ESENSI BUNYI GAMELAN

ESENSI TEOLOGIS DAN FILOSOFIS BUNYI GAMBELAN

Bunyi gamelan diyakini disusun berdasarkan suara gemuruh yang ada didasar bumi yang disebut Prakempa. Bunyi (suara) gemuruh tersebut menyebar ke seluruh penjuru dunia yang kemudian disebut bunyi  pangider bhuana yang dalam teori penciptaan alam disebut sebagai “ dentunan besar ” (big bang). Dalam kitab suci Veda bunyi pencipta alam itu disebut Nada brahma atau suara Om yang vibrasi dan rinsonansinya masih terabadikan hingga saat ini di dalam  ether atau aksara. Bunyi tersebut kemudian disusun oleh Begawan Wiswakrama ke dalam dua kelompok bunyi yaitu kelompok laras pelog dan kelompok laras selendro. Kelompok laras pelog merupakan symbol dari Dewa Kama Jaya atau maskiulin, srdangkan kelompok laras selendro merupakan symbol Dewi Kama Ratih atau symbol feminim.

Bentuk gambelan di Bumi diyakinin meniru bentuk dari gamelan-gamelan yang ada di alam para Dewa. Menurut (mitos) dalam tradisi Bali yang tercatat pada lontar Prakempa bahwa music gamelan adalah musi sorgawi yang bernama Simpladprana. Selanjutnya musik ini menjadi inspirasi pencipta gamelan di beberapa alam para dewa dan alam para Rsi petapa. Maka terciptalah macam-macam gamelan.

Esensi filosofis dari bunyi yang dipersembahkan dalam ritual adalah bahwa vibrasi gelombang bunyi yang dihasilkan oleh setiap daun gamelan adalah sebuah mantram atau suara puja yang dengan tepat menuju salah satu ista dewata.

ESENSI PISIKOLOGI BUNYI GAMBELAN

Bunyi gamelan yang selalu mengiringi ritual Hindu mempunyai pengaruh psikologis terhadap umat Hindu yang hadir pada ritual tersebut, yaitu dapat menurunkan frekwensi gelombang otak (pikiran) yang tegang karena lelah, penat, dan lain sebagainya. Suka dan duka umat manusia terletak dipikiran, jika pikiran manusia sedang tegang atau kalut gelombang pikiranya cendrung berada pada level frekwensi betta () yang beasrnya 14-30 Hz. Dalam level demikian cendrung akan cepat marah. Dengan mendengarkan gamelan lama kelaman frekwensi glombang tersebut menjadi frekwensi alpha (α) atau frekwensi lainya tergantung dari situasi dan kondisi orang tersebut.

Gamelan sengaja ditabuh dengan waktu yang sangat panjang agar secara perlahan tetapi pasti diharapkan semua umat  berada minimum pada level frekwensi gelombang alpha. Dengan level frekwensi gelombang tersebut nicaya bakti umat akan dapat menembus gelombang-gelombang yang menghalang pikiran menuju kepada tuhan.

ESENSI SOSIOLOGIS BUNYI GAMELAN

Tidak dapat disangkal bahwa aktivitas latihan megamel dan mendengarkan bunyi gamelan memiliki aspek dan efek sosiologi, antaralain : sebagai media komunikasi sosial dan alamiah. Ketika suara gamelan itu terdengar maka seseorang akan mengetahui bahwa gamelan itu isyarat adanya suatu upacara. Semua itu dapat diketahui melalui jenis bunyi gamelannya.

Bunyi gamelan juga dapat menyambung tali persahabatan persaudaran secara tidak langsung dan bersifat alamiah. Orang yang tidak beromongan antara satu dengan yang lain, jika keduanya mau ikut mendengar gamelan apalagi ikut latihan, maka dalam latihan akan tercipta kondisi yang dengan sendirinya memungkinkan untuk saling berdamai secara alamiah.

OLEH                            : I KETUT DONDER

DIRANGKUM  DARI :  ESENSI BUNYI GAMELAN DALAM PROSES RITUAL HINDU

TAHUN                         : 1995


PENGERTIAN TABUH SEBAGAI ESTETIK TEKNIK PENAMPILAN

Secara umum, bahwa yang dimaksud tabuh hubungannya dengan gambelan adalah membunyikan atau menyuarakan gambelan. Mungkin dengan cara memukul, meniup, mengggesek dll. Tetbuhan atau tabeh- tabehan, diartikan alunan suara gambelan yang sedang dalam pergelaran, mungkin sebagai pendukung upacara atau iringaan suatu tari-tarian.

Khususnya didalam pengertian krawitan Bali, bahwa yang dimaksud tabuh adalah hasil kemmpuan seniman mencapai keseimbangan permainan dalam mewujudkan suatu repertoire hingga sesuai dengan jiwa, rasa dan tujuan komposisi. Menabuh bukan berarti asal memukul gambelan gambelan mengikuti suatu melodi, tetapi memukul gambelan dengan segala aturan atau tata cara yang telah ditentukan supaya suara gambelan dapat terdengar indah.

Apabila terjadi kejanggalan-kejanggalan didalam penampilan suatu repertoire, maka para akhli krawitan Bali akan mengatakan, bahwa tabuhnya yang rusak. Pemain gambelan yang demikian itu dianggap tidak mengerti tabuh sebenarnya. Mereka dianggap tidak tahu tatacara membawakan suatu komposisi lagu. Asal ramai, asal keras, asal cepat itu dianggap bagus. Tetapi bukan juga hanya pelan dan lirih penyebab indah. Yang indah adalah yang harmonis, seimbang dan sesuai dengan karakter lagu yang dibawakan.

PENGERTIAN TABUH SEBGAI BENTUK KOMPOSISI

Disamping pengertian tabuh seperti diatas, bahwa istilah tabuh juga dipakai istilah bentuk kerangka dasar gending-gending lelambatan tradisional. Misalnya kerangka dasar gending tabuh pisan, tabuh telu, tabuh pat, tabuh nem dan tabuh kutus. Dengan demikian timbul anggapan, bahwa nama tabuh tersebut dibuat demikian, disebabkan oleh banyak jumlah pukulan kempur dan kempeli didalam satu gong. Misalnya tabuh pisan, hanya ada satu kali pukulan kempur dan satu kali kempeli didalam satu gong. Tabuh talu juga harus sesuai dengan namanya, bahwa kempur dan kempeli dipukul harus dipukul sama-sama tiga kali didalam satu gongdan demikian seterusnya pada gending-gending yang berukuran lebuh panjang. Jumlah pukulan kempur dan kempeli sasuai dengan istilah tabuhnya.

Istilah tabuh yang dilengkapi dengan nama-nama bilangan adalah suatu modus yakni cara membedakan nama bentuk yang satu dengan yang lainnya. Memang ada tiga jenis kerangka lagu-lagu yang berukuran panjang jumlah ukuran kempur dan kembali didalam satu gong pada pengawak dan pengisepnya sesuai dengan nama tabuhnya misalnya:

  • Tabuh pat → Empat kempur dan empat kempeli didalam satu gong.
  • Tabuh nem → Enam kempur/kempli didalam satu gong.
  • Tabuh kutus → Delapan kempur/kempli didalam satu gong.

Tabuh pisan dan tabuh telu pola dasarnya berbeda satu sama lain, maka aturan pukulan kempur dan kempelinypun dibuat berbeda pula. Jarang sekali ada sekehe gongyang mengisi pukulan kempur-kempeli satu kali didalam satu gong untuk komposisi gending tabuh pisan. Sebagian besar para penabuh gong mengisi dua kalu pukulan kempur dan dua kali kempeli didalam satu gongnya. Demikian pula halnya komposisi tabuh talu, sangat jarang pemain gambelan dimasyarakat mengisi pukulan kempir dan kempol tiga kali didalam satu gong. Kebanyakan penabuh-penabuh itu mengisi dengan dua kali pukulan kempul dan empat kali kempeli didalam satu gong.

Penabuh-penbuh gong dimasyarakat ada memiliki kebiasaan-kebiasaan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain dalam hal menempatkan pukulan gong untuk komposisi gending tabuh telu lelambatan. Misalnya kebuasaan yang terpakai di Gianyar berbeda dengan kebiasaan yang dipakai oleh penabuh-penabuh di Badung. Adapu perbedaan itu dapat dilukiskan sebagai berikut:

Di Gianyar tabuh telu yang ukurannya sepanjang enam belas ketukan diisi pukulan gong dua kali:

+ – + –

  • – – – – – – (-) – – – – – – – (-)

Di Badung tabuh telu yang ukurannya sama dengan diatas, diisi pukulan gong hanya satu kali:

+ – + –

  • – – – – – – – – – – – – – – (-)

Pada perbandingan diatas ini tampak jelas, bahwa ukuran gending yang panangnya sama enam belas ketukan itu hamya jumlah pukulan gongnya yang berbeda, sedangkan umlah pukulan kempur dan kempelinya adalah sama.