PERKEMBANGAN GONG KEBYAR DI DESA CELUK

DEFINISI

Gong Kebyar adalah sebuah barungan baru. Sesuai dengan nama yang diberikan kepada barungan ini (Kebyar yang bermakna cepat, tiba-tiba dan keras) gamelan ini menghasilkan musik-musik keras dan dinamis. Gamelan ini dipakai untuk mengiringi tari-tarian atau memainkan tabuh-tabuhan instrumental. Secara fisik Gong Kebyar adalah pengembangan kemudian dan Gong Gede dengan pengurangan peranan, atau pengurangan beberapa buah instrumennya. Misalnya saja peranan trompong dalam Gong Gebyar dikurangi, bahkan pada tabuh-tabuh tertentu tidak dipakai sama sekali, gangsa jongkoknya yang berbilah 5 dirubah menjadi gangsa gantung berbilah 9 atau 10 . cengceng kopyak yang terdiri dari 4 sampai 6 pasang dirubah menjadi 1 atau 2 set cengceng kecil. Kendang yang semula dimainkan dengan memakai panggul diganti dengan pukulan tangan.

Gong Kebyar berlaras pelog lima nada dan kebanyakan instrumennya memiliki 10 sampai 12 nada, karena konstruksi instrumennya yang lebih ringan jika dibandingkandengan Gong Gede. Tabuh-tabuh Gong Kebyar lebih lincah dengan komposisi yang lebih bebas, hanya pada bagian-bagian tertentu saja hukum-hukum tabuh klasik masih dipergunakan, seperti Tabuh Pisan, Tabuh Dua, Tabuh Telu dan sebagainya.

PERMASALAHAN

Tujuan saya mengangkat judul “perkembanga gong kebyar di Desa Celuk” untuk mengetahui sejarag dan perkembanan gong kebyar yang ada di Desa Celuk, dan saya kurang mengerti barungan yang dibuat ini.

SEJARAH

Awal pembelian barungan Gong Kebyar di Desa Celuk yaitu sekitar tahun 1950-an. Barungan tersebut terdiri dari 1 instrument terompong, 4 instrument gangsa giying, 4 gangsa kantilan, 1 buah reong, 2 instrumen penyacah, 2 instrument calung, 2 instrument jegog, 2 instrument gong, 1 instrument kempur + 2 instrument gender rambat + gong bebarongan. Pada tahun 1990-an dilakukan peleburan pada instrument terompong dan reong karena instrument tersebut sudah rusak dan terdapat penambahan 1 instrument yaitu Ugal.

Pada awalnya barungan ini hanya digunakan untuk mengiringi sesuunan mesolah saja, tetapi sejak ada penambahan instrument “ugal” gamelan ini sering juga digunakan untuk mengiringi tari-tarian lepas. Hanya kendang dan instrument gong bebarongan yang dikeramatkan dan dikeluarkan saat sesuunan mesolah saja. Pada suatu saat dikeluarkannya gong yang dikeramatkan tersebut, tidak sengaja gongjatih ke tanah, dan anehnya gong itu pecahnya berkeping-keping sepersi piring kaca pecah.

Pada tahun 2008 Celuk merencanakan pembelian barungan gong kebyar baru, karena barungan yang lama akan khusus digunakan untuk  mengiringi sesuunan mesolah saja (dikeramatkan). Sekarang setelah ada barungan yang baru, barungan ydiletakkan di jaba tengah Pura Desa Celuk, dan barungan yang lama diletakkan di Wantilan Jaba Pura Desa Celuk.

KOMENTAR TABUH PETEGAK KARGITA BUDAYA

 

YouTube Preview Image

JUDUL VIDIO                      : TABUH PETEGAK KARGITA BUDAYA

TANGGAL                            : 8 FEBRUARI 2005

PENCIPTA TABUH            : NYOMAN GUNARSA

KOMENTAR                        :

  1. Menit ke-1.30, mulai menit ini suara JEGOG dan CALUNG/JUBLAG sama sekali tidak terdengar, menurut saya disana kurang diletakkan microphone minimal 2 agar lebih terdengar.
  2. Menit ke-1.30, suara gangsa terlalu unggul dari pada instrument lain, dan yang unggul hanya satu gangsa, antara pukulan polos dan nyangsih tidak jelas.
  3. Menit ke-1.42, mulai menit ini suara gong tidak terdengar, kurang ditempatkan microphone disana.
  4. Menit ke-1.45, suara tempo kurang jelas terdengar.
  5. Menit ke-3.05, suara rebab kurang terdengar walaupun sudah diletakkan microphone.

 

KERAJAAN GELGEL

PEMBAHASAN

Kerajaan Gelgel
Gelgel adalah nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten daerah tingkat II Klungkung. Dari Desa Samprangan, jaraknya tidak begitu jauh, hanya 17 km menuju jurusan Timur. Letaknya tidak begitu jauh dari pantai Selatan Bali dan di sebelah Timur mengalir Kali Unda yang airnya bersumber dari lereng Gunung Agung yaitu mata air yang bernama Telaga Waja.
Periode Gelgel
Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl’gɛl/). Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460—1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung (1550—1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605—1686).
Gelgel: kerajaan di pulau Bali yang terbentuk setelah runtuhnya Majapahit. Kerajaan ini menganggap dirinya sebagai penerus sejati Majapahit.

Struktur Pemerintahan
Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum bangsawan disebut dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar kerajaan pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan yang dianggap berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan antara raja dan rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan suatu sistem pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.

Dari pendeta Ciwa dan Buddha yang berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.

Pemerintahan Raja-Raja Gelgel
Dalem Ktut Ngulesir
Merupakan raja pertama dari periode Gelgel yang berkuasa selama lebih kurang 20 tahun (tahun 1320-1400). Ada beberapa yang dapat diamati selama masa pemerintahan raja Gelgel pertama, raja dikatakan berparas sangat tampan ibarat Sanghyang Semara, serta memerintah dengan bijaksana dan selalu berpegang padaAsta Brata.
Dalem Ktut Ngulesir adalah seorang raja yang adil, suka memberi penghargaan kepada orang yang berbuat baik, serta tidak segan-segan menghukum mereka yang berbuat salah. Baginda menganugrahkan suatu predikat tanda penghargaan wangsa “Sanghyang” dengan sebutan “Sang” kepada masyarakat desa Pandak, di mana mereka bermukim dahulu.
Pada masa pemerintahan prabhu Hayam Wuruk yang mengadakan upacara Cradha dan rapat besar, dihadiri pula oleh Dalem Ktut Ngulesir beserta semua raja-raja di kawasan Nusantara. Kehadiran dengan tata kebesaran itu menimbulkan kekaguman para raja yang lain serta masyarakat yang menyaksikan. Beliau disertai oleh Patih Agung, Arya Patandakan, dan Kyai Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh).

Dalem Batur Enggong
Dalem Batur Enggong memerintah mulai tahun 1460 M dengan gelar Dalem Batur Enggong Kresna Kepakisan, dalam keadaan negara yang stabil. Hal ini telah ditanamkan oleh almarhum Dalem Ktut Ngulesir, para mentri dan pejabat-pejabat lainnya demi untuk kepentingan kerajaan.
Dalem dapat mengembangkan kemajuan kerajaan dengan pesat, dalam bidang pemerintahan, sosial politik, kebudayaan, hingga mencapai zaman keemasannya. Jatuhnya Majapahit tahun 1520 M tidak membawa pengaruh negatif pada perkembangan Gelgel, bahkan sebaliknya sebagai suatu spirit untuk lebih maju sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat utuh. Beliau adalah satu-satunya raja terbesar dari dinasti Kepakisan yang berkuasa di Bali, yang mempunyai sifat-sifat adil, bijaksana.
Dalem Bekung
Setelah wafatnya Dalem Watur Enggong, maka menurut tradisi yang berlaku, baginda digantikan oleh putra sulungnya yaitu I Dewa Pemayun, yang selanjutnya disebut Dalem Bekung. Karena umurnya belum dewasa, maka pemerintahannya dibantu oleh para paman dan Patih Agung. Para paman yang membantu adalah : I Dewa Gedong Artha, I Dewa Nusa, I Dewa Pagedangan,Dewa

Anggungan dan I Dewa Bangli. Kelima orang itu adalah putra I Dewa Tegal Besung saudara sepupu Dalem Waturenggong.

Dalem Sagening
Dalem Sagening dinobatkan menjadi raja pada tahun 1580 M. Menggantikan Dalem Bekung dalam suasana yang amat menyedihkan, dan Dalem Sagening seorang raja yang amat bijaksana, cerdas, berani, berwibawa maka dalam waktu yang singkat keamanan kerajaan Gelgel pulih kembali. Sebagai Patih Agung adalah Kryan Agung Widia putra pangeran Manginte, sedangkan adiknya Kryan Di Ler Prenawa diberikan kedudukan Demung.
Dalem Sagening menetapkan putra-putra baginda di daerah-daerah tertentu, dengan jabatan sebagai anglurah antara lain :
1. I Dewa Anom Pemahyun, ditempatkan di desa Sidemen (Singarsa) dengan jabatan Anglurah pada tahun 1541 M, dengan patih I Gusti Ngurah Sidemen Dimade dengan batas wilayah di sebelah timur sungai Unda sampai sungai Gangga, dan batas wilayah di sebelah utara sampai dengan Ponjok Batu.
2. I Dewa Manggis Kuning,( I Dewa Anom Manggis), beribu seorang ksatria dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori dijadikan penguasa di daerah Badung. Namun karena sesuatu peristiwa beliau terpaksa meninggalkan daerah Badung, pindah ke daerah Gianyar.
3. Kyai Barak Panji, beribu dari Ni Pasek Panji, atas perintah Dalem di tempatkan di Den Bukit sebagai penguasa di daerah itu, dibantu oleh keturunan Kyai Ularan. Dia sebagai pendiri kerajaan Buleleng yang kemudian bernama I Gusti Panji Sakti.
Dalem Anom Pemahyun
Setelah Dalem Sagening wafat pada tahun 1665, maka I Dewa Anom Pemahyun dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Dalem Anom Pemahyun. Dalam menata pemerintahan Dalem belajar dari sejarah dan pengalaman. Karena itu secara progresif dia mengadakan pergantian para pejabat yang kurang diyakini ketulusan pengabdiannya.
Dalem Dimade
Setelah Dalem Anom Pemahyun meninggalkan istana Gelgel, maka I Dewa Dimade dinobatkan menjadi susuhunan kerajaan Bali dengan gelar Dalem Dimade 1665-1686, seorang raja yang sabar, bijaksana dalam mengemban tugas, cakap memikat hati rakyat. Patih Agung adalah Kyai Agung Dimade (Kryan Agung Maruti) berkemauan keras dan bercita-cita tinggi. Kyai Agung Dimade adalah anak angkat I Gusti Agung Kedung. Sebagai demung diangkat Kryan Kaler Pacekan dan Tumenggung adalah Kryan Bebelod.

Kryan Agung Maruti
Kebesaran kerajaan Gelgel yang pernah dicapai kini hanya tinggal kenang-kenangan di dalam sejarah. Setelah Dalem Dimade meninggalkan istana Gelgel tahun 1686 M maka kekuasaan di pegang oleh Kryan Agung Maruti sebagai raja Gelgel. Namun Bali tidak lagi merupakan kesatuan di bawah kekuasaan Gelgel, malainkan Bali mengalami perpecahan di antara para pemimpin, kemudian mucul kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat, sehingga daerah kekuasaan Kryan Maruti tidak seluas daerah kekuasaan kerajaan Gelgel yang dahulu.
Aspek Sosial Budaya
Struktur Pemerintahan
Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum bangsawan disebut dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar kerajaan pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan yang dianggap berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan antara raja dan rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan suatu sistem pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.
Dari pendeta Ciwa dan Buddha yang berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.

Pemberontakan Di Nusa Penida
Menurut “Babad Blahbatuh” disebutkan bahwa semasa Pemerintahan Dalem Di Made telah terjadi pemberontakan terhadap kekuasaan kerajaan Gelgel di Nusa Penida oleg Dalem Bungkut. Untuk mengatasi pemberotakan tersebut Dalem Di Made kemudian menugaskan Ki Bogol/ Kyai Jelantik Bongahya untuk bertindak sebagai pimpinan pasukan Gelgel ke daerah Nusa Penida.
Laskar Gelgel bertolak dari pantai Kusamba dengan pasukan yang berkuatan 200 orang prajurit pilihan. Perjalanan Kyai Jelantik disertai oleh istrinya Gusti Ayu Kaler dan senjata sakti andalannya “ Ki Pencok Sahang”. Setelah menempuh satu jam perjalanan maka sampailah mereka di suatu tempat yang bernama Jungut Batu. Disana telah menanti rakyat Nusa Penida yang tertindas oleh pemerintahan Dalem Bungkut di Nusa Penida dan kedatangan laskar Gelgel sangat diharapkan untuk membebaskan dirinya dari belenggu kekuasaan Dalem Bungkut.

Perlawanan Dalem Bungkut tidak berlangsung lama karena tidak mendapat dukungan penh dari rakyatnya sehingga memungkinkan Kiyai Jelantik berhadapan langsung dengan Dalem Bungkut. Dalam perang tanding tersebut Dalem Bungkut menderita kekalahan dan beliau tewas terkena sabetan keris sakti Ki Pencok Sahang. Sisa pendukungnya kemudian menyerahkan diri karena pimpinannya sudah tidak ada lagi. Keamanan dan ketentraman daerah Nusa Penida akhirnya kembali normal dan Kiyai Jelantik kembali ke Gelgel untuk melaporkannya kepada Dalem Di Made. Keberhasilan Kyai Jelantik memadamkan pemberontakan di Nusa Penida mendapat penghargaan dari Dalem Di Made.
Pemberontakan Sagung Maruti
Setelah masa pemerintahan Dalem Segening berakhir, akhirnya Gelgel diperintah oleh Dalem Di MAde sekaligus sebagai raja terakhir masa kerajaan Gelgel. Saat-saat damai yang pernah dirintis oleh Dalem Segening tidak dapat dipertahankan oleh Dalem Di Made. Hal ini disebabkan karena Dalem Di Made terlalu memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada pengabihnya I Gusti Agung Maruti. Sehingga pembesar-pembesar lainnya memilih untuk meninggalkan puri.
Hal inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh I Gusti Agung MAruti untuk menggulingkan pemerintahan Dalem Di Made. Usaha ini ternyata berhasil, Dalem Di Made beserta putra-putranya menyelamatkan diri ke desa Guliang diiring oleh sekitar 300 orang yang masih setia. Disinilah Dalem Di Made mendirikan keraton baru. Hampir selama 35 tahun Gelgel mengalami kevakuman karena Dalem Di Made telah mengungsi ke Guliang (Gianyar).
Sementara Maruti menguasai Gelgel. Hal ini justru membuat Bali terpecah-pecah yang mengakibatkan beberapa kerajaan bagian seperti Den Bukit, Mengwi, Gianyar, Badung, Tabanan, Payangan dan Bangli ikut menyatakan diri merdeka keadaan ini diperparah dengan wafatnya Dalem Di Made di keraton Guliang. Dengan wafatnya Dalem Di Made, membuat para pembesar kerajaan menjadi tergugah untuk mengembalikan kerajaan kepada dinasti Kepakisan. Hal ini dipelopori oleh tiga orang pejabat keraton Panji Sakti, Ki Bagus Sidemen, dan Jambe Pule, mereka akhirnya menyusun strategi unuk menyerang Maruti yang berkuasa di Gelgel.
Penyerangan dilakukan dari tiga arah secara serentak yang membuat Maruti dan pengikutnya tidak sanggup mempertahankan Gelgel. Maruti berhasil melarikan diri ke Jimbaran kemudian memilih memukim di Alas Rangkan.kerajaan Klungkung. Pada tahun 1686 putra Dalem Di Made yang bernama Dewa Agung Jambe merebut kembali kekuasaan dari tangan pemberontak dan memindahkan pusat pemerintahan ke istana Samarapura di Klungkung, namun kerajaan-kerajaan bekas bawahan Gelgel tetap mempertahankan kemerdekaannya

Runtuhnya Kerajaan Gelgel
Bali tidak dapat lepas dari kejayaan masa lalu. Kerajaan Gelgel adalah satu diantaranya. Masa keemasan Bali pada masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong tidak dapat dipandang sebelah mata. Sosiokultural masyarakat Bali saat ini merupakan salah satu warisannya.
Masa Pengungsian
Kerajaan Gelgel di masa senja di mulai dari penggulingan kekuasaan raja oleh I Gusti Agung Maruti pada tahun 1686 Masehi. Setelah dikuasainya kerajaan Gelgel oleh I Gusti Agung Maruti maka Dalem Di Made (Putra Prami Dalem Sigening) bersama dua putra beliau yang masih sangat muda yaitu Dalem Pamayun dan Dalem Jambe dengan diiringi oleh pengawal – pengawal setia beliau mengungsi ke daerah Guliang. Adapun mereka yang mengawal beliau adalah keturunan dari : I Gusti Kekon Tubuh, I Dewa Pamayun, Sang Takmung dan warih Bagawanta Pedanda Wayahan Bun (beliau gugur saat pemberontakan I Gusti Agung Maruti ).
Dalam masa pengungsian Dalem Di Made wafat di daerah Guliang. Sebagai rasa hormat yang teramat besar oleh rakyat , maka setelah upacara Palebon beliau didirikanlah sebuah pura ” Pura Dalem Agung ” di wilayah Guliang. Untuk menghindari pengejaran oleh para pengikut I Gusti Agung Maruti, kemudian Dalem Pamayun dan Dalem Jambe beserta pengiring beliau menuju daerah Bukit tepatnya daerah Kulub Tampaksiring Gianyar.

Berikut beberapa peninggalan Kerajaan Gelgel :
1. Pura Segening Gelgel

2. Kertha Gosa
Kertagosa adalah kompleks bangunan kuno yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Klungkung pertama, Dewa Agung Jambe, pada abad ke-17. Dewa Agung Jambe adalah putera ke-2 dari Dalem Dimade, raja terakhir di kerajaan Gelgel yang juga disebut Suweca Pura.
Setelah Dewa Agung menjadi raja Klungkung, maka dia membuat istana (puri) Klungkung yang diberi nama Semara Pura yang memunyai makna “tempat cinta kasih dan keindahan”. Di puri inilah terdapat kompleks Kertagosa yang terdiri dari dua bangunan pokok, yaitu bangunan Taman Gili dan bangunan Kertagosa.
Bangunan Kertagosa pada zaman dahulu mempunyai beberapa fungsi, di antaranya adalah: (1) sebagai tempat persidangan yang dipimpin oleh raja sebagai hakim tertinggi; (2) sebagai tempat pertemuan bagi raja-raja yang ada di Bali; dan (3) sebagai tempat melaksanakan upacara Manusa Yadnya atau potong gigi (mepandes) bagi putera-puteri raja.

Pada masa pemerintahan Raja Dewa Agung Putra Djambe Belanda melakukan penyerangan secara besar-besaran (selama tiga hari). Penyerangan itu mengakibatkan Puri Semara Pura hancur. Hanya ada beberapa bangunan yang tersisa antara lain bangunan Kertagosa, Taman Gili dan Pemedal Agung (pintu gerbang Puri). Dalam penyerangan yang kemudian dikenal sebagai “Persitiwa Puputan Klungkung” ini (28 April 1908) Dewa Agung Putra Djambe dan para pengikutnya gugur.

Setelah dikuasai oleh Belanda, Kertagosa tetap difungsikan sebagai balai sidang pengadilan. Pada tahun 1930 lukisan wayang yang terdapat di Kertagosa dan Taman Gili direstorasi oleh para seniman lukis dari Kamasan. Dalam restorasi tersebut, lukisan yang menghiasi langit-langit bangunan yang semula terbuat dari kain dan parba diganti dan dibuat di atas eternit, lalu dibuat lagi sesuai dengan gambar aslinya. Restorasi lukisan terakhir dilakukan pada tahun 1960.

Struktur Bangunan

Bangunan Kertagosa dan Taman Gili terdiri atas dua lantai.. Atap bangunan terbuat dari ijuk dan dilengkapi dengan undak (tangga naik). Atap tersebut diberi tambahan yang berupa hiasan patung dan relief (mengelilingi bangunan). Di samping itu pada langit-langit (plafon) diberi tambahan hiasan berupa lukisan tradisional bermotif wayang yang dilukis dengan gaya Kamasan. Lukisan yang ada di langit-langit bangunan Taman Gili berisi tentang cerita Sutasoma, Pan Brayut dan Palalintangan. Sedangkan, pada langit-langit bangunan Kertagosa lukisannya mengambil cerita Ni Dyah Tantri, Bima Swarga, Adi Parwa dan Pelelindon. Tema pokok dari cerita-cerita itu adalah parwa, yaitu Swaragaronkanaparwa yang memberi petunjuk hukum kerpa pahala (akibat dari baik-buruknya perbuatan yang dilakukan manusia selama hidupnya) serta penitisan kembali ke dunia karena perbuatan dan dosa-dosanya.

Cerita-cerita yang Terdapat pada Lukisan
1.Sutasoma
Cerita Sutasoma dapat disaksikan di bangunan Taman Gili pada panel tingkat pertama, kedua, ketiga dan keempat dari atas pada langit-langit bangunan. Cara membacanya dimulai dari panil paling atas sebelah selatan, dari kiri ke kanan. Fragmen ini menceriterakan perjalanan Sang Sutasoma dari kerjaan Astina menuju pegunungan Mahameru. Dalam perjalanan tersebut banyak rintangan yang harus dihadapi, tetapi dengan kekuatan batin yang dimiliki, Sutasoma berhasil mengatasi segala rintangan.

2.PanBrayut
Ceritera Pan Brayut tergambar pada deret kelima dari atas, pada langit-langit Taman Gili. Sedangkan, kronologi ceritera dapat disaksikan dari pojok timur-laut ke selatan. Lukisan ini menceriterakan kehidupan Pan Brayut yang dikaruniai 18 anak, sehingga hampir tidak ada waktu untuk mengurus hal-hal lain, kecuali mengurus anak.

3.Palalintangan
Panel mengenai Palalintangan, terdapat pada deret paling bawah langit-langit bangunan Taman Gili. Palalintangan adalah pengertian akan adanya pengaruh bintang-bintang di langit terhadap kelahiran manusia. Di sini diceriterakan adanya 35 macam watak manusia yang berbeda-beda menurut hari lahirnya.

4.NiDyahTantri
Cerita Ni Dyah Tantri terdapat pada panil paling pertama (paling bawah) pada langit-langit bangunan Kertagosa, yang dimulai dari panel sebelah timur beriring ke selatan, barat dan berakhir pada panil sebelah utara. Cerita Ni Dyah Tantri, menceritakan seorang gadis bernama Ni Dyah Tantri yang berusaha menghapuskan keinginan seorang raja untuk selalu mengawini gadis setiap hari. Ni Dyah Tantri adalah seorang puteri Maha Patih dari Raja yang suka perempuan tersebut. Sebagai Maha Patih setiap hari dititahkan oleh Raja mencari seorang gadis. Untuk itu Ni Dyat Tantri berani mengorbankan dirinya membantu ayahnya untuk mendampingi menjadi isteri raja. Karena kepandaiannya berceritera, setiap malam Ni Dyah Tantri memberi ceritera kepada raja tersebut sehingga keinginannya untuk setiap hari mengawini seorang gadis dapat dihilangkan.

5.BhimaSwarga
Cerita Bhima Swarga dilukiskan pada panil tingkat kedua dan ketiga dan dilanjutkan pada panil tingkat keenam, ketujuh dan kedelapan, pada bangunan Balai Kertagosa. Cerita dimulai pada panil sebelah timur kemudian selatan, barat dan utara, mengelilingi bangunan hingga berakhirnya ceritera ini. Cerita Bhima Swarga menceriterakan perjalanan Bhima (putera kedua Pandawa) ke Yamaloka yang disertai oleh ibunya Dewi Kunti, saudara-saudaranya (Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa), untuk mencari ayahnya, Pandhu dan ibu tirinya, Dewi Madrim. Di Yamaloka, dijumpai berbagai peristiwa yang dialami oleh roh (atma) sesuai dengan perbuatannya di dunia. Misalnya orang yang suka berdusta lidahnya ditarik, orang yang suka berzinah dibakar dan sebagainya. Apa pun rintangan yang dihadapinya, tetapi karena semangat dan ketetapan hati yang dimiliki, akhirnya Bhima berhasil memperoleh air suci (amrta) yang dapat dipergunakan untuk menebus ayah dan ibu tirinya di Yamaloka.

6.Pelelindon
Pelelindon dilukiskan pada panil tingkat kelima dari bawah pada langit-langit bangunan Balai Kertagosa. Ceritera Pelelindon ini dimulai dari tengah-tengah panil sebelah utara selanjutnya berurutan ke timur, selatan, barat dan kembali pada panil sebelah utara.

Kepustakaan
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

3. Pura Dasar Bhuana
Pura Dasar Bhuana di Desa Gelgel, Klungkung merupakan salah satu peninggalan sejarah Klungkung yang notabenesebagai pusat kerajaan di Bali. Selain sebagai satu-satunya pura dasar yang ada di Bali, pura ini juga memiliki keunikandan fungsi khusus.
Pura Dasar Bhuana dibangun Mpu Dwijaksara dari Kerajaan Wilwatikta (Kerajaan Majapahit) pada tahun Caka 1189atau tahun 1267 Masehi. Pura ini merupakan salah satu Dang Kahyangan Jagat di Bali. Pada masa Kerajaan Majapahit,Pura Dang Kahyangan dibangun untuk menghormati jasa-jasa pandita (guru suci). Pura Dang Khayangandikelompokkan berdasarkan sejarah. Di mana, pura yang notabene tempat pemujaan di masa kerajaan di Bali,dimasukkan ke dalam kelompok Pura Dang Kahyangan Jagat. Keberadaan Pura Dang Kahyangan tidak ias dilepaskandari ajaran Rsi Rena dalam agama Hindu.
Pura atau Ashram dibangun pada tempat di mana Maharsi melakukan yoga semadi. Itu dilakukan sebagai bentukpenghormatan kepada Sang Maharsi. Seperti Pura Silayukti di Karangasem. Silayukti diyakini sebagai tempatmoksanya Mpu Kuturan. Demikian pula dengan Pura Dasar Bhuana Gelgel yang dibangun sebagai penghormatanterhadap Empu Ghana. Di pura inilah Mpu Ghana yang notabene seorang Brahmana yang memiliki peran pentingperkembangan agama Hindu di Bali, beryoga semadi (berparahyangan).
”Sebagaimana namanya, Pura Dasar Bhuana merupakan dasar jagatnya Bali. Kalau pura luhur, jumlahnya banyak.Pura Dasar Bhuana satu-satunya pura dasar di Bali,” ungkap Sekretaris Pengeling Pura Dasar Bhuana Gelgel A.A. GdeAnom Wijaya. Selain sebagai Dang Kahyangan, pura yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Kota Semarapura,Klungkung itu juga merupakan pusat panyungsungan catur warga yang berasal dari soroh/klan di antaranyasoroh/klan Satria Dalem, Pasek (Maha Gotra Sanak Sapta Rsi), soroh Pande (Mahasamaya Warga Pande) dan klanBrahmana Siwa. Semuanya merupakan pengabih Ida Batara di Pura Dasar Bhuana Gelgel.
Masing-masing warga memiliki panyungsungan, seperti Meru Tumpang Solas — panyungsungan Para Arya dan SatriaDalem. Meru Tumpang Tiga — panyungsungan Keturunan Mpu Geni yang menurunkan trah Pasek. Meru TumpangTiga sebagai penyungsungan warga Pande. Padma Tiga yang berada di antara Meru Tumpang Solas dan MeruTumpang Sia (sembilna), panyungsungan warga Brahmana. Dengan banyaknya soroh/klan yang ada di dalamnya,diyakini Pura Dasar Bhuana merupakan pemersatu jagat dengan konsep bersatunya semua klan yang ada di Balidengan konsep ”kaula gusti menunggal”. ”Konsep itu sangat terasa begitu masuk ke pura itu,” tandas Agung GdeAnom Wijaya. Pegawai di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Klungkung itu menyebutkan, ketika manusiaberada di hadapan-Nya, tidak ada lagi istilah perbedaan trah. Pande, Pasek atau Satria Dalem, semuanya sama.
Pura yang dibangun di atas areal cukup luas itu, juga menjadi panyungsungan Subak Gde Suwecapura. Di antaranyaSubak Pegatepan, Kacang Dawa, Toya Ehe dan Toya Cawu. Panyungsungan dilakukan saat Karya Pedudusan Agung lanPawintenan yang bertepatan dengan Purnama Kapat. Agung Anom Wijaya juga menambahkan, Pura Dasar Bhuanasempat dijadikan objek penelitian oleh peneliti asal Belanda. Di mana, hasilnya diyakini bahwa situs Pura DasarBhuana Gelgel hampir mirip dengan situs bekas Kerajaan Majapahit. ”Katanya Gelung Kori Agung mirip denganGelung Kori Kerajaan Majapahit,” sebutnya.
Pura Dasar Bhuana terletak di Desa Gelgel, Klungkung. Dari Denpasar, berjarak sekitar 42 kilometer. Pura ini berdiri diatas lahan yang cukup luas. Berdiri megah dan tampak asri di pinggir jalan utama Gelgel-Jumpai. Sebagimanaumumnya Pura-pura di Bali, Pura Dasar Bhuana memiliki tiga mandala — Nista Mandala, Madya Mandala dan UtamaMandala. Di bagian Nista Mandala terlihat keangkeran pohon beringin besar yang tumbuh sejak berabad-abadlamanya.
Masuk ke Madya Mandala, pamedek ias melihat bangunan-bangunan berupa Pelinggih Bale Agung. Pelinggih initampak unik karena panjangnya mencapai 12 meter. Bersebelahan dengan Bale Pesanekan dan pelinggih tempatberstanakan seluruh petapakan dan pratima Pura-pura yang ada di Desa Pakraman Gelgel. Pratima maupun petapakanitu tedun dan distanakan saat berlangsung Karya Agung Pedudusan (Ngusaba) yang dilaksanakan bertepatan denganPurnama Kapat.
Sementara di Utama Mandala terdapat belasan pelinggih di antaranya Meru Tumpang Solas, Meru Tumpang Telu,Padma Tiga dan banyak lagi pelinggih lainnya. Dalam setahun, ada dua wali/karya digelar yakni wali bertepatandengan Pamacekan Agung, serta wali/karya Padudusan yang jatuh pada Purnama Kapat.
Pura Dasar Bhuana di-empon Desa Pakraman Gelgel yang terdiri atas 28 banjar dan tiga desa dinas — Desa Gelgel, DesaKamasan dan Desa Tojan. Keberadaannya berkaitan erat dengan keberadaan Keraton Suwecapura tempo dulu yangjuga berada di Gelgel. Namun, jika melihat tahun berdirinya, pura ini sudah ada jauh sebelum Gelgel diperintah rajapertama, Dalem Ketut Ngulesir (1380-1400). Pura yang merupakan warisan maha-agung ini didirikan pada tahunSaka 1189 atau tahun 1267 Masehi.
Sebagaimana sejarahnya, Pura Dasar Bhuana erat kaitannya dengan Mpu Ghana yang hidup pada akhir abad IXMasehi. Pura Dasar Bhuana dibangun Mpu Dwijaksara dari Kerajaan Wilwatika sebagai bentuk penghormatanterhadap Mpu Ghana. Empu Ghana merupakan seorang brahmana dengan peran sangat besar terhadapperkembangan agama Hindu di Bali.
Empu Ghana adalah orang suci yang berasal dari Jawa. Tiba di Bali pada masa pemerintahan (suami-istri) UdayanaWarmadewa dan Gunapraya Gharmapatni yang berkuasa dan memerintah Bali pada tahun Caka 910 sampai tahunSaka 933 (tahun 988-1011 Masehi). Empu Ghana merupakan brahmana penganut paham Ghanapatya. Seumur hidupmenjalankan ajaran Sukla Brahmacari yakni tidak menjalani masa Grahasta (tidak menikah). Kaitannya setelahberdirinya Kerajaan Suwecapura, pura ini dipakai sebagai merajan keluarga raja saat itu. Letak pura ini persis beradadi timur laut Keraton Suwecapura. Pada zaman itu, Keraton Suwecapura berdiri di Banjar Jero Agung, Gelgel.
”Letak pura ini berada di hulu Keraton Suwecapura. Dulunya, disungsung keluarga Raja Gelgel,” tutur Agung AnomWijaya. Pura ini memang erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Suwecapura. Sejumlah situs peninggalanKerajaan Suwecapura masih tetap dilestarikan di pura ini sampai sekarang. * baliputra

Halo dunia!

Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!