Sep 09

Oleh: I Ketut Murdana. Alamat Jalan Siulan Gang Nusa Indah IV/4 Denpasar Timur

Dalam kegalauan berbagai situasi yang menerpa kehidupan manusia tentang jati dirinya, dalam wujud kemerosotan moral yang sangat tajam dewasa ini. Akibatnya tiada lagi rasa malu untuk melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma dan tata susila. Sebagian besar umat manusia telah menyadari kondisi yang dihadapi, tetapi mereka tidak mampu berbuat sesuatu untuk menyelamatkan dirinya untuk menemukan kedamaian. Kegalauan ini dirasakan benar adanya dan setiap saat menjadi perdebatan-perdebatan sebagai respon terhadapnya. Disisi lain ketika orang-orang telah mulai mempertanyakan, berupaya mengenal jati diri, melakukan kewajiban melayani diri sendiri, orang lain untuk menemukan kemuliaan dan mencoba keluar dari kegalauan situasi, malah dituding macam-macam, tetapi tidak apa-apa itulah karakter perjuangan pada jaman Kaliyoga. Bagaikan biji kacang yang mau tumbuh, walaupun bijinya kecil berjuang membongkar tanah, agar menemukan permukaan, karena disitulah matahari setiap hari  menerangi kehidupannya. Itulah hukum perjuangan agar mampu hidup pada jalan terang, menuju kebesaran Sang Maha Pencipta. Sesungguhnya orang-orang seperti itulah yang patut dikasihani, karena membiarkan dirinya terlena dan menjadi penghambat lajunya pertumbuhan kedamaian yang juga dibutuhkan oleh dirinya, sehingga ia menjadi sasaran bidik dari pengetahuan suci veda.

Situasi ini mengingatkan kita kembali pada situasi masa lalu pada jaman Sri Rama. Para brahmana pertapa setiap hari memohon keselamatan dunia, malah diobrak abrik oleh para raksasa, tetapi brahmana pertapa yakin akan perlindungan-Nya. Akhirnya Rama kecil diminta untuk datang  ke hutan untuk menyelamatkan para pertapa, walaupun dengan berat hati Prabu Drestarata mengijinkan permintaan Maha Rsi Wiswamitra untuk memerangi keangkuhan para raksasa. Dengan demikian sudah semestinya pemerintah dengan semua jajarannya melindungi kegiatan-kegiatan spiritual yang memuliakan kebesaran-Nya, karena memang itulah kewajiban pemerintah dari jaman ke jaman.

Menoleh masa lalu adalah membangun kecerdasan spiritual, ketika manusia melupakan kecerdasan itu, maka ia akan membiarkan dirinya dan dengan senang bekerjasama dengan para raksasa, meniru sifat-sifatnya dan membenarkan sifat-sifatnya sebagai teladan hidup. Ketika itulah keangkuhan menundukkan “rasa malu” yang selalu berupaya membentengi jati diri akan sirna, yang ada hanyalah nafsu dan egois yang menciptakan prilaku aneh-aneh, mengacaukan tatanan dan sangat menakutkan. Karena ketakutan banyak orang menempatkan diri sebagai pengikut-pengikutnya, semakin hari semakin banyak, bahkan tampil  unjuk gigi. Keberanian itu  diperkuat oleh kepentingan politik, maka ia muncul menjadi “model”salah satu wujud hak asasi manusia. Apakah hal ini sebagai suatu reaksi terhadap kenyataan, atau panutan dari raksasa-raksasa pemimpin dunia yang terjadi dewasa ini. Kenyataan menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin besar tidak tahu malu menghabiskan uang negara untuk kesenangan pribadi dan hal itu berkembang terus dan terusan begitu. Tetapi syukur mereka masih memiliki kemaluan, yang terus dilayani tanpa rasa malu, akibatnya membuat dirinya lebih malu lagi. Apabila melihat kondisi itu haruskan kita menjadi pengikutnya, alangkah mulianya bila mulai memperbaiki rem-rem pengendali nafsu yang blong itu, agar raga dan jiwa ini selamat sampai di tujuan hidup yang sesungguhnya. Pejuang-pejuang kemanusiaan seperti inilah yang diidam-idamkan umat manusia dewasa ini. Barang siapa yang menyadari kondisi ini dan ikut mengabdikan dirinya dalam perjuangan ini ia akan mengenal dan bersama Sri Hanoman.

Dengan hilangnya rasa malu berarti manusia telah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya, tiada lain adalah hilangnya “taksu” atau wibawa yang semestinya mengangkat derajat manusia lebih tinggi lagi. Akibat rem kendali prilaku nafsunya blong,   karena tidak pernah diperbaiki oleh pemiliknya, akibatnya bila berjalan menabrak semua yang ada di depannya. Ketika itu terjadi tentu sangat menghawatirkan semua pihak.

Mengantisipasi hal itu orang-orang arif bijaksana selalu memikirkan solusi dan jalan keluar untuk mengatasi kemerosotan moral itu sendiri. Salah satunya “taksu” dijadikan tema Pesta Kesenian Bali yang ke 35, yaitu: Taksu, Membangkitkan Daya Kreatif dan Jati Diri, merupakan suatu wacana penyadaran yang patut direnungi dan dilaksanakan kembali dalam setiap prilaku kehidupan. Apabila tidak dimaknai dan diekspresikan dalam setiap langkah kehidupan, itu artinya orang Bali tidak hirau lagi dengan “sanggah taksunya”, kalau sudah tidak harau lagi apa artinya  jadi orang Bali. Agar berarti menjadi orang Bali, maka telusuri arti dan makna sedalam-dalamnya untuk menemukan inti kekuatan, kemudian diekspresikan melalui proses kreatif dalam setiap langkah perjuangan hidup agar mencapai “yoga”, itulah jati diri manusia.

Bagi orang Bali kata “taksu”, sudah tidak asing lagi didengar, dimaknai oleh setiap orang dan dipuja melalui tempat suci pemujaan yang diwujudkan dalam satu “Pelinggih Taksu” dimasing-masing “Sanggah” sebagai rangkaian struktur melengkapi “Sanggah Kemulan”. Sanggah Kemulan tempat memulikan Tuhan melalui Nama Brahma, Wisnu, dan Shiwa. Melalui nama dalam kuasa-Nya yang tidak terjangkau oleh umat manusia, maka disebutlah Bhatara Guru, agar lebih dekat untuk mengalirkan pengetahuan suci, dapat dimaknai dan digunakan oleh manusia untuk kehidupan sehari-harinya. “Sanggah Taksu” dalam kontek ini dapat dilihat sebagai upaya pemujaan salah satu aspek Kemaha Kuasaan Tuhan yang melingkupi semua pekerjaan dan kewajiban umat manusia yang saling melengkapi. Bagi orang-orang tua mengartikan “kemulan” sebagai modal atau kekuatan dasar, yang memiliki “taksu” gaya tarik atau wibawa yang mampu menyentuh panca indra, rasa indah, menggetarkan dan menyentuh jiwa terdalam bagi setiap orang. Dengan energy sentuhan itu, orang lain akan dapat merasakan nilai-nilai dan makna dari suatu pekerjaan atau perbuatan yang dibutuhkan oleh jasmani maupun jiwa atau rohani.

Pekerjaan dalam pengertian ini lebih menitik beratkan pada pencapaian nilai-nilai indrawi yang menyentuh selera yang membangkitkan gaerah-gaerah jasmani. Ketika gaerah-gaerah ini diantarkan oleh perbuatan yang merujuk pada kebutuhan rohani yang suci, maka sentuhan nilai-nilai indrawi akan disempurnakan oleh perbuatan atau prilaku kesucian. Dengan demikian taksu memiliki demensi menyenangkan, memuaskan dan membahagiakan. Lapisan demensi yang menyenangkan, memuaskan dan membahagiakan bagi setiap orang sangat ditentukan oleh kualitas tarap hidup jasmani dan rohaninya. Kesenangan memiliki sifat khas yang diberi kuasa oleh Sang Waktu, dengan kekuatan kuasanya amat singkat namun mampu tampil dalam wujud yang berubah-ubah. Oleh karena itu kesenangan memiliki kuasa menarik dan menguasai material dengan gaya tarik yang luar biasa. Daya tarik itulah wujud “taksu” yang tiada henti memasuki wilayah kreativitas manusia. Dengan demikian “taksu” itu adalah kekuatan yang tercipta, melalui kesungguhan berproses, keyakinan terhadap kebenarannya yang mampu memberikan “sesuatu” kepada manusia bila manusia berupaya terus menerus untuk menggalinya. “Sesuatu” itu adalah energy atau sinar X yang perlu digali, diberdayakan melalui proses kreatif, sesuai ruang dan waktu, mengikuti serta mengantarkan kebutuhan manusia untuk mencapai tujuannya. Dalam kontek ini wiweka berperan melihat dan memberi jawaban yang mendalam terhadap ruang gerak kebutuhan manusia itu sendiri.

Proses penggalian amat ditentukan oleh proses kreatif yang nantinya dapat menentukan ruang gerak dan kepribadian. Keunggulan dalam perbedaan akan tercipta melalui proses kreatif, yang mesti tercipta dalam suasana kompetitif. Berkenaan dengan itu “taksu” adalah kekuatan yang tidak tampak, dan akan benar-benar nampak bila digali dengan keyakinan mental dan kerja fisik yang kuat dan terarah.

Taksu Menempati Demensi Wujud yang Menyenangkan dan Membahagiakan

  1. Demensi wujud yang Menyenangkan. Taksu hadir menyertai perbuatan yang melahirkan kesenangan dan memuaskan, itulah kekuatan kuasa “taksu”, dengan demikian “taksu” yang mengalir memasuki wilayah pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan-perbuatan dasar manusia yang lebih menitik beratkan pada selera yang diantarkan oleh kekuatan panca indra. Taksu  yang mengalir lewat pekerjaan-pekerjaan ini disebut “taksu geginaan”; misalnya dagang, tukang, pande, pregina, sangging, undagi, pelukis, dalang, dukun atau balian dan lain sebagainya. Orang-orang yang memilih salah satu “geginaan” (profesi dalam istilah modern) ini, mesti dimulai dari suatu proses untuk mencapai pematangan. Proses itu bentuknya berbeda-beda sesuai kadar kualitas yang mesti melekat dari geginan itu sendiri. Seorang dagang “Be Guling” (babi guling) tentu kadar prosesnya sangat berbeda dengang kualitas proses seorang pematung. Sementara “Be Guling” yang dianggap berkualitas enak adalah bagaimana seorang tukang guling mampu menghasilkan pemanggangan dengan tingkat kualitas kehalalannya, agar mencapai “kerenyahan” (kegurihan)  yang baik. Untuk mencapai kerenyahan itu, para tukang guling memiliki cara yang beraneka ragam, mulai dari bumbu penyedap, tingkat kepanasan bara api yang digunakan untuk membakar, jarak antara antara babi guling dengan bara api, kecepatan putaran dan lain-lain, agar mampu menghasilkan “Be Guling” yang matang dengan warna rata secara keseluruhan

 

Ciri-ciri yang biasa dipakai pedoman bahwa “Be Guling” itu sudah matang adalah matanya meleleh keluar disertai cairan putih, dengan demikian pemanggangan segera dihentikan.  Kegurihan sebagai salah satu kualitas yang mampu dihinggapi “taksu”, dan bila ditunjang oleh aroma dan rasa bumbu yang enak, tatanan yang sedap dipandang mata misalnya sajian Be Guling dengan warna merah, coklat kekuningan mendungkuk di atas meja dilandasi dengan “upih” (serobong daun pinang yang telah dikupas dan telah dikeringkan), sekarang dipakai alas plastik, tempat dan pelayanan yang ramah sesuai karakter pembelinya dan sekarang Be Guling bukan hanya disenangi orang Bali saja tetapi telah dinikmati orang-orang di seluruh dunia. Oleh karena rasa enak yang dinikmati, itu akan menyentuh dan memuaskan aneka selera serta mampu menyentuh rasa kenyamanan bagi setiap orang.

 

Ketika itulah “taksu” hinggap dengan kekuatan yang besar, bervibrasi menyentuh aneka  selera menjadi simpati bagi para penggemarnya. Dengan demikian “taksu” itu dapat dibentuk oleh berbagai kekuatan yang melekat terhadap profesi itu sendiri. Oleh karena itu profesi apapun dikerjakan mesti dikaji, dikembangkan dan diekspresikan dalam berbagai aktivitas yang menyentuh kebutuhan manusia itu sendiri. Dengan cara demikian “taksu” itupun akan mengalir menjadi kekuatan untuk mewujudkan “sesuatu”. Akibat dari pekerjaan semua itu menjadi ladang yang mampu mengalirkan materi. Berkenaan dengan itu dapat diartikan bahwa ketajaman selera, apabila dikenali sifat dan karakternya serta diekspresikan wujudnya secara kreatif, maka akan menghasilkan kesenangan yang mampu menundukkan atau menarik kekuatan materi. Bersambung………………………

 

Taksu Mengaliri Semua Wujud.

 

Semua wujud dengan variasinya yang beraneka ragam adalah repleksi daya cipta, setelah memperoleh kekuatan besar yang datang dari dalam diri maupun dari luar diri, sebagai anugrah dari hakekat Sang Pencipta. Melalui hakekat itulah sifat-sifat penciptaan mengalir kedalam diri manusia, melalui kemampuan yang terlatih secara terus menerus berdasarkan ruang dan waktu kebutuhan manusia. Kemampuan itu adalah wujud penyatuan antara gagasan dan ketrampilan fisik yang diberi kekuatan oleh pikiran dan arah oleh intuisi , sehingga melahirkan wujud yang mampu memenuhi kebutuhan umat manusia. Intuisi bisa dan sering hadir dalam wujud mimpi-mimpi yang pada saatnya setelah menjadi kenyataan, barulah manusia menyadari kebenarannya. Wujud mimpi-mimpi itu bisa memiliki jangkauan atau spectrum yang luas ke depan atau juga bisa juga dalam jangka pendek dan terbatas. Kedua jangkauan itu tercipta sebagai wujud yang berdemensi berdasarkan ruang dan waktu memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karena itu intuisi yang berwujud mimpi-mimpi jangan diabaikan, tetapi wujudkanlah menjadi realitas melalui kerja, doa dan keyakinan yang sungguh-sunguh terhadap kasih-Nya.  Dari manapun proses pendakian untuk mewujud profesi, adalah “karma” sebagai kewajiban yang melekat pada setiap kehidupan. Kesadaran ber”karma” adalah wujud keyakinan yang mesti tumbuh dan berkembang dalam diri manusia.  Maka dari itu untuk mengenal sifat-sifat hakiki dari suatu wujud mesti dilalui oleh ketrampilan teknis yang memadai. Hal ini tidak dapat dihindari agar tercipta  suatu karakteristik original yang selalu menjadi harapan oleh masyarakat. Originalitas dari suatu penciptaan apapun wujudnya dewasa ini semakin tinggi tuntutannya bahkan telah diundangkan agar tidak terjadi saling klaim.  Dengan demikian originalitas patut,  selalu diupayakan. Ketrampilan teknis beraneka ragam yang diperoleh melalui sarana tertentu, agar mengenal dan menguasai sifat material agar dapat digunakan, misalnya material kayu, sangat berbeda dengan logam, besi, tanah, beton, dedaunan, getah karet, minyak dan manusia yang diperankan sebagai tokoh tertentu dalam adegan seni drama, film, komedi dan lain sebagainya. Dalam kontek penciptaan ini sifat material harus dikuasai sepenuhnya oleh pencipta, untuk menentukan teknik dan metoda pengolahan yang sesuai. Kesalahan teknik dan metoda itu akan berakibat gagalnya pencapaian suatu wujud ciptaan.

 

Keterbatasan manusia menyebabkan dia hanya mampu menguasai sebagian kecil saja dari sifat-sifat alami yang tercipta, oleh karena itu penguasaan satu bidang yang berkualitas sangat dibutuhkan oleh manusia saat ini. Oleh karena itu manusia wajib menempatkan pilihannya pada satu pengolahan material yang akan menjadi keunggulannya dalam bahasa Bali disebut “nasak dipunya” (buah yang matang dipohon) itulah wujud “taksu” yang sesungguhnya.  Ketika buah itu sudah matang, auranya akan tercium, atau seluruh panca indra akan terbius olehnya dengan sendirinya perhatian kita akan tergugah untuk memetik dan menikmatinya. Suatu ketika penulis menanam teratai dalam sebuah pot bunga, disiram, dipupuk, diawasi agar tidak dimakan lalat dan akhirnya berbunga, tidak terbayangkan samasekali dari mana kumbang itu datang dan mengisap sari bunga tertai itu sendiri dengan nikmatnya. Barangkali keharuman bungan itu telah menusuk indra penciuman kumbang itu, yang mengakibatkannya tergerak menelusuri sumber bau harum bunga teratai itu, dan akhirnya si kumbang menikmatinya. Setelah direnungi kembali itu adalah wujud  Kuasa Hukum Penciptaan-Nya. Sang Pencipta dalam kontek itu hadir sebagai Bapak dan sebagai Ibu. Dalam realitas wujud ciptaan-Nya hadir sebagai “Wujud” dan “Penikmat” yang keduanya saling memerlukan, inilah wujud kehidupan. Menyadari akan realitas kebenaran hukum penciptaan itu “pasti” adanya, maka tidak perlu ragu menjalani setiap profesi yang menjadi pilihan. Dalam upaya membesarkan tumbuh kembangnya propesi itulah orang sering kelelahan dan ragu akan kebenarannya, yang membuat orang tidak berhasil mencapai tujuannya. Suasana alam pikir orang-orang seperti ini sangat memerlukan guru penuntun yang mampu membangun keyakinan dan keberanian yang kuat, bahwa setiap karma apapun wujudnya akan berpahala sesuai dengan waktu kematangannya. Kesabaran dalam menunggu pahala adalah bagian dari karma yang berbentuk pengendalian diri. Jadi hasil atau pahala adalah kompleksitas penyempurnaan diri yang sesungguhnya. Dengan cara itu pilihan profesi bukan hanya kebutuhan material, tetapi juga spiritual. Ketika pilihan profesi dilatari kedua aspek itu maka keyakinan terhadap kualitas hidup akan terepleksi dalam kewajiban memelihara, memupuk, mengembangkan agar mampu memunuhi kualitas yang diharapkan oleh masyarakat penikmat, bahkan daya saing kualitasnya. Ketika itulah tuntutan untuk menghadirkan, serta mengalirka “taksu” menjadi kebutuhan inheren dalam setiap penciptaan.

 

Dalam kontek menghadirkan “taksu” inilah orang sering tidak sabar mengikuti proses kerja “Sang Waktu”, yang menentukan kematangan dan kepatutan sebuah wujud profesi untuk sang penikmat yaitu masyarakat sendiri, maka lahirlah budaya pemerkosaan terhadap kerja “Sang Waktu” dalam bentuk yang bermacam-macam, misalnya mempercepat pertumbuhan tanaman, penggemukan peternakan, permentasi, pengawetan dan lain sebagainya. Namun “Sang Waktu” amatlah pemurah, pemerkosaan dan pemaksaan tetap dibiarkan, namun waktunya sebentar saja dan dijaga dengan Kuasa Hukum-Nya yang membuat manusia tidak berdaya untuk mengatasi, misalnya penyakit yang ditimbulkan zat kimia yang disuntikkan kedalam makanan yang membunuh manusia secara pelan-pelan dan dibiarkan juga oleh penguasa. Ketika garis batas toleransi yang telah digariskan Sang Waktu telah tiba, semua hasil  kerjanya akan dikembalikan lagi ke alamnya sendiri, manusia hanya merasakan penderitaan dalam sakit berkepanjangan, kebingunan, keresahan, kekacauan dan lain sebagainya. Dalam kontek itu “taksu” tidak mengalir dan membahagian, tetapi hadir sebagai saksi dan menentukan hukum-Nya sendiri, sebagai wujud kasih-Nya. Ketika itulah manusia akan menyadari hakekat hukum dan Kemaha Kuasaan-Nya, tetapi kesadaran itu telah terlambat karena hukum telah berjalan, tinggalah waktu bertobat dan mohon ampunan-Nya. Oleh karena itu lakukanlah kerja atas kewajiban yang tertuntun oleh Kuasa-Nya, maka “taksu”pun akan mengalir sebagai wujud kasih-Nya.

 

Salah satu profesi dalam dunia seni dewasa ini, akibat tuntutan apresiasi masyarakat yang demikian cepat, maka para seniman tertantang untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berkualitas. Sesuatu yang baru adalah realitas yang belum tercipta sebelumnya, bukan hanya baru dalam kemasan tetapi mampu menyuguhkan totalitas antara aspek wujud dan presentasi nilai yang mampu membangun kesadaran nilai yang menghapus keterbatasan dan kegelapan. Dalam kontek itu “taksu” berarti kekuatan yang hadir dalam wujud  yang mampu menggugah kesadaran baru bagi umat manusia. Kesadaran baru memiliki ruang dan waktu, dia selalu berkembang dan berwujud menjadi realitas, disitulah peran seorang pencipta apakah dia adalah seniman, arsitek, ilmuwan, teknolog, sastrawan, para suci bagaikan “membawa obor”  yang mampu menerangi dan menembus kegelapan, dan orang lain mampu ikut bersamanya dan menyaksikan bahwa “di situ ada sesuatu”. Apabila orang lain mengikuti bahwa di situ ada sesuatu yang memberikan nilai kebenaran pada hidupnya, maka penghormatan, dan pemuliaan akan diberikan kepada “Sang Pembawa Obor”. Wujud karya-karyanya akan dihormati, digunakan, dikenang sebagai sumber belajar dan seterusnya. Dalam kontek itu wujud karya menembus sifat keabadiannya, karena proses penciptaan telah terjadi, walapun suatu saat bentuknya larut dimakan usia, namun wujudnya pernah hadir memenuhi kebutuhan manusia pada jamannya. Dalam kontek itu “taksu” mengalir dan hadir dalam wujud “kebenaran” yang membebaskan keterbatasan dan kegelapan jiwa manusia. Ketika manusia berjuang agar mampu membawa obor penerang itu, maka itulah wujud pengabdian tertinggi. Disitulah “taksu” akan hadir sebagai “Maha Taksu”, itu artinya kekuatan suci yang amat besar yang mampu membangkitkan kesadaran dan gaya tarik setiap orang untuk hidup ke jalan damai

Ketika hakekat setiap penciptaan itu selalu disadari oleh manusia untuk mencapai “Maha Taksu”, maka ketertiban dalam setiap penciptaan wujud akan selalu mengarah pada pengabdian kepada kebesaran-Nya. Oleh karana itu setiap penciptaan yang dilakukan manusia tanpa dilatari sumber ciptaan-Nya yang tertera di sekitarnya mustahil juga akan menemukan wujud yang digemari oleh penikmatnya. Bersambung………….

 

 

 

 

Komentar ditutup.