PENGERTIAN TABUH SEBAGAI ESTETIKA TEKNIK PENAMPILAN

Khusus didalam pengertian karawitan Bali, bahwa yang di maksud tabuh adalah hasil kemampuan seniman mencapai keseimbangan permainan dalam mewujudkan suatu repertoire hingga sesuai repertoire hingga sesuai dengan jiwa, rasa dan tujuan komposisi. Menabuh bukan berarti asal memukul gambelan mengikuti suatu melodi, tetapi memukul gambelan dengan segala aturan atau cara yang telah ditentukan supaya suara gambelan dapat terdengar indah. Keindahan yang di timbulkan dari suara gambelan, bukan hanya tergantung dari satu faktor saja misalnya, karena baiknya komposisi lagu yang dimainkan, tetapi keindahan itu terjadi akibat adanya keseimbangan antara faktor-faktor komposisi lagu, suara gambelan itu sendiri termasuk larasnya, tata cara atau menyuarakan gambelan, keterampilan serta kemampuan seniman menjiwai permainan lagu-lagunya itu sendiri. Demikian pula mengatur serta melaksanakan permainan ornamen-ornamen sebagai penghias lagu sangat mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu tujuan keindahan. Betapa pun bagusnya suara gambelan dan betapa pula bagus suatu komposisi lagu, namun kalau tidak didukung oleh semua faktor yang tersebut diatas, keindahan yang diharapakan tidak akan dapat dicapai.

Apabila terjadi kejanggalan-kejanggalan didalam penampilan suatu repertoire, maka para ahli karawitan Bali akan mengatakan,bahwa tabuhnya yang rusak. Pemain gambelan yang demikian itu dianggap tidak mengerti tabuh yang sebenarnya. Mereka dianggap tidak tahu tata cara membawakan suatu komposisi lagu. Asal ramai, asal keras, asal cepat itu dianggap bagus. Tetapi juga bukan hanya pelan dan lirih penyebab indah. Yang indah adalah yang harmonis, seimbang dan sesuai dengan karakter lagu yang dibawakan.

PENGERTIAN TABUH SEBAGAI BENTUK KOMPOSISI.

Disamping pengertian tabuh seperti di atas, bahwa istilah tabuh juga dipakai istilah bentuk kerangka dasar gending-gending lelambatan tradisional. Misalnya kerangka dasar gending tabuh pisan, tabuh telu, tabuh pat, tabuh nem dan tabuh kutus. Dengan demikian timbul anggapan, bahwa nama tabuh-tabuh tersebut,di buat demikian, disebabkan oleh banyaknya jumlah pukulan kempur dan kempli didalam satu gong. Misalnya tabuh pisan, hanya ada satu kali pukulan kempur dan satu kali pukulan kempli didalam satu gong. Tabuh telu juga harus sesuai dengan namanya, bahwa kempur dan kempli harus dipukul sama-sama tiga kali didalam satu gong dan demikian seterusnya pada gending-gending yang berukuran lebih panjang, jumlah pukul kempur dan kempli akan sesuai dengan istilah tabuhnya.

Dugaan atau anggapan seperti diatas ini adalah belum tepat. Sebab yang diatur dalam komposisi gending-gending lelambatan tradisional itu bukan hanya pukulan kempur dan kempli saja, melainkan semua pukulan jenis-jenis istrumen. Istilah tabuh yang dilengkapi dengan nama-nama bilangan adalah suatu modus yakni cara membedakan nama bentuk yang satu dengan yang lainnya. Memang ada tiga jenis kerangka lagu-lagu yang berukuran panjang jumlah pukulan kempur dan kembali di dalam satu gong pada pengawak dan pengisepnya sesuai dengan nama tabuhnya misalnya:

-Tabuh Pat: empat kempur dan empat kempli di dalam satu gong.

-Tabuh Nem: enam kempur/kempli di dalam satu gong

-Tabuh Kutus: delapan kempur/kempli di dalam satu gong

Tetapi kalau dilihat dari segi pola dasar kerangka secara keseluruhan, bahwa kata-kata bilangan : pisan, telu, pat, Nem dan kutus itu bukan harus di artikan sesuatu kode jumlah pukulan kempur dan kempli di dalam satu gong. Nama-nama bilangan disini hanya mengisyaratkan bahwa bentuk ini berbeda dengan bentuk itu. Jadi kerangka dasar tabuh pisan berbeda dengan kerangka dasar tabuh telu dan berbeda pula dengan tabuh-tabuh yang lainnya

Untuk jelasnya, bahwa nama bilangan itu tidak lebih artinya dengan urutan abjad a, b, c, d, dan e, yang dipakai sekedar member pertanda perbedaan bentuk yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan jumlah dan titik tempat jatuhnya pukulan kempur dan kempli itu diatur berdasarkan rasa indah seniman pencipta dalam mencapai keseimbangan bentuik harmonisnya komposisi masing-masing tabuh itu. Kalupun kebetulan komposisi tabuh pat, tabuh nem, tabuh kutus itu harmonis apabila diisi pukulan kempur dan kempli sejumlah yang sama dengan naman bilangan tabuhnya, dan tempatnya pada titik-titik yang serba semetris, maka demikian itulah diatur untuk tiga jenis tabuh tersebut.

Tabuh pisan dan tabuh telu pola dasarnya berbeda satu sama lain, maka aturan pukulan kempur dan kemplinya pun dibuat berbeda pula. Jarang sekali ada sekehe gong yang mengisi pukulan kempu-kempli satu kali di dalam satu gong untuk komposisi tabuh pisan.

Sebagian besar para penabuh gong mengisi dua kali pukulan kempur dan kali kempli di dalam satu gongnya. Demikian pula halnya komposisi tabuh telu, sangat jarang pemain gamelan gong dimasyarakat mengisi pukulan kempur dan kempli tiga kali tiga kali di dalam satu gong. Kebanyakan penabuh-penabuh itu mengisinya dengan dua kali pukulan kempur dan empat kali kempli di dalam satu gong. Melihat kenyataan ini jelas dapat di pahami, bahwa nama bilangan tabuh-tabuh itu tidak ada hubungannya dengan jumlah atau perhitungan. Pukulan kempur dan kempli di dalam satu gong.

Selain masalah pukulan kempur-kempli diatas, perlu pula di ungkapkan adanya permasalahan pukulan gong untuk komposisi tabuh telu. Penabuh-penabuh gong di masyarakat ada memiliki kebiasan-kebiasan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain dalam hal menempatkan pukulan gong untuk komposisi gending tabuh telu lelambatan. Misalnya kebiasaan yang terpakai di gianyar berbeda dengan kebiasaan yang terpakai oleh penabuh-penabuh di Badung.

Tulisan ini diringkas dari buku :  HASIL PENDOKUMENTASIAN NOTASI GENDING-GENDING LELAMBATAN KLASIK PEGONGAN DAERAH BALI karya I NYOMAN REMBANG

Diterbitkan Oleh DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDRAL KEBUDAYAAN PROYEK PENGEMBANGAN KESENIAN BALI TAHUN 1984/1985