Archive for the 'Tak Berkategori' Category

TARI REJANG

Posted in Tak Berkategori on April 8th, 2018 by suryanatih

Tari Rejang adalah tarian tradisional masyrakat Bali dalam menyambut kedatangan serta menghibur para dewa yang datang dari Khayangan dan turun ke Bumi. Tarian rejang ini secara khusus ditampilkan pada waktu berlangsungnya suatu upacara adat atau keagamaan masyarakat Hindu di Bali. Selain sebagai salah satu warisan budaya, tarian ini juga dipercaya memiliki nilai-nilai penting di dalamnya khususnya makna spiritual, sehingga juga dipercaya sebagai tarian yang suci dan dilakukan dengan penuh rasa pengabdian.

Asal Tari Rejang

Menurut beberapa sumber sejarah yang ada, Tari Rejang diperkirakan sudah ada sejak jaman pra-Hindu. Tarian ini dilakukan sebagai persembahan suci untuk menyambut kedatangan para dewa yang turun ke Bumi. Di kalangan masyarakat Hindu Bali, Tari Rejang ini selalu ditampilkan pada berbagai upacara adat dan keagamaan yang diselenggarakan di pura seperti upacara Odalan. Selain itu di beberapa tempat di Bali, tarian ini juga tampilkan setiap tahunnya, sebagai bagian dari upacara peringatan tertentu di lingkungan desa mereka.

Fungsi Tari Rejang

Seperti yang diungkapkan di atas, Tari Rejang ini merupakan tarian persembahan suci dalam menyambut kedatangan para dewa yang datang dari khayangan dan turun ke Bumi. Tarian ini berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur dan penghormatan mereka kepada dewa atas berkenannya turun ke Bumi.

Pertunjukan Tari Rejang

Tari Rejang ini biasanya ditarikan oleh sejumlah penari wanita secara berkelompok maupun secara masal. Pada umumnya mereka bukanlah para penari profesional, sehingga dapat dilakukan oleh siapa saja baik wanita tua, setengah baya, maupun muda yang sudah didaulat atau disucikan sebelum menarikan tarian ini. Walaupun begitu, dalam pertunjukan tari ini biasanya juga terdapat beberapa orang penuntun yang disebut Pamaret, yaitu seorang yang sudah berpengalaman melakukannya. Pemaret ini biasanya berada di barisan paling depan agar para penari pemula bisa mengikuti gerakannya.

Gerakan Tari Rejang

Secara umum gerakan Tari Rejang ini sangat sederhana. Hal ini disebabkan karena dalam tarian ini lebih berfokus pada nilai spiritual di dalamnya. Gerakan Tari Rejang ini biasanya didominasi dengan gerakan ngembat dan ngelikas atau gerakan kiri dan kanan yang dilakukan sambil melangkah ke depan secara perlahan. Setiap gerakan dalam tarian ini biasanya dilakukan dengan tempo yang cenderung pelan dan juga disesuaikan dengan iringan musik yang ada, sehingga terasa hikmat dan terlihat selaras.

Pengiring Tari Rejang

Dalam pertunjukan Tari Rejang ini biasanya diiringi dengan musik gamelan khas Bali. Musik gamelan tersebut pada umumnya adalah gong kebyar, namun ada beberapa yang memakan gamelan lain seperti gamelan selonding atau gamelan gambang. Selain itu dalam pertunjukan Tari Rejang ada pula yang diiringi vokal seperti tembang atau kidung.

Busana Tari Rejang

Busana yang digunakan pada Tari Rejang ini biasanya merupakan pakaian adat masyarakat Bali yang didominasi warna kuning dan putih. Busana tersebut terdiri dari kain putih panjang yang di kenakan dari bawah sampai pinggang penari. Pada bagian atas merupakan serangkaian kain panjang seperti selendang yang berwarna kuning dililitkan di badan penari menutupi kain putih bagian atas. Sedangkan pada bagian kepala, penari menggunakan mahkota yang dibuat dengan ornamen bunga-bunga. Untuk tata rias yang digunakan para penari, biasanya lebih sederhana dan lebih terkesan natural.

Perkembangan Tari Rejang

Dalam perkembangannya, Tari Rejang ini masih terus ada hingga sekarang. Selain sebagai warisan budaya, Tari Rejang ini juga merupakan bagian dari upacara keagamaan masyarakat Hindu di Bali. sehingga tarian tersebut tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat di sana. Dalam pertunjukan Tari Rejang ini juga tidak dilakukan oleh penari khusus sehingga dapat diajarkan secara turun-temurun dan keahlian dalam menari tidak terhenti begitu saja.

RINDIK

Posted in Tak Berkategori on April 8th, 2018 by suryanatih

Rindik adalah alat musik tradisional masyarakat Bali yang terbuat dari potongan-potongan bambu. Bambu yang digunakan untuk membuat Rindik ini biasanya merupakan bambu pilihan, sehingga tidak mudah pecah dan menghasilkan suara yang baik. Alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan alat tabuh secara bergantian sehingga menghasilkan suara yang merdu.

 

Fungsi Alat Musik Rindik

 

Di Bali sendiri, Rindik ini merupakan salah satu alat musik tradisional yang cukup terkenal. Rindik ini biasanya ditampilkan sebagai salah satu alat musik pengiring pertunjukan joged bumbung. Selain itu  Rindik juga sering ditampilkan untuk mengiringi upacara pernikahan atau resepsi. Alunan suaranya yang khas sangat cocok dan membuat suasana dalam acara tersebut semakin terasa romantis.

 

Bentuk Alat Musik Rindik

 

Rindik merupakan alat musik yang terbuat dari bambu yang sudah dipotong-potong dan ditata sesuai ukurannya. Jumlah potongan bambu tersebut biasanya terdiri dari 11 buah sampai 13 buah. Setiap buah bambu memiliki ukuran yang berbeda dan nada yang berbeda pula. Semakin besar ukuran bambu maka semakin bernada rendah, seBaliknya semakin kecil bambu tersebut maka semakin tinggi nada yang dihasilkan. Bambu tersebut ditata diatas tempat(pelawah) dimulai dari nada paling rendah di sudut kiri hingga nada paling tinggi di sudut paling kanan.

 

Nada yang dihasilkan oleh Rindik ini merupakan nada Pentatonic atau Laras slendro, yang berarti hanya memiliki 5 nada utama. Rindik ini dimainkan dengan menggunakan 2 buah alat pemukul yang terbuat dari karet dan memiliki ukuran yang berbeda. Pemukul berukuran besar biasanya digunakan di tangan sebelah kiri begitu juga sebaliknya. Hal ini dikarenakan nada paling kiri lebih rendah sehingga saat dimainkan terdapat sebuah keseimbangan nada.

 

Cara Memainkan Alat Musik Rindik

 

Cara memainkan Rindik ini juga membutuhkan keahlian khusus dan feel yang cocok. Rindik biasannya dimainkan dengan dua tangan, dimana fungsi keduanya berbeda. Pada tangan kanan memainkan kotekan sedangkan yang kiri memainkan melodi. Sehingga apabila digabungkan akan menghasilkan suara yang merdu.

 

Pemain Rindik juga dibedakan menjadi dua macam, yang pertama memainkan pokok lagu/gendhing, dan satunya memainkan sangsih. Apabila keduanya dipadukan maka akan menghasilkan suara yang harmonis.Dalam permainan Rindik juga terdapat teknik pukulan yang dinamakan ngundil, yaitu teknik pukulan yang dilakukan tangan kiri pemain sangsih dimana pukulan tersebut menyelingi pukulan tangan kiri pemain pokok yang sudah divariasikan. Pada pertunjukan joged bumbung, teknik seperti itu sering disebut dengan jegog.

 

Perkembangan Alat Musik Rindik

Dalam perkembangannya, musik Rindik menjadi salah satu alat musik yang lebih fleksibel dan memiliki fungsi yang lebih banyak. Selain bisa digunakan sebagai pengiring pertunjukan tari, musik Rindik juga bisa ditampilkan sebagai pertunjukan musik seperti pengiring pernikahan dan resepsi. Selain itu juga bisa ditampilkan di acara festival budaya, penyambutan tamu besar dan acara budaya lainnya.

Sekian pengenalan tentang “Rindik Alat Musik Tradisional Dari Bali”. Semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan anda tentang ragam kesenian tradisional di indonesia.

 

SELONDING

Posted in Tak Berkategori on April 8th, 2018 by suryanatih

Gambelan Selonding adalah merupakan peninggalan historis dari kegiatan berkesenian nenek moyang di masa silam. Gambelan Selonding merupakan salah satu contoh mengenai Local Geniusdari lelhur, yang mampu mengantarkan kita kepada suatu jenjang puncak budaya, sehingga keberadaannya masih eksis sampai saat ini. Peninggalan historis tersebut masih mampu menjembatani suatu masa ribuan tahun yang lalu dengan masa kini.

Gambelan Selonding memang masih dapat bertahan dari terpaan gelombang peradaban manusia dalam rentang waktu yang cukup lama, dan ini hanya dimungkinkan oleh adanya suatu vitalitas nilai universal yang terkandung di dalamnya dan terjalin erat dengan masyarakat pendukungnya.

Pada dasarnya gambelan Selonding yang lahir dari hasil, cipta, rasa, dan karsa nenek moyang, itu adalah sebagai perwujudan dari pengalaman estetis dikala keadaan jiwa sedang mengalami kedamaian dan kesucian. Pendakian ini hanya mungkin dapat dicapai dengan penghayatan dan pengalaman yang immanent dari ajaran agama hindu. Rupa-rupanya gambelan Selonding tumbuh, hidup dan berkembang sebagai kultur religius, sehingga dapat dipahami bahwa gambelan Selonding banyak terdapat dipusat-pusat keagamaan pada zaman Bali kuno yang olehR. Goris disebut sebagai basis kebudayaan Bali Kuno. Dapat dimengerti, mengapa gambelan Selonding yang pernah ada di Jawa Timur pada zaman Kediri kini sudah lenyap (Tusan, 2001 : 2).

Gambelan Selonding bukanlah segugusan instrumen primitif yang kosong tanpa makna. Gambelan ini banyak tercatat dalam prasasti raja-raja Bali Kuno dari babakan pemerintah Maharaja Sri Jaya Sakti sampai dengan awal pemerintahan Majapahit di Bali. Dan juga sejumlah karya sastra para pujangga dari zaman Kediri sampai Babakan zaman Majapahit akhir. Seperti Kekawin Bharata Yudha, Hari Wangsa, Gatot Kaca Sraya,Sumana Santaka, Wrttasancaya, Wrttayana, dan Rama Parasu Wijaya, banyak merekam nuansa keindahan gambelan Selonding yang masih dapat diwarisi sampai sekarang.

Istilah Selonding yang kemudian dikenal dengan nama Selonding di Bali, berdasarkan temuan dalam sebuah lintar kuno yaitu Babad Usana Bali yang menyebutkan seorang raja besar di zaman dahulu yang bergelar Sri Dalem Wira Kesari yang bertahta di lereng gunung Tolangkir(Gunung Agung) (Tusan, 2001 : 12)

Bila dirunut asal muasal kosa kata Selonding itu berasal dari kata Salunding. H.N. der Tuukdalam bukunya Kawi Balineesch-Nederlandsch-1984, menyebutkan bahwa Salunding itu identik dengan gambelan gender.C.F. Winter SR menyebutkan Salundingadalah gambelan Saron.Wayang Warna menyebutkan kosa kata Salunding adalah nama gambelan yang suci yang ditabuh pada upacara tertentu.

Guru-guru Kokar pada waktu mengadakan penelitian di Tenganan (1971) mengemukakan bahwa Selonding berasal dari kata Salon + Ning yang diartikan tempat suci. Karena gambelan Selonding itu dikenal sebagai perangkat gambelan yang disucikan dan disakralkan oleh masyarakat pendukungnya.

Gambelan Selonding adalah salah satu gambelan kuno yang masih dapat diwarisi sampai sekarang di Bali. Gambelan ini semula dikenal pada masa pemerintahan Sri JayaBawa di Kediri yang berlanjut sampai pada zaman Majapahit.

Di Bali gambelan Selonding telah dikenal pada pemerintahan Sri Maharaja Jaya Sakti (1052-1071 C), merupakan suatu kesenian yang populer pada zamannya, mengingat kewajiban-kewajiban berupa pajak yang dikenakan yang merupakan pajak tertinggi diantara kesenian lainnya.

Pada zaman pemerintah Sri Maharaja Bhatara Guru Sri Adikutiketana pada tahun 1126 C, kesenian Selonding ini akhirnya dibebaskan dari segala macam pajak, karena telah menjadi kesenian untuk mengiringi upacara keagamaan sampai dewasa ini. Gambelan Selonding tersebut masih sangat disakralkan sebagai sarana upacara keagamaan di Bali, seperti yang terdapat di Tenganan, Bungaya, Asak, Timbrah, Bugbug, Ngis, Trunyan, Kedisan ,Batur, Bantang, Manikliyu, dan Tigawas.

 Jumlah

Satuan Ciri-ciri Instrumen
8 tungguh berisi 4 buah bilah
6 tungguh masing-masing berisi 4 buah bilah
2 tungguh berisikan 8 buah bilah

 Karawitan Bali mencatat bahwa instrumentasi dari gambelan Selonding, yaitu :

Jumlah Satuan Instrumen
2 tungguh gong
2 tungguh kempul
1 tungguh peenem
1 tungguh petuduh
1 tungguh nyongnyong alit
1 tungguh nyongnyong ageng

GAMELAN GEGUNTANGAN

Posted in Tak Berkategori on April 8th, 2018 by suryanatih

Gamelan Geguntangan adalah barungan gamelan yang termasuk dalam barungan gamelan golongan  baru dimana didalam barungan ini sudah terdapat instrumen kendang yang memiliki peranan penting dan pembendaharaan pukulan kendang yang lebih dominan. Gamelan ini juga disebut sebagai gamelan Arja atau Paarjaan karena sering dipergunakan sebagai pengiring pertunjukan dramatari Arja yang diperkirakan muncul pada permulaan abad XX. Sesuai dengan bentuk Arja yang lebih mengutamakan tembang dan melodrama, maka diperlukan musik pengiring yang suaranya tidak terlalu keras, sehingga tidak sampai mengurangi keindahan lagu-lagu vokal yang dinyanyikan para penari. Melibatkan antara 10 sampai 12 orang penabuh, gamelan ini termasuk barungan kecil. Instrumen guntang, suling dan kendang merupakan alat musik penting didalam barungan ini.

 

Berbagai macam kegunaan atau fungsi dari Gamelan Geguntangan dapat dilihat dari tata penyajian yang dilakuakan dalam masyarakat Bali. Dalam kesenian Bali ada 3 jenis pengelompokan fungsi kesenian khususnya dalam seni pertunjukan, diantaranya bersifat Bali, Bebali dan Bali-balihan. Seperti apa yang disebut di atas pada mulanya gamelan ini diciptakan untuk mengiringi drama tari Arja yang dalam pengelompokan fungsi di atas termasuk Bebali yang dalam pertujukannya diiringi dengan gamelan Geguntangan  yang berlangsung sampai saat ini. Seiring perkembangannya, Gamelan Geguntangan kini lebih banyak digunakan untuk mengiringi pesantian misalnya geguritan, pupuh, ataupun jenis tembang yang lainnya. Dengan masuknya gamelan Geguntangan dalam mengiringi pesantian, memberi pengaruh khususnya bagi pecinta geguritan yang ada di Bali. Dengan perkembangan fungsi gamelan Geguntangan secara kwalitas saat ini lebih banyak sebagai hiburan atau yang sifatnya presentasi estetis. Ini disebabkan karena pertunjukan gamelan Geguntangan yang digunakan untuk mengiringi pesantian telah di rekam dan disiarkan melalui media elektronik seperti televisi dan radio. Ini menyebabkan semakin banyak masyarakat mengetahui hubungan antara musik iringannya dengan musik vokal atau tembang tersebut disamping sebagai hiburan.

Dewasa ini gamelan Geguntangan amat menarik perhatian masyarakat. Ini  dapat dibuktikan dengan kwantitas gamelan Geguntangan yang tersebar di beberapa wilayah di BaliDalam kehidupan masyarakat Bali gamelan ini sedang “naik daun” yang sangat di gemari oleh masyarakat Bali khususnya pengemar pesantian(geguritan,pupuh dan yang lainnya). Hampir disetiap desa atau banjarmemiliki gamelan ini. Pesatnya perkembangan media elektronik yang menyiarkan gamelan Geguntangan yang digunakan untuk mengiringi pesantian maupun dramatari Arja dalam penyajiannya, dapat memotifasi masyarakat untuk memiliki gamelan ini. Melalui penyajiannya lewat siaran ataupun rekaman audio-visual, gamelan Geguntangan yang disajikan untuk mengiringi pesantian atau geguritandapat disaksikan oleh masyarakat umum, sehingga melalui siaran tersebut dalam kenyataanya mampu menarik perhatian masyarakat umum khususnya penggemar seni.

 

 

Instrumen dari Gambelan Guntangan

Kendang

Kendang bali berbentuk truncated/bulat panjang dan memakai hourblass atau pakelit . kendang itu dibuat dari kayu nangka , jati , atau seseh yang dibungkus dengan kulit pada kedua ujung dan dicancang dengan jangat. Fungsi kendang adalah sebagai pemurba irama , mengatur cepat lambat dan perubahan dynamio.

Gong pulu

Gong pulu  berfungsi sebagai sebagai gong dan bermain imbalan dengan tawa-tawa.

 

Guntang

berfungsi sebagai kajar atau penentu cepat lambat jalannya tempo dalam memainkan sebuah repertuar lagu.

Klenang

Klenang bermain imbalan/alternating dengan instrument guntang.

 

Krenet

Pukulan krenet mngikuti pukulan kendang.

 

Cenceng Ricik

Rincik yaitu cengceng kecil yang berfungsi untuk memperkaya rythme.

Tawa-tawa

Tawa-tawa bermain imbalan dengan gong pulu.

Suling

Suling merupakan sebuah instrument dalam karawitan Bali,suling berasal dari dua suku kata yaitu Su yang dalam bahasa Bali berarti baik (luwih) dan Ling yang berarti tangis atau suara (dalam bahasa kawi), jadi Suling dapat diartikan suara tangisan yang baik. Suling dimainkan dengan cara yang sama seperti pada umumnya yaitu menggunakan system tiupan tanpa terputus-putus (ngunyal angkihan). Suling berfungsi untuk mengiringi pupuh yang dinyanyikan. Jika ditinjau dari segi estetika Suling dapat mendukung berbagai adegan yang diperankan, seperti adegan keras, sedih, gembira dan sebagainya, yang dapat mendukung suasana dengan melodi gending dan patet yang dipergunakan.

 

Laras dan tetekep

Laras yang dipakai dalam gamelan geguntangan ialah laras Pelog dan Selendro, sesuai dengan tembang yang dipergunakan. Masalah laras hanya terdapat pada suling, karena suling satu-satunya instrumen yang fix melody di dalam arja. Kemudian menyusul curing dengan laras pelog.

Gending- Gending atau Reportoar Lagu dalam Gamelan Geguntangan

Didalam Gamelan Geguntangan ada beberapa gending petegak yang biasa di gunakan untuk mengawali pementasan, di antaranya:

  1. Sekar Eled
  2. Pangecet Subandar
  3. Lenngker
  4. Godeg miring
  5. Sinom ladrang
  6. Selisir

 

 

TARI GAMBUH

Posted in Tak Berkategori on April 7th, 2018 by suryanatih

Asal Mula Gambuh

Suatu kenyataan yang ada mengenai dramatari Gambuh pada saat ini yakni semakin berkurangnya sekaa-sekaa Gambuh di Bali. Berdasarkan data-data yang ada bahwa pada puluhan tahun yang lalu di Bali pernah ada Gambuh di daerah-daerah seperti : Jungsri, Budakeling dan Padang Aji di Kabupaten Karangasem, Batuan, Sipangadu (Gianyar), Pedungan, Sesetan, Tumbak Bayuh, Buduk (Badung), Anturan, Depeha (Buleleng), Apit Yeh – Baturiti (Tabanan) dan lain sebagainya.

Tentang Gambuh ini hingga kini masih banyak dipermasalahkan orang, terutama sekali tentang asal mulanya, kapan sesungguhnya Gambuh ini timbul di Bali. Mengingat sedikitnya data-data yang ada menyangkut masalah Pagambuhan ini memang masih sulit untuk mendapatkan kejelasan yang tuntas tentang asal mula Gambuh ini. Adapun data-data yang selama ini berhasil dikumpulkan yang di dalamnya ada menyangkut masalah Gambuh yakni Lontar Candra Sengkala (Pasasengkalan), Babad Dalem (Babad Samprangan) dan Cerita Panji yang di Bali dikenal dengan cerita Malat.

 

Istilah Gambuh pertama-tama dijumpai dalam lontar Candra Sengkala yang di dalamnya ada menyebutkan :

“Sri Udayana suka angetoni wang Jawaa mengigal, sira anunggalaken sasolahan Jawa mwang Bali, angabungaken ngaran Gambuh, kala iḉaka lawangngapit lawang”.

Kalimat berbahasa Kawi diatas berarti :

Sri Udayana suka melihat orang-orang Jawa menari yang mempersatukan tari Jawa dengan tari Bali, menggabungkan yang kemudian disebuh Gambuh, pada tahun ḉaka 929 atau tahun 1007 Masehi.

Dari uraian dia atas dapat kita petik beberapa pokok masalah mengenai Gambuh di Bali yakni :

  1. Timbulnya “Gambuh” di Bali adalah tahun 1007 Masehi.
  2. Gambuh yang muncul itu adalah  gabungan antara tari Jawa  dengan tari  Bali.

Sumber lain yang juga ada mengungkapkan masalah Gambuh ini yakni Babad Dalem (Babad Samprangan) yang didalamnya ada kalimat yang berbunyi : “Puput kedaton ring Samprangan, kedatwanira Dalem Wawu Rawuh, wangun Gambuh paara aryeng Majapahit ring Bali, sunia buta segara bumi”.

Kalimat tersebut artinya : setelah selesainya kraton di Samprangan yang merupakan kraton dari Dalem Wawu Rawuh, disusun (dibentuk) sebuah Gambuh oleh para arya-arya dari Majapahit yang ada di Bali pada tahun ḉaka 1350 atau tahun 1428 Masehi.

Kalau kita melihat pada cerita baku dari dramatari Gambuh yaitu cerita Panji, tokoh-tokoh yang ditampilkan dan Gambuh juga memakai nama-nama tokoh dari cerita Panji seperti : Rangkesari, Panji, Prabangsa, Kadean-Kadean, Demang Tumenggung, Gunung Sari dan lain sebagainya. Cerita Panji menurut Prof.Dr.R.M.Ng. Poerbacaraka  diperkirakan berasal dari sekitar lambing kejayaan atau sesudah kejayaan kerajaan Majapahit, sedangkan penyebarannya ke seluruh Nusantara baru terjadi jauh kemudian.

Struktur Pertunjukan Gambuh

Berbicara tentang Pegambuhan kita tidak cukup hanya membicarakan tentang asal mulanya saja, akan tetapi dari segi-segi lainnya, seperti : pepeson, gambelan pengiring, pelaku, busana, dialog dan lain-lainnya juga perlu diungkapkan oleh karena hal-hal tersebut di atas sangat penting artinya di dalam Pegambuhan.

  1. Pelaku

Sebagai dramatari yang tertua di Bali, Gambuh masih mempergunakan nama tokoh dari kaum bangsawan dari kerajaan Jawa Timur pada abad ke XII – XIV seperti : Demang Tumenggung, Patih Rangga Toh Jiwa, Arya Kebo Tan Mundur, Arya Kebo Angun-Angun, Ken Bayan, Ken Sangit, Pangunengan, Pasiran, Panji Kuda Narawangsa, Maisa Prabangsa dan lain sebagainya. Pada mulanya dramatari Gambuh di Bali dibawakan oleh para penari yang terdiri dari kaum laki-laki namun dalam perkembangannya kemudian bahkan hingga sekarang bagian-bagian tertentu diperankan oleh pelaku wanita.

  1. Papeson

Sebagaimana biasanya yang terdapat dalam suatu pementasaan Gambuh, bahwa papeson keseluruhan peran-peran yang ditampilkan adalah sebagai dibawah ini :

–          Condong yg diiringi dengan tabuh Subandar.

–          Kakan-kakan yang diiringi dengan tabuh Sumambang.

–          Arya-arya dengan tabuh pengiringnya Sekar Gadung atau yang lainnya.

–          Demang Tumenggung yang diiringi dengan tabuh Bapang Gede.

–          Patih Manis (Rangga) diiringi dengan tabuh Godeg Miring, Tunjur.

–          Panji dengan iringan tabuh Lengker, Sumeradas, Bapang selisir atau yang lain.

–          Panasar dengan iringan tabuh Bapang.

–          Prabu keras dengan iringan tabuh Godeg Miring, Biakalang atau tabuh lainnya.

Papeson diatas seringkali berubah tergantung dari jalannya cerita yang hendak dilakonkan.

  1. Gambelan

                        Gambelan Pegambuhan yang lengkap terdiri dari instrument-instrumen seperti :

–          Rebab (satu atau dua buah).

–          Suling Pagambuhan (suling besar) dua atau tiga buah.

–          Sepasang kendang (kendang kakrumpungan).

–          Sebuah kajar.

–          Sebuah Klenang.

–          Setungguh ricik (cengceng kecil).

–          Kenyir (satu tungguh).

–          Gentorag (satu pancer).

–          Gumanak

–          Kangsi.

Diantara instrument-instrumen diatas, gumanak dan Kangsi kini sudah semakin jarang dipergunakan.

  1. Perkembangan Gerak

Dari jenis-jenis gerak tari yang biasa dipergunakan dalam tari Gambuh, terdiri dari :

–          Mungkah Lawang : gerakan seperti membuka langse yang biasanya dipakai untuk memulai suatu tarian condong.

–          Ngeseh : gerakan sendi untuk menghubungkan agem kanan ke agem kiri.

–          Ngalih pajeng : gerakan pencari pajeng (paying) yang merupakan salah satu property dari tempat pementasan (kalangan).

–          Nayog : berjalan dengan ayunan tangan agak datar ke samping.

–          Nyambir : mengambil ujung (sisi) kampuh kanan dengan tangan kiri dan kanan kemudian diangkat bersama-sama setinggi dada (di muka dada).

–          Butangawasari : posisi berdiri dengan mengangkat sebelah kaki (nengkleng) dengan tangan kanan ditekuk diatas kepala, sedangkan tangan kiri ditekuk ke samping.

–          Gelatik nuut papah : meloncat kecil seperti burung gelatik baik ke kanan maupun ke kiri, sementara ditekuk datar ke  samping kanan maupun kiri.

–          Nepuk : mengambil (menyentuh) kampuh pada pertengahan dada, baik oleh tangan kanan maupun tangan  kiri.

–          Ngelangsut.

–          Ngerajeg : gerakan mencari rajeg yang biasanya berfungsi sebagai dekorasi di sudut-sudut arena tari.

–          Nyeleyog : gerak perpindahan yang disertai dengan perputaran  bahu dadn kemudian  dilakukan bersama-sama dengan memindahkan arah hadap.

–          Anadab gelung : gerakan tangan untuk menyentuh bagian samping dari gelungan.

–          Anadab karna : gerakan tangan untuk menyentuh  telinga bagian atasnya.

–          Anadah oncer : gerakan mengambil oncer.

–          Tayungan ngotes (kotes) : ayunan tangan tepat ke muka dan ke belakang.

–          Nakep dada : menutup dada dengan posisi tangan menyilang.

–          Milpil : berjalan cepat.

–          Malpal : berjalan cepat dengan langkah agak lebar dan berat.

–          Ngulah : sejenis ngangsel namun dilakukan dengan melangkah ke depan.

–          Ngeger : semacam ngangsel namun dilakukan dalam batas lagu yang lebih panjang. Ngeger ini juga disebut (ngopak lantang).

–          Kirig udang : gerakan semacam ngangsel yang dilakukan dengan menarik salahsatu kaki dengan tolehan stakato  ke bawah.

  1. Lakon

                Sebagai lakon utama Gambuh lebih banyak melakonkan cerita-cerita dari cerita Panji. Beberapa cerita lain yang juga dapat dijadikan lakon Gambuh dan sudah biasa dilakonkan yakni :

–          Cerita Ranggalawe

–          Cerita DamarWulan

–          Cerita Amad Muhamad

  1. Busana

                Secara umum bahwa semua peran-peran yang ditampilkan dalam Pagambuhan tata busananya terdiri dari busana “Kakampuhan” untuk peran putra dan busana putrid dengan segala variasi untuk peran-peran putrid (wanita)

–          Jaler : celana panjang berwarna putih ataupun loreng-loreng.

–          Stewel : hiasan untuk membalut  jaler dari bawah lutut sampai ke pergelangan kaki.

–          Kain putih kekancutan : kain yang dipakai secara melilitkannya di badan setinggi dada (dipasang sebelum saput).

–          Saput : semacam sarung yang dipegang pada satu sisinya, digambari dengan bermacam-macam ornament dari motif prada, atau dibuat dari kain loreng.

–          Angkeb bullet (angkeb kancut) : hiasan kecil yang juga diprada, dipasang sesudah saput untuk menutup bagian punggung atau menutup ikatan kain putih kalau ujungnya dicawatkan di punggung.

–          Bapang : hiasan pada leher (neckband).

–          Baju.

–          Gelangkana : hiasan kecil untuk menutup ujung baju pada pergelangan tangan.

–          Awiran : hiasan kecil bermotifkan prada yang dipasang diatas (menutupi) angkeb atau digantungkan di bawah keris.

–          Angkep pala : hiasan semacam angkeb kancut namun lebih kecil yang dipasang untuk menutupi pundak baik kiri maupun kanan.

–          Sabuk : terdiri dari sabuk kancing yang dipasang di pinggang dan sabuk stagen untuk mengikat kain putih maupun saput.

Untuk busana putrid terdiri dari :

–          Kain : jenisnya ada yang memakai lancingan (kancut) ada juga yang tanpa kancut.

–          Sabuk : sabuk stagen dan sabuk prada (semacam sabuk stagen yang dihiasi dengan motif-motif prada).

–          Lamak : hiasan penutup badan bagian depan yang dipasang bergantungan dari atas susu hingga diatas lutut.

–          Baju.

–          Gelangkana : hiasan penutup ujung baju pada pergelangan tangan dan ada juga yang dipasang di lengan atas (hanya untuk peran putri raja).

–          Ampok-ampok : hiasan dari kulit yang dipasang di pinggang.

–          Bapang : hiasan pada leher yang dipasang membidang melingkari pundak dan dada.

Disamping busana diatas, baik peran putra maupun putrid masing-masing mengenakan hiasan kepala yang berupa udeng-udengan (destar) untuk para punakawan dan hiasan kepala berupa gelungan untuk peran-peran lainnya.

Jenis-jenis gelungan yang dipergunakan dalam Pagambuhan dan Patih – Rangga :

–          Gelungan Jajempongan dikenakan oleh Kadean-kadean.

–          Gelungan Papudakan : dikenakan oleh Putri dan Kakan-kakan. Untuk Kakan-kakan bentuk papudakannya lebih kecil.

–          Gelungan Papusungan : dikenakan  oleh condong.

–          Gelungan lengar dan Sobrat masing-masing dikenakan oleh Demang dan Tumenggung.