Archive for Maret, 2012

GAMELAN BALI DALAM KONTEKS TRI HITA KARANA

Sabtu, Maret 31st, 2012

Bali adalah sebuah pulau kecil yang dapat dikatakan yang memiliki alat musik gamelan paling beraneka ragam di dunia ini. Hal ini terbukti tidak kurang lebih 36 perangkat gamelan dari yang paling kuno dan yang paling sederhana juga yang terbaru, besar dan kompleks masih terpelihara di pulau dengan julukan pulau kesenian. Kuantitas ini sekaligus memberikan indikasi keragaman cirri, gaya, dan fungsi juga memberikan indikasi terhadap adanya kreatifitas masyarakat yang bersifat sakral atau hiburan dari masa lampau hingga sekarang. Beragamnya barungan gamelan yang dimiliki Bali merupakan sumber inspirasi bagi kreator – kreator seni yang tak akan pernah ada habisnya. Karya – karya musik gamelan yang di buat oleh seniman – seniman Bali maupun seniman asing yang menggunakan perangkat dari gamelan Bali merupakan cermin bahwa musik Gamelan Bali bisa dibilang bersifat universal.Di dalam hal ini gamelan Bali juga memiliki ajaran moralitas dan banyak mempertimbangkan kondisi setempat, yang di Bali kaprahnya disebut dengan desa kala patra. Maka dari itu juga gamelan Bali tidak bisa lepas dari konteks ajaran Tri Hita Karana yang artinya tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia. Dalam ajaran Tri Hita Karana tersebut terdapat tiga unsur yang dapat terwujudnya tiga keselamatan itu yakni:

1. Hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan-Nya (Parhyangan)

2. Hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungannya (Palemahan)

3. Hubungan harmonis antara manusia dengan sesamanya (Pawongan)

Gamelan juga sangat berperan penting untuk mewujudkan ketiga hubungan  harmonis tersebut. Karena gamelan juga memiliki sifat multi fungsi. Gamelan tidak bisa lepas dengan tradisi Bali. Semasih adat berjalan, gamelan selalu harus diperlukan, khususnya oleh masyarakat Bali. Bunyi gamelan merupakan salah satu media informasi adanya suatu prosesi ritual. Dengan mendengarkan bunyi gamelan kita dapat mengetahui adanya prosesi ritual di suatu tempat, bahkan banyak orang dapat mengetahui dari jauh tentang proses atau urutan dan tahapan-tahapan pelaksanaan ritual itu melalui bunyi gamelan. Ritual dalam agama Hindu merupakan bentuk implementasi filsafat dan etika. Pelaksanaan berbagai macam ritual Hindu selalu diiringi bunyi gamelan. Pada prosesi ritual-ritual yang dianggap kecil atau sederhana, pelaksanaannya cukup diiringi oleh salah satu jenis gamelan yang sederhana saja. Namun dalam upacara besar misalnya upacara piodalan ‘yaitu upacara perayaan ulang tahun berdirinya pura’, perayaan hari besar keagamaan, dan sebagainya maka berbagai gamelan seperti: bleganjur, angklung, gong gede, gong gambang, gong kebyar dan sebagainya digunakan secara bergantian atau bersamaan. Singkatnya, tidak ada acara ritual Hindu yang dilaksanakan tanpa menggunakan gamelan. Pada daerah transmigran yang kondisi ekonominya belum mapan, bunyi gamelan tersebut diganti dengan bunyi kaset gong untuk mengiringi upacara ritualnya. Berbagai upaya ditempuh oleh umat Hindu agar di wilayah pura atau di wilayah desanya memiliki seperangkat gamelan. Demikian besarnya kecintaan umat Hindu terhadap gamelan, menyebabkan banyak pertanyaan yang muncul dari berbagai pihak atau kalangan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain: (1) Apakah yang mendorong kecintaan umat Hindu yang demikian besar terhadap gamelan? (2) Adakah kecintaan yang demikian besar itu didorong oleh suatu pemahaman terhadap esensi dari bunyi gamelan itu? (3) Apakah kecintaan yang demikian besar itu didorong oleh pemahaman teologis atau filosofis dari bunyi gamelan itu? (4) Apakah kecintaannya itu didorong oleh pemahaman terhadap aspek psikologis dari bunyi gamelan itu? (5) Apakah kecintaan yang demikian besar itu didorong oleh manfaat sosiologis dari bunyi gamelan itu? (6) Apakah kecintaan umat Hindu terhadap gamelan karena kemeriahannya? Belum ada jawaban yang komprehensif terhadap semua pertanyaan tersebut. Bunyi gamelan memiliki implikasi (akibat-pengaruh) yang nyata dalam menuntun suasana hati dan pikiran unyuk mencapai kebahagiaan. Oleh sebab itu gamelan sangat diperlukan untuk menuntun suasana hati masyarakat, dimulai dari mempersiapkan sarana-sarana ritual. Sarana persembahan yang dibuat dengan suasana hati damai akan memancarkan vibrasi suci dan menjadi hubungan dengan Tuhan yang semakin harmonis. Gamelan sebagai musikal intsrumen atau sebagai musik tak dapat dipisahkan dari konsep keseimbangan hidup orang Bali yaitu konsepsi Tri Hita Karana. Terkait dengan konsepsi Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab kesejahteraan materi dan rohani manusia, maka kesejahteraan adalah hasil integrasi dari hubungan harmoni dari tiga variable yakni hubungan harmoni keseimbangan hidup manusia dengan Tuhan (Parhyangan), hubungan harmoni keseimbangan hidup  manusia dengan sesamanya (Pawongan), hubungan harmoni keseimbangan hidup manusia dengan alam sekitarnya (Palemahan). Dalam setiap aspek tersebut selalu diikuti suara gamelan. Orang Bali, di mana pun ia berada dan apa pun yang ia perbuat, konsep keseimbangan hidup ini akan menjadi dasar perbuatannya. Sesuai dengan dasar filsafat atau logika yang tercantum dalam lontar Prakempa, konsep keseimbangan hidup manusia itu dapat terwujud dalam beberapa dimensi yaitu: (1) Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi tunggal yaitu keseimbangan hidup yang berdasarkan falsafah mokshartham jagadditaya ca iti dharma. (2) Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi dualistis, yaitu percaya terhadap adanya dua kekuatan yang dasyat seperti baik dan buruk, siang dan malam, laki dan perempuan, kaja dan kelod, sekala dan niskala, dan lain-lainnya. (3) Keseimbangan hidup dalam dimensi tiga yaitu percaya dengan adanya unsur serba tiga dalam kehidupan seperti tri murti: brahma, wisnu siwa; tri loka: bhur loka (dunia bawah), bhuvah loka (dunia antara), svah loka (dunia atas) dan lain sebagainya. (4) Keseimbangan empat dimensi yaitu percaya terhadap adanya kekuatan serba empat dalam kehidupan seperti catur loka pala: indra, yama, kwera dan baruna; catur purusa artha: dharma, artha, kama, dan moksa, serta lain sebagainya. (5) Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi lima, yaitu percaya adanya kekuatan serba lima dalam kehidupan manusia seperti panca mahabhuta: pertiwi, apah, bayu, teja dan akasa; panca sradha: Tuhan, jiwa, karmapala, reinkarnasi dan moksha, serta lain-lainnya. (6) Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi enam seperti sad ripu: kama, kroda, moda, loba, himsa dan matsarya; sad rasa: pedas, asam, manis, asin, pahit, dan sepet, serta lain-lainnya. (7)  Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi tujuh, yaitu keseimbangan hidup yang percaya dengan adanya tujuh konsepsi seperti sapta wara: redite, soma, anggara, buda, wraspati, sukra, dan saniscara; sapta loka: bhur, bvah, svah, traya, jana, maha, satya dan loka. (8) Keseimbangan hidup dalam delapan dimensi, yaitu kepercayaan manusia terhadap delapan kekuatan seperti; asta iswarya: anima, loghima, prakamya, mahima, prapti, icitwa, wacitwa, dan yatakarmawasayitwa. (9) Keseimbangan hidup manusia dalam dimensi sembilan, yaitu manusia percaya dengan adanya sembilan unsur dalam keseimbangan seperti; dewata nawa sanga: iswara, brahma, mahadewa, wisnu, mahesora, rudra, sangkara, sambhu, san siwa. (10) Keseimbangan manusia dalam dimensi sepuluh, yaitu kepercayaan terhadap adanya sepuluh unsur dalam keseimbangan seperti dasa aksara: sa, ba, ta, a, i, na, ma, ci, wa, ya. Keseluruhan dimensi (konsepsi) keseimbangan hidup manusia di atas menjadi falsafah dari perwujudan lontar Prakempa itu dan konsepsi keseimbangan itu akan muncul secara satu persatu dalam lontar itu. Dimensi-dimensi di atas saling berkaitan satu sama lainnya dan menunjukkan adanya dua kekuatan yang vital, yaitu kekuatan baik dan buruk. Menurut falsafah Prakempa bahwa bunyi (suara) mempunyai kaitan yang erat dengan konsepsi lima dimensi yang dinamakan Panca Mahabhuta, yaitu Pertiwi, Bayu, Apah, Teja, dan Akasa. Bunyi dan warna-warnanya masing-masing menyebar ke seluruh penjuru bumi dan akhirnya membentuk sebuah lingkaran yang disebut lingkaran Pengider Bbvana. Pencipta dari bunyi itu bernama Bhagawan Wiswakarma dan ciptaan beliau mengambil ide dari dari bunyui (suara) 8 (delapan) penjuru dunia yang sumbernya berada pada dasar bumi. Suara-suara itu dibentuk menjadi 10 nada yaitu 5 nada yang disebut laras pelog dan 5 nada yang disebut laras selendro. Nada-nada itu mempunyai kaitan dengan Panca Tirta dan Panca Geni, dua sunber keseimbangan hidup manusia. Laras Pelog mempunyai hubungan dengan Panca Tirta dan lasar Selendro berkaitan dengan Panca Geni. Panca Tirta merupakan manifestasi dari Bhatara Smara dan Panca Geni merupakan manifestasi dari Bhatari Ratih. Dari 10 nada yang dijiwai moleh Smara dan Ratih sebagai Dewa Percintaan bersumber pada tujuh buah nada yang urutannya sebagai berikut: ding, dong, deng, ndung, dung, dang, nding. Ketujuh nada di atas merupakan sumber bunyi (suara) itu disebut Genta Pinara Pitu (bunyi berjarak tujuh. Di samping terciptanya Pelog 5 nada, Selendro 5 nada dan Pelog 7 nada (Genta Pinara Pitu), lontar Prakempa juga menyebutkan 3 nada yang berkaitan dengan Tri Aksara (Ang, Ong, Mang) dan Selendro 4 nada yang berkaitan dengan Catur Lokapala (Indra, Yama, Kwera, dan Baruna). Gamelan Bali pada kenyataannya sampai saat ini masih difungsikan sebagai pengiring prosesi. Gamelan ini, bila dikaitkan dalam konsep Tri Hita Karana dapat dilihat dari sudut fungsi yang di dalamnya berhubungan dengan konteks upacara ritual (Parhyangan), konteks sosial (Pawongan) dan kontek lingkungan, budaya dan pariwisata (Palemahan).

Konteks Parhyangan

Gamelan Bali jika dikatagorikan dalam konteks Tri Hita Karana tidak boleh lepas dari kontek parahyangan yang digunakan untuk mengiring upacara ritual keagamaan. Beragamanya jenis-jenis gamelan di Bali ini, juga membuat beraneka fungsi dari masing-masing jenis gamelan tersebut yang digunakan untuk mengiringi upacara ritual Hindu. Misalnya pada upacara manusia yadnya yaitu dalam upacara mesangih (mepandes). Gamelan gender wayang selalu digunakan untuk mengiringi proses upacara tersebut. Demikian juga dengan gamelan gambang, biasanya dimainkan pada saat upacara pitra yadnya. Dan uniknya juga gamelan gambang ini pada lumrahnya dimainkan oleh orang yang tua-tua yang kaprahnya melakukan pewintentan, karena gamelan ini disakralkan oleh masyarakat setempat. Di samping gamelan gambang, juga terdapat jenis gamelan baleganjur. Gamelan baleganjur ini kalau kita lihat dari proses upacara dewa yadnya biasanya dimainkan pada  upacara melasti. Kalau kita lihat dari proses upacara pitra yadnya, gamelan baleganjur ini digunakan untuk mengiringi petulangan dalam prosesi pengutangan bagi umat Hindu. Demikian juga dengan halnya dengan gamelan gong kebyar yang kini sangat populer pada kehidupan masyarakat Bali khususnya. Selain sebagai sarana hiburan, gamelan yang tergolong baru ini juga bisa digunakan dalam mengiringi prosesi upacara dewa yadnya. Misalnya pada saat odalan di pura, gong kebyar bisa digunakan  untuk mengiringi tari-tari wali seperti tari topeng, tari baris gede, tari rejang dewa dan lain sebagainya. Sungguh banyak fungsi gong kebyar dalam kehidupan ini, bilamana kita kaitakan dalam konteks parhyangan. Masih banyak jenis-jenis gamelan yang difungsikan dalam proses ritual agama Hindu yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, karena gamelan dalam proses ritual atau upacara agama untuk mendekatkan diri sesuai dengan kontek parhyangan, tergantung pada kepercayaan masyarakat setempat.

Konteks Pawongan

Gamelan Bali tidak akan luput dengan kehidupan sosial antara manusia dengan sesamanya yang kaprahnya dalam ajaran Tri Hita Karana disebut pawongan, hubungan harmonis aantara manusia dengan manusia. Selain dalam proses ritual atau  konteks parhyangan gamelan Bali juga bisa digunakan dalam konteks pawongan. Manusia mempunyai sifat sebagai makhluk sosial yaitu saling memerlukan antar sesama dan manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia selalu ketergantungan dengan orang lain, jika ditinjau sebagai makhluk sosial. Terkait dengan konsep pawongan yang terdapat dalam Tri Hita Karana, gamelan dapat difungsikan sebagai presentasi estetis. Hubungan pawongan di sini menyangkut tentang sosial masyarakat, yang didalamnya memuat tentang gamelan Bali yang dilihat dari segi fungsi yaitu gamelan Bali bisa digunakan dalam perlombaan, misalnya dalam perlombaan gong kebyar, perlombaan angklung, perlombaan baleganjur, perlombaan mekendang tunggal dan lain-lain. Selain digunakan dalam perlombaan, sesuai dengan konsep pawongan, gamelan Bali juga bisa mempersatukan banjar yang awalnya saling bermusuhan, misalnya banjar A bermusuhan dengan banjar B. Melalui gamelan, yaitu membuat gabungan sekhe dari banjar A dan banjar B yang pada awalnya banjar itu bermusuhan akan bisa berakhir dengan damai. Karena seorang pemain gamelan itu harus mempunyai jiwa yang halus, agar nanti dalam memainkan gamelan agar bisa mempersatukan rasa antara satu sama lainnya. Gamelan Bali selalu berkembang dari zaman ke zaman, karena melaui proses ide kreatif manusia yang selalu mempunyai sifat radikal yaitu selalu ingin untuk mencoba. Sesuai dengan konsep pawongan, antar manusia juga bisa saling mengisi ilmu melalui gambelan Bali yang kaprahnya dilakukan oleh seniman-seniman karawitan Bali. Di sana antara manusia satu dengan yang lainnya akan saling mengisi dan menambah wawasan. Kayanya Bali akan jenis-jenis gamelan ini membuat orang asing untuk ikut serta mempelajarai salah satu dari jenis gamelan Bali tersebut. Para seniman karawitan Bali bisa juga memperoleh keuntungan melalui gambelan Bali tersebut. Misalnya dalam proses mengajar orang asing, di sana akan mendekatkan hubungan kita antara manusia dengan manusia lainnya. Dengan gamelan kalau dilihat dari konteks pawongan, kita akan bisa mencari teman baru yang datang dari berbagai daerah atau negara. Sangat banyak fungsi gambelan Bali kalau kita lihat dalam konteks pawongan.

Konteks Palemahan

          Gamelan Bali sangat memiliki peran jika kita lihat dari konteks palemahan disamping kita lihat dalam konteks parhyangan dan pawongan dalam Tri Hita Karana. Palemahan adalah hubungan manusia dengan lingkungannya. Kalau dilihat dari konteks palemahan, gamelan Bali dapat dibunakan sebagai musik prosesi pada upacara, misalnya gamelan gender wayang, dapat digunakan dalam prosesi mesangih, baleganjur digunakan pada saat upacara mecaru, yang ada hubungannya dalam alam semesta dan lingkungan sekitarnya. Selain itu juga, konsep palemahan dapat kita lihat dari segi lingkungan kebudayaan dan pariwisata. Kalau dilihat dalam konteks kebudayaan, gamelan sangat berperan penting dalam proses kebudayaan. Kembali lagi ke pengertian kebudayaan. kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Gamelan Bali juga mempunyai sifat yang demikian. Gamelan Bali dalam segi budaya sangat berperan penting dalam upaya peningkatan budaya, karena gamelan Bali merupakan salah satu warisan budaya yang patut kita jaga dan lestarikan. Bali adalah pulau yang kecil yang menjadi tujuan para wisatawan domestik maupun internasional. Dalam konteks pariwisata peran gamelan Bali sangatlah penting, gamelan Bali bisa dipakai untuk penyajian sebuah seni pertunjukkan yang akan dipentaskan kepada wisatawan – wisatawan tersebut. Ada pula wisatawan yang datang ke Bali sengaja untuk melihat pertunjukan pementasan gamelan Bali dan sengaja datang untuk belajar bermain gamelan Bali. Demikianlah hubungan gamelan Bali kalau kita lihat dalam konteks palemahan.

KEISTIMEWAAN BARUNGAN GAMELAN SEMARA DHANA DENGAN BARUNGAN YANG LAIN

Selasa, Maret 27th, 2012

A. Asal – Usul Lahirnya Gamelan Smara Dhana dalam karawitan Bali

            Gamelan Smara Dhana adalah merupakan seperangkat barungan baru yang mana bentuknya hampir sama dengan gamelan gong kebyar, tetapi warna suara dan jumlah bilahnya berbeda. Gong Kebyar mempergunakan laras pelog 5 nada, sedangkan Smara Dhana, satu oktaf mempergunakan laras pelog 5 nada, dan satu oktaf lagi mempergunakan laras pelog 7 nada yang sama dengan gamelan Semara Pagulingan. Gamelan Smara Dhana ini muncul pertama kali di desa Ubud Gianyar yaitu bertempat di Puri Saren Ubud pada tahun 1988. Gamelan ini diciptakan oleh Bapak Wayan Beratha seorang seniman asal Denpasar. Menurutnya gamelan ini dibuat berdasarkan ide yang bersumber dari pengalaman di dalam penggarapan sendratari yang mulai dari Pesta Kesenian Bali yang pertama tahun 1979. Pada waktu itu sipentaskan sendratari SMKI dengan mempergunakan cerita Mahabrata yang mengambil judul “Sayembara Dewi Ambara”, iringannya memakai 2 jenis barungan gamelan yaitu gamelan gong gede dan semar pegulingan. Bentuk garapan seperti ini dipentaskan setiap tahun sekali, dengan demikian dari tahun ke-tahun, cerita-cerita yang dipergunakan  sebagai garapan sendratari semakin berkembang dan bertambah unik dengan berbagai bentuk adegan, otomatis iringannyapun bertambah dari 2 barungan gamelan menjadi 3 barungan. Melihat dari pengalaman tersebut di atasa, untuk menghemat tenaga maka timbul ide dari Bapak Wayan Beratha untuk membuat satu jenis barungan gamelan lagi yang diberi nama Gong Smara Dhana. Pemberian nama ini tidak bersumber pada salah satu buku, lontar atau prasasti, melainkan timbul dari hati nuraninya sendiri.

B. Arti Kata Smara Dhana dalam Karawitan Bali

Smara Dhana merupakan istilah yang banyak dipinjam dalam dunia karawitan, khususnya karawitan Bali. Secara umum karawitan dibedakan atas karawitan vokal dan karawitan instrumental. Karawitan vokal yang dimaksud adalah salah satu bentuk keseniaan yang mempergunakan suara manusia sebagi media ungkap, di Bali dikenal dengan sebutan “Tembang”. Lebih lanjut dijelaskan, tembang adalah seni suara yang diwujudkan melalui seni suara manusia, dan perwujudan ini merupakan suatu pernyataan keindahan melalui suara. Tembang pada hakekatnya adalah jalinan antara melodi, cengkok, wilet dan gregel dalam bentuk seni duara yang mempergunakan laras selendro maupun pelog. (Bandem, 1983:57). Smara Dhana dalam kaitannya dengan karawitan vokal merupakan salah satu jenis dari bentuk tembang macapat yang lazim digunakan untuk adegan suasana sedih khususnya dalam pertunjukan tari arja. Demikian juga dalam karawitan instrumental, sebelum barungan gamelan Smara Dhana dibuat, di dalam lagu-lagu lelambatan klasik pegongan yang menggunakan instrument barungan Gong Kebyar maupun Gong Gede, terdapat juga jenis lagu yang sudah ada yang diberi nama Smara Dhana yaitu digolongan ke dalam lelambatan Tabuh Pat yang komposernya bersifat anonym. Selain itu juga kata Smara Dhana juga merupakan salah satu bentuk dan jenis tari legong yang diambil dari kakawin “Smaradahana”, mengisahkan kemurkaan (kemarahan) Siwa, karena Batara Kamajaya dan Batari Ratih berthasil menggoda dan menggoyahkan tapaNya dengan panah “Panca Wiyasa”, tatkala sorga kedatangan musuh raksasa yang bernama Nilaruraka. Saking marahnya Batara Siwa, lalu Batara Kamajaya dan Batari Ratih dibunuh dan dikutuk agar Batara Kamajaya menjelma pada setiap orang laki, dan Batari Ratih pada setiap orang perempuan. (Poerbatjaraka, 1957:20-21). Menurut Bapak I Wayan Baratha, kata Smara Dhana dipilah menjadi “Semara dan Dhana”. Semara berarti suara, sedangkan Dhana berarti kaya. Jadi kata Smara Dhana dapat diartikan “kaya akan suara.

C. Keistimewaan Barungan Smara Dhana dengan Barungan yang lain

Keragaman suara yang dimiliki merupakan keistimewaan dan kelebihan gamelan Smara Dhana dibandingkan dengan barungan yang lainnya. Di samping itu juga dengan adanya gamelan Smara Dhana ini dapat pula membuktikan bahwa gamelan kita mampu bersifat “polyphonic” yang menurut ahli Barat lazim di golongkan ke dalam musik “polyritmic” dengan kekayaan ekspresi, dinamika serta temponya.  Smara Dhana yang berarti kaya akan suara, dimaksudkan bahwa gamelan Smara Dhana memiliki 12 rangkian nada-nada meliputi:

1. Pelog tujuh (7) nada sebagai oktaf ; dong,deng,deung,dung,dang,daing,ding

2. Pelog lima nada ; dong,deng,dung,dang,ding

Dari rangkaian pelog tujuh (7) nada yang dimiliki kemudian timbulah sebuah patet atau patutan. Adapun jenis-jenis patutan yang berhubungan dengan tujuh (7) nada skala, salah satunya dalam gamelan Smara Dhana adalah sebagai berikut:

1. Selisir                        123-56-

2. Selendro Gde          -234-67

3. Baro                          1-345-7

4.Tembung                  12-456-

5. Sunaren                   -23-567

6. Pengenter alit          1-34-67

7. Pengenter                12-45-7

8. Lebeng                    1234567

Di Jawa patet selisir disamakan dengan patet nem, patet tembung disamakan dengan patet limo dan patet sundaren disamakan dengan patet barang. Dengan patet-patet yang ada akan dapat memberi fungsi baru terhadap keberadaan barungan gamelan ini. Dari segi teknik lebih bebas untuk digarap sesuai dengan tujuan penggarapan. Gamelan Smara Dhana dapat pula melahirkan suasana laras yang berbeda, dari laras pelog ke laras selendro atau sebaliknya. Melalui permainan modulasi dari suatu patet ke patet yang lain, atau ungkapan yang berbeda –beda. Dengan demikian gamelan Smara Dhana cukup menarik, sangat lembut, manis dan romantis, cukup potensial untuk digarap sebagai karawitan tari maupun kerawitan instrumental.Smara Dhana yang berarti kaya akan suara dalam melahirkan ciptaan gending dirasakan lebih dinamis dan beraneka jenis warna suara yang dihasilkan, sehingga sangat relevan dengan pemberian nama tersebut. Lain daripada itu kaya akan suara yang dimaksudkan, bahwa Smara Dhana dapat memainkan repertoar gending-gending Pagambuhan, Palegongan, Semar Pagulingan, Gong Gede, Angklung, Gong Kebyar dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa Smara Dhana merupakan ensambel baru yang bersifat “multi-fungsi”, karena barungan ini dapat mewakili berbagai jenis barungan yang ada.Pembaharuan Nampak sebagai sesuatu acuan dengan perhitungan yang masak. Terbilang memperkaya sesuatu kebiasaan berkarya yang sudah tergaris dalam masa yang cukup panjang yang nanti akan dapat memperkaya rasa musical. Lebih jauh lagi, Smara Dhana yang berarti kaya akan suara, bahwa gamelan ini meskipun barungan baru, dapat difungsikan dalam berbagai bentuk kegiatan, baik menyangkut masalah ada, keagamaan, demontrasi, maupun hanya sebagai pelengkap acara ramah tamah kenegaraan. Dalam acara uang bersifat keagamaan gamelan inipun difungsikan , baik sebagai karawitan instrumental (tabuh petegak) maupun karawitan iringan tari yang di suguhkan pada puncak acara (karya). Dalam perkembangannya, gamelan Smara Dhana tentu dapat menunjukkan identitasnya baik dalam lingkungan masyarakat Bali maupun luar Bali. Dalam era ini, nampaknya gamelan Smara Dhana berkembang semakin pesat.

D. Jenis – Jenis Instrument yang  Terdapat pada Gamelan Smara Dhana

Instrument dari gamelan Smara Dhana ini tidak jauh berbeda dengan gamelan Gong Kebyar. Ditinjau dari kelengkapan barungannya gamelan Smara Dhana memiliki 19 jenis bentuk instrument. Diantaranya:

  • 2 tungguh jegogan, yang jumlah bilah daunnya satu tungguh tujuh
  • 2 tungguh juglag, yang jumlah bilah daunnya satu tungguh tujuh
  • 2 tungguh penyacah, yang jumlah bilah daunnya satu tungguh juga tujuh
  • 2 tungguh ugal, yang jumlah bilah daunnya satu tungguh dua belas
  • 4 tungguh pemade, yang jumlah bilah daunnya satu tungguh dua belas
  • 4 tungguh kantilan, yang jumlah bilah daunnya satu tungguh dua belas
  • 1 tungguh reong, yang jumlah pencolnya tujuh belas atau lima belas
  • 1 tungguh trompong, yang jumlah pencolnya empat belas atau sepuluh
  • 1 pasang gong lanang wadon
  • 1 pasang kendang lanang wadon
  • 1 kempur
  • 1 bende
  • 1 kemong
  • 1kempli
  • 1 kajar
  • 1 tungguh cengceng ricik
  • Suling kurang lebih berjumlah 6
  • 1 buah rebab atau lebih
  • Beberapa cengceng kopyak (jika diperlukan)

E. Contoh Lagu yang Memang Murni Lahir dari Gamelan Smara Dhana

  • Gregel karya Dewa Ketut Alit
  • Pengastungkara sebuah musik iringan tari karya Dewa Ketut Alit
  • Puser Belah karya Michael Tenzer
  • Navadasa karya I Wayan Sudirana
  • Water 7 karya I wayan Gede Yudana
  • Check This Out karya Paddy Sandino
  • Breace Your Self Wayan karya Pete Stele
  • Canang Sari karya Colin Mc Donald
  • Lemayung karya Dewa Putu Beratha

Sumber :

Dibia, SST. I Wayan, 1978. Pengantar Karawitan Bali. Proyek Peningkatan/Pengembangan ASTI Denpasar 1977/1978

Bandem, Dr. I Made, 1983. Mengenal Gamelan Bali. Dibiayai dan dicetak oleh : Proyek Penggalian, Pembinaan, Pengembangan Seni Klasik/Tradisional dan Kesenian Baru Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, 1983.

Tenzer, Michael, 2007. Gamelan Gong Kebyar: Seni Musik Bali Abad Ke-duapuluh. Chicago: University of Chigago Press.

Bandem, Prof. Dr. I Made, 1992. Eksistensi Gamelan Smara Dhana Dalam Karawitan Bali. STSI Denpasar ; 1992.

Aryasa, B.A. I Wayan Madra, 1877. Perkembangan Seni Karawitan. Denpasar ; Proyek Sasana Budaya Bali, 1976/1977.