Archive for April, 2014

SENI PEDALANGAN BERDASARKAN PENGERTIAN DAN FUNGSI

Posted in Tak Berkategori on April 21st, 2014 by prawiranugraha

         Seni pedalangan bagi masyarakat Bali, Jawa khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, merupakan salah satu dari sekian banyak kekayaan budaya warisan leluhur yang sangat tinggi nilainya. Oleh sebab itu seni pedalangan disebut suatu kesenian tradicional adi luhung yang artinya sangat indah dan mempunyai nilai yang luhur. Seni pedalangan mengandung nilai hidup dan kehidupan luhur, yang dalam setiap akhir cerita (lakon)-nya selalu memenangkan kebaikan dan mengalahkan kejahatan. Hal ini mengandung suatu ajaran bahwa perbuatan baiklah yang akan unggul, sedangkan perbuatan jahat akan selalu menerima kekalahannya, sebagai contoh cerita Mahabharata dan Ramayana. Telah banyak buku-buku yang ditulis oleh para ahli budaya bangsa Indonesia maupun bangsa asing tentang seni pedalangan dan bukan hanya menyangkut prihal yang ringan-ringan saja melainkan tentang intisari dan faktanya. Ada di antaranya yang menyatakan bahwa seni pedalangan itu tidak ada tolak bandingannya di dunia ini. Pendapat lain juga menyatakan bahwa seni pedalangan dengan keindahannya merupakan suatu pencerminan kehalusan jiwa manusia dan tidak hanya merupakan suatu pertunjukan permainan untuk hiburan belaka. Pedalangan adalah suatu kegiatan dimana titik permasalahannya ialah terletak pada dalang yang di bantu  oleh pengrawit, swarawati atau pesinden, dan dengan sarana kelengkapan penyajian pedalangan lainnya.

Arti dan Istilah Dalang

            Dalam buku Renungan Pertunjukan Wayang Kulit karya Dr. Seno Sastromidjojo disebutkan bahwa kata dalang berasal dari kata Wedha dan Wulang. Adapun yang dimaksud Wedha adalah kitab suci agama Hindu yang memuat ajaran agama, peraturan hidup dan kehidupan manusia di dalam masyarakat, terutama yang menuju ke arah kesempurnaan hidup. Wulang berarti ajaran atau petuah, mulang berarti mengajar. Istilah dalang adalah seorang ahli yang mempunyai kejujuran dan kewajiban memberi pelajaran wejangan, uraian atau tafsiran tentang kitab suci Wedha beserta maknanya kepada masyarakat. Dalang juga berasal dari kata dalung atau disebut blencong, yaitu alat penerang tradisional. Dengan adanya pendapat ersebut fungsi dalang di dalam masyarakat adalah sebagai juru penerang. Dalang berasal dari kata Angundal Piwulang. Angundal artinya menceritakan, memberikan, mengucapkan dan menerangkan seluruh isi hatinya. Piwulang artinya petuah atau nasehat. Dengan pendapat tersebut maka dalang adalah seorang pendidik atau pembimbing masyarakat atau guru masyarakat. Istilah dalang juga berasal dari kata Talang yang artinya saluran air pada atap. Jadi kata dalang disamakan dengan talang yang dapat di artikan sebagai saluran air. Dalam hal ini, dalang dimaksud sebagai penghubung atau penyalur antara dunia manusia dan dunia roh. I Gusti Bagus Sugriwa menyatakan dalang adalah orang yang mahir mempertunjukkan wayang, menggerakkan, menceritakan dengan kata-kata sehingga penonton menjadi gemar. Mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi pedalangan yaitu segala suatu ilmu yang harus dimiliki oleh seorang dalang. Dengan demikian berdasarkan beberapa istilah dalang tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa dalang adalah orang yang mahir mempertunjukkan wayang dan berkewajiban memberikan wejangan maupun pendidikan kepada masyarakat berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.Peran dan Fungsi Dalang (Pertunjukan Wayang)

           922861_578224492211500_1362006491_n Pada Prasasti Kawi (Kawi Ourkonde) yang disusun oleh Cohan Stuart, telah dibicarakan tentang juru banyol dan Haringgit banyol. Prasasti tersebut bertahun 762 Caka atau 840 masehi. Keterangan selanjutnya menurut Kern yang terdapat pada Prasasti yang berangka tahun782 Caka atau 860 Masehi menyebut-nyebut istilah Juru Bharata. Istilah itu berarti bahwa Juru Bharatalah yang memimpin dan memainkan wayang. Dalam Kepustakaan Jawa diterangkan oleh Kern dan RM.Ng. Purbacaraka adanya widu sebagai model dalang. Widu adalah seorang yang pekerjaannnya mengarang cerita dan pakaiannya serba putih. Pada buku Wayang Asal-usul filsafat dan Masa Depannya, karya Sri Mulyono menyebutkan bahwa dalang adalah Pandita. Claire Holt menegaskan bahwa dalang adalah seorang pemimpin, penyusun naskah juru bicara, seorang sutradara, producer, dan juga yang memainkan wayang. Soedarsono telah mengutip pendapat G.A.J Hazeu bahwa dalang adalah seorang seniman pengembara sebab bila ia sedang mengadakan pementasan selalu berpindah-pindah tempat. Jelas kiranya bahwa fungsi dalang adalah sebagai guru, juru penerang dan juru hibur. Sedangkan pendidikan bidang spiritual (kerohanian) harus mengandung unsur-unsur estetis, etis, edukatif, kreatif, konsultatif, dan rekreatif. Estetis, artinya garapan dalang harus memberikan kenikmatan kepad penontonnya serta memupuk dan mencerminkan rasa keindahan. Etis, artinya uraian dalang harus menjadi pupuk, pembinaan, dan bimbingan kepada masyarakat dalam tata susila yang berlaku dalam lingkungan hidup bermasyarakat. Edukatif, artinya dalang harus mendidik dan mengajak masyarakat untuk menciptakan hal-hal yang baru tanpa mengubah keaslian seni pedalangan. Kreatif, artinya dalang harus membina dan mengajak masyarakat untuk menciptakan hal-hal yang baru. Konsultatif, artinya dalang harus memberi pengarahan dan penerangan kepada mayarakat yang masih butaakan hal-hal yang sedang berlangsung. Rekreatif, artinya dalang harus dapat memberi hiburan yang segar dan menjadi daya tarik masyarakat.

            Menurut seminar seni sakral dan profan bidang tari yang di selenggarakan oleh Proyek Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Bali pada tanggal 24 Maret 1971 di Denpasar, pertunjukan wayang di Bali dapat di golongkan menjadi tiga macam yaitu :

a.       Wayang Wali : yaitu wayang yang berfungsi sebagai pelaksana upacara dan upakara, dalam arti npertunjukan wayang tersebut merupakan bagian dari keseluruhan upacara yang di laksanakan. Wayang yang termasuk golongan ini adalah Wayang Sapuh Leger.

b.      Wayang Bebali : yaitu wayang yang di pentaskan sebagai pengiring upacara di tempat- tempat suci parhyangan atau di pura-pura dan atau dalam rangkaian upacara Panca Yadnya. Yang termasuk dalam golongan ini adalah : Wayang Lemah, Wayang Sudhamala, dan Wayang Peteng.

c.       Wayang Balih-balihan : yaitu wayang yang di pentaskan untuk tontonan secara umum yang fungsinya di luar dari no. a dan b tersebut di atas. Pertunjukan wayang ini lebih menitik beratkan kepada nilai seninya dan fungsi hiburannya.

Fungsi pertunjukan wayang sebagai seni Wayang Bebali yang dimaksud adalah pertunjukan bebali yang dimaksud adalah pertunjukan wayang tersebut di laksanakan pada :

a.       Upacara Dewa Yadnya           : dalam hubangan ini  pertunjukan di selenggarakan pada waktu peringatan hari suci (odalan) baik di tempat suci perumahan (parhyangan/pemerajan) maupun di pura-pura kahyangan. Adapun lakon yang di gunakan pada pertunjukan tersebut di antaranya : Semaradahana, Samudra Manthana dan yang lainnya.

b.      Upacara Pitra Yadnya             : dalam hubungan ini pertunjukan wayang di selenggarakan pada waktu malam hari (wayang peteng) setelah upacara pembakaran mayat (jenazah), dan atau ada pula yang menggunakan wayang lemah yang di selenggarakan di siang hari dengan menggunakan kelir dari benang dan dua buah tiang dari batang kayu sakti (dapdap). Adapun lakon yang biasanya digunakan dalam pertunjukan wayang tersebut adalah : Bima Swarga, Sudhamala, dan yang lainnya.

c.       Upacara Manusa Yadnya        : pada upacara pertunjukan wayang biasanya di selelnggarakan selain pada upacara nelu bulanin (anak berusia 3 bulanan), dan pada upacara otonan atau hari ulang tahun anak, juga di selenggarakan pada upacara perkawinan (pawiwahan). Adapun lakon yang biasanya digunakan dalam pertunjukan wayang tersebut adalah : Lahirnya Pandawa, Lahirnya Kresna, Abimaniu Wiwaha dan yang lainnya.

d.      Upacara Bhuta Yadnya          : suatu upacara membersihkan alam terutama lima unsur alam (panca maha bhuta). Bhuta Yadnya (mecaru) yang disertai pertunjukan wayang biasanya diselenggarakan pada upacara besar-besaran seperti : Ekadasa Rudra, Panca Wali Krama, Sesepen. Adapun lakon yang biasanya digunakan dalam pertunjukan wayang tersebut adalah Bima Mangan Caru, Purusadha Santha dan yang lainnya

Sumber  : DIKTAT WAWASAN SENI PEDALANGAN SMK N 3 SUKAWATI.

Oleh       : Ni Wayan Rasiani, S.Pd., M.Si.

Nip        : 19630819 198902 2 005

Unsur-Unsur Seni Karawitan Dalam Pedalangan

Posted in Tak Berkategori on April 14th, 2014 by prawiranugraha

OLYMPUS DIGITAL CAMERAUnsur-unsur Seni Karawitan Dalam Pedalangan Yang Berwujud Vokal
1. Macam Vokal Dalam Seni Pedalangan
Vokal dalam seni pedalangan dapat di bedakan menjadi dua macam yaitu:
1) Sekar/tembang,
2) Tandak/sendon.
2. Jenis-Jenis Tembang
Sekar/tembang menurut jenisnya dapat diperinci sebagai berikut:
a) Sekar Agung (kekawin)
b) Sekar Madya (kekidungan)
c) Sekar Mecepat (pupuh)
d) Sekar Rare (gegendingan)
3. Pungsi Dan Penggunaan Tembang, Tandak/Sendon
Sekar/tembang di dalam Seni Pedalangan atau dalam pertunjukan wayang dapat berfungsi sebagai iringan, dan ikut mewarnai pakeliran sebagai pendukung suasana adegan wayang. Sekar/tembang tersebut dapat digunakan dalam adegan-adegan tertentu misalnya:
Sekar Ageng (kekawin) : tembang ini biasanya digunakan oleh dalang pada adegan petangkilan, disela-sela adegan perang atau adegan-adegan tertentu dan dibawakan oleh tokoh punakawan.
Sekar Alit (pupuh): tembang ini oleh dalang biasanya digunakan didalam adegan suasana romantis yang menggambarkan suasana saling jatuh cinta antara punakawan laki-laki dan perempuan (Twalen vs Condong) atau (Condong vs Delem, Sangut atau punakawan bondres lainnya). Namun tidak tertutup kemungkinan juga pupuh digunakan didalam adegan-adegan yang lainnya. Sedangkan kekidung, dan gegendingan agak jarang digunakan oleh dalang. Biasanya penggunaan kakidung dan sekar rare tersebut disesuaikan dengan kebutuhan lakon yang dibawakan dalang.
Tandak/sendon dalam pertunjukan wayang adalah vokal dalang yang membarung atau mengikuti lagu gending. Tandak/sendon didalam pertunjukan wayang memegang peranan penting dan merupakan kelengkapan yang sangat pokok didalam pakeliran. Fungsi Tandak/sendon didalam pakeliran adalah untuk membentuk suasana.
Tandak/sendon didalam Seni Pedalangan di Bali tidak seperti Sulukan di pedalangan daerah lain (Jawa) yang terikat oleh patet-patet. Syair-syair yang di tampilkan dapat diambil dari kekawin Bharatayuda, Mahabharata Ramayana maupun Arjuna Wiwaha.
4. Perbedaan Tembang Dan Tandak/Sendon Di Dalam Seni Pedalangan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dinyatakan perbedaan sekar/tembang dengan tandak/sendon di dalam seni pedalangan adalah:
1. Sama-sama berfungsi sebagai pendukung suasana adegan cerita.
2. Perbedaannya: Sekar/tembang tidak harus membarung dengan iringan gamelan sedangkan sendhon/tandak adalah vokal dalang yang mengukuti atau membarung dengan lagu gambelan.
Unsur-unsur Seni Karawitan Dalam Pedalangan Yang Berwujud Instrumental
1. Instrumen/Iringan Pedalangan
1.1 Pengertian Instrumen.
yang dimaksud Instrumen dalam pedalangan ialah alat bunyi-bunyian, atau juga alat musik termasuk gamelan yang terdiri dari beberapa buah ricikan. Dengan demikian gamelan yang dimaksud di dalam pertunjukan wayang adalah iringan yang merupakan barungan atau kumpulan Instrumen atau alat-alat yang telah baku dan biasa dipakai mengiringi salah satu pertunjukan wayang, sedangkan instrumental artinya seni suara yang ditimbulkan oleh alat-alat musik. Di dalam Karawitan Instrumentalia adalah gending-gending yang dihidangkan, sedangkan Instrumentalis adalah pengrawitnya atau seniman karawitan.
1.2 Instrumen Iringan Wayang
Secara konvesional Instrumen atau gambelan yang di pergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit di Bali terutama Wayang Parwa (marwa) adalah Gender Wayang. Gender Wayang ini biasanya terdiri dari 2 sampai dengan 4 buah. Sedangkan untuk pertunjukan Ramayana (ngeramayana), 4 buah gender wayang tersebut di tambah lagi dengan beberapa instrumen lain seperti: Kendang, Kempur, Cengceng, Klenang, Kajar dan Suling. Gamelan Wayang Ramayana ini lazim disebut dengan Gambelan Batel.
1.3 Gending-Gending Iringan Wayang
Didalam pertunjukan wayang kulit yang lengkap biasanya menggunakan kurang lebih 10 jenis motiv gending, sesuai dengan struktur pertunjukan wayang kulit. Adapun keseluruhan gending-gending tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu (1) Gending=gending Petegak, (2) Gending-gending yang mengiringi gerak (tetikesan/sabetan) wayang. Adapun gending-gending tersebut dan penggunaannya dalam pertunjukan wayang adalah sebagai berikut:
(1) Kelompok Gending Petegak
Gending ini terdiri dari berbagai macam jenis komposisi kuno dan baru. Adapun beberapa contoh gending petegak sebagai berikut: Sekar Ginotan, Sekati, Merak Angelo, Cicak Megelut, Sekar Sungsang dan yang lainnya. Gending ini biasanya ditampilkan sebelum dalang memulai pertunjukannya, dan dapat digunakan sebagai isyarat untuk mengundang penonton bahwa pertunjukan wayang segera dimulai.
(2) Kelompok Gending Yang Mengiringi Gerak (Sabetan/Tetikesan) Wayang.
(a) Gending Pemungkah
Gending pemungkah ini digunakan pada saat dalang melakuan hal-hal seebagai berikut:
1. Persembahyangan dan selamatan.
2. Pemukulan keropak dengan sebuah cepala.
3. Dalang memulai pertunjukan wayang dengan menarikan wayang kayonan sampai kepada simpingan wayang disebelah kanan dan disebelah kiri kelir, berlanjut pada pencabutan wayang kayonan.
(b) Gending Petangkilan
Gending petangkilan terdiri dari dua jenis yaitu gending Alas Harum dan gending Rundah atau Candi Rebah. Gending Alas Harum biasanya digunakan pada tokoh wayang yang bermata sipit atau tokoh wayang yang berkarakter halus, sedangkan gending Rundah biasanya digunakan pada tokoh yang bermata bulat (dedeling) atau digunakan pada wayang yang berkarakter keras. Gending-gending ini biasanya ditampilkan setelah cabut kayonan.
(c) Gending Pengalang Ratu
Gending ini merupakan introductory dan pengenalan masing-masing karakter pewayangan dan selalu dipakai sebelum dialog dimulai.
(d) Gending Angkat-angkatan
Gending ini biasanya digunakan setelah parum atau dialog selesai. Gending ini juga digunakan ketika keberangkatan laskar prajurit menuju medan perang.
(e) Gending Rebong
Gending ini bernuasna romantis, biasanya digunakan pada saat adegan roman atau percintaan untuk tokoh kesatria seperti tokoh Arjuna, Kresna dan yang lainnya. Pada tahap kedua gending ini yaitu dilanjutkan dengan gending pengipuk atau pengecet rebong juga biasanya digunakan pada saat suasana romantis dari para punakawan.
(f) Gending Tangis
Gending ini sangat lirih dan biasanya disertai dengan sendhon untuk mengiringi suasana sedih. Dalam katagori ini biasanya ada dua jenis gending yang dipakai yaitu: (1). Gending Mesem: yaitu gending yang digunakan dalam suasana sedih untuk semua tokoh wayang bermata sipit atau wayang yang berkarakter halus. (2) Bendu Semara dan Candi Rebah yaitu gending yang digunakan untuk mengiringi tokoh wayang yang bermata dedeling atau wayang yang berkarakter keras.
(g) Gending Tunjang
Gending ini berkarakter keras dan biasanya di pakai untuk mengiringi keluarnya raksasa atau Bhutakala.
(h) Gending Batel
Gending ini bernuansa energik, bersemangat, dan secara umum dipakai untuk mengiringi wayang yang sedang berperang.
(i) Gending Penyudemalan
Gending ini dimainkan setelah usai pertunjukan wayang. Jika di perlukan penglukatan dan biasanya gending ini diawali dengan sebuah gending Tabuh Gari.
Sumber : DIKTAT WAWASAN SENI PEDALANGAN SMK N 3 SUKAWATI.
Oleh : Ni Wayan Rasiani, S.Pd., M.Si.
Nip : 19630819 198902 2 005