UPACARA PANGARUPUKAN

This post was written by gunawisnawa on Juli 11, 2014
Posted Under: Tak Berkategori

Upacara pangarupukan

Agama Hindu adalah agama yang paling banyak memiliki hari suci. Serangkaian upacara yang dilakukan tidak lepas dari konsep keseimbangan hidup dalam banyak dimensi. Masyarakat Hindu, dimanapun mereka berada akan selalu dihadapkan dengan sebuah problema yang menyangkut keseimbangan hidup tersebut. Salah satu hari suci yang akan kita jalankan adalah hari raya Nyepi. Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun baru saka. Hari ini jatuh pada tilem kesanga (IX) yang dipercayai hari penyucian dewa-dewa membawa intisari amerta air melakukan pemujaan suci terhadap mereka. Tujuan utama dari hari raya nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Sebelum hari raya Nyepi dilaksanakan, ada beberapa rangkaian uapacara yang harus dijalani oleh umat Hindu Dharma yaitu :

Melasti, Tawur (Pecaruan) dan Pengerupukkan, tiga atau dua hari sebelum hari raya nyepi, umat Hindu melakukan penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga mekiyis/melis. Pada hari itu segala benda-benda suci yang ada dipura disucikan di danau, atau di sumber air yang dinilai sebagai tembat yang suci. Bicara tentang hari raya Nyepi, dewasa ini tidak dapat dipisahkan dengan kata Ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.

Hari Raya Nyepi, ini adalah puncaknya. Sebab suasana yang biasanya ramai dihentikan untuk satu hari. Secara filoshofis, hal ini bermakna untuk menyucikan Bhuana Agung secara realistis, dan menyucikan Bhuana Alit melalui Tapa Brata Penyepian. Adapun Catur Brata Penyepian adalah Amati Geni yaitu tidak menyalakan api, Amati Lelanguan yaitu tidak berpesta pora, Amati Karya yaitu tidak bekerja, dan Amati Lelungaan yaitu tidak berpergian.

stock-photo-balinese-monster-ogoh-ogoh-on-blue-sky-background-98271092

Bicara tentang hari raya Nyepi, itu tidak dapat dipisahkan dengan ogoh-ogoh. Pertunjukkan ogoh-ogoh pada hari raya nyapi seolah menjadi PKB ke-2 yang menyulap perhatian para peminatnya. Di Kota Denpasar, penulis mengamati tiap-tiap banjar membuat ogoh-ogoh untuk persiapan hari raya Nyepi, yang nantinya ogoh-ogoh tersebut diarak keliling daerah mereka. Namun belakangan ini pertunjukan ogoh-ogoh mengalami sekulerisasi. Tidak saja digunakan pada saat upacara pengerupukan, namun pertunjukan ogoh-ogoh telah dijadikan sebagai ajang berkreatifitas bagi pengerajinya dalam bentuk Lomba dan Pawai Ogoh-ogoh. Pertunjukan ogoh-ogoh dewasa ini selalu diiringi dengan iringan Baleganjur, ataupun ada suatu daerah yang ogoh-ogohnya menggunakan tektekan sebagai pengiringnya.

Gamelan Baleganjur adalah satu dari sedikitnya sepuluh golongan kuno yang hingga sekarang masih tetap eksis di Bali (Dibia, 1999:112). Hingga kini ada dua pengertian berbeda melekat dengan gamelan prosesi ini. Yang pertama adalah musik pengusir Bhuta Kala sehingga disebut Kalaganjur. Yang kedua adalah sebagai musik pembangkit semangat sehingga disebut Balaganjur. Namun, secara historis Baleganjur itu berasal dari Bebonangan, yaitu sebuah perangkat gamelan kuno yang lahir pada masa pemerintahan raja-raja di Bali (I Made Bandem, 2013:266).

Tektekan, instrument ini sejenis “slit drum” atau kentongan yang dibuat dari batangan bambu dengan berbagai ukuran pula. Tektekan dimainkan dengan alat pemukul bambu atau kayu yang dapat menimbulkan bunyi semarak terutama dimainkan sehari menjelang Hari Raya Nyepi dan fungsinya untuk menghalau Bhuta Kala agar tidak mengganggu kenyamanan tahun baru Bali (I Made Bandem, 2013:127). Munculnya tektekan sebagai barungan gamelan adalah gabungan dari beberapa instrument. Yang mana instrument utamanya adalah kentongan (I Gede Mawan dalam Mudra, 2009:20).

 

Dalam makalah ini, penulis akan mengemukan relasi antara ogoh-ogoh dengan musik pengiringnya dalam konteks seni pertunjukan di Bali. Bagaimana terjadinya sekulerisasi fungsi daripada ogoh-ogoh itu sendiri.

Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (kala) yang tidak terukur dan tidak terbantahkan. Bhuta Kala yang dilukiskan didalam bentuk ogoh-ogoh pada umumnya berwajah seram dan menakutkan dan mengambil wujud dalam bentuk raksasa. Selain wujud rakshasa, ogoh-ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Surga, dan        Neraka, seperti : Naga, Gajah, Garuda, Widyadari, bahkan Dewa.

Seiring perkembangannya, ogoh-ogoh sampai ada yang menyerupai artis, dan tokoh-tokoh dunia yang dinilai memberikan pengaruh besar terhadap dunia ini. Mengenai fungsi utamanya, Ogoh-ogoh sebagai perwujudan Bhuta Kala dibuat menjelang hari raya Nyepi dan diarak keliling desa pada senja hari Pengerupukan. Menurut para tokoh dan praktisi Hindu Dharma, hal ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Namun, secara filoshofis, lambing ogoh-ogoh melambangkan sifat keraksasaan yang harus dihilangkan oleh umat manusia. Untuk itulah ogoh-ogoh sehabis diarak langsung dibakar.

Fungsi yang kedua adalah seiring perkembangan zaman ogoh-ogoh telah mengalami sekulerisasi, sehingga ogoh-ogoh itu merupakan sebuah hiburan dengan seringnya diadakan lomba, ataupun pawai ogoh-ogoh.

 

 

Comments are closed.