bayuwedanta

Maret 15, 2018

Sejarah Tradisi ngrebong atau pengrebongan di Kesiman

Filed under: Tak Berkategori — bayuwedanta @ 1:03 am

Asal-usul ngerebong berasal dari 2 kata yaitu ngereh dan baung. ngereh merupakan prosesi magis penyatuan antara pertiwi dan akasa sedangkan baung memiliki huruf vokal a adalah akara diartikan akasa dan u dengan sukunya berarti pertiwi. Kemudian a dan u dalam sastra bali disandikan maka dia berubah menjadi o. Istilah ngereh di jawa merupakan penyatuan dari pemerintah kepada rakyatnya, ngereh juga bisa berarti memerintah atau pemerintahan. Kaitan kata ngereh pada prosesi ngerebong konon dalam mitologinya muncul dari permintan Ida Betara di Pura Uluwatu ketika Raja Badung sebelum tahun 1860 kendali politik di pegang oleh kerajaan Kesiman yang menguasai wilayah Bali hingga Lombok. Semua system ritual di Badung merujuk pada kebiasaan di kerajaan Kesiman terdahulunya. Dalam konteks ini sejarah kata ngerebong berawal ketika kerajaan kesiman menggempur kerajaan sasak.

Kerajaan Kesiman sempat kalah ketika menggempur kerajaan sasak dan sepulangnya dari kekalahan tersebut mengadakan sebuah ritual di Pura Uluwatu. Di pura uluwatu Raja Kesiman mendapat keris luk telu yang bernama sitekle dan kerajaan sasakpun dapat dikalahkan oleh senjata itu karena kekalahan kerajaan sasak kemudian mereka kembali menantang kerajaan kesiman untuk mengadakan tajen jangkrik. Kerajaan kesiman pun menerima tantangan ini. Awalnya kerajaan kesiman membawa aduan seekor jangkrik biasa dan pada tajen pertama kerajaan kesiman pun kalah, menderita dari kekalahan ini Raja Kesiman tidak bisa menerimanya dan kembali mengadakan ritual di Pura Uluwatu. Ketika mengadakan prosesi ritual di uluwatu, Raja Kesiman mendapatkan petunjuk harus mengadakan ngereh lemah dan dijanjikan akan menang jika sanggup menjalankan petunjuk ini. Kerajaan Kesiman kembali ke sasak dengan tajen jangkrik untuk kedua kalinya, dalam hal ini kerajaan kesiman berangkat dengan persiapan khusus. Pengilin jangkrik didapatkan di bawah pohon kepuh besar pada kawasan Pura Muaya, sadeg jangkriknya di dapatkan di Pura Dalem Kesiman dan jangkriknya di daptkan di Pura Mrajapati Kesiman, jangkrik ini biasa disebut jangkrik bandaran (gading/ kuning). Ketika dimasukkan ke dalam bungbung jangkrik ini berubah menjadi Banas Pati dan matilah lawannya dan kerajaan kesiman pun menang. Kerajaan Kesiman langsung menggagas prosesi ngereh lemah namun tidak terealisasi akibat pecahnya perang puputan Badung. Prosesi ini berhasil terealisasi pada tahun 1906.

Rentetannya yang pertama adalah pada manis galungan biasa disebut ngebeg merupakan visualisasi meende megebug atau berperang setelah itu manis kuningan adalah magpag agung atau mendak agung merupakan visualiasi nunas ica ke Pura uluwatu sedangkan ngereh lemah merupakan visualisasi dari ngerebong. Semua wilayah sedestrik kesiman yang memiliki barong dan rangda wajib ikut pada acara ini sebagai bentuk penyatuan Raja Kesiman dengan masyarakatnya untuk memperkuat Badung. Ngerebong juga berarti menari berputar mengitari wantilan pura yang berisikan guling penyugjug yang terbuat dari babi yang belum dikebiri dan masih palus pembersihnya dimana palus tersebut adalah poros uli yang konseptualnya bumi berputar pada porosnya dan kehancuran tidak akan terjadi apabila bumi tidak berputar pada porosnya kehancuran pun akan terjadi, jadi dipakailah konsep poleng tetapi bukan poleng yang kotak- kotak. Poleng tersebut adalah poleng pepetet yang biasanya disebut poleng kesiman atau suda dan mala. Kata ngerebuang tersebut adalah penetralisir suda dan mala dimana suda itu adalah putih dan mala adalah hitam tetapi hitamnya bukan kotor hitam yang dimaksud tersebut adalah hitam gelap yang konsepnya segara gunung, dimana hitamnya gunung putihnya adalah segara yang pilosofinya di pemuteran mandara giri untuk masuk ke ritual tersebut memakai babon/ cerita adi parwa dan pemuteran mandara giri yang tokoh- tokohnya raja- raja yang memakai sesimping/ pakaian kebesarannya  dimana berputar sebagai simbolisasi dewa di bawah Siwa sedangkan kain polengnya di putar disana oleh yasa yasi widyadara widyadari dan di depannya ada bernama mangku bumi dan polengnya  tersebut diikat di leher mangku bumi dan itu sebagai simbol naga dan ada mangku dalem melihat dari gapura tersebut maka dari itu gapura yang ada di pengrebongan tersebut tidak ada patungnya nanti mangku- mangku kahyangan tiga menjadi tokoh dewa-dewa tersebut yang disana menjadi atribut dan itulah siwa dan dewa- dewa yang menyaksikan pemuteran, di bawah itu ada menteri- menterinya dan operasionalnya. Pemuteran di lakukan kekiri, apabila pemuteran dilakukan ke kanan bumi tersebut akan lari dari porosnya. Berputar ke arah kanan ialah ngider bhuana dan yang ke kiri ialah prasauya.

Biasanya ada tiga prosesi ngerehbong, ngerebong dan ngerebuang, prosesinya semua disebut ngerebong tetapi memiliki makna tersendiri, dimana ngerehbong pada saat nuur atau nyanjan adalah proses penyatuan akasa dan pretiwi setelah itu ada ngerebong menari atau memutar. Yang kedua saput poleng juga seperti itu ada nuur setelah mebusana dan menunggu prosesi yang berputar diluar baru prosesi ini dijalankan.  Saat menari itu juga bisa juga ngerebuang baik rangda dan barong juga ngerebuang karena barong itu hitam putih karena ada yang berbulu goak dan berbulu brasok dan yang putih pasti di tengah maka dari itu disebut ngeluang. Batasan raja kesiman dari daerah selatan ada pecatu dan utaranya ada ubung sduah terjadi penciutan kalau dulu sampai ke pelage petang, di timurnya dauh tukad batubulan dan baratnya sampai di Badung bagian barat perbatasan Tabanan. Yang punya poleng tersebut Badung bukan daerah lain semuanya konsep Raja Kesiman karena Badung punya Uluwatu dan Batur ulu di tukad ayung itu adalah batur dan watunya di padang galak. Ketika ada tajen jangkrik adalah pemerintahan raja yang bernama A.A Ngurah Gede Kesiman yang biasa disebut Raja Badung, Sebelum 1860 surat- surat di Belanda menyebutkan kendali politik di pegang oleh kesiman terkait dengan Bali Lombok bukan badung yang memegang tetapi kesiman yang memegangnya. Gelgel pun tidak berkuasa ke sasak waktu itu karena kesiman yang punya bangsal dan gelgel tidak punya bangsal. Bangsal tersebut adalah perdagangan laut ada sanur, benoa dan kuta. Waktu itu kesiman yang mensuplai madat ke gelgel makanya kesiman bebas tidak terkena pajak. Perdagangan kesiman itu adalah akomodasi lautnya dan raja kesiman yang memegang china.

Odalan di kesiman ada rentetan upacaranya sudah memiliki gending- gending tersendiri yang tidak boleh memakai gending- gending  lain dan memang sudah diformat seperti dari dulunya. Musik atau gendingnya itu di konsep untuk kepentingan pilosofinya makanya di pakai ngeluang luang itu adalah kosong, kosong itu adalah simbol harmonisasi itu dipakai semua kegiatan ritual untuk mencari keharmonisan makanya dipakai ngeluang. Tokoh musiknya ancag- ancagan itu dari cerancam, dulunya pada acara ngerebeg sampai nanda tersebut ada musik gambang tetapi prosesi yang sekarang tidak memakai gambang. Gambang tersebut berasal dari bekul dan penabuhnya dari meranggi. Ngerebong tersebut dipantenkan atau dipublikasikan secara luas pada tahun 1937 sebelum itu ada tetapi belum dipublikasikan dan belum melibatkan semua distrik karena Puranya baru selesai pada tahun 1937 tetapi belum ada wantilan waktu pertama kali pengerbongan itu dilaksanakan. Pada saat ngerebong sedestrik kesiman ada sawangan, bukit, sanur, singgi, gulingan, pemogan, kuta, laplap, peguyangan, ubung, suci, gerenceng, yang menyebabkan banyak terjadi perubahan karena positif negative karena adanya lomba desa adat ada acuan kuturan dan system pemerintahan kerajaan dan demokrasi ada pengembangan desa adat dan desa dinas jadi ini yang mungkin terkikisnya pemahaman tentang itu,.kususnya wilayah selatan yaitu kawasan bukit sudah tidak ada yang mengikuti upacara tersebut dikaranakan pemberiahuan yang tidak kusus bagi wilayah wilayah disekitar bukit. Namun ada 1 desa yang masih tetap melakukan ritual itu yaitu orang-orang desa Sawangan. Pengempon pura tersebut se-Desa pekraman kesiman, pengrebongan bukan odalan tetapi pengrebongan itu adalah ngilen/ iln- ilen atau tarian makanya semua kegiatan itu di tarikan jadi itulah disebut seni pertunjukan ritual. Biaya dari ilen- ilen prosesi pengrebongan itu dari desa kesiman, magku dan pemaksan pura karena system pura di kesiman itu sangat beda karena raja waktu itu berkeinginan rakyat kesiman semudah mungkin dan tidak berat makanya semua itu diserahkan kepada mangku. Makanya laba pura di kesiman itu bukan atas nama desa tetapi atas nama mangku makadari itu yang melakukan odalan itu adalah mangku jadi masyarakat kesiman tersebut ke pura hanya bersembahyang. System pemilihan mangku itu terjadi turun temurun dan tidak harus di tunjuk karena proses mencari mangku itu disebut nyanjan atau mererauhan. Di kesiman itu baru- baru ada istilah mangku kalau dulu mangku itu disebut prekulit tetapi kalau sudah memakai atribut mangku itu disebut betara seperti ratu agung ring luhuran desa, dalem, puseh.

Kaitan ngerebong dan be guling, ngerebong adalah guling penyugjug, proses ngerebong itulah berputar mengelilingi guling penyugjug dan itu identik be gulingnya tersebut. Semua itu adalah kegiatan durga puja  olahan daging babi apapun bentuknya disebut pengastawanin durga makanya disebut durga puja. Raja pengawa orang yang paling kaya di bali karena menguasai bali dan Lombok, ketika awal- awal pengrebongan di patenkan raja pengawa mepica di pengrebongan dan duduk di pemedalan pura dan membawa uang kepeng dan semua rakyat dikasi bekal. Dari awal ngerebong sampai sekarang perubahan itu tidak ada tetapi pesertanya saja yang terus berubah karena mungkin ada kecuntaka jadi tidak ikut ngerebong.ngerebong ini adalah galungannya desa kesiman, diman identik dengan suasana yang ramai seperti galungan, banyak anak-anak diberikan uamg dari orangtuannya seperti galungan di desa lain dan hal yang paling menonjol adalah masyarakat kesiman kebanyak menggunakan baju baru.  Semua pura di kesiman kalau sudah mulai prosesi ilen-ilen pasti memakai leluangan. Rentetan prosesi ngerebong yang pertama adalah nuur, makna nuur adalah nedunin Ida Betara setelah itu ada ilen- ilen yang melakukan kegiatan tahapan. Pada acara ngrebong 11 gending tapi tidak dipakai dalam ngerebong , sebelas gending tersebut di  pakai pada saat upacara ngebek. Pada saat ngerebong yang dipakai petegak, nyanjan Permohonan dan nyanjan mererauhan, nyanjan itu adalah mempersatukan, mendak, ngider bhuana, nyanjan mangku, ngider bhuana, mewayang- wayang istri, lanang, ngunying, mebiasa, ngincung.

Ngerebong konteks musikya ancag- ancagan dan barungan gamelan yang dipakai adalah gamelan di cerancam karena terkait dengan gong due dan identik dari pica puri dan setiap kegiatan di petilan pasti gong due atau gong cerancam yang di pakai, gong due tersebut adalah barungan semara pegulingan. Pelajaran yang di petik setelah prosesi ngerebong dan banyak yang di tanamkan oleh raja dari nama pura, sebenarnya nama pura tersebut pura agung  petilan, petilan itu berasal dari kata tilan itu artinya bibit atau benih patilaan itu nama aslinya makanya tempat menabur benih konsep raja itu ditabur disana.dalam prosesinya, masyarakat keseiman tidak dianjurkan untuk ribut atau melewati jalan yang dikususkan untuk mangku yang kerasukan. Apa bila hal tersebut terjadi, orang yang melakukan hal tersebut akan dikejar oleh mangku yang sudah kerauhan.


Tidak ada komentar

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Sorry, the comment form is closed at this time.

generiert in 0.487 Sekunden. | Powered by WordPress | WPMU Theme pack by WPMU-DEV.