Sejarah Berdirinya Desa Penarukan dan Pura Kahyangan Tiga Pererenan.

This post was written by pramasudasukarma on April 29, 2019
Posted Under: Tak Berkategori

Sejarah Desa Pekraman Penarukan
Pada umumnya di Bali proses terjadinya suatu desa pada mulanya dimungkinkan oleh kehidupan yang berpindah-pindah dimana serombongan orang-orang mulai membuka hutan dan bertani untuk hidup dan kehidupannya. Dari pola tidak menetap ini lama kelamaan ada yang tetap tinggal disuatu tempat dan ada pula yang berpindah-pindah.
Demikian pula halnya sejarah terbentuknya Desa Pekraman Penarukan. Berdasarkan cerita-cerita yang berkembang di masyarakat yang di perkuat dengan Purana yang ada bahwa sejarah terbentuknya Desa Pekraman Penarukan sebagai berikut: Tersebutlah tahun 1700 Masehi di Penarukan telah ada penduduk yang terdiri dari beberapa orang yang jumlahnya sangat sedikit. Konon orang yang pertama datang ke Penarukan ini adalah orang-orang pelarian dari Bali Timur karena orang-orang ini ada masalah dengan Raja Dalem yang berkuasa pada jaman itu. Orang-orang ini menyamar sebagai “Bali Mula”.
Pada waktu pertama orang-orang ini ke Penarukan, mereka melalukan perabasan (pembersihan). Karena tempat ini masih berbentuk hutan belantara. Setelah selesai melakukan pembersihan mereka mulai menata tanah rabasan menjadi tanah yang layak huni dan tanah pertanian untuk menopang kelangsungan hidupnya.
Lama kelamaan datang seorang tokoh keagamaan ke tempat rabasan ini. Tokoh ini tiada lain adalah “Iringan dari Arya Sentong yang merupakan keturunan Majapahit tatkala Rakryan Gajah Mada menyerang Bali pada masa pemerintahan Prabu Asta Sura Ratna Bhumi Banten di Bali tahun 1934. Perjalanan beliau datang dari utara (Kerambitan) keselatan dan sampai pada tempat yang sudah di rabas. Keturunan (Iring-inringan) Arya Sentong yang datang tersebut beristirahat dan bertanya kepada penduduk yang ada di tempat ini. Adapun pertanyaan beliau adalah menanyakan tentang nama tempat yang sudah di rabas ini. Namun orang yang di Tanya tidak memberikan jawaban, karena tempak ini belum diberi nama. Karena tempat ini belum diberi nama akhirnya beliau langsung member nama yaitu “Tarukan” (Bahasa Kawi) yang artinya rerabasan atau kayu-kayu yang telah di rabas. Nama ini didasari atas kedatangan beliau pertama ke tempat ini dan beliau menjumpai tempat ini yang sudah di rabas. Lama kelamaan kata “Tarukan” berubah menjadi “Narukan”, dan akhirnya berubah menjadi “Penarukan”, yang mempunyai makna tempat atau wilayah yang sudah di rabas (di bersihkan).
Atas jasa beliau, akhirnya beliau di angkat menjadi Mekel Desa atau Pemimpin Desa. Mekel Desa pertama bernama “Ki Pangompean”.
Setelah tempat ini terbentuk menjadi Desa, datanglah secara berturut-turut beberapa kelompok warga antara lain: Keturunan Bendesa Manik Mas, Keturunan Pasek Gelgel, Keturunan Pasek Peraupan, Pasek Pulasari, Keturunan Arya Gedong Artha, dan Warih Ida Pedanda Sakti Wau Rauh dan menyusul warga lainnya tinggal di Desa Penarukan sampai sekarang. Desa Penarukan terdiri dari 5 banjar dinas yaitu:

  1. Banjar Penarukan Kaja
  2. Banjar Penarukan Tengah Kaja
  3. Banjar Penarukan Tengah Kelod
  4. Banjar Penarukan Kelod
  5. Banjar Penarukan Bantas

Sejarah Berdirinya Pura Kahyangan Tiga Pererenan
Sebelum menginjak ke Sejarah Pura Kahyangan Tiga Pererenan tidak ada salahnya dipaparkan sepintas mengenai Kahyangan Tiga secara umum di Bali bila dilihat dari segi tempatnya. Pada umumnya Kahyangan Tiga di Bali di bangun berdasarkan atas dasar landasan konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan hidup) yaitu parahyangan = tempat pemujaan, pawongan = manusia dan palemahan = wilayah. Kahyangan Tiga merupakan salah satu unsur dari Tri Hita Karana yaitu unsure parahyangan dari setiap Desa Adat Bali, dimana Pura Kahyangan Tiga terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Penempatannya pada masing-masing Desa Pekraman di atur sebagai berikut: Pura Desa biasanya dibangun di tengah-tengah pada salah satu sudut catur pata (perempatan agung), Pura Puseh pada bagian arah selatan dari Desa atau mengarah ke pantai dan Pura Dalem dekat ke kuburan atau mengarah ke barat daya dari Desa. (Ardana, 2001 :5).
Namun tidak demikian halnya Pura Kahyangan Tiga Pererenan. Bila ditinjau dari keberadaan terutama dari segi tempat secara umum Pura Kahyangan Tiga Pererenan mempunyai keunikan tersendiri atau lain dari apada yang lain, dimana antara Pura Puseh, Pura Desa, Pura Dalem termasuk Prajapati berada dalam satu “Natar” (satu lokasi).
Menurut cerita informan yang di dapat dari Purana Desa Pekraman Penarukan bahwa setelah berdirinya Desa Penarukan tahun 1700 Masehi yang dipimpin oleh Ki Pengompean yang dibantu oleh keluarganyan Ki Rai, maka beberapa puluh tahun kemudian para penggala desa mulai merintis tata ruang desa seperti letak pura, letak setra, sawah dan tempat pemukiman. Setelah itu para karma mepinunas kepada Brahmana yang ada di desa penarukan, kemudian sang Brahmana memberi petunjuk dari tutur Empu Kuturan yaitu Pura Puseh di bangun di huluning desa, Pura Desa di tengah-tengah desa, dan Pura Dalem di teben atau dekat kuburan.
Karena keterbatasan jumlah penduduk dan kemampuan karma desa, maka petunjuk ini tidak dapat di penuhi. Maka dari itu sang Brahmana member solusi yang kedua yaitu Kahyangan Tiga dapat didirikan dalam satu natar atau satu lokasi dengan syarat harus dapat mencari tempat dengan bercirikan 3 kriteria yaitu:
1) Jala Dwara: ada sumber air yang tak pernah putus airnya sepanjang musim.
2) Tanah Mekecap Manis: yaitu tanah yang harus utama atau terasa manis.
3) Tanah Ganda: yaitu tanahnya di samping manis juga berbau harum.
Setelah mendapat petunjuk demikian akhirnya para menggala desa mencari dan mapinunas kepada Ida Bathara Sesuhunan. Atas usaha para manggala desa dan petunjuk dari Ida Bathara Sesuhunan maka tempat itu ditemukan di sisi kelod (selatan) Desa Penarukan yaitu tempat Pura sekarang.
Pada waktu itu Pura dibangun hanya berupa “Jejodog atau gegumuk-gegumuk” baik Kahyangan Puseh, Desa, dan Dalem/Prajapati di bangun dalam satu natar, dan diberi nama Pura Kahyangan Tiga Penarukan. Di sebelah timur pura terdapat sebuah pancuran (mata air) yang airnya sangat jernih, besar dan tidak putus alirannya sepanjang musim.
Pada jaman itu yang berkuasa daerah Tabanan adalah Anak Agung Ngurah, Puri Anyar Tabanan mengadakan perjalanan ke selatan untuk mengawasi daerah kekuasaannya. Sampailah beliau di Penarukan dalam keadaan sudah payah. Disana beliau (di wilayah Pura Kahyangan Tiga Penarukan). Beliau melihat mata air (jala dwara) yang airnya sangat bersih mengalir tanpa putus-putusnya. Disana beliau berpikir bahwa tempat ini sangat suci dan sejuk. Akhirnya disana beliau berhenti sebentar sambil menghilangkan rasa letih. Dan karena orang yang berkuasa waktu itu di tabanan pernah berhenti sebentar di tempat sumber air yang ada di wilayah Pura Kahyangan Tiga maka makin lama kelamaan tempat itu diberi nama “Pererenan” yang artinya tempat pemberhentian sebentar di dalam perjalanan.
Sebagai bukti nyata kejadian tersebut maka oleh krama desa pada waktu itu dibangun sebuah pelinggih di samping kanan Kahyangan Puseh, khusus disungsung oleh keluarga Puri Tabanan. Pelinggih itu sekarang berbentuk pelinggih Mundak Sari. Mulai saat itu Pura Kahyangan Tiga Penarukan terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga Pererenan.
Setelah Bali dikuasai oleh penjajah tahun 1929, mulailah dibangun pelinggih Kahyangan Tiga di utama mandala (jeroan) yang menyatu dalam satu natar antara puseh, desa, dalem/prajapati. Tahun 1932 di bantu oleh sesepuh “Gria Gde” dan para tokoh lainnya pelinggih utama di utama mandala selesai di bangun dan di upacarai pemelaspasannya pada tahun 1932. Mengenai keberadaan Pura Kahyangan Tiga Pererenan di bangun dalam satu natar termasuk pelinggih prajapatinya merupakan kesepakatan para sesepuh desa waktu dahulu yang di dasari atas asung kerta wara nugrahanya Ida Bathara yang bersetana di Pura Kahyangan Tiga Pererenan.
Pada tahun 2000 diadakan rehab besar-besaran dan bagian jabe taneg (madyaning mandala di perlebar ke timur menjadi jaba sisi kangin). Perubahan selesai tahun 2001 dan pada tanggal 4 April 2001 di adakan pamelaspasan, ngenteg linggih dan numpuk pedagingan. Enam bulan kemudian yaitu diadakan upacara ngbusaba desa dan ngusaba nini. Pernah ada niat krama desa untuk memisahkan pura yang berada dalam satu area namun dari petunjuk gaib yang di terima, Ida Bathara yang bersetana disana tidak berkenan. Akhirnya sampe sekarang keadaan seperi ini tetap diwarisi sebagaimana dahulu. (Narasumber dan Purana Desa Pekraman Penarukan, sagah II, palet 3, paos 5).

Fungsi Pura Kahyangan Tiga Pererenan
Pada dasarnya Pura Kahyangan Tiga yang di bangun di masing-masing desa pekraman di Bali bertujuan untuk memantapkan dan memasyarakatkan konsep Tri Murti yang di sepakati sebagai dasar keagamaan di Bali, ketiga Kahyangan tersebut masing-masing mempunyai fungsi tersendiri seperti :
1) Pura Desa: fungsi tempat pemujaan Dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta beserta isinya.
2) Pura Puseh: fungsinya tempat pemujaan Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya.
3) Pura Dalem: fungsinya tempat pemujaan Dewa Ciwa dalam wujud Durga sebagai pemerlina alam semesta beserta isinya. (Ardana, 2001 : 12).
Demikian pula halnya Kahyangan Tiga Pererenan Desa Penarukan, fungsinya hampir sama dengan Kahyangan Tiga lain yang ada di Bali.

Berikut foto Pura Kahyangan Tiga Pererenan:

Comments are closed.

Previose Post: