikatakan bahwa ide tari-tarian legong ini berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karma yang dalam semadinya melihat dua putri cantik dengan hiasan yang serba indah membawakan sebuah tari-tarian yang lemah gemulai. Tari itu dinamakan Sanghyang Legong. (Iryanti, 2000: 85-86)

2. Kisah Legong Raja Cina

Legong Raja Cina yang sekarang ini merupakan hasil dari rekontruksi yang sebelumnya sudah pernah ada sekitar tahun 1930-an, Legong raja cina mengambil kisah dari Bali kuno yang menceritakan sebuah kerajaan Balingkang. Dalam kerajaan Balingkang inti ceritanya yaitu menceritakan tentang asal mulanya Barong Landung yang diawali dengan pertemuan seorang Raja Bali bernama Sri Jaya Pangus dengan seorang putri China bernama Kang Cin Hui. Dalam cerita tersebut mengisahkan Kisah Legong Raja Cina yang mempertemukan Raja Sri Jaya Pangus dengan Putri Kang Cin Hui yang akhirnya menikah tapi tidak memiliki keturunan. Dalam pernikahannya yang sangat lama tapi tidak diberinya keturunan, yang membuat hasrat keinginan sang Raja Jayapangus untuk memiliki anak sehingga memutuskan untuk melakukan semadi di kaki gunung batur untuk memohon keturunan. Didalam pertapaanya Raja Jayapangus bertemu dengan seorang Dewi yaitu Dewi Danu, dalam pertemuannya tersebut Raja Jayapangus langsung terpikat oleh kecantikan Dewi Danu sehingga Raja Jayapangus menjalin hubungsn dengan dewi danu. Dalam hubungannya tersebut jayapangus memiliki seorang anak hasil dari hubungannya dengan Dewi Danu.

Singkat cerita, bertahun-tahun lamanya menunggu, Kang Cing Wie menatap kesedihan karena sang suami tidak pernah pulang ke kerajaan. Dari rasa penasarannya, akhirnya permaisuri Kerajaan Balingkang ini memutuskan berpetualang untuk mencari suaminya. Melewati hutan belantara dihadapi, namun perjalanan beliau terhalang oleh angin kencang, beliau berusaha untuk melewatinya, tapi akhirnya Kang Cing We terjatuh di sebuah hutan dan tepat di tempat suaminya terdampar dulu. Di sini akhirnya Kang Cing We bertemu dengan seorang anak yang tidak lain adalah anak dari perkawinan suaminya yaitu Raja Sri Jaya Pangus dan Dewi Danu.

Menjumpai kenyataan itu, Kang Cing We merasa kecewa dan sakit hati, lalu memutuskan untuk menyerang Dewi Danu yang merebut suaminya. Serangan dari Kang Cing We mendapat respon negatif dari Dewi Danu, dan akhinya karena kemarahannya iapun mengeluarkan pasukannya yang berbentuk raksasa dan memporak porandakan pasukan Kang Cing We. Tak tega melihat keadaan istri pertamanya yaitu Kang Cing We, sang raja akhirnya memutuskan untuk melindungi Kang Cing We dari serangan Dewi Danu. Raja menyadari cintanya kepada Kang Cing We tidak akan pernah mati walaupun telah lama meninggalkan permaisurinya tersebut. Melihat Kang Cing We dan Sri Jaya Pangus bersatu, membuat Dewi Danu kecewa. Dalam kecewanya, iapun mengutuk kedua pasangan ini menjadi patung.

Berita tentang berubahnya Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We menjadi patung, menyebabkan luka yang sangat mendalam bagi rakyat Kerajaan Balingkang. Kesedihan rakyat ini akhirnya membuat Dewi Danu tersadar telah berbuat kesalahan. Ia pun kemudian datang ke kerajaan tersebut membawa seorang anak yang merupakan anak Sri Jaya Pangus. Dengan kedatangan Sang Dewi, rakyat Balingkang pun memutuskan mengangkat anak dari Sri Jaya Pangus menjadi penerus menggantikan raja. Sang Dewi pun mengingatkan rakyat Balingkang untuk terus menghormati dan mengenang mendiang raja serta permaisurinya. Kedua pasangan ini merupakan sosok seorang pelindung, dimana semasa pemerintahannya Kerajaan Balingkang menjadi makmur, aman dan tenteram. Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We juga disimbolkan sebagai pasangan yang memiliki cinta sejati. Untuk selalu mengenang jasa-jasa sang raja, rakyat Balingkang akhirnya memutuskan untuk memanifestasikannya ke dalam sebuah barong. Mengingat Raja Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We di kutuk oleh Dewi Danu. Dari patung itulah rakyat Balingkang membuat sepasang arca, sehingga arca inilah sebagai Barong Landung. (semadi,2018)

3. Filsafat Seni Yang Terkandung Dalam Legong Raja Cina

Tari Legong Raja Cina diperkirakan berada sejak jaman 1930-an dimana yang sekarang dapat kita lihat merupakan hasil dari rekontruksi, keinginan A.A. Ngurah Serama Semadi untuk menggali karena sebelumnya sudah pernah ada dan supaya tetap lestari dan dapat diteruskan oleh generasi penerus budaya bali.

Makna yang terkandung dalam Legong Raja Cina yaitu terkait dengan terjadinya akulturasi budaya atau perpaduan antar budaya Bali dan Cina dibuatlah tarian legong raja cina untuk menghargai dan untuk mengingat hubungan Bali dengan Cina. (Semadi: 2018)

4. Filsafat Seni Dari Iringan Tari Legong Raja Cina

Iringan tari Legong  Raja Cina menggunakan ansambel gamelan Semar  Pagulingan Saih Pitu. “Gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu merupakan sebuah ansambel yang sesungguhnya salinan dari gamelan Gambuh yang dibuat dengan instrumentasi barungan perunggu” (Bandem, 2013 :65)

Dalam komposisi musikal dari iringan tari Legong Raja Cina ini diawali dengan adanya keinginan A.A. Ngurah Serama Semadi untuk merekontruksi tari Legong Raja Cina tersebut. Dalam hal merekontruksi A.A. Ngurah Serama Semadi melakukan penelitian dengan mencari informan-informan untuk diwawancarai. Setelah melakukan sekian banyak wawancara, A.A. Ngurah Serama Semadi tidak mendapatkan data dan informasi yang jelas karena banyak yang tidak diketahui oleh informan-informan yang diwawancarainya. Tapi A.A. Ngurah Serama Semadi tidak menyerah dan berambisi berkeinginan untuk merekontruksinya untuk membangun legong itu karena pernah ada sebelumnya dan supaya tetap lestari dan dapat diteruskan oleh generasi penerus budaya bali. Pada akhirnya A.A. Ngurah Serama Semadi bertemu dengan bapak (alm) I Wayan Baratha dan menanyakan gending atau iringan tari untuk legong raja cina, akhirnya bapak (alm) I Wayan Baratha memberi sebuah buku yang didapatnya dari Gung Aji Geria yang berisi tentang iringan tari legong raja cina. Namun dalam buku yang diberikan hanya berisi pada bagian gending pengrangrang, pengawak dan pengecet hanya sedikit, dan pada akhirnya A.A. Ngurah Serama Semadi menambahkan gending-gending dengan mempergunakan pakem tradisi yang sudah ada dan dipadukan dengan pakem ciri khas daerah Saba. (Semadi,2018)

Jadi, filsafat seni yang terkandung dalam iringan Legong Raja Cina ini, yaitu dengan adanya proses akulturasi budaya yaitu antara budaya  Bali  dan  budaya Cina. Sehingga terciptalah garapan iringan tari Legong Raja Cina yang merupakan  perpaduan  antara dua pakem yaitu perpaduan antara pakem tradisi dan pakem ciri khas daerah Saba, sehingga dalam iringan tarinya memiliki ciri khas tersendiri yaitu khas daerah Saba atau disebut juga dengan Style Saba