SEKAA GONG SADMERTA EKSISTENSI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN SENI KEKEBYARAN DI BALI

Oleh: I Gede Yudarta

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sekaa Gong Sadmerta adalah salah satu sekaa gong kebyar yang terkemuka di Bali. Keberadaan Sekaa gong ini dimulai dari sejak tahun 1918 dimana pada waktu itu masih atas nama Gong Belaluan. Sebagaimana diketahui bahwa Gong Kebyar adalah salah satu gamelan yang pertama kali muncul di Bali Utara (Singaraja). Dalam perkembangannya gamelan ini  sampai di Belaluan pada tahun 1918 dimana pada waktu itu keberadaan gamelan gong kebyar masih mempergunakan bilah 9 buah dan menjadi 10 bilah pada tahun 1930.

Keberadaan gong Belaluan sebagai salah satu Sekaa terkemuka di Bali, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama adalah adanya hubungan yang baik antar seniman. Sesuai dengan  apa yang diungkapkan oleh Senen, adanya hubungan yang erat antara Sekaa Gong Belaluan dengan  Sekaa Gong Ringdikit (Buleleng) mengakibatkan gong Belaluan menjadi lebih maju dalam penguasaan repertoar-repertoar gending Kebyar.(Senen, 2002)[1]. Dalam sejarah perkembangan gong Belaluan terdapat beberapa seniman Belaluan yang mengadakan kontak langsung dengan seniman yang ada di Buleleng. Diantara yang paling erat hubungannya adalah antara I Wayan Berata dengan  I Gede Manik.

Selajutnya dikatakan pula bahwa dalam hal ini Belaluan banyak mendapatkan masukan dari Ringdikit terutama menyangkut dinamika, dan karakterisasi gending-gending Kebyar Bali utara yang serba keras, cepat, dan sejenisnya.[2] Kedua adalah kemampuan para seniman yang ada di Belaluan seperti Regog dan Berata dalam menyerap pola Kebyar Bali Utara serta memadukannya dengan  nafas Pelegongan dan Pegambuhan yang melandasi seniman-seniman tersebut yang selanjutnya di olah sehingga terjadi suatu perpaduan yang sangat menarik antara “keras dan lembut” yang menghasilkan gaya sebagai gaya Belaluan selanjutnya gaya Bali Selatan.

Kepopuleran Gong Belaluan sebagai salah satu gong terkemuka tidak saja diketahui oleh masyarakat Bali namun juga dimata orang asing yang tertarik dengan  kesenian Bali. Dapat  disimak dalam tulisan Miguel Covarrubias seorang warganegara Amerika yang pertama kali datang ke Bali pada tahun 1930 dalam  bukunya Island of Bali yang banyak menulis tentang kebudayaan Bali dimana dalam tulisannya itu ada kalimatnya menyebutkan

“…The Gong Kebiar, to which the orchestra of Belaluan belong, is the large modern concert orchestra par excellence, where the art of ensemble playing, the colorful orchestration, and the vitality of the music show to best advantage. Music played by kebiar consist for the most…” (Covarrubias, hal. 210)[3]

Dari  buku yang ditulis oleh Dr. R. Goris yaitu Bali, Atlas Kebudayaan, Cult and Custom, cultuurgeschiedenis in Beel disebutkan “ … for some five year the beautiful gamelan of Belaluan and the dancing of Maria created a feast of sound, form and colour…” ( …tidak lebih lama dari pada hanya lima tahun saja Maria mempertunjukkan tarianya yang diiringi oleh orkes gamelan Belaluan yang amat indah itu, dan senantiasa pula pertunjukkannya itu merupakan pesta yang menakjubkan tentang bunyi, warna, irama dan gerak…) (Goris,-:151, 157)[4]

Fakta di atas dicatat berdasarkan  pada suatu fakta kira-kira 10 tahun setelah munculnya gong kebyar dan menyebar ke daerah Bali Selatan (Belaluan). Disamping dari tulisan-tulisan data-data informasi juga diperoleh dari adanya rekaman yang dilakukan oleh para peneliti asing yaitu oleh Walter Spies pada tahun 1925 dan pada tahun 1928 oleh Odeon dan Beka. Hasil rekaman tersebut hingga saat ini masih tersimpan dengan  baik dan pernah dijadikan sebagai mata pelajaran music ethnic di UCLA (Amerika Serikat).

2. Periodisasi Sejarah Perkembangan

Di dalam kronologis perkembangan Gong Belaluan ini, disamping beberapa uraian di atas, ada berbagai momen penting yang dialami yang mana hal itu sangat mempengaruhi perkembangannya di kemudian hari. Secara rinci kronologis tersebut akan disampaikan dalam bentuk periodisasi.

2.1. Periode Tahun 1918 – 1940

Periode ini adalah merupakan periode awal dari keberadaan Gong Sadmerta dimana pada-masa-masa ini boleh dikatakan sebagai masa pembelajaran yaitu mempelajari pola-pola kekebyaran yang lahir di Bali Utara. Keberadaan Gong Kebyar di Belaluan pada awalnya adalah merupakan seperangkat gong kebyar duwe Jro Dangin yang disumbangkan kepada para seniman di Belaluan untuk dimainkan. Tercatat dalam disertasi Pande Sukerta bahwa Gong Belaluan pada saat itu masih mempergunakan sistem gangsa 9 bilah.  Pada tahun 1930-an terjadi perubahan dalam bilah gangsa yang dipergunakan yaitu dari sembilan bilah menjadi 10 bilah. Karena gamelan yang dari Jro Dangin diminta kembali.

Walaupun merupakan fase awal dari perkembangan gong Belaluai namun keberadaanya semakin mantap dengan  terdapatnya seniman-seniman berbakat di daerah ini seperti I Made Regog, yang menggubah Komposisi Kebyar Ding Surapati yang direkam oleh Walter Spies pada tahun 1925, serta beberapa karya yang lainnya yang direkam kembali oleh Odeon dan Beka pada tahun 1928. aktivitas lainnya yang dapat dikatakan berskala nasional yang pernah diikuti pada periode ini adalah mengikuti Festival Pasar Gambir di Batavia (Jakarta) pada tahun 1929 dan memperoleh penghargaan ke dua  (Tweede Prijs) dengan  menampilkan legong dan tari kebyar yang pada waktu itu diperkuat oleh I Nyoman Maria (Mario). Sebagai salah satu Sekaa gong terkemuka di Bali Selatan, pada tahun 1933 berhasil memenangkan hadiah panggul emas dalam bebarungan (festival) yang mempertemukan Sekaa-sekaa gong terkemuka yang ada di Bali yang dilaksanakan di Wantilan Banjar Meregan, Klungkung.

Menutup periode ini adalah memperoleh peringkat ke II dalam bebarungan yang diadakan  pada tahun 1939 di lapangan Puputan Badung  dalam rangka hari Ulang Tahun Ratu Belanda. Sedangkan peringkat pertama diraih oleh Sekaa Gong Pangkung.

2.2. Periode Tahun 1940 – 1960

Di awal tahun 40-an tidak ada aktivitas yang menonjol yang dilakukan oleh Gong Belaluan karena dipengaruhi oleh situasi konfrontasi dan dipengaruhi oleh adanya penjajahan Jepang yang sangat ketat melakukan pengawasan terhadap berbagai kegiatan masyarakat. Namun demikian keseharian keberadaan Sekaa ini tetap berjalan hanya terbatas pada aktivitas sosial kemasyarakatan dan baru pada tahun 1951 di bawah kepemimpinan I Wayan Berata kembali mengadakan bebarungan yang sifatnya eksebisi dengan  tampil bersama  Gong Gladag pada acara Pasar Malam di Lapangan Puputan Badung.

Pada tahun 1955 Sekaa Gong ini mendapat undangan secara khusus dari Kodam VII/Wirabhuana, Makasar untuk tampil pada upacara Hari Ulang Tahunnya. Dan pada Tahun ini pula kembali mengadakan kegiatan mebarung dengan  Sekaa Gong Peliatan  yang disaksikan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mr. Moh. Yamin di Wantilan Pengrebongan desa Kesiman.

Undangan pertama untuk tampil diluar negeri akhirnya diperoleh pada tahun 1956 yaitu dalam rangka memeriahkan Hari Jadi Republik Rakyat Tiongkok yang Ke-7 di Tiongkok (RRC). Sekaa Gong Belaluan bergabung dengan  Sekaa Gong Sawan medapat undangan ini mengadakan lawatan lebih kurang 3 bulan lamanya dengan  membawakan berbagai bentuk kesenian dari tari-tarian kebyar, legong sampai kesenian Janger.

Pada tahun 1957 karena adanya konflik internal di Belaluan, terjadi pembekuan sarana gamelan yang mengakibatkan terjadinya perpecahan. Perpecahan itu akhirnya berimplikasi terbentuknya Sekaa Gong Sadmerta yang dibentuk oleh warga masyarakat yang sangat mencintai keberadaan keseniannya.   Dengan  adanya pembekuan sarana kesenian yang dimiliki maka pada tahun ini pula warga kembali membuat seperangkat Gamelan dengan  bantuan berbagai pihak terutama Puri Denpasar dan Puri Belaluan yang banyak memberikan bantuan moral dan material. Dalam waktu yang tidak terlalu lama terbentuklah Gong Sadmerta yang mana keberadaannya dapat dikatakan kelanjutan dari Gong Belaluan karena sebagian besar anggota-anggotanya adalah mantan anggota Sekaa Gong Belaluan.

Aktivitas Gong yang kini bernama Gong Sadmerta kembali berlanjut yaitu dengan  adanya undangan untuk memeriahkan pembukaan Konference Colombo (Colombo Plan) di Gedung Agung Jogyakarta pada tahun 1959.

2.3. Periode Tahun 1960 – 1980

Periode ini dapat dikatakan masa “emas” dari Gong Sadmerta, dimana berbagai prestasi dan penghargaan diraih terkait dengan  keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan baik yang bersifat local, nasional maupun internasional. Diawali dengan  kegiatan sebagai penabuh istana (kenegaraan) yang tampil pada saat dilaksanakannya upacara-upacara kenegaraan baik dalam rangka hari kemerdekaan (Proklamasi) maupun menyambut kunjungan tamu-tamu kenegaran baik yang dilaksanakan di Jakarta maupun di istana Tampaksiring.

Kegiatan yang lainnya adalah, pada tahun 1962 mengiringi tari Pendet yang di sajikan secara kolosal dalam rangka upacara pembukaan ASIAN GAMES IV (Pesta Olah Raga Negara-Negara Se – ASIA) di Stadion Utama Senayan Jakarta. Selanjutnya pada tahun 1963 ada tiga lawatan ke luar negeri yang dilakukan adalah Misi Nasional ke Thailand, Philipina dan Rusia. Pada tahun 1964 Gong Sadmerta kembali ditunjuk sebagai duta seni untuk tampil pada acara New York Fair (Amerika Serikat) dalam lawatannya itu Sekaa gong Sadmerta berada di Amerika selama 7 Bulan dan setelah berakhir dilanjutkan dengan  lawatan ke beberapa negara di Eropa seperti Belanda, Perancis sampai akhirnya kembali ke Indonesia. Keberadaan Sekaa gong Sadmerta dalam misi kesenian ini dapat dikatakan sebagai prestasi yang sangat tinggi sebagai sesuatu kesempatan yang tidak akan datang untuk ke dua kalinya. Namun begitu sebagai puncak kejayaannya justru terjadi pada tahun 1968 yaitu dengan  tampilnya Sekaa Gong Sedmerta sebagai  Juara I dalam Merdangga Uttsava (Festival Gong Kebyar) se Bali. Dikatakan puncaknya karena kegiatan ini merupakan sebuah aktivitas formal (resmi) pertama yang dilakukan oleh pemerintah setelah jaman kemerdekaan dengan  mempertemukan Sekaa-sekaa Gong terkemuka yang ada di seluruh Bali. Sebagai wakil Badung Sekaa gong Sadmerta berhasil mengungguli Sekaa-sekaa gong lainnya dari Buleleng, Gianyar, Tabanan,  Karangasem yang memiliki nama-nama besar di daerahnya. Pada saat itu disamping merebut Juara Umum untuk keseluruhan materi yang difestivalkan, Sekaa gong Sadmerta juga memperoleh Kejuaraan dalam Tabuh Lelambatan sebagai Juara I, Juara I Tari Teruna Jaya, Juara I tari Legong Keraton, Juara III Tari Topeng Arsa Wijaya, Juara III Kekawin dan Juara Umum Tabuh Pengiring. Di samping meraih puncaknya, pada tahun itu kembali ditunjuk untuk mengisi rombongan kesenian ke Kerajaan Iran Teheran dan Shiraz.

Sebagai imbalan atas jasa-jasanya terhadap perkembangan seni kekebyaran di Bali, pada tahun 1976 Sekaa gong Sadmerta medapatkan penganugrahan Medali Penghargaan Pengabdian dari Pemerintah Daerah Propinsi Bali  bersama dengan  Sekaa Gong Peliatan, Gianyar dan Sekaa Gong Jagaraga, Buleleng. Setelah disibukkan dengan  berbagai agenda misi kesenian ke luar negeri pada akhir periode ini sekaa gong Sadmerta lebih banyak melakukan aktivitas kesenian secara local yaitu mengadakan pertunjukan di hotel-hotel, dengan  mempertunjukan kesenian seperti sendratari Ramayana, Rajapala dan beberapa tari-tarian lepas yang dipergunakan untuk menghibur para tamu yang berkunjung di Bali.

2.4. Periode Tahun 1980 – 2000

Di tahun 1980 –an Sekaa Gong Sadmerta mengalami sedikit kemunduran yang mana hal ini terkait dengan berbagai kesibukan yang mulai mewarnai anggota-anggotanya sehingga perhatian terhadap keberadaan Gong ini menjadi sedikit terpecah. Di samping itu lambatnya regenerasi yang dilakukan menyebabkan terjadi suatu kesenjangan dalam keanggotaannya. Namun demikian sebuah prestasi kembali dicapai yaitu sebagai juara I pada Festival atau Lomba Balaganjur yang diadakan pertama kali dalam rangka memperingati Hari Puputan Badung  yang ke 80 pada tahun 1986 di lapangan Puputan Badung.

2.5. Periode Tahun 2000 –

Pada akhir tahun 2001 dengan  sisa-sisa kekuatannya Sekaa Gong Sadmerta dipercaya kembali untuk mengadakan bebarungan dengan  Sekaa Gong Sidakarya yang bersifat eksebisi dalam rangka perayaan akhir tahun dan tahun baru 2002. selanjutnya sebagai sebuah legenda dalam perkembangan karawitan Bali Sekaa Gong Sadmerta kembali tampil pada arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2003 pada pagelaran yang bertajuk “Sekaa Gong Legendaris” dengan  menampilkan beberapa materi yang memang menjadi ciri khas dari Gong Sadmerta diantaranya Tabuh Pisan Gegancangan, Tari Kupu-kupu, Tari Kebyar Terompong, Tabuh Kreasi Palguna Warsa dan Tari Kebyar Legong.

3. Beberapa Orang Seniman Dan Pengaruhnya

Seniman adalah orang yang mempunyai bobot dan berhasil menciptakan serta memperdalam karya seni. Keberadaan seorang seniman dalam masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dimana dengan bobot kesenimannya seorang seniman diharapkan mampu mengangkat nilai-nilai budaya dan warisan spiritual dalam aspek kehidupan dan pengembangan identitas. Adakalanya seorang seniman dianggap sebagai pelopor yang mampu menggerakkan masyarakat dan memberikan rangsangan dalam berkesenian sehingga nantinya mampu menciptakan suasana harmonis, komunikatif, menumbuhkan rasa solidaritas, dan berpengaruh dalam memberikan suatu arah perubahan yang positif.

Keberhasilan Sekaa Gong Sadmerta (Belaluan) dalam meraih puncak-puncak prestasi dalam masa kejayaannya tidak terlepas dari peranan seniman-seniman yang memang lahir di Belaluan, Sadmerta. Bila dikaitkan dengan periodisasi di atas, terdapat beberapa orang seniman yang memang berpengaruh pada tiap-tiap periode tersebut.

3.1. Periode 1918 – 1940

Pada periode ini muncul nama-nama seperti I Made Regog (1900-1982) yang pada saat itu berperan sebagai pembina, pelatih di dalam Sekaa Gong Belaluan. Seperti yang dikutip oleh Senen dari tulisan Mulyono, dikatakan bahwa, dalam perkembangannya Ia berhasil menjadi seorang seniman panyaji karawitan (pemain kendang), pelatih Gending (juru uruk), pelaras gamelan (tukang panggur gong), sekaligus pencipta lagu yang sangat terkenal di Bali Selatan.[5] Pengaruhnya terhadap Sekaa ini dibuktikan dengan  keahliannya menciptakan beberapa buah komposisi seperti Kebyar Ding Surapati, Curik Ngaras, yang sempat direkam oleh Walter Spies pada tahun 1925 dan oleh Odeon dan Beka pada tahun 1928. Di samping berpengaruh bagi Gong Belaluan, keberadaanya juga sempat melakukan pembinaan di beberapa daerah di Bali seperti di Tabanan, Gianyar, Karangasem, Kelungkung, Jembrana dan beberapa daerah di Badung dengan menyebar luaskan tabuh-tabuh kekebyaran gaya Belaluan.

Terhadap tingginya peran dan pengaruhnya bagi Gong Belaluan dan Perkembangan seni Karawitan Bali, I Made Regog memperoleh beberapa tanda Penghargaan diantaranya : Piagam Kerti Budaya dari Pemerintah Kabupaten Tingkat II Badung Pada Tahun 1974, Piagam Penghargaan Dharma Kusuma dan Medali Emas dari Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, Medali dan Piagam  Anugrah Satya Lencana  dari Pemerintah Republik Indonesia pada Tahun 1979.

3.2. Periode 1940 – 1960, 1960 – 1980

Pada periode ini kendali Gong Belaluan mulai diambil alih oleh I Wayan Beratha yang tidak lain adalah merupakan putra dari I Made Regog. Beratha adalah sosok seniman yang mempunyai kemampuan ganda yaitu dibidang seni tari dan karawitan. Kemampuan ini diperolehnya dari guru-guru yang pernah membimbingnya seperti Ida bagus Boda, I Nyoman Kaler, I Made Grebag, I Wayan Lotring dan beberapa seniman lainnya yang berpengaruh di Bali Selatan pada saat itu.

Di awal-awal tahun kepemimpinannya  mengendalikan Sekaa ini, Beratha  mampu mengangkat prestise Gong Belaluan sehingga menjadikan Gong Belaluan sebagai salah satu Sekaa Gong terkemuka di Bali Selatan. Berbagai karya seni baik dalam bentuk tari maupun karawitan digarap bersama dengan Gong Sadmerta, Belaluan. Tabuh Kebyar Jaya Semara (1958), Tabuh Kebyar Swa Bhuana Paksa (1959) adalah merupakan karyanya di bidang Karawitan. Sedangkan Tari Tani dan tari Yudapati adalah karya seni tari yang di gubahnya pada tahun 1959.

Memasuki periode berikutnya yaitu 1960-1980, I Wayan Beratha semakin menunjukkan dirinya sebagai seorang seniman yang sangat produktif dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan seni Kekebyaran di Bali. Disamping itu melalui tugasnya sebagai seorang guru tetap di KOKAR (Konservatori Karawitan Indonesia) turut memberikan ruang gerak yang cukup luas karena didukung oleh atmosfir seni yang sangat kental sehingga semakin mendorong daya kreativitasnya. Karya-karyanya tercipta mengalir seiring dengan kematangan daya kreativitas yang dimilikinya dan sebagian besar karya-karya tersebut menjadi karya terkenal, membumi dan tersebar keseluruh Bali. Sendratari Jayaprana (1961), Ramayana (1965), Maya Denawa (1966), Rajapala (1967) adalah merupakan karya-karya kolosal yang diciptakan pada periode ini disamping beberapa karya lainnya seperti, tari Kupu-Kupu (1962), Tari Panyembrama, Tabuh Kreasi Pepanggulan Gesuri (1964), Tabuh Kreasi Palgunawarsa (Juara I, Merdangga Utsava tahun 1968), Tabuh Lelambatan Galang Kangin (Juara I, Merdangga Utsava tahun 1968) dan banyak lagi diantaranya adalah merupakan karya-karya yang sangat monumental. Dari karya-karyanya tersebut Beratha mampu menghasilkan atau menciptakan gaya atau style Belaluan/Sadmerta yang sangat dikenal oleh kalangan seniman seni pertunjukkan di Bali.

Konsistensinya dalam berkesenian baik sebagai komposer, pembina kesenian di Bali menghantarkannya memperoleh berbagai penghargaan seperti Piagam Anugrah Seni dari Pemerintah RI (1972), Piagam Kerti Bhudaya (1979), Piagam Dharma Kusuma (1981), Penghargaan Siwanata Raja (1992), dan berbagai penghargaan yang lainnya hingga pada saat terkhir pada tahun 2004 kembali memperoleh Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah RI yang diterimanya pada tanggal 21 Desember 2004.

3.3. Periode 1980 – 1990

Pada periode ini, kendali Sekaa Gong mulai diambil alih oleh I Wayan Sudhama (1949-1990) yang tidak lain adalah merupakan anak dari I Wayan Beratha.    Keterlibatan

I Wayan Sudhama dalam Sekaa ini sebenarnya sudah dimulai sejak ia berumur 10 tahun, dimana dengan bakat dan talenta yang dimilikinya dalam usia yang sangat muda ia telah mampu mengimbangi teknik yang dimiliki oleh ayahnya. Pada Merdangga Uttsava 1968 ia telah mampu mengimbangi ayahnya (I Wayan Berata) dengan bersama-sama memainkan kendang secara berpasangan. Keberadaannya dalam Sekaa ini mampu mempertahankan gaya atau style yang telah diwariskan oleh para pendahulunya yang kemudian dikembangkannya di beberapa tempat.

Walaupun tidak banyak karya seni yang dihasilkan namun sosok Sudhama muncul sebagai seorang tokoh yang banyak bergerak dibidang organisasi kesenimanan. Pada  tahun 1978 ia berhasil menghimpun seniman-seniman yang ada di Badung melalui HSR (Himpunan Seniman Remaja) ke dalam sebuah perhimpunan seniman yang pernah mengalami masa kejayaan dari tahun 1978-1989. Melalui organisasi ini Sudhama yang didukung oleh sebagian besar seniman-seniman terbaik yang ada di Badung banyak mengadakan pembinaan-pembinaan kesenian terutama kekebyaran tidak saja yang ada di kabupaten Badung namun sudah merambah keberbagai daerah seperti Singaraja  desa Kalisada pada tahun 1980. Disamping HSR Sudhama juga pernah tercatat sebagai ketua ISTATA (Ikatan Seniman Tabuh dan Tari) daerah Bali.

Dari keberadaannya sebagai seorang tokoh (seniman) yang memimpin organisasi-organisasi setrategis di bidang seni banyak hasil pemikirannya yang dituangkan dan dilaksanakannya di masyarakat. Salah satu hasil pemikirannya yang sangat cemerlang adalah festival atau lomba Balaganjur yang dirintisnya bersama dengan  HSR yang pertama kali dilaksanakan pada tahun 1986 dalam rangka peringatan Puputan Badung ke –80. Inilah merupakan awal dari perkembangan gamelan Balaganjur yang saat ini menjadi salah satu gamelan yang sangat populer, atraktif dan digandrungi berbagai lapisan seniman baik yang anak-anak, remaja, dewasa maupun orang tua.

Disamping kesuksesannya mendirikan HSR, untuk lebih mengaktifkan generasi muda dalam berkesenian Sudhama juga berhasil menyelenggarakan PSR (Pekan Seni Remaja) yang di awali pada tahun 1984, sebagai sebuah kegiatan lomba kesenian yang difokuskan kepada para remaja baik yang ada di sekolah maupun organisasi-organisasi kepemudaan (Karang Taruna, Sekaa Teruna-teruni) yang ada di lingkungan Kotif (sekarang Kota) Denpasar. Kegiatan ini merupakan salah satu langkah strategis dalam meningkatkan peranan remaja dalam kesenian sehingga mampu meningkatkan apresiasi, kepedulian, terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Bali khususnya di bidang seni. Dilaksanakannya kegiatan ini sekaligus untuk meningkatkan ketahanan budaya di kalangan remaja serta menghindari dampak negatif modernisasi dan budaya global yang mulai mempengaruhi berbagai aspek dan sektor kehidupan.

II. Pengaruh Gong Belaluan / Sadmerta Terhadap Perkembangan Seni Kekebyaran di Bali

Hadirnya Gong Kebyar di Belaluan memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam perkembangan Gong Kebyar di daerah Bali Selatan dan di Bali secara umum. Sebagaimana yang digambarkan oleh Pande Made Sukerta dalam disertasinya yang mengambil topik  Gong Kebyar, dalam peta penyebaran Gong Kebyar, Belaluan adalah merupakan daerah penyebaran pertama di wilayah Bali Selatan. Setelah itu baru kemudian diikuti oleh beberapa daerah lainnya seperti Sempidi pada tahun 1920 dan daerah-daerah lainnya.

Terkait dengan  pengaruh dari Gong Belaluan terhadap perkembangan Gong Kebyar, salah satu bentuknya adalah style atau gaya tetabuhan dimana gaya-gaya tetabuhan yang dihasilkan oleh seniman-seniman yang lahir di Belaluan / Sadmerta sangat digemari oleh masyarakat. Pada tahun 30-an keberadaan tabuh-tabuh yang terdapat pada Gong Belaluan diperkirakan merupakan hasil interaksi seniman-seniman yang ada di Belaluan dengan  beberapa orang seniman yang terdapat tempat lain seperti di Pangkung (Tabanan), Kebyar Jerbu yang terdapat di Belaluan mempunyai kemiripan dengan  kebyar yang terdapat di daerah Pangkung. Terjadinya kemiripan atau mungkin kesamaan sangat erat hubungannya dengan seringnya terjadi tukar-menukar tabuh maupun repertoar lainnya (saling belajar dan mengajar).

Demikian pula halnya di-era I Wayan Beratha, sebagai seorang seniman yang sangat terbuka, banyak melakukan interaksi dengan beberapa orang seniman salah satunya adalah dengan Gde Manik seorang tokoh kekebyaran dari desa Jagaraga, Singaraja Buleleng sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan kekebyaran di Belaluan adalah merupakan perpanjangan langsung dari pola kekebyaran yang ada di Singaraja.

Dari interaksi tersebut selanjutnya oleh Beratha disesuaikan lagi dengan warna local yang terdapat di Bali Selatan yang sangat kental dengan gaya Pelegongan dan Pegambuhan sehingga apa yang diserap dari Bali Utara tidak sepenuhnya diterima sehingga terjadi perpaduan antara pola kekebyaran yang sangat dinamis dengan kelembutan yang merupakan ciri khas Pelegongan dan Pegambuhan. Inilah kemudian muncul sebagai gaya dan style dari gong Belaluan. Salah satu contoh konkret adalah tari Teruna Jaya. Di daerah kelahirannya, di Buleleng tarian ini dibawakan dan diiringi dengan tempo permainan yang cepat, keras dan dinamis. Oleh Wayan Beratha, pada tahun 1968 terkait dengan  Merdangga Uttsava diadakan beberapa penyesuaian sehingga nampak lebih lembut yang mana hal itu dipengaruhi oleh gaya Pelegongan dan Pegambuhan. Hasilnya, apa yang ditampilkan oleh Gong Sadmerta mampu mengungguli Teruna Jaya yang di tampilkan oleh wakil Buleleng pada waktu itu (Menyali) dan meraih peringkat I.

Keberhasilan seniman-seniman yang lahir di Belaluan/ Sadmerta meraih prestasi di berbagai even mendapat respon yang baik dari berbagai kalangan masyarakat, sehingga seniman-seniman tersebut dipercaya untuk memberikan pelatihan di berbagai daerah. Dari pelaksanaan pelatihan inilah gaya atau style Belaluan/Sadmerta dikembangkan, disebarluaskan sehingga selanjutnya menjadi style sebagian besar Sekaa-sekaa gong yang ada di Bali.

Kegemaran masyarakat akan hasil karya cipta para seniman ini, selanjutnya menyebar keseluruh Bali seperti tari Panyembrama, Tari Tani, Tari Gabor, Sendratari Ramayana,  Raja Pala, tabuh-tabuh kreasi seperti Kebyar Ding Surapati, Kosalya Arini, Palguna Warsa, Tabuh lelambatan Galang Kangin, tabuh Gari dan yang lainnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari setiap penyajian gong kebyar yang ada di Bali.

III Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan gong Belaluan Sadmerta memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan seni Kekebyaran di Bali.. Pengaruh tersebut tidak saja dalam hal style namun juga dari hasil pemikiran para seniman yang terdapat di Belaluan seperti Regog, Berata dan Sudhama yang hasil karya dan pemikirannya banyak dicurahkan dan mempengaruhi perkembangan seni kekebyaran di Bali.


[1] I Wayan Senen, Wayan Berata Pembaharu Gamelan Kebyar Bali, Terawang Press Yogyakarta, Indonesia, 2002: p. 30

[2] Ibid, hal. 30

[3] Miguel Covarrubias, Island of Bali, (Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1972/1950, hal.210

[4]

[5] Muljono dalam Senen, Wayan Berata Pembaharu Gamelan Kebyar Bali, Terawang Press Yogyakarta, Indonesia, 2002: p. 2.

Perkembangan Fungsi Suling Dalam Komposisi Kekebyaran

Perkembangan Fungsi Suling Dalam Komposisi Kekebyaran

Oleh: I Gede Yudarta, SSKar., M.Si

Mengamati perkembangan seni karawitan Bali khususnya seni karawitan kekebyaran dewasa ini, telah terjadi pergeseran atau perubahan fungsi beberapa instrumen yang terdapat dalam barungan gamelan gong kebyar. Salah satu perubahan tersebut adalah semakin berkembangnya fungsi instrumen suling dalam barungan gamelan tersebut.

Suling sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Musik adalah flute tradisional yang umumnya terbuat dari bambu (Banoe, 2003:). Secara fisik, suling yang terbuat terbuat dari bambu memiliki 6-7 lobang nada pada bagian batangnya dan lubang pemanis (song manis) pada bagian ujungnya. Sebagai salah satu instrumen dalam barungan gamelan Bali, terdapat berbagai bentuk ukuran dari yang panjang, menengah dan pendek. Dilihat dari ukurannya tersebut, suling dapat dibedakan jenisnya dalam beberapa kelompok yaitu: Suling Pegambuhan, Suling Pegongan, Suling Pearjan, Suling Pejangeran dan Suling Pejogedan (Suharta, 2005:16). Dari pengelompokan tersebut masing-masing mempunyai fungsi, baik sebagai instrumen pokok maupun sebagai pelengkap. Penggunaan suling sebagai instrumen pokok biasanya terdapat pada jenis barungan gamelan Gambuh, Pe-Arjan, Pejangeran dan Gong Suling. Sedangkan pada beberapa barungan gamelan lainnya termasuk gamelan gong kebyar suling berfungsi sebagai instrumen ”pemanis” lagu dan memperpanjang suara gamelan, sehingga kedengarannya tidak terputus (Sukerta, 2001:215). Dalam fungsinya itu, suling hanya menjadi instrumen pelengkap dalam arti bisa dipergunakan ataupun tidak sama sekali.

Sebagai salah satu alat musik tradisional, suling tergolong alat musik tiup (aerophone) dimana dalam permainan karawitan Bali dimainkan dengan teknik ngunjal angkihan yaitu suatu teknik permainan tiupan suling yang dilakukan secara terus menerus dan memainkan motif wewiletan yang merupakan pengembangan dari nada-nada pokok atau melodi sebuah kalimat lagu.

Terkait dengan fungsi suling dalam seni karawitan kekebyaran, hingga saat belum diketahui secara pasti kapan instrumen suling masuk sebagai bagian barungan gamelan tersebut. Munculnya gamelan gong kebyar sebagai salah satu bentuk ensambel baru dalam seni karawitan Bali pada abad XIX, tidak dijumpai adanya penggunaan suling dalam komposisi-komposisi kekebyaran yang diciptakan. Penyajian komposisi ”kebyar” yang dinamis, menghentak-hentak serta pola-pola melodi yang ritmis tidak memungkinkan bagi suling untuk dimainkan di dalamnya. Sebagai salah satu contoh, dalam komposisi ”Kebyar Ding”, yang diciptakan pada tahun 1920-an tidak terdengar tiupan suling. Ini dapat dijadikan salah satu indikator bahwa pada awal munculnya gamelan gong kebyar, suling masih berfungsi sebagai instrumen sekunder dan belum menjadi bagian yang penting dalam sebuah komposisi.

Sebagai salah satu tonggak penting perkembangan fungsi suling dalam komposisi kekebyaran, dapat disimak dari salah satu komposisi yaitu Tabuh Kreasi Baru Kosalia Arini, yang diciptakan oleh I Wayan Berata dalam Mredangga Uttsawa tahun 1969, dimana dalam komposisi tersebut mulai diperkenalkan adanya penonjolan permainan suling tunggal. Terjadinya perkembangan fungsi suling tersebut merupakan salah satu fenomena yang sangat menarik dimana suling yang pada awalnya memiliki fungsi sekunder yaitu instrumen pendukung, berkembang menjadi instrumen primer yaitu instrumen utama.

Sebagaimana terjadi dalam perkembangan komposisi tabuh kekebyaran saat ini, suling memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan komposisi kekebyaran dimana melodi yang dimainkan tidak hanya terpaku pada permainan laras pelog lima nada, namun oleh para komposer sudah dikembangkan sebagai jembatan penghubung hingga mampu menjangkau nada-nada atau melodi menjadi lebih luas melingkupi berbagai patet seperti tembung, sunaren bahkan mampu memainkan nada-nada selendro. Dari pengembangan fungsi tersebut komposisi tabuh kekebyaran yang tercipta pada dua dekade belakangan ini menjadi lebih inovatif dan kaya dengan nada atau melodi.

Adanya pengembangan fungsi instrumen suling dalam komposisi kekebyaran terkadang menimbulkan fenomena yang lebih ekstrim dimana dalam sebuah karya komposisi instrumen ini muncul sebaga alat primer dan vital, tanpa kehadiran instrumen tersebut sebuah komposisi tidak akan dapat dimainkan sebagaimana mestinya.