I Just Don’t Get It!

why the wordpress kubrick tagline filled with “Just another `put-your-blog-hostname-here` weblog”?

Page 2 of 5

Jelang Final Piala Thomas 2010

Sebelumnya saya sempat mengulas pertandingan sepak bola, sekarang saatnya mengulas soal bulu tangkis. Pertandingan tim Piala Thomas Indonesia melawan tim nasional Jepang menunjukkan satu hal, Jepang memiliki pemain yang tidak mudah patah semangat dan pantang menyerah walaupun secara meteri pemain tidak lebih unggul. Malaysia yang berhasil unggul terlebih dahulu 2-0 malah bisa mereka kalahkan. Semoga, di final nanti, timnas Piala Thomas Indonesia bisa mencontoh timnas Jepang, sebab besok timnas kita akan menghadapi China. Prediksi di atas kertas, China memang lebih unggul, tetapi dengan semangat ala timnas Jepang, bukan tidak mungkin kita bisa mengalahkan China, setidaknya kalah dengan terhormat dan mampu memberikan perlawanan yang ketat.

Hidup Indonesia!

Indonesia! Prok Prok, Prok Prok, Prok!

Konsistensi

Konsistensi menurut Kateglo memiliki definisi

  1. ketetapan dan kemantapan (dalam bertindak); ketaatasasan: kebijakan pemerintah mencerminkan suatu — dalam menghadapi pembangunan yang sedang kita laksanakan
  2. kekentalan: — agar-agar
  3. kepadatan, kepejalan, atau ketetalan jaringan yang menyusun bagian tubuh buah
  4. ketahanan suatu material terhadap perubahan bentuk atau perpecahan
  5. derajat kohesi atau adhesi massa tanah

terkait dengan niat ikut blog 31 hari, kelihatannya niat untuk konsisten ngeblog tidak cukup konsisten. Apologi dari inkonsistensi ini ada beberapa, misalnya tidak stabilnya sambungan internet yang saya pakai, kesibukan sehari-hari dan sempat juga sakit.

Tetapi, ngeblog harus jalan lagi, dimulai dari ini 😀

Ironi Ujian Nasional

Berita terhangat di sekitar saya minggu ini adalah antusiasme para sepupu yang berhasil lulus ujian nasional di tingkat SD dan SMP. Perbincangan berlanjut mengenai nilai ujian akhir nasional yang paling kecil yang mereka dapatkan pada mata ujian Bahasa Indonesia. Fenomena ini mengingatkan saya pada nilai ujian semasa mengenyam pendidikan dasar dan menengah dulu. Nilai yang saya raih tidak begitu bagus, tetapi cukup memuaskan (cukup untuk sekedar lulus). Saat SD  nilai ujian nasional saya hanya enam koma, lalu naik menjadi tujuh koma saat SLTP dan untungnya di bangku SMA naik lagi menjadi delapan koma berkat mengikuti ekstrakulikuler Karya Ilmiah Remaja.

Fenomena lain yang banyak dibahas media cetak, elektronik dan media daring adalah angka ketidaklulusan siswa banyak disumbangkan oleh mata ujian yang sama,  Bahasa Indonesia. Kalau melirik fenomena lain di kalangan siswa sekarang, yaitu merebaknya penyakit penggunaan bahasa alay, saya pribadi menilai ini fenomena yang wajar, bahkan sangat menggembirakan. Mengapa? Setidaknya, para remaja alay tersebut mungkin bisa mempertimbangkan untuk belajar menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk membantu diri mereka sendiri menghadapi ujian Bahasa Indonesia. Lalu, ada selentingan dari sepupu saya,

“Walaupun alay, ada kok yang tetap lulus UN Bahasa Indonesia”

Wah, kalau itu sih, sudah rahasia umum. Tidak perlu saya jelaskan :p

Kesimpulan saya kali ini, bertobatlah wahai kalian remaja alay, kembalilah ke jalan yang benar (EYD), semoga kalian diberikan bekal yang cukup untuk menempuh UN tahun depan. Bagi yang masih bersikeras alay, bersiaplah mulai dari sekarang.

Susu dan kipas laptop

Jika Bung Ikhlasulamal membahas instalasi sistem operasi pada laptopnya sebagai sajen seri lengkap parade blog 31 hari pada minggu ini. Saya akan coba membahas sesuatu yang serupa tapi tak sama, susu dan laptop, sedikit mirip, walaupun cuma pembahasan laptopnya saja.

Minggu ini adalah minggu yang melelahkan. Beberapa kali kondisi tubuh saya sempat menurun. Tetapi sakit bukanlah pilihan, saya harus tetap menjaga kondisi tubuh untuk menyelesaikan banyak tugas dan pekerjaan. Seorang teman menyarankan saya untuk mengkonsumsi susu, cukup bagus untuk kesehatan, selain saya juga mulai rutin minum teh hijau, baik teh hijau kemasan maupun teh hijau seduh. Tersebutlah sebuah nama dagang yang disarankan untuk saya konsumsi, yaitu susu cap beruang, alias dari susu Bear Brand produksi Nestle. Mungkin saking tidak pernahnya saya merasakan minuman mahal seperti ini, jadi memang tidak peka terhadap penyebutannya. Di minimarket, saya biasanya menanyakan lokasi produk yang akan saya beli terlebih dahulu kepada pramuniaga yang bertugas. Ini sangat berguna, mengurangi waktu yang terbuang saat mencari-cari barang yang saya inginkan dengan sangat drastis.

“Mbak, ada susu beruang?” Tanya saya kepada pramuniaga yang bertugas menjaga kasir, namun saya mendapati pramuniaga tadi tersenyum simpul lalu meralat pertanyaan saya. “Maaf pak, tidak ada susu beruang, mungkin yang bapak maksudkan itu susu cap beruang pak, kalau itu ada di pojok sana”, jawab petugas tadi sambil menunjuk ke satu pojok. Wah, jadi malu nih, tetapi tak apa, pe-de aja lagi. Saya beli dua kaleng, harganya lumayan mahal untuk kategori minuman sekelas susu, sampai lima digit rupiah untuk dua kaleng tadi.

Sekarang giliran cara penyajiannya, saat membaca bagian belakang kemasan susu, ternyata susu ini bisa juga disajikan saat hangat. Kebetulan hari sudah malam dan hujan turun sejak petang merapat di langit. Duh, malas juga untuk melakukan banyak persiapan hanya demi sekaleng susu hangat. Tak sengaja, saya mengambil remote televisi yang ada di sebelah laptop, aneh bin ajaib, remote yang saya ambil terasa panas. Usut punya usut, panas kipas laptop ternyata menghangatkan remote sampai panas. Tring! Bohlam menyala di atas kepala! Kenapa tidak memanaskan susu kalengan ini di sisi laptop saja ya? Ok, saya coba dulu, saya buka lubang di kaleng susu kemudian saya letakkan di depan saluran pembuangan panas kipas, tetapi sampai tulisan ini akan diterbitkan, kaleng dan susunya masih belum seberapa hangat. Tak apa, saya coba saja terus, siapa tahu setelah ada yang membaca tulisan ini, susu kalengan saya sudah jadi panas. Semoga…

Sysadmin? Deritaloe™

Hal yang menyenangkan tentang mengembangkan perangkat lunak adalah para pengembang bisa berargumen bahwa “AGAMA” yang dianutnya dalam mengembangkan perangkat lunak adalah yang paling benar. Perang argumentasi dan bukan lagi adu urat syaraf biasa terjadi ketika membicarakan masalah sensitif ini. Topik soal “AGAMA” ini sangat beragam dan menarik untuk dibicarakan, mulai dari pilihan para pengembang terhadap sebuah bahasa pemrograman, penyunting teks, sistem kontrol revisi kode sumber perangkat lunak, sistem operasi, server web, basisdata, hingga ke masalah bakso pun bisa jadi topik pembicaraan. Ok, skip it!

Kali ini yang akan saya bahas adalah soal sysadmin. Apa hubungannya sysadmin dengan perang “AGAMA” yang saya sebutkan sebelumnya? Nah, ini permasalahan yang sedikit curhat tetapi penting. Apapun jenis aplikasinya, bahasa pemrogramannya, dan segala tetek bengeknya, sysadmin tetap bertanggung jawab untuk mengelola server tempat semua aplikasi tadi dijalankan. Namun kenyataannya, sebagian besar pengembang perangkat lunak yang saya amati, tidak peka terhadap wacana pengembangan perangkat lunak yang berkesinambungan atau berkelanjutan (sustainable software development). Sebagian besar hanya mengembangkan ala kadarnya, menggunakan paket pengembangan (development kit) yang dimilikinya atau sisa habis pakai proyek sebelumnya.

Kebanyakan pengembang perangkat lunak belum peduli bahkan sampai pada tahap tidak peduli dengan versi perangkat lunak yang digunakanya. Ada yang versinya jadul banget, yang dibuat sejak jaman manusia Neanderthal *lebay mode on*, tapi ada juga yang memburu versi yang paling baru dari paket pengembangannya, dengan resiko paket memiliki banyak fitur yang belum stabil atau masih banyak kutu dan galat. Ini merupakan salah satu hal yang paling tidak disukai oleh para sysadmin. Tanggungjawab untuk menjaga server tetap aman dan aplikasi berjalan stabil ada di ujung papan ketik mereka, tak jarang, ada di ujung aplikasi ssh pada Blackberry yang ada dalam genggaman mereka *yea, rite, ngeremote pake BB*. Tetapi perilaku pengembang yang tak acuh seperti itu seharusnya disikapi lebih arif oleh kedua belah pihak. Pengembang perlu merujuk pada para administrator sistem untuk versi paket pengembangan yang stabil, bukan versi yang terbaru, karena tak jarang sistem operasi yang digunakan para pengembang sering adu gaya-gayaan dengan memajang versi paling baru, bukan yang paling stabil. Sisi lain perburuan paket terbaru, ketika para sysadmin juga harus menyesuaikan kemampuannya untuk memberikan pertimbangan soal paket yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan perangkat lunak. Kadang kala, situasi seperti inilah yang membuat sysadmin diuji kemampuannya soal kontribusi perbaikan dan tambal-menambal kutu serta galat paket pengembangan, agar dapat digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka–pengembang dan sysadmin.

Sayangnya, ini masih wacana dan angan-angan belaka. Seringkali ketika berhadapan dengan dilema paling-stabil-versus-paling-baru tadi, sysadmin kerap kali dicandai saja terkait dengan penderitaan dan dilema tersebut. Sysadmin? Deritaloe™

« Older posts Newer posts »