Archive for the ‘Tulisan’ Category

Sejarah Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling

Selasa, Juli 2nd, 2013

Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling

Hiduplah seorang Pangeran yang bertempat tinggal di Gunung Kila, yang bernama Pangeran Jumpungan. Pangeran Jumpungan menjadi seorang Pendeta, sehingga mempunyai gelar Dukuh. Dukuh Jumpungan memiliki keahlian dalam hal membuat perahu, sehingga beliau membuat loloan di Nusa Penida dan di Ceningan. Dukuh Jumpungan mempunyai istri yang bernama Ni Puri. Dari perkawinannya ini melahirkan Pangeran Merja. Pangeran Merja mempunyai istri yang bernama Ni Luna, dari perkawinannya terlahir Pangeran Undur dan seorang putri yang bernama Dyah Ranggini. Pangeran Undur mempunyai istri bernama Ni Lumi, sedangkan sang putri diambil istri menjadi permaisuri oleh Dalem Sawang. Dari perkawinan Pangeran Undur lahirlah Pangeran Renggan. Keturunan Dukuh Jumpungan yang lain adalah Pangeran Jurang yang beristri Ni Jarum bertempat di Bukit Biye, Ni Luh Puri di Goa Lawah, Pangeran Yangga di Padang, Ni Runa di Sakenan dan Pangeran Cenes di Segara.

Dari perkawinan Pangeran Renggan dengan Ni Merahim, lahirlah dua orang anak, satu laki-laki, yang satunya adalah perempuan. Yang laki-laki bernama Pangeran I Gede Mecaling dan yang perempuan di beri nama Ni Tole. Ni Tole kemudian menjadi permaisuri Dalem Sawang yang menjadi raja di Nusa Penida. Sedang Pangeran I Gede Mecaling mempunyai seorang istri yang bernama Ratu Ayu Mas Lebur Jagat atau Sang Ayu Mas Meketel atau Sang Ayu Mas Rajeg Bumi. Pangeran I Gede Mecaling menjadi Raja setelah Dalem Sawang wafat, karena berperang dengan Dalem Dukut.

Pangeran I Gede Mecaling sangat senang melakukan tapa brata yoga semadhi di Ped, pengastawaanya (pemujaan) ditujukan kepada Ida Bhatara Ciwa. Karena keataatan beliau melakukan yoga semadhi membuat hati Ida Bhatara Ciwa tersentuh. Siapakah yang melakukan yoga semadhi sedemikian hebatnya di bumi, sehingga Ida Bhatara Ciwa bersedia turun dari Swarga Loka untuk melihat di Bumi siapakah yang melakukan yoga sampai membuat hati beliau tersentuh. Dengan ketekunan tersebut Ida Bhatara Ciwa memberikan anugerah kesaktian berupa Kanda Sanga.

Kemudian, setelah mendapat panugrahan Kanda Sanga fisik Pangeran I Gede Mecaling menjadi berubah. Badan beliau menjadi besar, wajah beliau menjadi menyeramkan, taringnya menjadi panjang, suaranya menggetarkan seisi jagat raya. Sedemikian hebat dan sangat menyeramkan, maka seketika itu juga jagat raya menjadi guncang. Kegaduhan, ketakutan, kengerian yang disebabkan oleh rupa, bentuk dan suara yang meraung-raung siang dan malam dari Pangeran I Gede Mecaling membuat gempar di marcapada.

Melihat dan mendengar hal demikian, para Dewa pun ikut menjadi bingung karena tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi kesaktian Pangeran I Gede Mecaling. Bahkan sesungguhnya para Dewata tidak ada yang bisa menandingi, tidak ada yang bisa mengalahkan kesaktian Pangeran I Gede Mecaling yang bersumber dari kedua taring beliau yang telah diberi anugrah oleh Ida Bhatara Ciwa. Selain dari taring (caling), Beliau juga memliki kesaktian Catur Sakti.

Akhirnya turunlah Ida Bhatara Indra untuk berusaha memotong taring Pangeran I Gede Mecaling. Setelah taring Pangeran I Gede Mecaling berhasil dipotong barulah beliau berhenti menggemparkan seisi jagat raya. Setelah itu Pangeran I Gede Mecaling kembali melakukan tapa brata yoga semadhi, pengastawanya di tujukan kepada Ida Bhatara Rudra. Lalu Ida Bhatara Rudra pun berkenan turun ke bumi untuk memberikan panugrahan kepada Pangeran I Gede Mecaling, berupa Panca Taksu, yaitu:

1. Taksu Balian
2. Taksu Penolak Grubug
3. Taksu Kemeranan
4. Taksu Kesaktian
5. Taksu Penggeger.
Salah satu Perancangan Ida

Dengan demikian Pangeran I Gede Mecaling memimpin semua Wong Samar dan Babhutan-Babhutan yang ada di bumi. Sebagai berikut Panjak Ida :
1. Sang Bhuta Asu
2. Sang Bhuta Narijana
3. Sang Bhuta Keli
4. Sang Bhuta Bregala
5. Sang Bhuta Sungsang
6. Sang Bhuta Terakas
7. Sang Bhuta Pelor
8. Sang Bhuta Landrang
9. Sang Bhuta Kiram
10. Sang Bhuta Rangsam
11. Sang Bhuta Tiyaksa
12. Sang Bhuta Suwanda
13. Sang Bhuta Kerandah
14. Sang Bhuta Wewerung
15. Sang Bhuta Bebahung

Pura Penataran Ped, Nusa Penida

Sebagai pengabih utama Ida Bethari Durga Dewi, Beliau diberi wewenang oleh Ida Bhatari Durga Dewi untuk mencabut nyawa manusia yang ada di bumi. Pangeran I Gede Mecaling juga di berikan wewenang sebagai penguasa samudra. Karena menguasai samudra sering juga disebut Ida Ratu Gede Samudra. Gelar Pangeran I Gede Mecaling yang diberikan oleh Ibu Durga Dewi yaitu Papak Poleng dan permaisurinya Sang Ayu Mas Rajeg Bumi diberi gelar Papak Selem. Pangeran I Gede Mecaling moksha di Ped dan istrinya moksha di Bias Muntig. Keduanya sekarang sebagai penguasa di bumi Nusa Penida dan mendapat wewenang sebagai penguasa kematian.

Dan akhirnya beliau bergelar Sugra Pakulun “Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling” atau “Ida Bhatara Ratu Sakti Mas Mecaling”.

Maka bagi umat Hindu yang ingin umurnya panjang, sehat, selamat dan lain-lain memohonlah kepada Beliau, Sugra Pakulun “Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling”. Semoga Ida senantiasa selalu ngicenin Waranugraha kepada kita semua, dan menjaga Pulau Bali dan Nusa Penida dari segala macam bencana dan mara bahaya.

Sumber :
http://www.dharmagiriutama.org/bhatara-ratu-gede-mas-mecaling.html
http://satwic-spiritual.blogspot.com/2009/10/kisah-dalem.html
http://blog.isi-dps.ac.id/blog/ratu-gede-mecaling-ring-pura-dalem-ped

Asal Usul Sejarah Bali Lengkap

Selasa, Juli 2nd, 2013

Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan.

Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.

ASAL USUL SEJARAH PULAU BALI
MASA PRASEJARAH
Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.

Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan, dan Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba, Tegallalang.

Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi :

Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
Masa bercocok tanam
Masa perundagian

MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT SEDERHANA
Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di Sambiran (Buleleng bagian timur), serta di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di Museum Gedong Arca di Bedulu, Gianyar.

Kehidupan penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya (nomaden). Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk menghadapi segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu sama lainnya.

Walaupun bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan di Pacitan (Jawa Timur) dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau keturunannya.

MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN TINGKAT LANJUT
Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Gua ini terletak di pegunungan gamping di Semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah Gua Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana. Dalam penggalian Gua Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan.

Alat-alat semacam ini ditemukan pula di sejumlah gua Sulawesi Selatan pada tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua, yang menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dinding-dinding karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa, burung, manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya. Beberapa lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga di antaranya adalah lukisan kadal seperti yang terdapat di Pulau Seram dan Papua, mungkin mengandung arti kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku.

MASA BERCOCOK TANAM
Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.

Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori Kern dan teori Von Heine-Geldern diketahui bahwa nenek moyang bangsa Austronesia, yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada zaman neolithik. Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang penyebarannya melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur negara kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi) adalah bangsa Austronesia dan gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500 S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini. Pada masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia.

MASA PERUNDAGIAN
Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting di antaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang manusia ketika itu.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian di antaranya terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyar (Banten), Sabbang (Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea.

Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali.

Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.

MASUKNYA AGAMA HINDU
Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting di antaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang manusia ketika itu.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian di antaranya terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyar (Banten), Sabbang (Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea.

Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di Trunyan. Di pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali.

Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.

MASA 1343-1846
KEDATANGAN EKSPEDISI GAJAH MADA
Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh Kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan Kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah, terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Dari sinilah berawal wangsa Kepakisan.

PERIODE GELGEL
Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl’gɛl/). Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460—1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung (1550—1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605—1686).

ZAMAN KERAJAAN KLUNGKUNG
Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri Periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura.

Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.

KERAJAAN – KERAJAAN PECAHAN KLUNGKUNG
Kerajaan Badung, yang kemudian menjadi Kabupaten Badung.
Kerajaan Mengwi, yang kemudian menjadi Kecamatan Mengwi.
Kerajaan Bangli, yang kemudian menjadi Kabupaten Bangli.
Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng.
Kerajaan Gianyar, yang kemudian menjadi Kabupaten Gianyar.
Kerajaan Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten Karangasem.
Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi Kabupaten Klungkung.
Kerajaan Tabanan, yang kemudian menjadi Kabupaten Tabanan.
Kerajaan Denpasar,yang kemudian menjadi Kota Madya Denpasar

MASA 1846 – 1949
Pada periode ini mulai masuk intervensi Belanda ke Bali dalam rangka “pasifikasi” terhadap seluruh wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam proses yang secara tidak disengaja membangkitkan sentimen nasionalisme Indonesia ini, wilayah-wilayah yang belum ditangani oleh administrasi Batavia dicoba untuk dikuasai dan disatukan di bawah administrasi. Belanda masuk ke Bali disebabkan beberapa hal: beberapa aturan kerajaan di Bali yang dianggap mengganggu kepentingan dagang Belanda, penolakan Bali untuk menerima monopoli yang ditawarkan Batavia, dan permintaan bantuan dari warga Pulau Lombok yang merasa diperlakukan tidak adil oleh penguasanya (dari Bali).

PERLAWANAN TERHADAP ORANG – ORANG BELANDA
Masa ini merupakan masa perlawanan terhadap kedatangan bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-perlawanan ini ditandai dengan meletusnya berbagai perang di wilayah Bali. Perlawanan-perlawanan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

Perang Buleleng (1846)
Perang Jagaraga (1848–1849)
Perang Kusamba (1849)
Perang Banjar (1868)
Puputan Badung (1906)
Puputan Klungkung (1908)

Dengan kemenangan Belanda dalam seluruh perang dan jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda, berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan Belanda.

ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
Sejak kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda mulailah pemerintah Belanda ikut campur mengurus soal pemerintahan di Bali. Hal ini dilaksanakan dengan mengubah nama raja sebagai penguasa daerah dengan nama regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta menempatkan P.L. Van Bloemen Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali.

Struktur pemerintahan di Bali masih berakar pada struktur pemerintahan tradisional, yaitu tetap mengaktifkan kepemimpinan tradisional dalam melaksanakan pemerintahan di daerah-daerah. Untuk di daerah Bali, kedudukan raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, yang pada waktu pemerintahan kolonial didampingi oleh seorang controleur. Di dalam bidang pertanggungjawaban, raja langsung bertanggung jawab kepada Residen Bali dan Lombok yang berkedudukan di Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan, raja-rajanya betanggung jawab kepada Asisten Residen yang berkedudukan di Denpasar.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi, pemerintah Belanda telah membuka sebuah sekolah rendah yang pertama di Bali, yakni di Singaraja (1875) yang dikenal dengan nama Tweede Klasse School. Pada tahun 1913 dibuka sebuah sekolah dengan nama Erste Inlandsche School dan kemudian disusul dengan sebuah sekolah Belanda dengan nama Hollands Inlandshe School (HIS) yang muridnya kebanyakan berasal dari anak-anak bangsawan dan golongan kaya.

LAHIRNYA ORGANISASI PERGERAKAN
Akibat pengaruh pendidikan yang didapat, para pemuda pelajar dan beberapa orang yang telah mendapatkan pekerjaan di kota Singaraja berinisiatif untuk mendirikan sebuah perkumpulan dengan nama “Suita Gama Tirta” yang bertujuan untuk memajukan masyarakat Bali dalam dunia ilmu pengetahuan melalui ajaran agama. Sayang perkumpulan ini tidak burumur panjang. Kemudian beberapa guru yang masih haus dengan pendidikan agama mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama “Shanti” pada tahun 1923. Perkumpulan ini memiliki sebuah majalah yang bernama “Shanti Adnyana” yang kemudian berubah menjadi “Bali Adnyana”.

Pada tahun 1925 di Singaraja juga didirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama “Suryakanta” dan memiliki sebuah majalah yang diberi nama “Suryakanta”. Seperti perkumpulan Shanti, Suryakanta menginginkan agar masyarakat Bali mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan menghapuskan adat istiadat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, di Karangasem lahir suatu perhimpunan yang bernama “Satya Samudaya Baudanda Bali Lombok” yang anggotanya terdiri atas pegawai negeri dan masyarakat umum dengan tujuan menyimpan dan mengumpulkan uang untuk kepentingan studiefonds.

ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG
Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Mula-mula yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil.

Karena selama pendudukan Jepang suasana berada dalam keadaan perang, seluruh kegiatan diarahkan pada kebutuhan perang. Para pemuda dididik untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air (PETA). Untuk daerah Bali, PETA dibentuk pada bulan Januari tahun 1944 yang program dan syarat-syarat pendidikannya disesuaikan dengan PETA di Jawa.

ZAMAN KEMERDEKAAN
Menyusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti Ketut Puja tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Bali mulai disebarluaskan sampai ke desa-desa. Pada saat itulah mulai diadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan ibu kotanya Singaraja.

Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI menggunakan sistem gerilya. Oleh karena itu, MBO sebagai induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di Bali, didatangkan bantuan ALRI dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke dalam pasukan yang ada di Bali. Karena seringnya terjadi pertempuran, pihak Belanda pernah mengirim surat kepada Rai untuk mengadakan perundingan. Akan tetapi, pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat.

Untuk memudahkan kontak dengan Jawa, Rai pernah mengambil siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali. Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini terkenal dengan sebutan “Long March”. Selama diadakan “Long March” itu pasukan gerilya sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan). Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat.

PUPUTAN MARGARANA
Pada waktu staf MBO berada di desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan “Puputan” atau perang habis-habisan di desa margarana sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut pada tanggal 20 november 1946 di kenal dengan perang puputan margarana, dan kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.

KONFERENSI DENPASAR
Pada tanggal 7 sampai 24 Desember 1946, Konferensi Denpasar berlangsung di pendopo Bali Hotel. Konferensi itu dibuka oleh Hubertus Johannes van Mook yang bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibu kota Makassar (Ujung Pandang).

Dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur itu susunan pemerintahan di Bali dihidupkan kembali seperti pada zaman raja-raja dulu, yaitu pemerintahan dipegang oleh raja yang dibantu oleh patih, punggawa, perbekel, dan pemerintahan yang paling bawah adalah kelian. Di samping itu, masih ada lagi suatu dewan yang berkedudukan di atas raja, yaitu dewan raja-raja.

PENYERAHAN KEDULATAN
Agresi militer yang pertama terhadap pasukan pemeritahan Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta dilancarakan oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Belanda melancarkan lagi agresinya yang kedua 18 Desember 1948. Pada masa agresi yang kedua itu di Bali terus-menerus diusahakan berdirinya badan-badan perjuangan bersifat gerilya yang lebih efektif. Sehubungan dengan hal itu, pada Juli 1948 dapat dibentuk organisasi perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (GRIM). Selanjutnya, tanggal 27 November 1949, GRIM menggabungkan diri dengan organisasi perjuangan lainnya dengan nama Lanjutan Perjuangan. Nama itu kemudian diubah lagi menjadi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sunda Kecil.

Sementara itu, Konferensi Meja Bundar (KMB) mengenai persetujuan tentang pembentukan Uni Indonesia – Belanda dimulai sejak akhir Agustus 1949. Akhirnya, 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS. Selanjutnya, pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

DAFTAR KABUPATEN DAN KOTA DI BALI
No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Badung Badung
2 Kabupaten Bangli Bangli
3 Kabupaten Buleleng Singaraja
4 Kabupaten Gianyar Gianyar
5 Kabupaten Jembrana Negara
6 Kabupaten Karangasem Karangasem
7 Kabupaten Klungkung Klungkung
8 Kabupaten Tabanan Tabanan
9 Kota Denpasar –

DAFTAR GUBERNUR BALI
1. Anak agung bagus sutedja : tahun 1950 – 1958
2. I Gusti Bagus Oka : tahun 1958 – 1959
3. Anak agung bagus sutedja : tahun 1959 – 1965
4. I Gusti putu martha : tahun 1965 – 1967
5. Soekarmen : tahun 1967 – 1978
6. Prof. Dr. Ida Bagus mantra : tahun 1978 – 1988
7. Prof. Dr. Ida bagus oka : tahun 1988 – 1993
8. Drs. Dewa made beratha : tahun 1993 – 2008
9. I made mangku pastika : tahun 2008 – 2013

BIODATA PULAU BALI :
Batas Wilayah :
– Utara : Laut Bali
– Selatan : Samudera Indonesia
– Barat : Provinsi Jawa Timur
– Timur : Provinsi Nusa Tenggara Barat

Hari Jadi Bali : 14 Agustus 1959
Ibukota : Denpasar (Dahulu Singaraja)
Koordinat : 9º 0′ – 7º 50′ LS
114º 0′ – 116º 0′ BT
Luas : 5.634 KM2
Situs Web : www.baliprov.go.id
Lagu Daerah : Bali Jagaddhita

sumber : wikipedia indonesia

Sejarah Tari Barong

Selasa, Juli 2nd, 2013

Tari barong adalah salah satu dari tari Bali yang merupakan peningalan kebudayaan pra Hindu selain tari Sangyang adalah tari Barong. Asal usul Kata barong berasal dari kata bahruang yang berarti binatang beruang, merupakan seekor binatang mythology yang mempunyai kekuatan gaib, dianggap sebagai binatang pelindung.

 

Dengan adanya perkembangan jaman, tarian barong di Bali tidak hanya diwujudkan dalam binatang berkaki empat akan tetapi ada pula yang berkaki dua,

 

Jenis-jenis barong yang ada di Bali yaitu :

 

  • Barong ket ( ketet ) : barong ini adalah yang paling banyak didapatkan di bali dan yang paling sering dipentaskan serta memiliki jenis perbendaharaan gerak tari yang lengkap. Barong ketet merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi atau bona. Badan barong ini dihiasi dengan ukir ukiran dibuat dari kulit, ditempeli kaca dan bulunya dibuat dari braksok, ijuk atau pula dari bulu burung gagak. Didalam menarikannya barong ini diusung oleh 2 ( dua ) orang penari yang dinamakan juru saluk ataupun juru bapang. Lakon ini pada umumnya menggambarkan pertarungan antara kebajikan dan keburukan, dimana thema ini hampir selalu menjadi dasar dalam lakon lakon seni pertunjukan Bali.Gambelan untuk mengiringi tari barong ini adalah gambelan bebarongan yang berlaras pelog. Di beberapa tempat ada juga yang diiringi dengan gambelan semar pegulingan.
  • Barong Bangkal : berarti babi besar yang berumur tua, barong ini menyerupai seekor bangkal biasa disebut barong celeng atau barong bangkung .Gambelan untuk mengiringinya adalah gambelan batel, dalam pementasannya sangat jarang disertai dengan suatu lakon dan pementasan barong bangkal ini biasanya dengan cara ngelawang ( pementasan ) dari satu tempat ketempat lain ) dan ada juga sekedar mafajar atau diusung kesekeliling.
  • Barong Asu : barong ini menyerupai anjing terutama topengnya, sangat dikeramatkan dan terdapat di pura puncak dawa Baturiti Tabanan
  • Barong Gajah : ini barong yang menyerupai gajah, sangat dikeramatkan dan salah satu diantaranya terdapat di Desa Singapadu.
  • Barong Macan : barong ini menyerupai seekor macan, dalam pementasannya ditarikan oleh dua orang penari dan ada juga yang dilengkapi dengan suatu dramatari semacam Arja, gambelan yang dipai mengiringinya adalah gambelan batel.
  • Barong Landung : barong ini berbeda dengan barong barong yang telah disebutkan diaatas. Barong landung wujudnya bukan binatang melainkan manusia purba yang kaki dua. Pada umumnya barong landung ini dibuat berpasangan, terdiri dari ratu Lanang ( Barong landung laki ) dan Ratu Luh ( Barong Landung perempuan ). Barong ini disebut sedemikian karena bentuknya besar dan tinggi (seperti ondel-ondel Jakarta). Ratu Lanang wajahnya sangat menakutkan, hitam mukanya dengan giginya mencolot keluar sedangkan Ratu Luh berupa perempuan tua seperti perempuan cina. Dibeberapa tempat di Bali ada juga Barong Landung yang dilengkapi dengan jenis barong Landung lainnya seperti Mantri, Baluh, limbur dan lain-lainnya. Didalam pementasannya barong landung ini mengambil lakon seperti lakon Arja ( terutama di Daerah Badung ) dan diiringi dengan gambelan batel.
  • Barong Blasblasan :  barong ini juga disebut barong kedingkling, barong blasblasan adalah suatu bentuk pementasan yang dilakukan secara ngelawang, penarinya hanya mengenakan topeng topeng wayang wong dengan lakon cuplikan cuplikan dari ceritra Ramayana yang pada umumnya merupakan adegan peperangan. Barong ini banyak di pentaskan pada hari hari Raya Galungan maupun Kuningan dan biasanya penarinya adalah anak anak.Gambelan pengiringnya ada yang berupa batel dan ada pula yang semacam bebarongan (Gambelan batel yang dilengkapi dengan reyong).

 

Disamping jenis-jenis barong tersebut, masih ada juga jenis-jenis barong yang lain yaitu barong brutuk yang terdapat di desa Trunyan ( sebuah Desa kecil dipinggir sebelah timur dari Danau Batur ). Barong ini memakai bulu-bulu daun pisang yang sudah kering ( kraras ) dan sangat dikeramatkan oleh masyarakat Trunyan. Barong ( sejenis barong landung yang banyak terdapat di daerah Tabanan yang biasanya dipertunjukkan pada upacara ngaben.

 

Rebab

Senin, Juli 1st, 2013

 

              Rebab merupakn salah satu nama tungguhan atau instrumen gesek yg deigunakan dalam jenis-jenis barungan gamelan yg terdapat di daerah-daerah tertentu seperti di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah,Jawa Barat,Sumatra,dan sebagainya.

              Di Jawa Barat terdapat dua bentuk instrumen gesek,yaitu Rebab dan Tarawangsa. Kedua instrumen gesek tersebut mempunyai ukuran yg berbeda, yaitu relatif lebih besar instrument tarawangsa daripada rebab. Selain ukurannya yg berbeda, warna suaranya juga berbeda karena menggunakan membran yg bahannya berbeda.

            Dalam menggarap gending, rebab yg dimainkan dengan cara kawat atau yg sejenis digesek dengan penggesek yang arahnya maju dan mundur secara bebas, kecuali garap rebab di Jawa Tengah yg digunakan dalam barungan gamelan Ageng, maju mundurnya gesekan rebab ditentukan oleh kedudukan nada. Arah gesekan yang mundur dirasakan  lebih mantap yg  dari terletak pada hitungan genap, maka dari itu setiap nada setelah gesekan rebab selalu menggunakan gesekan yang arahnya mundur.

Tungguhan rebab bali dalam menggarap gending tidak ditentukan baik dalam menggarap gending-gending instrumental maupun vokal. Rebab di Bali dapat dikatakan masih asing karena sedikitnya barungan gamelan yg menggunakan maupun jumlah penyajinya yg relatif sedikit deibandingkan dengan jenis tungguhan lainyya seperti kendang, pemade, ceng-ceng, kempul, kantil, kajar, gong dan lain-lainnya. Dengan asingnya tungguhan rebab ini maka banyak barungan gamelan yg seharussnya menggunakan tungguhan rebab, tidak menggunakan tungguhan rebab. Jenis-jenis barungan gamelan yg menggunakan tungguhan rebab adalah Gong Kebyar, Gong Suling, Semar pegulingan saih lima, semar pegulingan saih pitu, Pengarjan, dsan Penggambuhan. Rebab digunakan pada barungan gamelan gong kebyar setelah adanya lomba atau mebarung atau festival Gong Kebyar malahan dijadikan sebagai persyaratan lomba , yang sebelumnya dapat dikatakan tidak pernah menggunakan Rebab. Demikian pula pada barungan lainnya seperti barungan gamelan semar pegulingan saih lima , semar pegulingan saih pitu, gong suling dapat dikatakan belum secara merata atau jarang yang menggunakan tungguhan rebab, demikian jugan dengan barungan gamelan pengarjaan sekarang ini sama sekali tidak menggunakan tungguhan rebab. Tungguhan rebab dalam jenis-jenis barungan gamelan tersebut mempunyai fungsi yg berbeda-beda terutama dari segi musikal. Misalnya dalam barungan gamelan Pegambuhan, tungguhan rebab adalah salah satu tungguhan yg menggarap atau menyajikan melodi atau gending pada seluruh sajian gending/repertoar. Dalam barungan gamelan Pegambuhan selain tungguhan rebab juga menggarap atau menyajikan juga tungguhan suling yg berukuran besar atau sering disebut suling pegambuhan. Sedangkan tungguhan rebab pada jenis-jenis barungan gamelan lainnya, peranan rebab tidak seperti barungan gamelan Pegambuhan, yaitu lebih menekankan pada pemantapan hasil sajian suatu gending atau sering juga disebut oleh masayarakat luas adalah untuk memaniskan sajian gending.

Ada 3 faktor yg menentukan ketidaksuburan tungguhan rebab di bali antara lain:

1. Sedikitnya barungan gamelan yg menggunakan tungguhan rebab, sedikitnya jumlah seniman penyaji yg dapat memainkan rebab.

2. Jarangnya jumalh rebab di bali karena sudah tidak ada yg membuatnya

3. Rebab dianggap paling sulit untuk dipelajari

-BENTUK

Dilihat dari segi bentuknya, rebab bali terdapat kekhususan dalam hal bebetan, ukuran dan pontang. Bentuk bebetannya mencerminkan latar belakang budayanya dalam hal ini adalah budaya bali. Ukuran rebab bali baik ukuran besar maupun tingginya relatif lebih kecil dibandingkan dengan ukuran rebab Jawa Tengah maupun rebab Jawa Barat. Padaumumnya rebab bali hampir seluruhnya menggunakan pontang yg dibuat dari perak yg dipasang pada bagian bebetan maupun bantang rebab sesuai dengan bentuknya. Pontang dalam tunggahan rebab berfungsi sebagai hiasan. Perbedaan yg lain adalah pada garapnya artinya cara menggarap gending, yaitu menggunakan cengkok-cengkoknya yg berbeda.

Di Bali terdapat beberapa bentuk rebab yg perbedaannya terletak pada bebetannya dan juga pada batoknya yg berfungsi sebagai resonator. Perbedaan bagian batok rebab terletak pada bentuk maupun bahan yg digunakan. Batok dibuat dari kayu atau tempurung kelapa.

Nama-nama bagian rebab:

1.   Menur                  6. Bebetan                    11. Batis

2.   Kuping                  7. Penyanteng              12. Gegemelan

3.   Irung-Irung          8. Jejebug                      13. Pengaradan

4.   Bantang               9. Batok

5.   Kawat                  10. Babad      

 

 

Cara memainkan rebab dengan berbagai tahapan sebagai berikut :

·       Sikap duduk pengrebab

·       Posisi tungguhan rebab

·       Cara memegang tungguhan rebab

·       Cara menyetel rebab

·       Cara menekan kawat rebab

·       Cara memegang pengaradan

·       Cara menggesek rebab

·       Posisi jari pada laras pelog

·       Posisi jari pada laras slendro

·       Menekan kawat dan menggesek rebab

·       Garap rebab

·       Cara memelihara rebab

BARUNGAN GAMELAN GONG GEDE KURANG DIMINATI OLEH MASYARAKAT MUDA BALI

Senin, Juli 1st, 2013

 

              Pulau Bali sejak zaman dahulu kala menyimpan potensi yang sangat mengesankan. Bukan hanya panoramanya yang indah namun kebudayaan dan keseniannya yang sangat kuat dan mengakar hingga di zaman cyber ini sekalipun di era digital internet global ini, masyarakat bali masih kuat mewarisi tradisi-tradisi adiluhung dari nenek moyang. Sungguh merupakan hal yang sangat mengesankan karena budaya Bali sangat identik dengan spiritualitanya. Semua jenis kesenian bali selalu terhubung dengan spiritualisme hindu Bali. Musik pengiring upacara ritual keagamaan hindu bali kini menjadi lebih kompleks dan fariatif karena dibangun oleh kreativitas keturunan unggul hindu Bali. Namun disisi lain ada hal-hal yang ironis. Di satu sisi anak mudanya yang dinamis sangat gemar berlatih memainkan gong kebyar di banjar2 sementara di sisi lain gong gede mulai ditinggalkan. Karakteristik dari gong gede adalah dimainkan dengan tempo yang lambat sedikit dinamika, sedikit fariasi, dan berdurasi lama. Sehingga menyebabkan anak muda bosan memainkan gong gede. Sementara gong kebyar justru menjadi favorit dan kegemaran anak-anak muda bali untuk memaikannya di banjar-banjar di pentas-pentas panggung, di festival-festival karena sifatnya yang identik dengan karakteristik anak muda yang dinamis, spontan, unpredictable(tak terduga-duga), melodi yang kompleks sangat terbuka untuk menerima elemen-elemen musikalitas baru dari dunia luar. Gong kebyar menantang batas kreativitas anak muda untuk menggalinya. Ironinya (kondisi yang terbalik) di alami oleh gng gede. Gong Gede miskin inovasi penuh dengan kaedah-kaedah klasik, penuh dengan hukum-hukum musik tradisional yang seolah-olah anti new age ( anti revormasi musikialitas).

 

PERSOALAN

Persoalan muncul ketika karya-karya tradisional gong gede mulai dilupakan anak muda selain juga para pengajar-pengajarnya masih berfikiran konserfatif, sulit untuk diajak berkolaborasi dengan norma-norma modernitas budaya oleh sebab itulah jiwa anak-anak muda bali lebih cenderunbg dekat kepada karakter gambelan gong kebyar.

 

Berikut ini deskripsi tentang gamelan Gong Gede :

      Gamelan Gong ini dinamakan Gong Gede (besar) karena memakai sedikitnya 30 (tiga puluh) macam instrumen berukuran relatif besar (ukuran bilah, kendang, gong dan cengceng kopyak adalah barung gamelan yang terbesar yang melibatkan antara 40 (empat puluh) – 50 (lima puluh) orang pemain, demikian dikutip dari artikel Arya Tangkas Kori Agung, Gong Gede.

      Sebagai seni karawitan, dijelaskan dalam kutipan artikel ISI Denpasar, Gamelan Gong Gede merupakan perpaduan unsur-unsur budaya lokal yang sudah terakumulasi dari masa ke masa. Unsur budaya Bali tercermin pada penggunaan instrumen dari perangkat gamelan Bali dan busana yang dipergunakan oleh para penabuh (jero gamel).

Budaya lokal tampak pada penggunaan tradisi-tradisi Bali seperti :

  • Tabuh-tabuh yang memakai laras pelog dan sesaji
  • Para penabuhnya didominasi dengan memakai kostum penabuh seperti ; ikat kepala (udeng) dipakai warna hitam, bajunya dipakai warna putih disisinya memakai safari hitam berisi simbol, memakai saput orange, dan ditambah dengan membawa keris atau seselet. Istilah jero gamel tidak jauh berbeda dengan juru gamel.

Kalau dilihat dari fungsinya semuanya ini berarti tukang gamel, yang sudah melekat sebagai bagian dari identitas diri seseorang. Instrumen Bentuk instrumen gamelan Gong Gede ada dua jenis yakni :

  1. Berbentuk bilah
  2. Berbentuk (moncol). 

Menurut Brata, instrumen yang berbentuk bilah ada dua macam : bentuk bilah bulig, dan bilah mausuk. Bentuk bilah bulig bisa disebut dengan : metundun klipes, metundun sambuk, setengah penyalin. Untuk instrumen yang berbilah seperti bilah metundun klipes, metundun sambuk, setengah penyalin dan bulig terdapat dalam instrumen gangsa jongkok penunggal, jongkok pengangkem ageng, dan jongkok pengangkep alit (curing). Instrumen-instrumen ini bilahnya dipaku atau sering disebut dengan istilah gangsa mepacek. Sedangkan bentuk bilah yang diistilahkan merai, meusuk, dan meakte terdapat pada instrumen pengacah, jublag, dan jegogan. Instrumen-instrumen ini bilahnya digantung yaitu memakai tali seperti jangat.

Instrumen yang bermoncol dapat dikelompokan menjadi dua yakni :

  1. Moncol tegeh (tinggi)
  2. Moncol endep (pendek). 

Contoh instrumen yang berpancon tinggi seperti; riyong ponggang, riyong, trompong barangan, dan tropong ageng (gede). Sedangkan instrumen yang berpencon pendek (endep) antara lain kempli, bende, kempul, dan gong. Begitu juga halnya dengan bentuk reportoar gending Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur, berbentuk lelambatan klasik yang merupakan rangkaian dari bagian-bagian gending yang masing-masing mempunyai bentuk urutan sajian.

Adapun urutan dari bagian-bagian bentuk reportoar gending dari masing-masing bentuk reportoar adalah sebagai berikut :

  1. Gending gilak (gegilakan) terdiri dari bagian gending-gending kawitan dan pengawak. 
  2. Gending tabuh pisan terdiri dari bagian gending kawitan, pengawak, ngisep ngiwang, pengisep, dan pengecet. 
  3. Gending tabuh telu, terdiri dari bagian gending kawitan dan pengawak. Bentuk reportoar gending tabuh pat, tabuh nem, dan tabuh kutus mempunyai bagian gending yang sama yaitu kawitan (pengawit), pengawak, pengisep (pengaras), dan pengecet.
  4. Gending pengecet terdapat sub-sub bagian gending yang urutan sajiannya adalah kawitan, pemalpal, ngembat trompong, pemalpal tabuh telu, pengawak tabuh telu. Alternatif yang lain dari susunan sajian sub bagian gending dalam pengecet ini adalah kawitan, pemalpal, ngembat trompong, dan gilak atau gegilakan. 

Fungsi Sosial

Dalam hubungannya dengan masyarakat berfungsi sebagai pengemban seni (karawitan), barungan Gong Gede hampir setiap bulan purnama di undang (tuwur) oleh krama yang melaksankan piodalan (Pura Puseh, Pura Desa, Pura Dalem, dan Pura-pura lainnya) di desa pekraman Batur. Jero gambel yang melaksanakan tugasnya tidak menerima upah dalam bentuk uang (ngayah).

MAKNA GAMELAN GONG GEDE

Makna gamelan Gong Gede sebagai ungkapan emosional dari pelaku seni yang diungkapkan lewat bahasa musik mempunyai makna sebagai berikut: makna religius, makna pelestarian budaya, makna keseimbangan.

Makna Religius

Pertunjukan gamelan Gong Gede sebagai salah satu karya seni, sebagai ungkapan yang dapat dilihat dari penyajian karawitan (tabuh), tidak sekedar sebagai ungkapan estetik tetapi juga mempunyai makna religius. Dalam konteks religius, semua unsur masyarakat terlibat sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing yang dilandasi dengan perasaan tulus yang disebut dengan ngayah.

Barungan gamelan Gong Gede dalam mengiringi upacara keagamaan (ritual) memiliki makna religius. Penabuh gamelan Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur sebelum melaksanakan tugasnya selalu diperciki Tirta untuk mendapatkan keselamatan.

Makna Pelestarian Budaya

Derasnya aliran informasi dalam era globalisasi terutama di bidang seni (khususnya seni karawitan) membawa dampak positif dan negatif, hal ini mengakibatkan banyak hilangnya keaslian watak dan kemandirian budaya yang dimiliki. Kesadaran untuk melestarikan warisan budaya yang luhur (Gong Gede) memberi makna hidup dan rasa kemuliaan. Untuk menghadapi tantangan harus ada kemauan yang murni sesuai dengan pandangan hidup masyarakat Batur.

Makna Keseimbangan

Dalam pelaksanaan upacara tertentu Kehadiran gamelan Gong Gede sudah menjadi kebutuhan. Keterikatan gamelan Gong Gede dengan ritual keagamaan melahirkan perilaku-perilaku sosial yang mengarah kepada pembentukan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pedoman bagi warga masyarakatnya.

Barungan gamelan Gong Gede dipandang sangat penting karena dapat memenuhi kebutuhan warga masyarakat secara moral dan spiritual sehingga terwujud rasa kesehimbangan. Keseimbangan yang mencakup persamaan dan perbedaan dapat terefleksi dalam beberapa dimensi. Refleksi keseimbangan yang banyak ditemukan dalam kesenian Bali adalah refleksi estetis yang dapat menghasilkan bentuk-bentuk simetris yang sekaligus asimetris atau jalinan yang harmonis sekaligus disharmonis yang lazim disebut dengan rwa bhineda. Dalam konsep rwa bhineda terkandung pula sernangat kebersamaan, adanya saling keterkaitan, dan kompetisi mewujudkan intraksi dan persaingan. Konsep rwa bhineda oleh seniman Pengrawit dituangkan dalam gamelan Bali (Gong Gede). Hal ini dapat diamati pada sistem pelarasan ngumbang-isep dan instrumen yang berpasangan (lanang wadon).

 

SOLUSI

Gong gede harus menjadi primadona kembali dalam pentas di venue ( tempat2 pementasan dan diselenggarakan dengan sosciokulture yang baik di wilayah bali ) banjar-banjar harus lebih menggalakkan kembali eksistensi gong gede, contoh :

·         menyediakan fasilitas gong gede di sekolah-sekolah, di banjar-banjar, dan di kantor-kantor.

·         Melatih kembali karya-karya lelambatan gong gede kepada generasi muda bali sejak usia dini.

·         Menciptakan karya2 baru lelambatan gong gede selain juga memainkan kembali dan mengaransemen kembali kaya-karya lelambatan gong gede masa lalu.

·         Menggali kembali sejarah gong gede dari masa lalu dan mengkampanyekan nya secara intensif dan menyebarkannya melalui media-media edukasi seperti SD, SMA ,dan Universitas. Serta di tingkat umum di bale desa banjar-banjar kantor-kantor pemerintah dan kantor-kantor swasta.

·         Menggunakan fasilitas sarana komunikasi seperti ringbacktone (nada dring) untuk mempublikasi kan karya-karya gong gede melaui media radio dan televisi.