Latar Belakang
Makna keadilan seringkali ditafsirkan berbeda-beda dan bersifat abstrak karena adil bagi salah satu pihak belum tentu adil bagi pihak lainnya. Keadilan itu pun mempunyai banyak dimensi, dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, maupun hukum. Dewasa ini, berbicara mengenai keadilan merupakan hal yang senantiasa dijadikan topik utama dalam setiap penyelesaian masalah yang berhubungan dengan penegakan hukum. Banyak kasus hukum yang tidak terselesaikan karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum menjadi panglima dalam menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh sekelompok orang yang mampu membelinya atau orang yang membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi.
Pelaksanaan penegakan hukum terjadi apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum tersebut. Melalui sikap penegakan, hukum dapat diimplementasikan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Penegakan hukum harus berdasarkan atas pristiwa yang terjadi secara konkrit sehingga penegakan hukum dapat diterapkan. Pada dasarnya penegakkan hukum harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan tidak boleh menyimpang “fiat justitia et pereat mundus” yang artinya meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib dan stabilitas keamanan dapat dikendalikan dengan baik karena hukum bertujuan untuk menjaga ketertiban masyarakat.
Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat. Unsur yang ke tiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus bersifat adil sedangkan hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, dan bersifat menyamaratakan. setiap orang yang melanggar hukum harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang melanggar hukum tersebut Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyama-ratakan, adil bagi kelompok tertentu belum tentu dirasakan adil kelompok lainnya.
Jika dalam penegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukum saja. maka unsur-unsur lainnya akan dikorbankan. Demikian pula jika yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan dan begitu selanjutnya. Dalam penegakkan hukum ketiga unsur tersebut harus berimbang dan sesuai dengan proporsinya masing-masing. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya akan bersifat kaku dan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura, sed tamen scripta” yang artinya bahwa undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah keadaannya. Dalam kenyataannya mengusahakan agar ketiga unsur tersebut dapat berjalan berimbang secara proporsionaltidaklah mudah. Menurut tatanan Undang- u ndang Dasar 1945, untuk menjamin penegakan hukum yang berkeadilan, terdapat berbagai sendi konstitusional, yaitu :
1). Sendi negara berdasarkan konstitusi (sistem konstitusional) dan negara berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat).
2). Sendi kerakyatan atau demokrasi
3). Sendi kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
4). Sendi penyelenggaraan pemerintahan menurut asas-asas penyelenggaraan pemerintah yang baik
Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi keadilan tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum moderen di Indonesia. Hukum moderen di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar. Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum moderen yang kita pakai tetap merupakan semacam benda asing dalam tubuh kita. Oleh sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa Indonesia disebabkan menggunakan hukum moderen, adalah menjadikan hukum moderen sebagai kaidah positif menjadi kaidah cultural. Persoalannya, karena sistem hukum moderen yang liberal itu tidak dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu. Di samping itu juga, akibat sistem hukum liberal tidak dirancang untuk memberikan keadilan substantif, maka seorang dengan kelebihan materil akan memperoleh keadilan yang lebih dari pada yang tidak.
Apabila kita terus menerus berpegang kepada doktrin liberal, maka kita akan tetap berputar-putar dalam pusaran kesulitan untuk mendatangkan atau menciptakan keadilan dalam masyarakat. Dalam rangka melepaskan diri dari doktrin liberal itulah, maka gagasan orang-orang atau pihak-pihak untuk mencari dan menemukan keadilan melalui forum alternatif di luar lembaga pengadilan moderen sesungguhnya merupakan upaya penolakan terhadap cara berpikir hukum yang tertutup. Hal itu disebabkan para pencari keadilan masih sangat merasakan, betapa pun tidak sekuat seperti pada abad ke-sembilan belas, filsafat liberal dalam hukum dewasa ini masih sangat besar memberi saham terhadap kesulitan menegakkan keadilan substansial (substantial justice). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Pengadilan di sini bukan diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu hal memberikan keadilan. Hal memberikan keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan. Konkritnya kepada yang mohon keadilan apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya. Eksistensi pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses peradilan dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat, tugas-tuganya diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta institusi peradilan di negara ini ditentukan oleh kredibilitas dan profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa serta menegakkan keadilan.
Jadi, para hakim dituntut untuk secara totalitas melibatkan dirinya pada saat membuat putusan, bukan hanya mengandalkan kemahirannya mengenai perundang-undangan. Menurut Roeslan Saleh, seorang hakim diharapkan senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum, sehingga hukum baginya merupakan hakekat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum sebagai suatu rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang mengisi kemerdekaannya. Oleh karena hukum itu bukan semata-mata peraturan atau undang-undang, tetapi lebih dari pada itu adalah suatu perilaku. Undang-undang memang penting dalam negara hukum, akan tetapi bukan segalanya dan proses memberi keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir melalui kelahiran pasal-pasal undang-undang. Jika kita amati potret penegakan hukum di Indonesia saat ini belumlah berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan buruk. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus besar yang belum tuntas salah satunya praktek korupsi yang menggurita, namun ironisnya para pelakunya sangat sedikit yang terjerat oleh hukum. Kenyataan tersebut justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang melibatkan rakyat kecil, dalam hal ini aparat penegakkan hukum cepat tanggap, karena sebagaimana kita ketahui yang terlibat kasus korupsi merupakan kalangan berdasi alias para pejabat dan orang-orang berduit yang memiliki kekuatan (power) untuk menginterfensi efektifitas dari penegakan hukum itu sendiri.
Salah satu peristiwa yang cukup menyita perhatian masyarakat baik dari golongan ekonomi menengah kebawah hingga ekonomi menengah keatas yaitu kasus yang membelit seorang ibu yang bernama Prita Mulyasari, peristiwa yang terjadi pada 3 juni 2009 hingga akhir desember 2009 lalu mengenai keluhan prita sebagai pasien pada Rumah Sakit Omni Internasional melalui surat elektronik (email) kepada sahabatnya pada bulan agustus 2008 ini ternyata mendapat tuntutan baik perdata maupun pidana dari pihak Rumah Sakit Omni Internasional internasional kepengadilan negeri tangerang banten. Rumah Sakit Omni Internasional menjadi terkenal di Indonesia utamanya terkait dengan kasus pencemaran nama baik yang dituduhkan oleh pihak rumah sakit kepada salah seorang mantan pasiennya Prita Mulyasari, karena menulis keluhan atas pelayanan rumah sakit yang tidak memuaskan melalui media publikasi internet. Peristiwa ini akan berdampak pada kepercayaan masyarakat sebagai pasien terhadap rumah sakit. Kepercayaan yang sebelumnya positif terhadap rumah sakit dengan pemberitaan seperti ini pasti akan mempengaruhi nilai kepercayaan mereka bukan hanya terhadap Rumah Sakit Omni Internasional tetapi juga terhadap rumah sakit yang jauh dibawa standar rumah sakit bertaraf internasional. Masyarakat yang menyakini bahwa Rumah Sakit Omni Internasional yang bertaraf internasional saja bisa terjadi malpraktik seperti yang dialami Prita Mulyasari apalagi rumah sakit yang terbilang dibawah standar rumah sakit umum besar yang lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut.
1). Apa yang di maksud dengan penegakkan hukum yang berkeadilan dan bagaimana keterkaitannya dengan pancasila ?
2). Bagaimanakah kasus Prita Mulyasari jika dikaitkan dengan penegakkan hukum yang berkeadilan ?
1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan paper yang berjudul penegakkan hukum yang berkeadilan studi kasus hukum Prita Mulyasari ini adalah sebagai berikut :
1). Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan penegakkan hukum yang berkeadilan dan bagaimana keterkaitannya dengan pancasila.
2). Untuk mengetahui bagaimanakah kasus Prita Mulyasari jika dikaitkan dengan penegakkan hukum yang berkeadilan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etika Penegakan Hukum
Etika berasal dari kata Yunani etos, yang artinya sepadan dengan arti kata susila. Etika adalah sebuah ilmu, yaitu sebagai salah satu cabang ilmu filsafat yang mengajarkan bagaimana hidup secara arif atau bijaksana, sehingga filsafat etika juga dikenal sebagai filsafat moral. Jadi, etika bukan sebuah ajaran , yang memberi ajaran tentang bagaimana harus berperilaku dalam kehidupannya secara bermoral. Etika justru hanya melakukan refleksi kritis atas norma atau ajaran moral. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai itu. Keduanya mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi orientasi bagaimana dan kemana harus melangkah dalam hidup. (Soegito, 2012:147). Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi (wikipedia indonesia, ensiklopedia bebas ).
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itu merupakan usaha pencegahan maupun pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Penegakan hukum tidak boleh ditawar-tawar karena tugas utama penegakan hukum adalah mewujudkan keadilan. Namun dalam implementasinya tetap harus dengan cara-cara yang mencerminkan nilai-nilai kemanusian, oleh karena hukum itu sendiri harus difungsikan sebagai sarana memanusiakan manusia. Bukan justru dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bahkan perampasan hak asasi manusia. Sistem penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah yang dapat menjamin kehidupan sosial masyarakat yang lebih berkesejahteraan, berkepastian dan berkeadilan.
Dari segi pendekatan akademik, dapat dikemukakan tiga konsep penegakan hukum yaitu :
1). Penegakan hukum bersifat total
2). Penegakan hukum besifat full
3). Penegakan hukum bersifat actual
Konsep penegakan hukum yang bersifat total, menuntut agar semua nilai yang ada dibalik norma hukum turut ditegakkan tanpa kecuali. Konsep yang bersifat full yang menghendaki perlunya pembatasan dari konsep total dengan suatu hukum formil dalam rangka perlindungan kepentingan individual. Konsep penegakan hukum actual muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan yang ada dan kurangnya peran dalam masyarakat. Terdapat sekurang-kurangnya ada lima alasan mengapa hukum di Indonesia sulit ditegakkan atau dengan kata lain penegakan hukum di Indonesia sukar dilaksanakan, yaitu :
1). Aparat penegak hukum terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap
2). Mafia peradilan marak dituduhkan.
3). Hukum seolah dapat dimainkan, dipelintirkan, bahkan hanya berpihak kepada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.
4). Penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat.
5). Masyarakat apatis, mencemooh dan melakukan proses peradilan jalanan.
2.2 Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Penegakan hukum di maksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada keadilan. Keseluruhan atura hukum yang menjamin tegaknya supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak deskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya (Soegito, 2012 : 157). Dalam sosiologi hukum dijelaskan bahwa hukum itu adalah instrument yang bisa dipakai oleh pihak yang menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri. Sebagai contoh geng bandit besar Al Capone di tahun 1930-an yang mempunyai bagian hukum sendiri. Hal ini berarti bahwa kejahatan pun ingin dilakukan dengan memperhatikan rambu-rambu hukum, atau melakukan kejahatan dengan dipandu oleh hukum.
Sejak kita memutuskan menggunakan hukum moderen, kita tak dapat menghindar dari praktik penggunaan hukum seperti itu. Yang kita dapat lakukan adalah bersikap lebih waspada dalam bernegara hukum ini, oleh karena ternyata bahwa hukum itu tidak hanya dapat dipakai sebagai sarana untuk keadilan, tetapi dapat juga untuk tujuan dan kepentingan lain. Gustav Radbruch menyatakan bahwa cita-cita hukum tidak lain adalah keadilan. Persoalan keadilan bukan merupakan persolan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban mesyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum tidak dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri.
Dalam berhukum tentunya harus selalu dikedepankan aspek keadilan. Keadilan itu sendiri tidak lepas dari aspek sosiologis dalam kehidupan masyarakat karena keadilan itu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat entah bagaimana bentuknya. Tidak seharusnya keadilan itu bergantung pada hukum tertulis. Keadilan itu terlalu sempit bila dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis. Untuk mencapai suatu keadilan dibutuhkan hati nurani yang mampu melihat dan menggali keadilan itu. Maka dari itu sungguh disayangkan apabila penegakan keadilan terhambat oleh peraturan tertulis yang merupakan produk politik manusia. Suatu peraturan tertulis saja bisa ditafsirkan bermacam-macam. Tentunya hati nurani yang adillah yang mampu menafsirkan hukum yang berkeadilan.
Pada setiap masyarakat ada sebuah hukum universal bahwa keadilan merupakan sifat yang harus selalu melekat pada setiap pemerintahan jika ingin kelangsungan kekuasaan terus berlanjut. Setiap pemerintahan akan selalu mendapatkan tuntutan untuk mampu menjadi representasi kepentingan segenap rakyatnya. Oleh karena itu setiap pemerintahan harus mampu menerapkan sistem pengaturan masyarakat yang menganut prinsip keadilan. Jika suatu pemerintahan justru menjalankan suatu orde yang membuat mayoritas rakyatnya merasa diposisikan secara tidak adil, maka bisa dipastikan orde pemerintahan tersebut tidak akan berlangsung lama. Tanpa keadilan maka kemakmuran yang dicita-citakan suatu bangsa juga bisa dipastikan akan semakin jauh dari pencapaian. Bahkan kemakmuran yang sudah mulai terbina akan segera hancur berantakan. Atau kalaupun tercipta kemakmuran itu hanya terpusat pada segelintir orang saja.
2.3 Kaitan Pancasila dengan Penegakkan Hukum yang Berkeadilan
Pancasila dikaitkan dengan sistem etika maka akan memberi jawaban mengenai konsepsi dasar kehidupan yang dicita-citakan, sebab di dalamnya terkandung prinsip terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pancasila memperoleh dukungan dari rakyat Indonesia karena sila-sila pancasila merupakan etika dan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Selain itu, pancasila memberikan jawaban bagaimana seharusnya manusia Indonesia bertanggung jawab dan berkewajiban sebagai makhluk pribadi, sosial, dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan bernegara, selain dalam kehidupan dengan sesama warga negara. Dalam hidup berkelompok, selain etika kelompok bagaimana warga negara Indonesia bergaul dalam kehidupannya, akan muncul etika yang berkaitan dengan kerja atau profesi, seperti etika guru atau dosen Indonesia, etika kedokteran Indonesia, etika bisnis, etika seni dan sebagainya. Uraian tersebut menunjukkan bahwa pancasila pun memiliki sistem etika yang mengatur etika individual dan sosial, serta mengembangkan etika yang berkaitan dengan lingkungan dan kerja atau profesi. (Soegito,2012 : 148)
Fungsi utama pancasila yaitu sebagai sumber dari segala sumber hukum. Untuk memberikan kesepahaman tentang Pancasila sebagai sumber hukum negara, maka kita menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, terpaparkan dengan jelas pada pasal 2 yang menyatakan Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara. Kemudian penjelasan tersebut menyatakan, bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pembangunan hukum bukan hanya memperhatikan nilai-nilai filosofis, asas yang terkandung dalam Negara hukum, tetapi juga mempertimbangkan realitas penegakan hukum dan kesadaran hukum masyarakat. Pancasila sebagai paradigma pembangunan kehidupan beragama. Salah satu syarat sebelum terwujudnya masyarakat moderen yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan masyarakat dan bangsa. Pancasila dan sistem hukum nasional setelah dapat mengintegrasikan seluruh sila-sila Pancasila sebagai suatu kesatuan yang utuh dan bergerak dinamis dalam suatu arus pemikiran yang bukan hanya mencakup sistem nilai tetapi juga dimensi kelembagaannya dengan menegaskan bahwa sila keadilan sosial setidak-tidaknya merupakan standar yang digunakan untuk mengukur, kalaulah tidak merupakan nilai inti untuk menguji terwujud tidaknya Pancasila sebagai dasar negara tantangan berikutnya adalah menjawab pertanyaan bagaimana menjabarkannya ke dalam sistem kenegaraan negara kesatuan republik indonesia.
2.4 Kasus Prita Mulyasari
Kasus tersebut bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan kesehatannya di Rumah Sakit Internasional Omni atas keluhan demam, sakit kepala, mual disertai muntah, kesulitan buang air, sakit tenggorokan, hingga hilangnya nafsu makan. Oleh dokter rumah sakit, dr. Hengky Gosal SpPD dan dr.Grace Herza Yarlen Nela, Prita didiagnosis menderita demam berdarah, atau tifus. Setelah dirawat selama empat hari disertai serangkaian pemeriksaan serta perawatan, gejala awal yang dikeluhkan berkurang namun ditemukan sejenis virus yang menyebabkan pembengkakan pada leher. Selama masa perawatan Prita mengeluhkan minimnya penjelasan yang diberikan oleh dokter atas jenis-jenis terapi medis yang diberikan, disamping kondisi kesehatan yang semakin memburuk yang diduga akibat kesalahan dalam pemeriksaan hasil laboratorium awal menyebabkan kekeliruan diagnosis oleh dokter pemeriksa. Disebabkan karena pengaduan serta permintaan tertulis untuk mendapatkan rekam medis serta hasil laboratorium awal yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak rumah sakit Prita kemudian menulis email tentang tanggapan serta keluhan atas perlakuan yang diterimanya ke sebuah media internet.
Email tersebut kemudian menyebar luas sehingga membuat pihak rumah sakit merasa harus membuat bantahan atas tuduhan yang dilontarkan oleh Prita ke media cetak serta mengajukan gugatan hukum baik secara perdata maupun pidana dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pihak Rumah Sakit Omni Internasional lantas berang dan merasa nama baik rumah sakit dan dokter bersangkutan tercemar. Sehingga komplain dan curahaan hati Ibu Prita Mulyasari berbuntut panjang di sidang pengadilan negeri Tangerang dan berakibat Ibu Prita Mulyasari dinyatakan bersalah. Ibu Prita resmi ditahan di lembaga permasyarakatan wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undanga Informasi dan transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 27 ayat 3. Banyak pihak yang menyayangkan penahanan Prita Mulyasari yang dijerat pasal 27 ayat 3 Undang-Undang no 11 tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik karena akan mengancam kebebasan berekspresi. Pasal ini menyebutkan : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.”(UU ITE, 27 : 3).
Beberapa aliansi menilai bahwa rumusan pasal tersebut sangatlah lentur dan bersifat keranjang sampah dan multiinterpretasi. Rumusan tersebut tidak hanya menjangkau pembuat muatan tetapi juga penyebar dan para moderator email maupun individu yang melakukan forward ke alamat tertentu. Lebih lanjut, departemen komunikasi dan informatika menegaskan bahwa tindakan Prita Mulyasari yang menyampaikan keluhan atas jasa sebuah layanan publik bukanlah merupakan penghinaan. kepala pusat informasi dan humas depkominfo, Gatot S Dewa Broto, di Jakarta, Prita yang mengungkapkan keluhan terhadap suatu layanan publik melalui email merupakan hak dari seorang konsumen. Menurut dia, hal itu adalah sah sesuai dengan yang termuat dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 4 huruf d. Pasal itu berbunyi: “Hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.” Oleh karena itu, menanggapi UU pasal 27 ayat 3 UU ITE unsur `tanpa hak` sebagaimana dimaksud di dalamnya menjadi tidak terpenuhi, sehingga Pasal 27 ayat (3) tersebut tidak bisa diterapkan untuk kasus ini. Lebih lanjut, Gatot mengungkapkan bahwa pasal tersebut memuat unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak”, yang mana unsur tersebut menentukan dapat tidaknya seseorang dipidana berdasarkan pasal ini.
Penasihat hukum Prita Mulyasari dalam eksepsinya berpendapat, kliennya berhak berkeluh kesah kepada teman-temannya melalui email. Hal tersebut juga diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, utamanya pasal 28. Namun demikian, salah satu karakteristik kasus perdata adalah setiap kata dalam undang-undang boleh diinterpretasikan bermacam-macam. Interpretasi yang berbeda pada setiap orang mengakibatkan setiap pasal dalam undang-undang saling bertentangan dan saling menyerang. Bahwa hak dan kebebasan terdakwa Prita Mulyasari tersebut, diduga atau didakwa bertentangan dengan hak orang lain, yakni dr Hengky Gosal dan dr Grace Hilza Yarlen Nela. Hak dan kebebasan dua dokter itu juga diatur dalam Pasal 28 G Ayat (1) perubahan UUD 45. Pasal tersebut berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia.”
Sebagai tambahan, penangkapan Prita Mulyasari, terdakwa kasus dugaan pencemaran nama baik dan pelanggaran Undang-Undang ITE, juga ikut mencabut hak kedua anak Prita yang masih berusia balita. Yang mana penangkapan terhadap Prita Mulyasari menentang hak tumbuh kembang anak-anaknya. Hal ini selaras pernyataan Tini Hadad, sekretaris jenderal yayasan kesehatan Perempuan, seusai konferensi pers mengenai kasus Prita di Jakarta : “Setiap anak berhak mendapat susu selama dua tahun. Ketika Bu Prita ditahan, hak anak-anaknya tercabut dengan paksa.” Tindakan sewenang-wenang tersebut telah melanggar hak tumbuh kembang anak, padahal hal tersebut telah diakomodasi dalam sistem hukum Indonesia, baik dalam konstitusi maupun perundang-undangan. Misalnya ratifikasi dan perundangan konvensi hak anak dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan beberapa peraturan lain.
Namun, hak Ibu Prita sebagai pasien rumah sakit juga tidak dapat begitu saja dikesampingkan. Hak Prita sebagai pasien di Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Serpong, Tangerang Selatan, dari lembaga tersebut sesuai undang-ndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Dalam Pasal 66 (UU) tersebut dinyatakan, setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI. Sayangnya, menurut ketua MKDKI, proses penanganan tersebut dapat berlangsung. Dalam kata lain, hal itu merupakan ilustrasi MKDI dalam melindungi kehormatannya sendiri dan gengsi dunia medis yang seolah-olah bersifat exclusive dan untouchable. Selain itu, selama pasal-pasal dalam undang-undang masih tidak jelas, simpang siur, lentur seperti karet, maka selamanya pihak yang lemah selalu dirugikan karena ditindas oleh oknum yang lebih kuat. Dengan demikian, seakan-akan hak asasi tiap-tiap warga negara Indonesia belum selamanya mampu ditegakkan, karena hak asasi di Indonesia hanya mendapatkan pengakuan secara konstitusi dan otentik tanpa ada perlindungan yang kompeten dan adil yang memihak pada yang benar. Begitulah cermin hukum di Indonesia, tidak transparan, tidak ada supremasi hukum, tidak menerapkan nilai-nilai perlindungan hak asasi manusia, melainkan memihak yang kuat dengan menyingkirkan yang lemah.
2.5 Kaitan Kasus Prita Mulyasari terhadap Penegakkan Hukum yang Berkeadilan
Satjipto Rahardjo mengatakan penegakan hukum merupakan satu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Oleh karena itu, tujuan penegakan hukum yang paling utama adalah untuk menjamin adanya keadilan tanpa mengabaikan aspek kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai tiang penyanggah penegakan hukum. Ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian dan implementasi hukum yang memadai. Khusus tujuan keadilan atau finalitas yaitu menekankan dan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Namun Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa masalah kepastian hukum bukan urusan undang-undang semata, melainkan lebih merupakan urusan perilaku manusia. Kepastian hukum itu menjadi masalah besar sejak hukum itu dituliskan.
Menurut Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Seperti halnya kasus Prita Mulyasari tersebut, untuk mewujudkan keadilan bagi korban dan pelaku, adalah hendaknya ketika para penegak hukum berpikir dan bertindak secara progresif yaitu tidak menerapkan peraturan secara tekstual tetapi perlu menerobos aturan (rule breaking) karena pada akhirnya hukum itu bukan teks demi tercapainya keadilan yang diidamkan oleh masyarakat. Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral, bernurani dan karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Kemanusiaan dan keadilan menjadi tujuan dari segalanya dalam kita berkehidupan hukum. Maka kalimat “hukum untuk manusia” bermakna juga “hukum untuk keadilan”. Ini berarti, bahwa kemanusiaan dan keadilan ada di atas hukum yang intinya adalah penekanan pada penegakan hukum yang berkeadilan.
Oleh karena itu, pemerintah yang mengemban tugas negara dalam membuat undang-undang harus sungguh-sungguh memperhatikan 2 (dua) hal yang telah dijelaskan di atas yaitu hukum hendaknya membuat sejahtera dan bahagia masyarakat serta hukum yang diciptakan harus berpihak kepada masyarakat dan itulah yang disebut “hukum untuk manusia”. Menurut Suteki, Masalah yang seringkali muncul adalah tidak dipenuhinya nilai keadilan, terutama rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim tidak dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat (the living law) seperti yang telah diamanatkan oleh undang-undang kekuasaan kehakiman dengan alasan terkait dengan aturan hukum formal yang sebenarnya kaku dan seringkali melenceng dari rasa keadilan masyarakat. Di sini penegakan hukum telah mengalami kebuntuan legalitas formalnya untuk menghadirkan keadilan substantif. Ada yang perlu dilakukan untuk menembus kebuntuan legalitas formal itu, yaitu dengan melakukan non of enforcement of law yaitu kebijakan tidak menegakan hukum.
Kebijakan untuk tidak memberlakukan hukum dapat dilakukan dalam situasi sebagai berikut :
1). Jika hukum tidak akrab dengan realitas sosial, tidak dekat dengan rasa keadilan rakyat, tidak dimengerti karena bahasa hukum yang sulit dimengerti. Bahasa hukum terbatas jumlahnya dan rata-rata berasal dari golongan penguasa dan orang-orang yang sulit dimengerti oleh rakyat ini kerap kali dianggap merupakan suatu kesombongan kekuasaan (the arrogance of power).
2). Bilamana peraturan pelaksanaan merupakan sesuatu yang mutlak harus ada pada suatu produk hukum tertentu. Dalam keadaan demikian ini, tanpa peraturan pelaksanaan, maka produk hukum secara operasional akan berhenti fungsinya dan hanya dapat menjadi bahan diskusi.
3). Bila peraturan perundang-undangan bertentangan dengan Pancasila sebagai Kaidah Penuntun.
Menurut pendapat kelompok kami, kebijakan tidak menegakan hukum seharusnya bisa dilakukan oleh para aparat penegak hukum ketika menangani kasus Prita Mulyasari demi terwujudnya keadilan substansial dan bukan hanya keadilan formal yang hanya mementingkan nilai kepastian hukum. Mengingat kasus tersebut juga banyak mengundang tapsiran yang berbeda terhadap undang-undang yang digunakan penegak hukum untuk menjerat Prita Mulyasari. Undang-undang tersebut tidak hanya mengandung banyak arti namun juga bertentangan dengan undang-undang lainnya. Hal yang terpenting yang menjadi konsen kami terhadap kasus tersebut, karena penegakkan hukum terhadap kasus Prita Mulyasari, mengekang kebebasan warga negara untuk berpendapat dimana kebebasan untuk berpendapat dijamin oleh undang undang. Penegakkan hukum di Indonesia seharusnya lebih menitik beratkan unsur keadilan diatas segalanya karena jika hanya berpatokan terhadap undang-undang hukum pidana maupun perdata menurut pendapat kelompok kami kurang relevan, karena hukum pidana dan perdata yang diterapkan di Indonesia diadopsi dari hukum belanda yang sifatnya liberal dan mementingkan diri sediri tanpa mengedepankan asas keadilan majemuk. Diperlukannya suatu penyesuaian terhadap hukum yang diterapkan di Indonesia agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya etika dan moral yang di anut oleh masyarakat Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau menciptakan tata tertib, keamanan dan ketenteraman dalam masyarakat baik itu merupakan upaya pencegahan maupun penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Dari segi pendekatan akademik, dapat dikemukakan tiga konsep penegakan hukum yaitu penegakan hukum bersifat total, penegakan hukum bersifat full dan penegakan hukum bersifat actual. Hukum yang berkadilan adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena antara hukum dan keadilan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebab inti hukum adalah keadilan
Dalam kasus Prita Mulyasari penegakan hukum di Indonesia ternyata belum terlaksana dengan baik. bahwa krisis yang terjadi dalam penegakan hukum khususnya dalam kasus tersebut disebabkan paradigma aparatur penegak hukum masih dengan paradigma lama yaitu semata-mata mengedepankan aspek kepastian hukum dengan mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan. Artinya aparatur penegak hukum terutama yang berhubungan langsung dengan pengadilan, lebih memperhatikan peraturan dan prosedur, sehingga keadilan menjadi terpinggirkan. Aparatur penegak hukum khususnya hakim terpaku dengan paradigma rule making yang hanya menerapkan undang-undang semata. Kurang berani untuk menerapkan paradigma rule breaking yaitu penerapan hukum yang melompat ke aspek nilai-nilai keadilan dan terutama kemanusiaan. Paradigma rule breaking ini sering disebut penegakan hukum progresif. Aparatur penegak hukum belum sepenuhnya memahami bahwa tujuan penegakan hukum yang berkeadilan adalah hukum untuk terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Dimana keadilan tersebut bukan hanya keadilan formal tetapi keadilan substansial.
3.2 Saran
Lembaga hukum harus di perbaiki agar terwujud rule breaking yaitu penerapan hukum yang melompat ke aspek nilai-nilai keadilan dan terutama kemanusiaan dengan mengamalkan pancasila sebagai etika dan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Kiranya aparat penegak hukum untuk lebih memahami secara mendalam dan menyeluruh tentang hakikat dan tujuan hukum sehingga tidak mudah terjebak dalam paradigma positivisme yang hanya bertolak kepada aturan perundang-undangan yang berlaku mengingat begitu pesatnya perkembangan kehidupan sosial masyarakat sehingga membutuhkan adanya penemuan-penemuan hukum yang baru dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum. Sehingga penegakkan hukum di Indonesia tidak terlalu bersifat konstektual sehingga dalam pelaksanaanya dapat disesuaikan dengan budaya etika dan moral masyarakat Indonesia seiring dengan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing, hlm.138
Satjipto Raharjo, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi, Makalah pada Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Positivisme di Era Reformasi, ODIH, UNDIP. Semarang, 22 Juli 2000. hlm. 4
Satjipto Rahardjo.2009. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing . Op. Cit hlm. 140 -141
Satjipto Rahardjo. 2009. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta : Kompas hlm.170-171
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Hlm. 23
- Malik Madaniy. 2010. Politik Berpayung Fiqh.Yogyakarta:Pustaka Pesantren. hlm. 33
Ibid. hlm. 34
Related Articles
No user responded in this post