Filsafat Seni Legong Raja Cina

Posted April 8th, 2018 by adityawiratmaja. Comment (0).

A. Pengertian Teori Filsafat Seni

Untuk memahami filsafat seni atau estetika, terlebih dahulu kita melihat kedudukan seni dalam keseluruhan sistem filsafat filsuf ini. Istilah seni (art) berasal dari kata latin Ars yang berarti seni, keterampilan, ilmu dan kecakapan. Ada beberapa definisi mengenai seni dan filsafat seni yang dikemukakan oleh para filsuf seni. Diantaranya oleh G.W.F Hegel (1770-1831), seorang Filsuf Idealisme Jerman, berpendapat seni adalah medium material sekaligus faktual. Keindahan karya seni bertujuan menyatakan kebenaran. Baginya kebenaran adalah “keseluruhan”. Sehubungan dengan gagasan kebenaran yang dikemukakannya, karya seni adalah presentasi indrawi dari ide mutlak (Geist) tingkat pertama. Dalam pemikiran Hegel, ide atau roh subyektif dan roh obyektif senantiasa berada didalam ketegangan. Ide-ide mutlak mendamaikan ketegangan ini. Maka sebagai ide mutlak tingkat pertama pada seni roh subyektif dan roh obyektif didamaikan. Subyek dan obyek kemudian berada didalam keselarasan sempurna.

Menurut Arthur Schopenhauer sendiri, seni merupakan segala usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan, tiap orang senang dengan seni musik meskipun seni musik adalah seni yang paling abstrak. Berbicara tentang filsafat seni, simbol-simbol perlu mendapat perhatian untuk mempertahankan segi “misteri” pengalaman manusia.

Filsafat seni bagi para filsuf seni, berbicara mengenai ide, makna, pengalaman, intuisi, semua menunjukkan sifat simbolik dari seni. Pada awalnya, Socrates yang berpikir mengenai filsafat seni, sehingga Ia dikenal sebagai Bapak Filsafat Seni/Keindahan. Panggilan filosofis dalam konteks filsafat seni menuntut kerelaan, keterbukaan, dan tidak pernah prasangka apriori. Artinya, persoalan seni dapat dibahas dari sudut pandang disiplin ilmu manapun. Dalam definisi mengenai seni merupakan proses cipta, rasa, dan karsa. Seni tidak akan ada bila manusia tidak dihadiahi daya cipta. Filsafat dan seni sebagai komunikasi yang kreatif, tetapi cara dan tujuannya berbeda.

Filsafat adalah : usaha mencari kebenaran,sedangkan seni lebih pada kreasi dan menikmati nilai.Bahkan bila seni menggunakan bahasa seperti dalam sastra, penggunaan ini tidak sama dalam filsafat. Tujuan dari seni adalah membangkitkan emosi estetik, sementara dalam filsafat bahasa adalah alat untuk mengucapkan kebenaran. Melalui filsafat seni, pemahaman tentang seni akan lebih kaya. Banyak hal yang dapat dipertanyakan. Namun, pertanyaan sebagai tantangan, bahwa filsafat seni adalah bukan sekedar sejarah seni. (Iryandi,2010)

 

B. Filsafat Seni Dari Tari Legong Raja Cina

1. Pengertian Tari Legong

Legong adalah tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Arti kata Legong berasal dari kata “leg” artinya gerakan tari yang luwes (lentur) dan kata “gong” memiliki arti alat musik gamelan. Sehingga kata “Legong” memiliki arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh alat musik gamelan yang mengiringinya. Tari Legong dahulu dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua. Idenya diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang sedang sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap.Sesuai dengan sejarahnya, para penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong dan selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas.Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad. (Admin, 2014)

Berdasarkan pada sebuah lontar, dikatakan bahwa ide tari-tarian legong ini berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karma yang dalam semadinya melihat dua putri cantik dengan hiasan yang serba indah membawakan sebuah tari-tarian yang lemah gemulai. Tari itu dinamakan Sanghyang Legong. (Iryanti, 2000: 85-86)

2. Kisah Legong Raja Cina

Legong Raja Cina yang sekarang ini merupakan hasil dari rekontruksi yang sebelumnya sudah pernah ada sekitar tahun 1930-an, Legong raja cina mengambil kisah dari Bali kuno yang menceritakan sebuah kerajaan Balingkang. Dalam kerajaan Balingkang inti ceritanya yaitu menceritakan tentang asal mulanya Barong Landung yang diawali dengan pertemuan seorang Raja Bali bernama Sri Jaya Pangus dengan seorang putri China bernama Kang Cin Hui. Dalam cerita tersebut mengisahkan Kisah Legong Raja Cina yang mempertemukan Raja Sri Jaya Pangus dengan Putri Kang Cin Hui yang akhirnya menikah tapi tidak memiliki keturunan. Dalam pernikahannya yang sangat lama tapi tidak diberinya keturunan, yang membuat hasrat keinginan sang Raja Jayapangus untuk memiliki anak sehingga memutuskan untuk melakukan semadi di kaki gunung batur untuk memohon keturunan. Didalam pertapaanya Raja Jayapangus bertemu dengan seorang Dewi yaitu Dewi Danu, dalam pertemuannya tersebut Raja Jayapangus langsung terpikat oleh kecantikan Dewi Danu sehingga Raja Jayapangus menjalin hubungsn dengan dewi danu. Dalam hubungannya tersebut jayapangus memiliki seorang anak hasil dari hubungannya dengan Dewi Danu.

Singkat cerita, bertahun-tahun lamanya menunggu, Kang Cing Wie menatap kesedihan karena sang suami tidak pernah pulang ke kerajaan. Dari rasa penasarannya, akhirnya permaisuri Kerajaan Balingkang ini memutuskan berpetualang untuk mencari suaminya. Melewati hutan belantara dihadapi, namun perjalanan beliau terhalang oleh angin kencang, beliau berusaha untuk melewatinya, tapi akhirnya Kang Cing We terjatuh di sebuah hutan dan tepat di tempat suaminya terdampar dulu. Di sini akhirnya Kang Cing We bertemu dengan seorang anak yang tidak lain adalah anak dari perkawinan suaminya yaitu Raja Sri Jaya Pangus dan Dewi Danu.

Menjumpai kenyataan itu, Kang Cing We merasa kecewa dan sakit hati, lalu memutuskan untuk menyerang Dewi Danu yang merebut suaminya. Serangan dari Kang Cing We mendapat respon negatif dari Dewi Danu, dan akhinya karena kemarahannya iapun mengeluarkan pasukannya yang berbentuk raksasa dan memporak porandakan pasukan Kang Cing We. Tak tega melihat keadaan istri pertamanya yaitu Kang Cing We, sang raja akhirnya memutuskan untuk melindungi Kang Cing We dari serangan Dewi Danu. Raja menyadari cintanya kepada Kang Cing We tidak akan pernah mati walaupun telah lama meninggalkan permaisurinya tersebut. Melihat Kang Cing We dan Sri Jaya Pangus bersatu, membuat Dewi Danu kecewa. Dalam kecewanya, iapun mengutuk kedua pasangan ini menjadi patung.

Berita tentang berubahnya Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We menjadi patung, menyebabkan luka yang sangat mendalam bagi rakyat Kerajaan Balingkang. Kesedihan rakyat ini akhirnya membuat Dewi Danu tersadar telah berbuat kesalahan. Ia pun kemudian datang ke kerajaan tersebut membawa seorang anak yang merupakan anak Sri Jaya Pangus. Dengan kedatangan Sang Dewi, rakyat Balingkang pun memutuskan mengangkat anak dari Sri Jaya Pangus menjadi penerus menggantikan raja. Sang Dewi pun mengingatkan rakyat Balingkang untuk terus menghormati dan mengenang mendiang raja serta permaisurinya. Kedua pasangan ini merupakan sosok seorang pelindung, dimana semasa pemerintahannya Kerajaan Balingkang menjadi makmur, aman dan tenteram. Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We juga disimbolkan sebagai pasangan yang memiliki cinta sejati. Untuk selalu mengenang jasa-jasa sang raja, rakyat Balingkang akhirnya memutuskan untuk memanifestasikannya ke dalam sebuah barong. Mengingat Raja Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We di kutuk oleh Dewi Danu. Dari patung itulah rakyat Balingkang membuat sepasang arca, sehingga arca inilah sebagai Barong Landung. (semadi,2018)

3. Filsafat Seni Yang Terkandung Dalam Legong Raja Cina

Tari Legong Raja Cina diperkirakan berada sejak jaman 1930-an dimana yang sekarang dapat kita lihat merupakan hasil dari rekontruksi, keinginan A.A. Ngurah Serama Semadi untuk menggali karena sebelumnya sudah pernah ada dan supaya tetap lestari dan dapat diteruskan oleh generasi penerus budaya bali.

Makna yang terkandung dalam Legong Raja Cina yaitu terkait dengan terjadinya akulturasi budaya atau perpaduan antar budaya Bali dan Cina dibuatlah tarian legong raja cina untuk menghargai dan untuk mengingat hubungan Bali dengan Cina. (Semadi: 2018)

4. Filsafat Seni Dari Iringan Tari Legong Raja Cina

Iringan tari Legong  Raja Cina menggunakan ansambel gamelan Semar  Pagulingan Saih Pitu. “Gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu merupakan sebuah ansambel yang sesungguhnya salinan dari gamelan Gambuh yang dibuat dengan instrumentasi barungan perunggu” (Bandem, 2013 :65)

Dalam komposisi musikal dari iringan tari Legong Raja Cina ini diawali dengan adanya keinginan A.A. Ngurah Serama Semadi untuk merekontruksi tari Legong Raja Cina tersebut. Dalam hal merekontruksi A.A. Ngurah Serama Semadi melakukan penelitian dengan mencari informan-informan untuk diwawancarai. Setelah melakukan sekian banyak wawancara, A.A. Ngurah Serama Semadi tidak mendapatkan data dan informasi yang jelas karena banyak yang tidak diketahui oleh informan-informan yang diwawancarainya. Tapi A.A. Ngurah Serama Semadi tidak menyerah dan berambisi berkeinginan untuk merekontruksinya untuk membangun legong itu karena pernah ada sebelumnya dan supaya tetap lestari dan dapat diteruskan oleh generasi penerus budaya bali. Pada akhirnya A.A. Ngurah Serama Semadi bertemu dengan bapak (alm) I Wayan Baratha dan menanyakan gending atau iringan tari untuk legong raja cina, akhirnya bapak (alm) I Wayan Baratha memberi sebuah buku yang didapatnya dari Gung Aji Geria yang berisi tentang iringan tari legong raja cina. Namun dalam buku yang diberikan hanya berisi pada bagian gending pengrangrang, pengawak dan pengecet hanya sedikit, dan pada akhirnya A.A. Ngurah Serama Semadi menambahkan gending-gending dengan mempergunakan pakem tradisi yang sudah ada dan dipadukan dengan pakem ciri khas daerah Saba. (Semadi,2018)

Jadi, filsafat seni yang terkandung dalam iringan Legong Raja Cina ini, yaitu dengan adanya proses akulturasi budaya yaitu antara budaya  Bali  dan  budaya Cina. Sehingga terciptalah garapan iringan tari Legong Raja Cina yang merupakan  perpaduan  antara dua pakem yaitu perpaduan antara pakem tradisi dan pakem ciri khas daerah Saba, sehingga dalam iringan tarinya memiliki ciri khas tersendiri yaitu khas daerah Saba atau disebut juga dengan Style Saba

Comments are closed.