Melasti, Tawur Agung, Pengerupukan, Nyepi dan Ngembak Geni; Dari Kisah Tentang Jempana, Penyucian Buana Alit dan Buana Agung

Posted by nyomanyudiawan on Juli 12, 2014
Tak Berkategori

Jum’at 23 Maret 2012. Nyepi memiliki filosofi dimana umat Hindu memohon kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, untuk melakukan penyucian Buana Alit (manusia) dan Buana Agung (alam dan seluruh isinya).

Sebelum hari raya Nyepi, dilaksanakan serangkaian upacara dan upakara yang bermaksud agar Penyucian Buana Alit dan Buana Agung berjalan dengan lancar. Rangkaian upacara tersebut berbeda-beda, tergantung dari Genius Local Wisdom dan urun rembug masing-masing daerah serta kebijaksanaan yang ditetapkan bersama. Salah satu rangkaian upacara tersebut adalah Melasti, atau disebut juga dengan Mekiyis, atau Melis.

Pada saat Melasti, berbagai [retima atau benda yang disakralkan atau dikeramatkan akan disucikan dengan cara dibawa ke laut, sungai atau segara. Pada jaman dahulu, berbagai benda ini diarak dengan diusung di atas kepala. Namun kemudian, seiring dengan perkembangan jaman, kearifan akal budi manusia melakukan modifikasi dengan membuat Jempana. Jempana adalah sebuah tempat yang kemudian di beri roda agar mudah diarak menuju laut. Setelah pretima disucikan, kemudian akan disemayamkan di Pura Desa hingga sehari setelah hari raya Nyepi berlalu, untuk kemudian berbagai pretima ini kembali ditempatkan pada pura masing-masing.

Selain Melasti, terdapat pula Pecaruan / Tawur Agung.

Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada “panglong ping 14 sasih kesanga”, umat Hindu melaksanakan upacara ”Buta Yadnya” di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis ”[[caru]]” (semacam sesajian) menurut kemampuannya. ”Buta Yadnya” itu masing-masing bernama ”Pañca Sata” (kecil), ”Pañca Sanak” (sedang), dan ”Tawur Agung” (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda [[Buta Kala]], dan segala ”leteh” (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. ”Caru” yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 ”tanding”/paket beserta lauk pauknya, seperti [[ayam brumbun]] (berwarna-warni) disertai ”tetabuhan” arak/tuak. ”Buta Yadnya” ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat .

”Mecaru” diikuti oleh upacara ”pengerupukan”, yaitu menyebar (nasi) tawur, mengobori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu )sejenis bahan makanan), serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.

Mulai tahun 1990 an, di Bali pada saat Pengerupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai Ogoh-ogoh, sebagai perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.

Keesokan harinya, pada Tilem Kesanga, tibalah Hari Raya Nyepi. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi yang disebut “Catur Brata Penyepian” dan terdiri dari ”amati geni” (tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), ”amati karya” (tidak bekerja), ”amati lelungan” (tidak bepergian), dan ”amati lelanguan” (tidak mendengarkan hiburan). Brata ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit. Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 ”oton”/6 bulan), lambang ini diwujudkan dengan ‘matekep guwungan’ (ditutup sangkar ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa , disebut dengan Ngeraja Sewala, upacaranya didahului dengan ”ngekep” (dipingit).
Konsep tersebut digunakan juga pada peralihan dari tahun lama ke tahun baru Caka, sehingga ada masa amati geni. Intisari dari perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), menurut lontar “Sundari Gama” adalah “memutihbersihkan hati sanubari”, yang merupakan kewajiban bagi umat Hindu.  Berisikan tentang ”Tiap orang berilmu (’’sang wruhing tattwa jñana”) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga (menghubungkan jiwa dengan paramatma /Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin).”

Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan hari raya dengan pesta, berfoya-foya, berjudi, mabuk, adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti diubah.

Sehari setelah hari raya Nyepi adalah Ngembak Geni (Ngembak Api), sebagai rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka. ‘Ngembak Geni jatuh pada tanggal “ping pisan (1) sasih kedasa (X)”. Pada hari inilah Tahun Baru Saka tersebut dimulai. Umat Hindu bersilaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (”ksama”) satu sama lain.
Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Çaka berakhir pada “panglong ping limolas (15) sasih kedasa (X)”, dan tahun barunya dimulai tanggal 1 sasih kedasa (X).

Bagaimanakah pelaksanaan Melasti di Bali itu sendiri???

Bali memiliki budaya yang beragam di mana setiap hari kita dapat menemukan ritual Hindu di pulau, yang terkenal dikenal sebagai Pulau Seribu Pura dan Seribu Dewa. Salah satu upacara penting dalam ritual Hindu Melasti atau pemurnian Pratima (dewa simbol) dan simbol agama Hindu di pantai, segara, atau sungai. Upacara Melasti ini dilakukan setahun sekali, pada umumnya dilakukan tiga hari sebelum hari Nyepi atau tergantung pada aturan desa adat setempat. Pada perayaan Melasti, umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali membawa  simbol suci agama Hindu ke berbagai pantai dan sungai yang ada di Bali. Setelah Melasti, berbagai simbol suci, seperti tombak, pretima, akan disthanakan bersama-sama di Pura Desa hingga sehari / dua hari setelah Nyepi. Terkadang, terdapat kejadian yang unik selama prosesi Melasti berlangsung, di mana ada umat Hindu mengalami kesurupan (terjadinya alam luar kesadarannya), menari menangis, dan berbicara dengan tidak teratur.

 

Comments are closed.