Tabuh Pat Tegal Tamu

Posted by nyomanyudiawan on Juli 11, 2014
Tak Berkategori

Tabuh Pat Tegal tamu satu bentuk komposisi yang memiliki uger-uger dan jajar pageh yang telah dibakukan. Dilihat dari hukum pepadayang tertuang dalam jajar pageh pada bagian pengawak dan pengisep, tabuh pat adalahkomposisi yang memiliki empat pukulan kempur dan empat pukulan kempli dalam satu gong.Telah di sampaikan atas bahwa secara umum gending-gending lelambatan gaya Batubulandisajikan dalam format ngewilet dan periring, terutama pada bagian pengawak dan pengisep.Bila dihitung dengan mempergunakan hitungan peniti penyacah, yang menjadi bagian intitabuh pat memiliki ukuran 8 X16 ketukan dalam satu gong. Atau dapat dikatakan memiliki16 birama 4/4 dalam satu gong. Satu baris terdiri dari empat birama/frase yang ditandaidengan jatuhnya pukulan kempli dan kempur. Sama halnya dengan tiga komposisi diatas,tabuh pat memiliki struktur kawitan, pengawak, pengisep, dan pengecet. Hanya saja masingmasing bagian ini di mainkan secara terputus-putus, namun masih dalam satu kesatuankomposisi yang utuh.Pada bagian pengawak memiliki identitas tersendiri. Dari segi musikalitas tidak adanya variasi pada teknik permainan gangsa, hanya terjadi penonjolan-penonjolan instrumentasi yang sifatnya proporsional. Penonjolan ini disamping sebagai bentuk variasi juga sebagai penanda jatuhnya pukulan kempli dan kempur sembari mendukung pukulan kendang. Tidak adanya periring sebelum pengawak sebagaimana halnya lelambatan klasik gaya Badung. Periring dalam lelambatan gaya Badung merupakan melodi pengawak yang memainkan pola kekendangan pengisep dan disajikan dalam tempo yang lebih cepat.Sehingga memberikan kesan pengawak dalam bentuk singkat. Dalam tabuh pat gaya Batubulan ini setelah melakukan rangkaian melodi kawitan, dilanjutkan dengan pengawak ngewilet.

 

Pengawak di mulai oleh kendang kemudian disambut oleh trompong menjelang pada frase kedua. Terjadi jalinan pukulan kendang yang dirangkai dengan melodi trompong dan menjelang   pukulan kempur pertama, secara simultan kelompok gangsa memulai permainannya dengan motif pukulan norot. Pada bagian ini terjadi penonjolan dinamika atau ombak-ombakan yang dibawakan oleh gangsa selama satu frase pertama setelah kempur dan digantikan oleh reyong bersama dengan ceng-ceng kopyak dan berhenti menjelang frase keempat untuk memberikan tekanan supaya pukulan kempli menjadi lebih tajam. Kendang juga memberikan jalinan sebagai penanda jatuhnya pukulan kempli dan kempur. Ke-khasan lain dari pada tabuh pat gaya Batubulan adalah terletak pada pukulan kendang yang ngewilet. Sehingga Nampak sangat rapat dan sedikit lebih cepat dari lelambatan klasik gaya Badung. Pola kekendangan gaya Badung mengacu pada pola kekendangan asta windu yang terdapat pada komposisi palegongan. Lelambatan klasik gaya Badung memiliki pupuh kekendangan baku yang diambil dari pukulan kendang gledag gledug” pukulan yang lambat dan jarang. Memiliki tiga bagian yaitu pertama pengawit, kedua inti/penanda jatuhnya pukulan kemplidan kempur, dan ketiga menandakan jatuhnya pukulan gong. Hitungan /ketukan sama dengan peniti penyacah. Terdiri dari empat bait dalam satu baris yang diakhiri dengan pukulan jegog. berbeda halnya kekendangan gaya lelambatan Batubulan. Memiliki pukulan yang lebih cepat dan rapat empat kali lebih cepat dari peniti penyacah. Tidak mengacu pada pupuh kekendangan asta windu, dan terkesan hanya memberikan komando dinamika, dari pada sebagai penanda pukulan kempli dan kempur, walaupun hal itu terjadi. Persamaannya adalah juga terdiri dari tiga bagian yaitu, bagian pengawit, bagian inti, dan bagian akhir untuk mencari atau menuju pukulan gong. Hanya saja sebelum mencapai gong terjadi break/putus pada jatuhnya pukulan kempur yang ke empat sebagaimana lelambatan gaya Gianyar pada umumnya. Untuk menuju ke pengisep terjadi penyalit/melodi perantara untuk menuju tonika pengisep yang dimulai dari setelah jatuhnya pukulan kempur ke empat.Pada bagian pengisep tidak jauh berbeda dengan pengawak. Pada bagian ini memiliki musikalitas hampir sama dengan pengawak, tidak adanya variasi pukulan gangsa seperti kombinasi norot dan oncang-oncangan. Hanya terjadi dinamika dan penonjolan instrumentasi yang sifatnya proporsional untuk mendukung pukulan kendang. Hanya saja pada bagian pengisep ini dimulai oleh instrumen trompong. Pada bagian pengecet terdiri dari tiga bagian. Yaitu bebaturan, ngembat dan tabuh telu. Pada umumnya bebaturan terdiri dari 16 ketukan dalam satu gong yang diulang-ulang dengan memperhatikan irama, tempo dan dinamika. Berbeda halya dengan bentuk bebaturan gaya badung yang memainkan irama dalam dua bentuk yaitu bentuk pelan dan cepat/seseg. Dalam lelambatan gaya batubulan, tidak adanya permainan irama. Pengambilan bebaturan ini dimulai oleh trompong. Setelah melakukan pengulangan dengan permainan tempo dari cepat menjadi lambat, akhirnya putus pada jatuhnya pukulan gong pada standar tempo lambat yang diinginkan. Dilanjutkan dengan pola ngembat yang dimulai oleh trompong. Pola ngembat merupakan bentuk ngewilet dari bebaturan terdiri dari empat baris dalam satu gongan. Setiap baris terdiri dari delapan ketukan yang ditandai dengan jatuhnya pukulan instrumen penanda seperti jegog, kempli dan kempur hingga berakhir dengan pukulan gong. Pola ini terdiri dari dua gongan dengan tonika nada tinggi dan nada rendah yang diulang-ulang secara bergantian. Peralihan dilakukan pada tonika nada rendah langsung menuju tonika tabuh telu. Tabuh telu sebagai tabuh telu pekaad untuk mengakhiri komposisi tabuh pat ini, memakai satu rangkaian melodi yang di ulangulang (ngubeng) untuk ketiga struktur tabuh telu. yakni, pemalpal, pengawak, dan pekaad. Sedangkan pengolahan pola dinamika/ombak-ombakan, teknik permainan dan tempo samadengan pola tabuh telu lepas gaya Batubulan sendiri.

 

Tabuh Pat, Gaya Badung

Sebagaimana penjelasan tabuh di atas, komposisi tabuh pat merupakan salah satu bentuk komposisi tabuh lelambatan yang memiliki uger-uger dan jajar pageh pengawak dan pengisep yang terdiri dari empat pukulan kempur dan empat pukulan kempli dalam satu pukulan gong. Bila dihitung dengan mempergunakan peniti penyacah, ukuran pengawak dan pengisep yang menjadi bagian inti tabuh pat memiliki ukuran 16 X 16 ketukan dalam satu gong. Sama halnya dengan tiga jenis komposisi di atas, komposisi tabuh pat juga memiliki struktur inti yang terdiri dari pengawit, pengawak, pengisep dan pengecet. Dalam struktur penyajian komposisi lelambatan tabuh pat gaya Badung terdapat periring yang biasanya ditempatkan pada bagian awal dan ditengah-tengah. Periring berarti memainkan atau membaca   nada-nada pokok sebuah kalimat lagu. Walaupun di dalam struktur tabuh lelambatan pagongan, bagian periring ini tidak tercantum dalam pencatatan notasinya, Menurut I Wayan Berata seorang empu karawitan, penyajian periring pada bagian awal dari sebuah lelambatan akan memberikan suatu kekuatan dalam hal tempo dan dinamika terhadap penyajian lelambatan tersebut. Adapun periring dari sebuah tabuh lelambatan melodinya diambil dari pada melodi bagian pangawak namun pola pukulan kendang yang dipergunakan adalah pola kekendangan pangisep. Adanya hal tersebut disebabkan karena melodi pengawak yang diperiring-kan dimainkan dengan tempo yang lebih cepat dari standar tempo yang biasanya dimainkan pada bagian pengawak. Adanya percepatan tempo ini terkadang menimbulkan kesan bahwa melodi pengawak yang dimainkan lebih pendek. Dilain pihak, dalam bentuk penyajian lelambatan kreasi baru bagian ini dimainkan dengan berbagai variasi teknik permainan seperti kotekan (jalinan melodi pukulan polos dan sangsih) permainanRereyongan. Penyajian bagian pengawak dan pengisep dari tabuh lelambatan gaya Badung memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan gaya-gaya lainnya di Bali. Ke-khasan tersebut dapat disimak dalam musikalitasnya, teknik instrumentasi dan  penonjolanpenonjolan instrumen baik dalam tata penyajian lelambatan klasik maupun kreasi. Dari aspek musikalitasnya, tabuh pat lelambatan gaya Badung dimainkan dalam tempo yang sedang dengan dinamika serta pembagian penonjolan instrumen yang proporsional. Penempatan variasi oncang-oncangan pada instrumen gangse, dan ceng-ceng kopyak disamping memberikan kesan penonjolan, juga memiliki makna tersendiri sebagai sebuah tanda jatuhnya pukulan kempur dan kempli. Oncang-oncangan ganse dipergunakan untuk menandakan jatuhnya pukulan kempli sedangkan ceng-ceng kopyak digunakan sebagai tanda jatuhnya pukulan kempur. Penanda lainnya yang paling berperan penting dalam penyajian pengawak adalah motif pukulan kendang. Tabuh lelambatan gaya Badung memiliki pupuh kekendangan yang baku. Mengacu pada pupuh kekendangan asta windu yang terdapat pada komposisi tabuh pelegongan, pupuh kekendangan yang dimainkan pada bagian pengawak juga terdiridari beberapa bagian. Pada bagian pertama sebagai pengawit, bagian kedua yang 6 menandakan jatuhnya kempli dan kempur, dan bagian terakhir untuk menandakanjatuhnya pukulan gong. Selain tabuh pat, komposisi lelambatan yang sejenis adalah tabuh nem dan tabuhkutus. Komposisi ini memiliki banyak persamaan yang dapat dilihat dari struktur dan komposisinya. Perbedannya hanya terdapat pada jumlah pukulan kempur dan kempli yang terdapat di dalamnya. Tabuh pat di dalam satu gong pengawak dan pengisepnya hanya terdapat empat pepade atau angsel yang ditandai dengan jatuhnya pukulan kempur dan kempli. Sedangkan ukuran tabuh nem dan tabuh kutus, sebagaimana namanya pada bagian pengawak dan pengisep yang merupakan bagian inti (main body) masing-masing memiliki nem (enam) dan kutus (delapan) pepade atau angsel. Adanya perbedaan ini berpengaruh pada ukuran panjang dan pendek lagu yang dimainkan. Bila dihitung dengan mempergunakan peniti penyacah, bagian pengawak dan pengisep lelambatan tabuh nem memiliki ukuran 16 X 24 ketukan dalam satu gong, sedangkan tabuh kutus ukurannya lebih panjang lagi yaitu 16 X 32 ketukan dalam satu gong.

 

Comments are closed.