BIOGRAFI I NYOMAN ASTITA

This post was written by astamargawa on November 6, 2012
Posted Under: Tulisan

Biografi

Beginilah jalan hidup I Nyoman Astita sebagai seorang pengrawit dan komponis: ia lahir dan tumbuh di tengah-tengah kehidupan kesenian Bali, yang kemudian turut ia dalami dan rawat hampir sepanjang hidupnya. Astita, anak keenam dari sepuluh bersaudara, lahir di Denpasar pada 24 September 1952 dari pasangan petani I Ketut Degur dan Ni Wayan Taman. Ketika muda, bapaknya pernah menjadi penari Gandrung, kesenian klasik yang mengungkapkan kegembiraan panen.

“Dengan suasana lingkungan seperti itulah saya mengenal kesenian,” kenang Astita. Masa kecilnya berjalan ketika sawah-sawah menjadi tempat untuk bercengkrama mencari belut, menjaga padi supaya tidak dihinggapi burung-burung, mandi ke sungai bersama teman, dan belajar bermain gamelan di balai banjar pada malam hari. Astita kecil gemar menonton pertunjukan wayang kulit dan tari Topeng. Atraktifnya pertunjukan Gong Kebyar yang ditontonnya saat remaja membekaskan kesan mendalam pada dirinya, dan ini pula yang akhirnya mengetuk hatinya untuk belajar dan mendalaminya.

“Asah keterampilan dalam seni karawitan Bali sudah saya lakoni pada usia delapan tahun di bawah asuhan paman-paman saya, I Ketut Geria dan I Nyoman Gebiyuh.,” ujarnya. Gebiyuh, pamannya yang seorang undagi (ahli pertukangan dan peralatan upacara), mengarahkannya masuk Sekolah Teknik Negeri (STN) di Denpasar. Namun ketika Astita tamat dari sekolah tersebut pada 1968, “Saya banting stir melanjutkan ke Konservatori Karawitan (Kokar).”

Sejak itu pilihan profesi sebagai seniman karawitan menjadi semakin kokoh bagi suami dari Ni Putu Lastini ini. Setamatnya dari Kokar, ia melanjutkan studi ke Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), Denpasar, dan lulus sebagai Sarjana Muda pada 1976. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi dosen di almamaternya itu.

Pengalaman Astita sebagai seorang komponis karawitan mendapat tantangan ketika ia membuat sebuah karya monumental dengan menggabungkan gamelan Angklung, gamelan Semarpegulingan, dan gamelan Gong Kebyar dalam satu kesatuan komposisi kreasi baru. Komposisi berjudul Kembang Rampai ini kemudian dipertunjukkan dalam Pesta Kesenian Bali yang pertama kali, pada 1979.

Dalam ajang Pekan Komponis Muda pada 1979, ia menampilkan komposisi karawitan kontemporer bertajuk Gema Eka Dasa Rudra. Selain Astita, enam komponis lain yang turut serta: Nano Suratno (Bandung) dengan karyanya Sangkuriang, Sri Hastanto (Surakarta) menampilkan Dandang Gula, Rahayu Supanggah (Surakarta) menampilkan Gambuh, Kristiyanto Christinus (Jakarta) menampilkan A dan B, Otto Sidharta (Jakarta) menampilkan “Kemelut”, dan Sutanto (Yogyakarta) menampilkan Sketsa.

Atas kerjasama ASTI Denpasar dengan San Diego State University (SDSU), California, Amerika Serikat, ia berkesempatan studi lanjut dengan mengambil program Etnomusikologi sambil mengajar gamelan. Pada 1986, gelar Master of Art (M.A.) berhasil digondolnya. Selama belajar dan mengajar di SDSU, ia juga mengajar gamelan di Cal Art dan kelompok gamelan Sekar Jaya di San Fransisco (1983). Pengalaman lain Astita: menjadi profesor tamu selama setahun di Montreal University of Canada (1987), sebagai pendiri dan pengajar di Gamelan Giri Mekar di West Hurly–Hudson, New York (1983), dan mendapat Fulbright Grant mengajar gamelan di Union College, Schenectady, New York (2006).

Kini, I Nyoman Astita tengah mempersiapkan diri untuk maju ke promosi gelar doktor di bidang Kajian Budaya di Universitas Udayana Denpasar, dengan judul penelitiannya “Transformasi Epos Ramayana Ke Dalam Sendratari Ramayana Bali”. “Sebuah kajian tekstual yang saya yakini mempengaruhi aspek mental dan aspek fisik kebudayaan Bali,” tulisnya melalui surat elektronik.


 

Profil

I Nyoman Astita adalah seniman berlatar tradisi Bali yang aktif menulis komposisi berdasar idiom-idom musik modern Barat. Sebagai seniman tradisi yang tumbuh di era globalisasi, ia memandang stigma tradisi-modern sebagai sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. “Bagi saya, tradisi-modern adalah sebuah proses, atau sebuah frame work kreatif untuk melahirkan karya-karya baru. Tidak ada karya komposisi yang luput dari unsur-unsur tradisi, atau sebaliknya, tidak ada karya masa lalu yang luput dari nuansa kekinian,” ungkap Astita. Dalam mentransformasikan komitmen dan mengadopsi modernitas dalam berkarya, menurutnya, diperlukan adanya keseimbangan dengan wacana yang berubah mengikuti perkembangan jaman.

Maka itu bagi Astita, agar tak tergerus modernitas, jati diri adalah hal yang perlu diperkuat di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Baginya, proses kreatif tidak terlepas dari kondisi lingkungan hidup, dan dengan demikian sebuah karya kreatif tidak akan bebas nilai karena adanya komitmen menggali, mengembangkan, dan melestarikan kebudayaan masing-masing. Paradigma macam inilah yang kemudian menuntun Astita dalam berkarya.

Karyanya berjudul Kotekan for Two Marimbas, Flute, and Chime adalah wujud dari pemikiran tersebut. Karya ini dibuat sebagai materi resital dalam mempertanggungjawabkan Master Degree-ya di San Diego State University, California, Amerika Serikat. Dalam karya ini Astita mencoba memilah sisi kreativitas yang bersifat tradisional sebagai medium pelestarian, dan sisi kreativitas yang bersifat eksperimen sebagai medium berkolaborasi dengan ide-ide musik global lainnya. Dalam karya ini ia mengangkat ornamen karawitan Bali yang ditata dalam bentuk Sonata dengan tiga bagiannya, Moderato, Adagio, dan Allegro.

Gema Eka Dasa Rudra adalah karya lain Astita yang disebut-sebut sebagai salah satu karya terawal dalam dunia musik karawitan Bali kontemporer. Karya yang dipentaskan dalam Pekan Komponis Muda 1979 ini membuat terobosan dengan konsep minimalis, yakni dengan menggabungkan warna bunyi dari alat-alat tradisional yang disebar di sudut-sudut panggung, tetapi dimainkan oleh pemain yang terbatas, sehingga di dalam pementasannya ada mobilitas pemain yang bergerak secara konstan mengikuti alur komposisi.

“Di dalam Gema Eka Dasa Rudra saya membangun suasana musikal yang pergerakannya tidak saja mengalun, meninggi, dan merendah, tetapi bunyi-bunyi itu juga berdatangan dari atas, dari samping, menyatu, memberai, dan bergolak,” jelas Astita. “Ada semacam transformasi gerak bunyi silih berganti dan bertebaran di mana-mana,” lanjutmya. Hasil dari penerapan teknik tersebut adalah efek teatrikal dan komposisi pandang genial yang sekaligus memberikan efek akustik yang abstrak. Dengan konsep seperti itu, para pengamat dan kritikus musik menyebut karyanya sebagai karya musik kontemporer, karena menembus batasan-batasan konvensional.

Dengan segala perjalanan hidup yang sudah ditempuhnya, berkesenian dan berkarya bagi Astita memerlukan komitmen untuk mempertimbangkan logika, etika, dan estetika. Di Bali ketiga hal itu disebut Siwam, Satyam, dan Sundaram. Siwam terkait dengan nilai-nilai filsafat kehidupan (eksistensi), Satyam terkait dengan aturan-aturan benar-salah dalam lingkungan sosial, dan Sundaram adalah masalah rasa yang memberikan manfaat kebersamaan dalam keharmonisan.
Karya

Semara Winangun (1979a)
Gema Eka Dasa Rudra (1979b)
Uma Sadina 1 (1980)
Uma Sadina 2 (1986a)
Kotekan for Two Marimbas, Flute, and Chimes (1986b)
Beranta (1987a)
Ombak Buluh dan Pencon (1987b)
Paksi Ngelayang (1990)
Gebyar Baris (1994)
Waton (1995a)
Dolanan (1995b)
Wari Drawa (1995c)
Panji (1997)
Waton II(1998a)
Waton III (1998b)

Reader Comments

Trackbacks

  1. A片  on Agustus 19th, 2022 @ 4:22 am