I MADE DJIMAT

I Made Djimat terlahir di Desa Batuan, Sukawati, gianyar pada  tahun 1948, dalam keluarga seniman. Sang ayah I Nyoman Reneh telah tiada tahun 1967  memberikan aliran darah seni. Made Djimat adalah juga putra dari maestro tari dari batuan (alm) Ni Ketut Cenik. Sosok Made Djimat memang memiliki bakad seorang seniman yang sangat luar biasa. Sejak kecil Made Djimat sudah menunjukan kemampuannya di bidang seni tari. Pada usianya yang 5 tahun dia sudah mampu menguasai tarian yang di ajarkan oleh ibunya (alm) Ni Ketut Cenik yang di kenal sebagai seniman besar joged pingitan. Tidak sampai di sana, Djimat kecil juga menimbal ilmu seni tari dari Anak Agung Raka dan tari kebyar duduk dari seniman terkenal (alm) Mario. Hanya dengan melihat-lihat saja ketika ibunya memberikan bimbingan tari di beberapa tempat di Bali seperti Bangli, Jembrana, dan Karangasem , Made Djimat mampu menguasai berbagai seni tari saat itu. Made Djimat di kenal sebagai anak yang tekun di saat memperhatikan seni, Sehingga dia betah berjam-jam menunggu dan menyaksikan ibunya Ni Ketut Cenik mengajar tari. Dengan bakadnya itu Djimat mampu encari bentuk chiri khas tari yang di kuasainya. Djimat mampu menarikan tarian klasik, Penggambuhan, Calonarang, Topeng, dan sejumlah tarian tradisi lainnya.

Dari umur bocah lima tahun, Suami dari (alm) Ni Ketut panti terus menekuni seni kususnya seni tari tanpa henti. Bahkan kiprahnya di dunia seni tari pernah meraih berbagai juara yang menjadi modal untuk terus meningkatkhan kemampuannya di dalam berkarya. Sosok seniman ini sangat mahir menarikan tarian baris setelah itu dirinya kemudian melangkah dengan tarian jauk manis. Dan dengan tarian ini Made Djimat juga mampu mendapat berbagai juara. Di tahun 1961 dan tahun 1964  beliau berhasil mendapatkan gelar juara 1 di dalam lomba tari baris di Kota Denpasar. Di usianya yang 12 tahun, Made Djimat terjun di dunia penggambuhan dengan mengambil peran sebagai tari patek di dalam cerita penggambuhan yang artinya sebagai antek-antek dari prabu prabangsa.

Kepiawaian dan kharisma di atas pentas yang dimiliki I Made Djimat, pria berpenampilan sederhana itu, mengantarkan dirinya “terbang” ke berbagai negara di belahan dunia.Negara yang pernah dikunjunginya antara lain Brasil, Malaysia, Singapura,  Jepang, India, Belanda, Kolombia,  Australia, Denmark, Austria, Korea, Argantina, Jerman, dan Prancis.Selain itu juga pentas dalam berbagai kegiatan di tingkat lokal Bali, nasional, bahkan pernah menjadi  penari istana pada zaman pemerintahan Presiden Ir Soekarno, yang setiap saat pergi ke Jakarta untuk menghibur tamu-tamu negara.

I Made Djimat, pria kelahiran Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali 31 Desember 1948 dikenal sebagai seniman serba bisa, yang senantiasa mendapat kesempatan mengadakan lawatan ke luar negeri, guna menghibur masyarakat internasional. Suami dari Ni Ketut Panti (alm) menunjukkan prestasi yang cukup menonjol dalam bidang seni, antara lain menciptakan karya monumental dramatari dan fragmentasi “Godogan” atau genggong yang diwariskan dan dikembangkan sebagai sebuah seni tontonan untuk turis di daerah tujuan wisata Pulau Dewata.Salah seorang maestro tari yang dimiliki masyarakat Bali dewasa itu telah mengabdikan dirinya sebagai seorang seniman tari dan tabuh sejak umur tiga tahun. Ia mendapat pembinaan dari ayah kandungnya I Nyoman Reneh (alm) seorang seniman tari dan ( pelukis) dan didikan dari ibu kandungnya yang seorang penari profesional  bernama Ni Ketut Cenik (alm).

Ayah dari tiga putri dan seorang putra itu sejak umur lima  tahun bersama dengan sekaa kesenian desa setempat mulai menari tampil  di hadapan masyarakat umum di sejumlah Desa di Bali. Keempat putra-putrinya alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar terdiri atas Ni Wayan Wartini SSn, Ni Made Pasti, SSn, Nyoman Budi Artha, SSn dan Ni Ketut Maringsih, SSn. Kakek dari sepuluh cucu dari keempat putra-putrinya yang sudah membentuk rumah tangga itu sejak umur lima tahun mendalami tarian-tarian klasik Bali  antara lain tari topeng, dramatari gambuh, calonarang, dan legong dengan gaya (stail) Batuan, Gianyar. Bahkan hingga kini sosok  I Made Djimat yang tampak masih sehat bugar pada usia “senjanya” itu adalah satu-satunya seniman yang sangat mendalami dan memahami tarian-tarian klasik Bali. Pada masa kejayaannya itu ayah dari I Nyoman Budi Artha terplilih sebagai penari istana pada zaman Presiden Ir Soekarno, setiap saat harus menari untuk menyambut dan menghibur tamu-tamu negara. “Dari istana negara Jakarta itu nama Made Djimat semakin dikenal secara nasional maupun internasional, sehingga mendapat kesempatan pentas ke berbagai negara di belahan dunia. Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya dalam penggalian, pengembangan dan pelestarian seni budaya Bali, sosok I Made Djimat kini menjadi salah satu dominasi penerima seni Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali.

Satu tim dari instansi terkait menurut  Kepala Seksi  Perfilman dan Perizin pada Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I  Wayan Dauh masih melakukan seleksi secara ketat terhadap mereka yang dinilai berjasa dalam pengembangan seni budaya Bali hingga sekarang eksis di tengah himpuran budaya global. Seniman yang lolos seleksi dari tim instansi terkait tersebut mendapat anugrah Dharma Kusuma yang diserahkan pada puncak Hari Ulang Tahun (HUT) ke-53 Pemerintah Provinsi Bali, 14 Agustus 2011. Tunjukkan keindahan budaya.Sosok I Made Djimat pada tahun 1963 ketika berusia 15 tahun mulai menapakan dan memperlihatkan keindahan seni budaya Bali kepada masyarakat internasional. Kesempatan pentas ke mancanegara itu setiap tahunnya antara empat sampai lima kali dan lawatan ke luar negeri itu dilakoninya sampai sekarang, hampir tidak ada satu negarapun yang dilewatkan di lima benua dii dunia. Semua itu dilakukan I Made Djimat untuk memperlihatkan keindahan dan pesona kesenian Bali kepada masyarakat internasional, disamping mengajar banyak seniman asing yang ingin mempelajari dan mendalami tabuh dan tari Bali.

Maestro I Made Djimat dengan senang hati mengajar murid-muridnya warga negara asing, disamping mendidik generasi muda Bali untuk mewarisi seni budaya leluhurnya.Selain itu juga melatih seniman maupun mahasiswa yang ingin mendalami tabuh dan tari Bali yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Upaya pencetak generasi untuk mewarisi seni budaya Bali tidak hanya dilakukan di rumah atau Balai Banjar di lingkungan Desa Batuan, Gianyar, namun dilakukan ke desa-desa di delapan kabupaten dan satu kota di Bali.Usaha mencetak seniman di tingkat lokal, nasional dan internasional itu tetap dilakoninya hingga sekarang, tidak terhitung jumlah ratusan bahkan ribuan orang terampil dalam melakoni tabuh dan tari Bali. Bahkan banyak di antara murid-murid binaannya itu kini menjadi penari-penari terkenal di Indonesia maupun  di dunia internasional. Seni menjadi salah satu tempat pengabdian bagi I Made Djimat beserta keluarganya, disamping aktif melakukan pementasan untuk kelengkapan kegiatan ritual keagamaan di berbagai tempat suci (pura) di Pulau Dewata. Cukup membanggakan dari sosok I Made Djimat yang sangat memperhatikan re-generasi seni budaya Bali terutama dalam lingkungan keluarga, karena  secara keseluruhan empat generasi masih mampu mempertahankan dan mewariskan kehidupan sebagai seniman. Keempat generasi itu mampu menguasasi tabuh dan tari Bali dengan baik  dari sang anak, hingga ke cucu-cucunya. Bahkan seluruh keluarga I Made Djimat kehidupannya tidak bisa dipisahkan dengan seni, baik tari maupun tabuh.

Sosok I Made Djimat,  selama menjalankan kehidupan dalam bidang seni cukup  berhasil menghimpun dan membina organisasi-organisasi kesenian  di Bali, terutama di daerah gudang seni Kabupaten Gianyar.Bahkan dalam lingkungan keluarga berhasil membangun tempat pertunjukan yang berkapasitas ratusan orang, berbagai jenis perangkat gamelan  dan  merintis  sebuah organisasi kesenian  Yayasan   Panti Pusaka Budaya yang khusus menampilkan kesenian-kesenian klasik, tradisi, dan kesenian-kesenian kuno Bali lainnya.Demikian pula membimbing anaknya  I Nyoman Budi Artha, untuk membangun sebuah Yayasan Seni, yakni “Tri Pusaka Cakti” yang  bertujuan untuk mempertahankan dan melestarian kesenian Bali, terutama yang klasik dan kuno.

Berkat kepiwaian dan bakat alam serta darah seni yang mengalir dari kedua orang tuanya, ia banyak mendapat pesanan pentas, baik secara nasional maupun internasional, di samping sebagai pembicara dalam berbagai kegiatan.Ia pernah tampil sebagai pembicara dalam workshop saat mengadakan lawatan ke luar negeri antara lain Odin Teatret di Denmark, Teater Memorial di Bagota Kolombia, Teater Du Sol Lei di Prancis, dan masih banyak lagi teater lainnya di belahan dunia.

Memasuki masa tuanya yang sekarang, beliau masih tetap mengajar. Banyak turis dari manca negara berdatangan untuk belajar seni tari dan tabuh. Selain turis, beliau juga sering mengajar orang lokal yang ingin mendalami ilmunya di dalam seni pertunjukan.