KUTIPAN KEKAWIN ARJUNA WIWAHA

Juni 10th, 2013

Prang bwat daitya mamah gunung pareng  amik durniti tan wring bhaya,

Gutguten sumegut padanggregut apan krodhalawas gong galak,

Prang ning sura surapada sara pada tawantah matemw ing tengah,

Lwir guntur papagut metambeh I harep norangucap mundura.

Rames yudane, raksasane kadi blabar gunung, sinarengan ngamuk, tan pawiketan ngetang panyengkala. Gregetan ngubat-abit sami magiet duaning pedihe sampun lawas, dahat wirosa. Pangamuk prajurit dewane dahat andel, sami mapagut matemu ring tengah payudan. Tan pendah kerug mapalu, maweweh-weweh ring ajeng tan wenten majarang pacing makirig.

 

Diceritakan kedasyatan perang, para raksasa ibarat air bah dan juga seperti bumi, karena secara bersamaan ngamuk tanpa daya untuk menjadikan musuh kalah. Semuanya pada menjerit mengusahakan karena kemarahan atau dendam yang sudah dari lama dipendam. Para prajurit dewata yang memastikan dirinya menang, semua bertempur di medan perang. Kalau diibaratkan seperti guruh yang saling bertabrakan. Begitu banyak di muka karena tidak ada yang mau mundur.

Hung ning bheri mredangga mari karengo dening papan pakrepuk,

angres kakrecik ing tewek ketug ikang kontangene samaja,

lawan dening pangohan ing mamekas ing prananguwuh katara,

nwang pahya ning amoki kakreteb ikang wahwapulih mombakan.

 

Grudugan suaran gong beri miwah kendange tan kapiragi malih, antuk suaran tamiange makrempiang. Ngresresin krintingan kerise klepugan tumbake ngeninin gajah. Miwah duuhan sang megat angkiha, ngelur ngresresin. Kadulurin antuk jeritan sang mamunggal, miwah gadubugan sang wawu ngwalesang maombakan.

 

Suara gong beri dan begitu juga suara kendang tidak bisa didengar, karena suara tamiang yang dipukul. Menakutkan sekali suara krintingan keris dan begitu juga suara tombak yang mengenai gajah. Begitu juga jeritan orang yang nafasnya akan hilang. Semuanya itu sangat menakutkan. Oleh jeritan kesatria yang memenggal kepala. Begitu juga suara orang yang akan membalas seperti ombakan air.

Wyartha ng jantra panah galah kasesekan tan paprayogakabet,

Anghing kadga gadangene silih arug ring tomarang mwang tuhuk,

Anyat tanahut angdedel pada silih bandhalupeng sanjata,

Akweh mati silih tekek pateh ikang patrem lawan kris pamok.

Tan paguna cakra, panah miwah tumbake, duaning madangsek meweh ngangge santukan kabet. Wantah keris miwah gada sane mapikenoh, saling tuek antok kenak miwah kris. Sewos ring punika wenten nyegut nlejek, sami saling gulet lali ring gegawan. Katah paden saling cekuk elung punika sundrik miwah kerisnyane sane anggena munggal.

 

Tiada guna senjata cakra begitu juga panah dan tombak karena jarak yang tanggung, tidak bisa digunakan dengan leluasa. Hanya keris dan begitu juga gada yang bisa digunakan dengan baik, saling bacok dengan tombak dan keris. Selain dari yang tgadi, ada juga yang mencegut dan begitu juga yang menginjak. Semuanya saling gulet lupa dengan senjatanya. Banyak yang mati saling cekik ada yang patah, begitu juga dengan pedang dan keris yang dipakai untuk menebas.

Gong Bheri

Gong Bheri merupakan sebuah gamelan sakral yang di di kelompokan dalam golongan gamelan tua. Gong bheri dibuat dari bronze atau krawang dan diduga merupakan peninggalan kebudayaan Dongson. Gong ini mempunyai banyak persamaan dengan Nekara atau bulan yang terdapat di Pura Penataran Pejeng (Gianyar). Gong Bheri tidak memakai pencon (boss) mempunyai persamaan dengan bentuk Gong yang terdapat di negeri Cina yang disebut Sha 10. Kata Bheri sering disebut-sebut di dalam kekawin Bharatayuda yang berarti sebuah alat perang. Juga di dalam prasasti Blanjong, disebut kata Bheri sebagai sebuah alat perang. Pada kekawin Arjuna wiwaha pula, istilah Gong Beri juga digunakan sebagai alat perang, yaitu digunakan pada saat Sang Arjuna Perang melawan Para Korawa atau para raksasa. Berhubungan dengan penggalan bait dari kekawin Arjuna Wiwaha diatas, gong beri difungsikan sebagai penyemangat di medan peperangan. Kadangkala, akan semangatnya peperangan berlangsung, suara gong beri menjadi tidak kedengaran.

          Barungan Gamelan Gong Bheri terdiri dari instrumen-instrumen sebagai berikut :

  1. Gong Bheri 2 (dua) buah yaitu Bar dan Ber.
  2. Klentang 1 (satu) buah yaitu sejenis Bheri namun lebih kecil dan suaranya lebih tinggi.
  3. Kendang 1 (satu) buah yaitu sebuah kendang bedug yang besar.
  4. Sungu 1 (satu) buah yaitu kerang besar yang menimbulkan bunyi drone.
  5. Suling 1 (satu) buah yaitu suling kecil yang berfungsi sebagai pembawa melodi.
  6. Tawa-tawa 1 (satu) buah yaitu gong kecil berpencon berfungsi sebagai pembawa matra,
  7. Gong 3 (tiga) buah yaitu gong biasa untuk punctuation.

Seperti halnya di desa Renon dan Sanur, Gong Bheri dipakai untuk mengiringi tari Baris Cina, yang dipertunjukkan setiap 6 (enam) bulan sekali. Adapun nama-nama gending Gong Bheri sesuai dengan desa kala patra yang terdapat di desa Renon dan Sanur adalah sebagai berikut:

  1. Gending Petegak
  2. Gending Baris Ireng (Baris Hitam)
  3. Gending Baris Petak (Baris Putih)

Lain halnya di desa saya, yaitu desa Padang Tegal. Baru-baru ini telah muncul barungan gamelan Gong Bheri yang difungsikan untuk mengiringi ida bhatara pada saat tedun melancaran. Gamelan Gong Bheri ini di beli di Lombok atas perintah Sulinggih atau Peranda AnyarDesa Pekraman Padang Tegal. Gending-gending yang di sajikan yaitu gending-gending petegak, namun dengan perkembangan zaman, komposisi gending-gendingnya juga atraktif dan ada penambahan beberapa instrument, seperti cengceng dan suling preret. Gong Bheri di desa saya selalu dimainkan oleh banjar Padang Kencana yang diam di desa pengosekan, tetapi setatusnya sebagai warga desa Padang Tegal. Seakan-akan jika barungan Gong Bheri dimainkan suasananya sangat lain, yaitu berwibawa dan mempunyai ciri khas, bahwa jika Gong Bheri berbunyi pertanda Ida Bhatara telah tedun.

Prang bwat daitya mamah gunung pareng  amik durniti tan wring bhaya,

Gutguten sumegut padanggregut apan krodhalawas gong galak,

Prang ning sura surapada sara pada tawantah matemw ing tengah,

Lwir guntur papagut metambeh I harep norangucap mundura.

Rames yudane, raksasane kadi blabar gunung, sinarengan ngamuk, tan pawiketan ngetang panyengkala. Gregetan ngubat-abit sami magiet duaning pedihe sampun lawas, dahat wirosa. Pangamuk prajurit dewane dahat andel, sami mapagut matemu ring tengah payudan. Tan pendah kerug mapalu, maweweh-weweh ring ajeng tan wenten majarang pacing makirig.

 

Diceritakan kedasyatan perang, para raksasa ibarat air bah dan juga seperti bumi, karena secara bersamaan ngamuk tanpa daya untuk menjadikan musuh kalah. Semuanya pada menjerit mengusahakan karena kemarahan atau dendam yang sudah dari lama dipendam. Para prajurit dewata yang memastikan dirinya menang, semua bertempur di medan perang. Kalau diibaratkan seperti guruh yang saling bertabrakan. Begitu banyak di muka karena tidak ada yang mau mundur.

Hung ning bheri mredangga mari karengo dening papan pakrepuk,

angres kakrecik ing tewek ketug ikang kontangene samaja,

lawan dening pangohan ing mamekas ing prananguwuh katara,

nwang pahya ning amoki kakreteb ikang wahwapulih mombakan.

 

Grudugan suaran gong beri miwah kendange tan kapiragi malih, antuk suaran tamiange makrempiang. Ngresresin krintingan kerise klepugan tumbake ngeninin gajah. Miwah duuhan sang megat angkiha, ngelur ngresresin. Kadulurin antuk jeritan sang mamunggal, miwah gadubugan sang wawu ngwalesang maombakan.

 

Suara gong beri dan begitu juga suara kendang tidak bisa didengar, karena suara tamiang yang dipukul. Menakutkan sekali suara krintingan keris dan begitu juga suara tombak yang mengenai gajah. Begitu juga jeritan orang yang nafasnya akan hilang. Semuanya itu sangat menakutkan. Oleh jeritan kesatria yang memenggal kepala. Begitu juga suara orang yang akan membalas seperti ombakan air.

Wyartha ng jantra panah galah kasesekan tan paprayogakabet,

Anghing kadga gadangene silih arug ring tomarang mwang tuhuk,

Anyat tanahut angdedel pada silih bandhalupeng sanjata,

Akweh mati silih tekek pateh ikang patrem lawan kris pamok.

Tan paguna cakra, panah miwah tumbake, duaning madangsek meweh ngangge santukan kabet. Wantah keris miwah gada sane mapikenoh, saling tuek antok kenak miwah kris. Sewos ring punika wenten nyegut nlejek, sami saling gulet lali ring gegawan. Katah paden saling cekuk elung punika sundrik miwah kerisnyane sane anggena munggal.

 

Tiada guna senjata cakra begitu juga panah dan tombak karena jarak yang tanggung, tidak bisa digunakan dengan leluasa. Hanya keris dan begitu juga gada yang bisa digunakan dengan baik, saling bacok dengan tombak dan keris. Selain dari yang tgadi, ada juga yang mencegut dan begitu juga yang menginjak. Semuanya saling gulet lupa dengan senjatanya. Banyak yang mati saling cekik ada yang patah, begitu juga dengan pedang dan keris yang dipakai untuk menebas.

Gong Bheri

Gong Bheri merupakan sebuah gamelan sakral yang di di kelompokan dalam golongan gamelan tua. Gong bheri dibuat dari bronze atau krawang dan diduga merupakan peninggalan kebudayaan Dongson. Gong ini mempunyai banyak persamaan dengan Nekara atau bulan yang terdapat di Pura Penataran Pejeng (Gianyar). Gong Bheri tidak memakai pencon (boss) mempunyai persamaan dengan bentuk Gong yang terdapat di negeri Cina yang disebut Sha 10. Kata Bheri sering disebut-sebut di dalam kekawin Bharatayuda yang berarti sebuah alat perang. Juga di dalam prasasti Blanjong, disebut kata Bheri sebagai sebuah alat perang. Pada kekawin Arjuna wiwaha pula, istilah Gong Beri juga digunakan sebagai alat perang, yaitu digunakan pada saat Sang Arjuna Perang melawan Para Korawa atau para raksasa. Berhubungan dengan penggalan bait dari kekawin Arjuna Wiwaha diatas, gong beri difungsikan sebagai penyemangat di medan peperangan. Kadangkala, akan semangatnya peperangan berlangsung, suara gong beri menjadi tidak kedengaran.

          Barungan Gamelan Gong Bheri terdiri dari instrumen-instrumen sebagai berikut :

  1. Gong Bheri 2 (dua) buah yaitu Bar dan Ber.
  2. Klentang 1 (satu) buah yaitu sejenis Bheri namun lebih kecil dan suaranya lebih tinggi.
  3. Kendang 1 (satu) buah yaitu sebuah kendang bedug yang besar.
  4. Sungu 1 (satu) buah yaitu kerang besar yang menimbulkan bunyi drone.
  5. Suling 1 (satu) buah yaitu suling kecil yang berfungsi sebagai pembawa melodi.
  6. Tawa-tawa 1 (satu) buah yaitu gong kecil berpencon berfungsi sebagai pembawa matra,
  7. Gong 3 (tiga) buah yaitu gong biasa untuk punctuation.

Seperti halnya di desa Renon dan Sanur, Gong Bheri dipakai untuk mengiringi tari Baris Cina, yang dipertunjukkan setiap 6 (enam) bulan sekali. Adapun nama-nama gending Gong Bheri sesuai dengan desa kala patra yang terdapat di desa Renon dan Sanur adalah sebagai berikut:

  1. Gending Petegak
  2. Gending Baris Ireng (Baris Hitam)
  3. Gending Baris Petak (Baris Putih)

Lain halnya di desa saya, yaitu desa Padang Tegal. Baru-baru ini telah muncul barungan gamelan Gong Bheri yang difungsikan untuk mengiringi ida bhatara pada saat tedun melancaran. Gamelan Gong Bheri ini di beli di Lombok atas perintah Sulinggih atau Peranda Anyar Desa Pekraman Padang Tegal. Gending-gending yang di sajikan yaitu gending-gending petegak, namun dengan perkembangan zaman, komposisi gending-gendingnya juga atraktif dan ada penambahan beberapa instrument, seperti cengceng dan suling preret. Gong Bheri di desa saya selalu dimainkan oleh banjar Padang Kencana yang diam di desa pengosekan, tetapi setatusnya sebagai warga desa Padang Tegal. Seakan-akan jika barungan Gong Bheri dimainkan suasananya sangat lain, yaitu berwibawa dan mempunyai ciri khas, bahwa jika Gong Bheri berbunyi pertanda Ida Bhatara telah tedun.

Resensi Buku Tetabuhan Bali I

April 9th, 2013

Judul Buku                 : Tetabuhan Bali I

Penulis                         : Prof. Dr. Pande Made Sukerta

Lay out & Desain      : Irvan M.N.

Penerbit                       : ISI Press Solo

Cetakan                        : Pertama, Oktober 2010

Jumlah Halaman      : 279 halaman

 

Bali merupakan salah satu pulau yang memiliki wilayah relatif kecil dibandingkankan dengan pulau-pulau lainnya seperti Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Papua. Meskipun luas wilayahnya relatif kecil, namun memiliki potensi budaya khususnya kesenian dan lebih khususnya lagi karawitan yang sangat padat.

Buku yang bersampul pelawah dari salah satu instrument gamelan ini yang ditulis oleh Prof. Dr. Pande Made Sukerta sangat difokuskan pada unsur-unsur pembentukan musikal. Hal ini sangat penting karena pembentuk musikal mulai dari sarana ungkapnya, yaitu sumber bunyi yang berbentuk berbagai jenis tungguhan. Dengan demikian, para pembaca diharapkan untuk memahami karawitan Bali mulai dari fisik sampai kepada esensi atau musikalnya. Hal yang paling penting lagi dalam buku ini adalah proses pembelajaran tradisi karawitan Bali, karena sistem atau proses pembelajaran ini ada kecendrungan jarang diketahui para seniman dan malahan sekarang jarang dilakukan (hampir punah).

Manfaat yang telah saya dapat setelah membaca buku ini adalah buku ini memberikan saya pengetahuan dan wawasan tentang musik gamelan Bali, dimana penjelasannya sudah dijelaskan secara sangat rinci. Sehingga si pembaca buku ini akan dapat sangat mudah untuk memahami dari isi buku ini. Banyak teori-teori tentang gamelan Bali yang saya dapat di sini, baik teori yang berada di ranah akademik maupun non akademik. Dengan membaca buku ini pola pikir tentang gamelan Bali akan bisa terbuka, karena banyak istilah-istilah yang rancu dan langka akan bisa kita temukan dalam buku ini. Buku ini bisa di baca oleh siapa saja, yang penting ada kemauan untuk belajar. Mengingat ruang lingkup seni sangat luas, jadi buku ini pada khususnya menjelaskan tentang karawitan Bali.

Pada buku Tetabuhan Bali I terdapat 5 (lima) bagaian aspek pembahasan yaitu :

Bagaian pertama : Hal-hal umum yang menjelaskan hal-hal yang bersifat umum dalam karawitan Bali yang meliputi jenis-jenis barungan gamelan, fungsi tiap-tiap barungan gamelan, beberapa pengertian yang terkait dengan karawitan Bali seperti kata gaya, gong, gamelan dan hal-hal yang salah kaprah yang sampai sekarang masih banyak terjadi dan telah beredar dalam masyarakat. Dalam bagaian pertama ada menjelaskan tentang pengertian gong dan gamelan. Kedua istilah tersebut sering diartikan suatu yang mempunyai pengertian yang sama, pada hal kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Kedua istilah tersebut diartikan sama, sehingga terjadi salah pengertian. Sebenarnya kedua istilah tersebut dapat digunakan sesuai dengan konteksnya sehingga tidak terjadi salah pengertian. Misalnya dalam istilah gong.  Gong di Bali mempunyai tiga pengertian yaitu sebagai berikut:

  1. Istilah gong uintuk menunjuk salah satu jenis tungguhan yang bentuknya bundar dan persegi.
  2. Istilah gong di Bali pada umumnya dapat digunakan untuk menunjuk satu barung gamelan, apabila suatu barungan gamelan menggunakan tungguhan gong yang bentuknya bundar dengan ukuran sekitar 75 sampai 90 centi meter, maka barungan gamelan tersebut selalu diawali dengan kata gong, seperti gamelan Gong, Gede, Gong, Luang dan Gong Kebyar, kecuali jenis barungan gamelan Gong Suling dan Gong Bheri kedua jenis barungan gamelan tersebut tidak menggunakan jenis tungguhan gong tetapi nama barungan gamelan tersebut diawli dengan kata gong, sedangkan jenis barungan gamelan yang menggunakan tungguhan gong penyalah, tungguhan gong yang bentuknya persegi panjang, dibuat dari besi dengan menggunakan resonator dan jenis barungan gamelan yang tidak menggunakan tungguhan gong, nama jenis barungan gamelan tersebut selalu diawali dengan kata gamelan.
  3. Istilah gong juga digunakan untuk menyebut karawitan. Dalam pembicaraan sehari-hari terutama di desa tidak menyebut karawitan tetapi gong misalnya dalam ungkapan bahasa Bali: Yo mebalih gong di pura (Ayo menonton karawitan di pura).

Istilah gamelan mempunyai dua pengertian yaitu pertama, istilah gamelan digunakan untuk menunjuk pada satu kesatuan tungguhan yang terdiri atas sejumlah tungguhan tertentu. Kedua, istilah gamelan digunakan juga untuk menyebut suatu barungan gamelan yang tidak menggunakan tungguhan gong, seperti misalnya untuk gamelan Semar Pagulingan Saih Lima, gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu, gamelan Gambang, gamelan Selonding dan lain sebagainya.

Bagaian Kedua : Tungguhan yang meliputi : pengertian tungguhan, sumber bunyi, pelawah, atut, tungguhan sakral, panggul, resonator, cara memainkan tungguhan dan pengelompokan tungguhan dan penataan tungguhan. Istilah tungguhan digunakan untuk menunjuk satu kesatuan dari instrument atau sumber bunyi tertentu yang terdiri atas satu atau dua bagaian. Tungguhan yang memiliki satu bagaian, yaitu sumber bunyi yang dimainkan tanpa menggunakan tempat atau sering disebut pelawah atau yang sejenis, diantaranya seperti tungguhan kajar, tawa-tawa, suling, rebab, gentorang, dan kendang. Untuk jenis tungguhan yang mempunyai dua bagaian, yaitu tempat atau sumber bunyi disebut yaitu don gamelan-nya. Selain tungguhan pada bagaian kedua ini, juga menjelaskan tentang atut. Dimana istilah atut angat jarang dilakukan di Bali. Pada saat sekarang, jarang para seniman karawitan Bali mengetahui istilah ini lebih mengenal dengan istilah laras. Barungan gamelan Bali memiliki tiga atut, yaitu atut gambang, atut gong dan atut gender wayang. Atut gambang mempunyai pengertian laras pelog tujuh nada, atut gong mempunyai pengertian laras pelog lima nada, dan atut gender wayang mempunyai pengertian laras selendro. Demikian juga dalam buku ini diungkapkan hasil penelitian I Wayan Rai S. (1999:20) khususnya dalam laras gamelan Gong Kebyar bervariasi sehingga mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Frekwensi nada-nada gamelan Gong Kebyar tersebar dalam empat oktaf. Selisih frekwensi antara nada pengumbang dengan nada pengisep menyebabkan timbulnya ombak. Selain itu juga terdapat variasi interval dalam satu barung gamelan baik dilihat masing-masing tungguhan mupun keseluruhan. Perbedaan susunan interval dalam satu barungan gamelan menyebabkan adanya perbedaan jenis/model laras, yaitu begbeg, sedeng, memecut, dan tirus.

Bagaian Ketiga : Vokal yang meliputi pengantar, jenis vokal, vokal dalam upacara dan vokal dalam seni pertunjukan. Hal yang sudah lumrah, di Bali terdapat 4 jenis vokalyaitu sebagai berikut:

  1. Gegendingan atau disebut Tembang Rare atau Sekar Rare.
  2. Pupuh atau disebut Tembang Alit atau Sekar Alit atau Macapat.
  3. Kidung Aatau disebut Tembang Madya atau Sekar Madya.
  4. Kekawin atu disebut Tembang Ageng atau Sekar Ageng.

Penggunaan vokal dalam upacara di Bali, selain terkait dengan lagu atau melodinya juga terkait dengan cakepan atau syairnya. Konsep Panca Gita merupakan salah satu bentuk kelengkapan atau bagaian dari upacara. Dengan konsep tersebut, vokal selalu hadir dalam upacara apapun. Selain sebagai upacara, vokal juga berfungsi sebagai seni pertunjukan, misalnya dalam pertunjukan tari kecak, janger, cakepung, genjek dan lain sebagaianya.

Bagaian Keempat : membahas tentang pembelajaran tradisi karawitan Bali. Ada dua jenis pembelajaran karawityan sekarang di Bali (semenjak berdirinya sekolah menengah dan perguruan tinggi seni), yaitu pembelajaran secara formal dan non formal. Kedua sitem pembelajaran ini sangat berbeda proses antara lain pembelajaran formal kurikulum, guru atau dosen dan waktu (lama pembelajaran) ditentukan, sedangkan pembelajaran non formal baik kurikulum, guruy atau dosen dan waktu pembelajaran tidak ditentukan. Dalam buku ini membahas pelajaran non formal yang disebut dengna Catur Meguru, yaitu antara lain :

  1. Meguru Lima yaitu terdiri dari dua kata yaitu meguru dan lima. Meguru artinya belajar, sedangkan lima artinya tangan (dalam bahasa Bali). Jadi meguru lima artinya adalah proses belajar suatu gending (karawitan) dengan cara dipegangi bagaian tangannya dan kemudian diarahkan oleh sang guru.
  2. Meguru panggul yaitu terdiri dari dua kata meguru artinya belajar dan panggul artinya alat pemukul (tabuh di Jawa). Jadi meguru panggul artinya seorang belajar suatu gending dengan cara langsung memainkan atau menyajikan suatu jenis tungguhan melodi tertentu dengan mengikuti arah panggul dari jenis tungguhan tertentu yang membawakan melodi suatu gending.
  3. Meguru Kuping yaitu terdiri dari dua kata, yaitu kata meguru dan kuping. Meguru artinya belajar, sedangkan kuping artinya telinga (pendengaran). Jadi meguru kuping adalah sebuah proses pembelajaran karawitan lewat pendengaran, artinya seseorang belajar uatu gending dengan cara mendengarkan gending secara terus-menerus dan pada akhirnya gending-gending yang sering didengarkan akan dikuasainya.
  4. Meguru rasa yaitu terdiri dari dua kata yaitu meguru dan rasa. Meguru artinya belajar, sedangkan rasa artinya merasakan. Jadi meguru rasa artinya proses belajar gending dengan merasakan gending yang dipelajarinya.

Bagaian Kelima : Buku ini membahas tentang jenis-jenis karawitan Bali. Berdasarkan hasil pengamatan penulis yang tertulis dalam buku ini, di Bali terdapat 40 jenis karawitan baik yang bersumber dari alat maupun vokal. Adapun jenis-jenis karawitan di Bali adalah sebagai berikut :

  1. Adi Merdangga
  2. Angklung Don Nem (slendro 5 nada)
  3. Angklung Kembang Kirang (slendro 4 nada)
  4. Angklung Klentangan (slendro 5 nada)
  5. Angklung “Jembrana” (pelog 4 nada)
  6. Bebatelan
  7. Bumbang
  8. Bumbung Gebyog
  9. Caruk
  10. Degdog
  11. Gambang
  12. Genggong
  13. Genta Pinara Pitu
  14. Gerantang (Pajogedan)
  15. Gong Beri
  16. Gong Duwe
  17. Gong Gede
  18. Gong Kebyar Gaya Bali Utara
  19. Gong Kebyar Gaya Bali Selatan
  20. Gung Luang
  21. Gong Suling
  22. Jegog
  23. Kendang Mebarung
  24. Mandolin
  25. Manika Santi
  26. Parwa
  27. Pagambuhan
  28. Pajangeran
  29. Geguntangan
  30. Rindik Gegandrungan
  31. Selonding
  32. Semar Pagulingan Saih Lima
  33. Semar Pegulingan Saih Pitu
  34. Smara Dhana
  35. Tektekan
  36. Pleret
  37. Trompong Beruk
  38. Genjek
  39. Cekepung
  40. Renganis

Dari hasil paparan resensi diatas, buku ini sangat bermanfaat bagi kita semua khususnya untuk para praktisi seni dan lebih mengkhusus lagi kepada seniman karawitan. Karena buku ini banyak berangkat dari hal-hal yang sederhana yang sangat perlu untuk di bahas sehingga menghasilkan data dan informasi yang akurat untuk menambah wawasan.

SEJARAH GAMELAN SALUKAT

Oktober 8th, 2012

YouTube Preview Image

Saya berlatar belakang untuk meneliti sejarah gamelan  salukat ini karena di dalam gamelan ini sangat banyak terdapat inovasi baru dan merupakan satu-satunya barungan gamelan  yang  hanya terdapat di Bali, tepatnya di desa pengosekan, Ubud . Gamelan ini diciptakan oleh seorang komponis muda Bali yang namanya sudah menjulang secara internasional, yaitu Dewa Ketut Alit.

Dari persespektif musik, Bali sangat beruntung memiliki musik tradisi gamelan yang sangat kaya dan berbobot tinggi. Kekayaan ini hendaknya dipelihara dengan baik, dijadikan ‘fondasi’ untuk menopang pergerakan-pergerakan musik tradisi itu sendiri kemasa depan yang lebih baik. Ia merupakan penyanggah budaya yang melahirkan karakteristik Bali sebagai daerah yang unik.Warisan tradisi ini tidak muncul begitu saja. Ia lahir dari proses panjang generasi ke generasi dan merupakan pengendapan akibat adanya pertemuan yang cocok antara musik itu sendiri dengan masyarakat pendukungnya. Ada hubungan akar yang sangat kuat melatarbelakangi hingga ia tumbuh menjadi musik yang sangat kuat pula. Seiring dengan perjalanan waktu, dari zaman setelah kemerdekaan sampai memasuki periode reformasi seperti saat ini, dengan melihat fenomena yang ada disadari atau tidak, bahwa sikap diskriminasai terhadap musik gamelan masih terjadi. Gamelan hanya dianggap sebagai media musik yang terbatas. Ia selalu dikaitkan dengan kehidupan tradisi. Itupun dilakukan oleh orang-orang kita sendiri. Gamelan kini sudah mendunia. Ia tidak lagi dibatasi hanya sebagai produk tradisional belaka. Eksistensinya sebagai ciri khas ke-Indonesiaan telah mengantarkan bangsa ini ketempat yang lebih bermatabat di dunia internasional. Ia tidak hanya sebatas mampu menembus sekat-sekat budaya timur dan barat, akan tetapi dengan lebih elegan telah tumbuh menjadi kekuatan baru yang sudah semestinya disadari dengan memberikan perhatian yang lebih serius dan berkesinambungan. Kehadiran karya-karya baru yang tetap memperjuangkan prinsip-prinsip kemandirian dan bersifat original adalah sangat diperlukan sebagai penyeimbang dari perspektif yang berbeda sehingga muncul lebih banyak pilihan yang merupakan sumbu yang sangat relevan untuk merangsang serta mendewasakan aspresiasi masyarakat sebagai penikmat, pelaku dan penilai seni. Musik gamelan Bali akan secara elegan hidup berdampingan di atas kesetaraan dan bergelora sebagai musik yang mandiri di tengah-tengah musik global yang tiada batas. Ini merupakan salah satu faktor penyebab dibuatnya barungan “Gamelan Salukat”, sekaligus dengan penciptaan komposisi-komposisi karya musik baru dengan menggunakan barungan tersebut sebagai media ungkap.

“Salukat”, dalam arti kata “Salu” artinya rumah dan “Kat” artinya melebur atau  menyucikan kembali. Artinya dalam konteks ini, rumah merupakan tempat pergi dan kembalinya orang untuk melaksanakan segala kreativitas dalam konteks berkeluarga. Jika dijabarkan juga sesuai dengan arti kata yang lain, “Sa” = Selonding, “Lu”= Luang, “Kat”= menyucikan kembali. Sehingga selonding, gong luang, merupakan jenis gamelan yang disakralkan di Bali sesuai dengan konteksnya. Kata ini ditemukan oleh beliau pada saat beliau melukat di salah satu pura yang terdapat air mancur atau pancoran di sebuah desa di Bali, yang bernama desa Kramas. Pura atau pancoran ini dinamakan “PURA SLUKAT”, yang katanya barang siapa yang  melukat pada pacoran ini atau nunas tamba pada pura ini, bahwa diyakini  segala wabah penyakit akan sembuh dan itu sudah dibuktikan oleh beliau sendiri. Lalu setelah mengamati secara cermat “PURA SLUKAT” tersebut, beliau membuat sebuah komposisi musik gamelan di Jepang yang diberi nama “SLUKAT”. Oleh ketertarikan beliau dengan kata tersebut, akhirnya barungan gamelan beliau dinamakan “Salukat” bukan “Slukat”. Gamelan  Salukat dirancang dan dibuat pada tahun 2004. Kemudian gamelan ini selesai pada tahun 2006. Lalu mulai membuat group gamelan (sekeha)  yang juga bernama “Salukat” pada tahun 2007. Kemunculan gamelan ini disebabkan oleh senangnya beliau terhadap sifat yang eskprimental atas dasar pertimbangan dalam konteks gamelan Bali, banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dengan pasti. Selain itu juga, ide diciptakan barungan gamelan ini, beliau sangat suka berkomposisi dengan menggunakan gamelan 7 nada. Sebelum adanya barungan gamelan ini, gamelan yang menggunakan laras pelog 7 nada telah ada. Misalnya barungan gamelan semarandhana, semar pegulingan, selonding, gong luang dan lain sebagainya. Tetapi menurut beliau, jika berkomposisi menggunakan barungan tersebut, beliau merasa terbatas dan kurang puas. Oleh karena nada-nadanya hanya terdiri dari satu oktaf , kecuali patutan selisir yang terdapat dalam barungan gamelan semarandhana.

Barungan gamelan salukat  ini dimainkan oleh 30 orang penabuh. Itu juga tidah harus berjumlah segitu. Tergantung juga dalam kebutuhan berkomposisi. Kalau dilihat dari wujud fisiknya, barungan gamelan ini sangat minimalis tetapi berisi. Maksud dari berisi ini, barungan ini mempunyai banyak makna dan maksud tertentu yang mempunyai alasan  yang edukatif. Bentuk tungguhan pada barungan gamelan ini tidaklah sama seperti halnya bentuk tungguhan yang sudah lumrah pada gamelan Bali. Bentuk tungguhan gamelan ini simple dan praktis untuk di bawa kemana-mana. Tetapi meskipun bentuk tungguhan barungan ini kecil, tidak ada sedikitpun berpengaruh terhadap suara gamelan. Yang anehnya juga tuning pada gamelan ini khusus untuk pemade, ngumbang isepnya dibagi menjadi empat dimensi, yang di bali biasanya hanya 2 dimensi. Tujuannya adalah pada barungan gamelan ini lebih banyak mengacu pada sistem bunyi. Disamping itu juga dalam barungan gamelan ini, menggunakan 5 gong dan 2 kempur. Maksudnya dalam  logika matematika, 5 + 2 = 7. Ini menunjukan bahwa gamelan ini berlaras 7 nada, tetapi gong atau kempurnya tidak dituning secara pasti sesuai dengan nada gamelan. Hanyalah dicari dimensinya saja, agar menimbulkan getaran atau suara yang diinginkan.

Adapun instrument yang terdapat pada barungan “Gamelan Salukat” yaitu terdiri dari :

  • 4 tungguh pemade yang daunnya berjumlah masing-masing 14 bilah
  • 4 tungguh kantilan yang jumlah daunnya masing-masing  berjumlah 14 bilah
  • 2 tungguh calung yang jumlah daunnya masing-masing berjumlah 11 bilah
  • 2 tungguh jegog yang jumlah daunnya masing-masing berjumlah 11 bilah
  • 1 tungguh ugal yang jumlah daunnya 14 bilah
  • 1 tungguh reong yang jumlah penconnya 17.
  • 1 buah kajar
  • 1 buah kempli
  • 1 buah cengceng ricik
  • 1 tungguh gambang
  • 5 gong dan 2 kempur
  • Beberapa buah kendang yang terdiri dari kendang gegupekan, palegongan, jedugan dan lain sebagainya (tergantung kebutuhan komposisi
  • 8 buah suling
  • 1 buah rebab

Ini merupakan gamelan yang mempunyai sifat evolusioner dan radikal. Dalam barungan gamelan ini, bisa dimainkan berbagai jenis lagu (gending) dari jenis repertoar musik yang ada di Bali. Misalnya gending-gending yang ada dalam barungan gamelan selonding, gong luang, angklung, gong gede, semar pegulingan, bebarongan, semarandhana dan lain sebagainya bisa dimainkan di dalam barungan Gamelan Salukat ini. Gamelan ini sungguh enerjik, baik dilihat dari konteks komposisi dan instrumentasinya.

Berikut karya-karya komposisi yang lahir dari Gamelan Salukat ini antara lain :

v  Salju

v  Aes

v  Murwe Daksina (Persimpangan Jalan)

v  Salugambuh

v  Pangenter Alit

v  Semesta

v  Ginetik

Demikianlah sejarah Gamelan Salukat yang saya peroleh dari hasil diskusi dan wawancara langsung pada  hari selasa malam, tanggal 2 oktrober 2012, dengan narasumber sekaligus pencipta dan pendiri Gamelan Salukat ini yang bernama Dewa Ketut Alit. Apabila dalam hal ini ada yang tidak berkenan, saya memohon maaf sebesar-besarnya. Sekian dan termima kasih.

 

 DAFTAR PUSTAKA

Djelantik, A.A. Made. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Bandem, Dr. I Made. 1986. “Prakempa : Sebuah Lontar Gamelan Bali”. Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar.

Dibia, SST. I Wayan, 1978. Pengantar Karawitan Bali. Proyek Peningkatan/Pengembangan ASTI Denpasar 1977/1978.

Biografi Seniman Dewa Ketut Alit

Oktober 8th, 2012

Dewa Alit lahir pada tanggal 17 Mei 1973 dari keluarga seniman di desa Pengosekan, Bali. Bagi saya, beliau adalah seorang komponis yang mempunyai pikiran yang sangat radikal. Beliau juga merupakan salah satu komponnis yang bisa membuka pikiran saya. Bahkan bukan juga untuk saya. Bagi saya beliau juga seorang pahlawan yang membuka pola pikir musik gamelan Bali di mata dunia. Ada banyak pelajaran yang bisa saya dapat dari beliau.

Dewa Ketut Alit direndam dalam gamelan Bali dari anak usia dini. Ayahnya Dewa Nyoman Sura dan saudara tertuanya Dewa Putu Berata adalah guru yang paling berpengaruh dalam hidupnya. Beliau merupakan spesialisasi pemain ugal (Concertmaster) yang pertama kali tampil pada usia 11 tahun dengan kelompok gamelannya yang bernama Sekha Gong Tunas Mekar Pengosekan. Pada tahun 1988-1995 beliau menjabat sebagai salah satu anggota pendiri Gamelan Semara Ratih yang diakui dunia internasional dari desa Ubud. Adapun tur yang dilakukan adalah tur Jepang pada tahun 1993 dan Denmark pada tahun 1994.

Pada tahun 1997, setahun sebelum lulus dari Academy of Performing Arts di Indonesia Denpasar (STSI Denpasar), Dewa Alit dan saudara-saudaranya mendirikan Sanggar Seni Çudamani. Dari keahlian dan inovasi artistik kelompok menyebabkan mereka menjulang tinggi secara Internasional dan melakukan beberapa tur, yaitu diantaranya (AS 2002, Yunani 2003 dan Jepang 2005). Komposisi-komposisi pada saat itu yang ditampilkan adalah karya-karya komposisi Dewa Alit. Beliau juga merupakan sutradara dari kelompok gamelan anak-anak Çudamani. Beliau memimpin mereka ke tempat pertama dalam Festival Gong Kebyar Anak-Anak di Bali pada bulan Mei tahun 2000, serta mengantarkan ke tempat pertama dalam Festival Musik Tradisional Nasional untuk Anak-Anak di Jakarta pada bulan September tahun yang sama.

Dewa Alit umumnya diakui sebagai komposer terkemuka di Bali. Karyanya “Geregel” (2000) adalah karya yang sangat berpengaruh untuk musik gamelan, baik di Bali dan luar negeri, serta karya tersebut merupakan subyek dari analisis 50 halaman dalam “Perspektif tentang New Music”.Disamping itu juga beliau membuat karya yang berjudul “Semara Wisaya” yang dilakukan di New York Carnegie pada tahun 2004 dan komposisi yang lain pula berjudul “Pelog Slendro” muncul di Bang pada Marathon pada bulan Juni 2006.

Beliau sering diundang untuk mengajar dan menulis tentang gamelan di luar Bali, yang meliputi Gamelan Gita Asmara di University of British Colombia, Kanada, Gamelan Galak Tika di Massachusetts Institute of Technology, Helena College di Perth, Australia dan Gamelan SingaMurti di Singapura.

Sebagai kolaborator, Dewa Alit telah bekerja dengan musisi dan penari dari seluruh dunia, yaitu sebagai komposer, musik direktur dan pemain. Karya ini menggunakan instrument Bali dan instrumnent barat, dikolaborasikan juga dengan tarian opera dengan perusahaan tarian Tiongkok di Bali Arts Festival pada tahun 2001, produksi teater kontemporer “Buddha 12” disutradarai oleh Alicia Arata Kitamura (Teater Annees Folles) di Tokyo pada tahun 2007 dan kolaborasi dengan seorang penari Butoh Jepang Ko Murobushi di Asia Tri Festival Jogya, Jogyakarta, pada tahun 2008. Dewa Alit telah menjabat sebagai gamelan master untuk Evan Ziporyn opera baru “A House in Bali,” yang melakukan premier di Bali dan di pertunjukan di Cal, USA, pada tahun 2009, serta Boston dan New York pada bulan Oktober 2010. Kekasih avid jazz, ia juga berpartisipasi dalam sesi selai dengan musisi di Denpasar, Tokyo, Boston, dan Vancouver.

Kemauan untuk mencari jalan yang lebih luas untuk mengekspresikan pendekatan untuk musik baru di gamalen, Dewa Alit mendirikan kelompok sendiri gamelan pada tahun 2007, yaitu di beri nama Gamelan Salukat. Gamelan ini merupakan satu set barungan baru yang di tuning dan di desain oleh Dewa Alit sendiri.

Demikianlah biografi tentang Dewa Ketut Alit yang merupakan seorang komponis muda terkemuka di dunia untuk musik gamelan. Apabila ada kesalahan atau hal yang tidak berkenan, saya meminta maaf sebesar – besarnya. Sekian dan terima kasih.

KOMENTAR VIDEO TABUH KREASI CANANG SARI SANGGAR CENIK WAYAH UBUD

Mei 20th, 2012

YouTube Preview Image

Tabuh kreasi Canang Sari merupakan tabuh kreasi baru yang diciptakan oleh Colin Mc.Donald pada tahun 2006. Tabuh ini dituangkan dan dimainkan oleh sanggar Cenik Wayah ubud yang menggunakan media ungkap gamelan Smara Dhana. Sanggar Cenik Wayah merupakan sanggar yang cukup kreatif  yang terletak di Ubud sebagai penanggung jawab Cokorda Ngurah Suyadnya dan sebagai Pembina tabuh yaitu I Wayan Sudirana. Sanggar ini berdiri pada tahun 2003. Adapun prestasi yang diraih oleh sanggar ini adalah sebagai juara 1 Festival Gong Kebyar Anak-Anak 2005 se-Bali. Di samping itu juga sanggar ini sering mendapat project bersama orang asing untuk memainkan tabuh ciptaan orang asing tersebut. Sampai saat ini Sanggar Cenik Wayah Ubud masih aktif melakukan pementasan 1x seminggu yaitu pada hari kamis, yang terletak di Cafe Lotus atau Puri Saraswati Ubud. Adapun gamelan yang dimiliki oleh Sanggar Cenik Wayah Ubuid adalah Gamelan Smara Dhana. Gamelan Smara Dhana merupakan seperangkat barungan baru yang mana bentuknya hampir sama dengan gamelan gong kebyar, tetapi warna suara dan jumlah bilahnya berbeda. Gong Kebyar mempergunakan laras pelog 5 nada, sedangkan Smara Dhana, satu oktaf mempergunakan laras pelog 5 nada, dan satu oktaf lagi mempergunakan laras pelog 7 nada yang sama dengan gamelan Semara Pagulingan. Gamelan Smara Dhana ini muncul pertama kali di desa Ubud Gianyar yaitu bertempat di Puri Saren Ubud pada tahun 1988. Gamelan ini diciptakan oleh Bapak Wayan Beratha seorang seniman asal Denpasar. Menurut Bapak I Wayan Baratha, kata Smara Dhana dipilah menjadi “Semara dan Dhana”. Semara berarti suara, sedangkan Dhana berarti kaya. Jadi kata Smara Dhana dapat diartikan “kaya akan suara. Instrument dari gamelan Smara Dhana ini tidak jauh berbeda dengan gamelan Gong Kebyar. Ditinjau dari kelengkapan barungannya gamelan Smara Dhana memiliki 19 jenis bentuk instrument. Diantaranya:

•           2 tungguh jegogan, sumber suaranya pada bumbungan.

•           2 tungguh juglag, sumber suaranya pada bumbungan.

•           2 tungguh penyacah, yang sumber suaranya pada bumbungan.

•           2 tungguh ugal, yang sumber suaranya pada bumbungan.

•           4 tungguh pemade, yang sumber suaranya pada bumbungan.

•           4 tungguh kantilan, yang sumber suaranya pada bumbungan.

•           1 tungguh reong, yang sumber suaranya terletak di bawah pencol reong.

•           1 tungguh trompong, yang sumber suaranya terletak di bawah pencol trompong.

•           1 pasang gong lanang wadon, yang sumber suaranya terletak di belakang pencol gong.

•           1 pasang kendang lanang wadon, yang sumber suaranya di tengah badan kendang atau di muka kanan dan muka

kiri kendang.

•           1 kempur, yang sumber suaranya di belakang pencol kempur.

•           1 bende yang sumber suaranya di belakang pencol bende.

•           1 kemong, yang sumber suaranya terletak di belakang pencol kemong.

•           1kempli, yang sumber suaranya terletak di bawah pencol kempli.

•           1 kajar, yang sumber suaranya terletak di bawah pencol kajar.

•           1 tungguh cengceng ricik, yang sumber suaranya pada pertemuan bilah cengceng yang di pukul.

•           Suling kurang lebih berjumlah 6, yang sumber suaranya di tanggkai atas suling atau sering disebut song manis.

•           1 buah rebab atau lebih, yang sumber suaranya pada kulit rebab, bila di gesek menggunakan alat penggesek rebab.

•           Beberapa cengceng kopyak (jika diperlukan), yang sumber suaranya pada pertemuan bilah cengceng yang di

dipukul.

 

Komentar  Video Tabuh Kreasi Canang Sari

Sanggar Cenik Wayah Ubud,

1)    Sound System :

Dari Segi Sound System, dalam video ini kita bisa liat keseimbangan suara antar instrumen. Sound System sangat berpengaruh dalam pengaturan suara dalam video ini, jadi apabila orang yang mengatur sound system ini kurang handal, maka akan sangat berpengaruh dalam pengaturan suara instrumen yang bisa membuat sebuah pertunjukan kacau dan kurang enak didengar. Dalam video ini, instrument cengceng sangat kurang kedengaran. Sebaiknya microphone diletakkan dekat instrument tersebut agar nanti suaranya bisa seimbang dengan instrument yang lain. Selain itu juga suara kajar terlalu keras.

2)    Lighting :

Dari segi Ligthing, dalam video ini terlihat sangat kurang. Karena saya lihat pada video ini, hanya menggunakan satu sumber cahaya. Dan tidak adanya efek-efek cahaya yang lain. Kalau disertai efek-efek cahaya yang lain, kemungkinan pementasan ini akan terasa lebih hidup.

3)    Pengambilan Gambar :

Dari segi pengambilan gambar, dalam video ini terlihat kurang bagus. Sebab kurang fokusnya gambar yang mau diambil. Misalnya mengambil gambar antar pemain gamelan. Di samping itu juga si pengambil gambar kurang kreatif untuk menyoroti wajah-wajah si pemain. Saya lihat pada video ini si pengambil gambar hanya diam si satu tempat.

Sekian sekilas tentang sanggar Cenik Wayah dan Gamelan Smara Dhana, serta  komentar video Tabuh Kreasi Canang Sari Sanggar Cenik Wayah Ubud  yang bisa saya sampaikan. Jika ada kekurangan dalam penyampain saya, mohon maaf sebesar-besarnya. Saran dan pesan anda sangat saya butuhkan.

Terima Kasih.