Seni patung di Bali
Seni pahat dan arsitektur fungsi utama dari rata-rata pemahat di Bali adalah mempertinggi bangunan-bangunan umum dari komunitasya dengan dekorasi kemerah-merahan dan berdasarkan dari kelimpahan pura-pura yang diukir dengan tembok istana, gerbang, menara kulkul, tempat pemandian umum, gedung pengadilan dan seterusnya, terlihat bahkan di daerah-daerah terpencil, orang sampai pada kesimpulan bahwa pasti terdapat banyak sekali juru pahat di Bali. Arsitektur setempat adalah sekadar kayu dan rumbia dengan tembok keua, tidak dihiasi pada sebagian besarnya, dan merupakan urusan tukang kayu dan pekerja pembuat atap. Dulunya para budak dari pangeran-pangeran feodal membangun istana-istana besar bagi mereka, banyak diantaranya masih kuat dan merupakan contoh terbaik dari arsitektur Bali, tetapi saat ini kegiatan artistik dari orang-orang menjadi mengurus tempat-tempat sembahyang dan bangunan-bangunan komunal,yang masih berdiri dari perbaikan dengan intensitas tinggi. Di Bali tidak ada kelas khusus arsitek, dan para pemahat bertugas dalam merancang, memimpin bahkan mengerjakan sendiri pembangunan sebuah pura, dibantu oleh sejumlah tukang batu dan tukang bata. Seorang ahli ukir harus mampu merancang gerbang yang indah, yang merupakan contoh paling penting dari arsitektur Bali dan memperlihatkan penggambaran arsitektural, lebih menyerupai sebuah proyek pembangunan, untuk sebuah gerbang pura yang harus didirikan di Desa. Untuk membuat menara besar bagi kremasi, seorang pembangun utama sekedar mempunyai rancangan dan proporsi yang sudah tersusun, sebagaimana sebagai orang Bali menyebutnya “di dalam perut”.
Satu-satunya batu yang harus didapat di pulau ini adalah batu paras yang lunak, gabungan dari debu volkanik yang disebut paras, yang ditambang di tepi-tepi sungai. Mungkin kelunakannya, satu-satunya batu di Bali, yang bertanggung jawab atas seni yang sangat rumit dari orang Bali dan mereka mempunyai kesenangan yaang sederhana memberi lubang angin dengan hiasan. Cara membuatnya batu tersebut dipotong dan dibentuk dengan beliung, langsung di tempat di mana dia ditambang, dan dijadikan balok-balokberbagai ukuran sesuai dengan ukuran yang dibutuhkannya. Potongan-potongan batu untuk pembangunan dipadukan tanpa adukan semen, tetapi perlu bagi bangunan tersebut agar sambungannya telah melekat dengan baik. Ini dilakukan dengan saling menggosokan dua potong batu bersama, melicinkan permukaannya dengan banyak air. Dengan cara ini bangunan tersebut berdiri pelan-pelan, para pekerja dilindungi dari sinar matahari dengan membuat tenunan daun kelapa, dan waktu yang lama dihabiskan sebelum pura bisa diselesaikan. Selang-seling batu merah dan batu paras diukir terakhir, sering meninggalkan batu mreah dan batu paras itu selama bertahun-tahun tanpa hiasan. Misalnya, harus ada karang ceriwi diatas pintu gerbang, wajah raksasa dengan mengerling dengan lidahnya tergantung dan taring panjang. Pada tempat-tempat yang kurang penting, motif utama dari sebuah pola adalah sebuah karang bintulu, sebuah desain aneh yang populer terdiri atas mata tunggal yang melotot diatas deretan gigi atas, giginya dikembangkan menjadi taring, yang ditegakkan dengan representasi sebuah gunung. Untuk menyelesaikan sebuah sudut terdapat sebuah motif khusus, suatu karang curing, bagian atas dari paruh burung, juga menyediakan sebuah mata dangigi runcing. Untuk tujuan yang sama terdapat variasi dari motif yang sama, sebuah karang asti, kepaa gaja tanpa rahang. Kata karang berarti sebuah karang, tetapi juga kata untuk menyatakan menyusun perhiasan atau rangkaian bunga. Telah diupayakan untuk memberi hiasan-hiasan makna keagamaan yang hanya dipahami oleh sedikit orang (menurut Nieuwenkamp), representasi roh dari objek tak bernyawa karang, gunung, tanaman dimana mereka menyusun bagian, ketika orang bali dipaksa ntuk menjelaskan mngapa mereka tidak mempunyai rahang bawah, dia memjawab hal itu karena mereka tidak harus makan-makanan yang keras! Menurut pendapatku, ini merupakan lelucon orang bali dan bukan sebuah pertanda dari makna simbolis apa pun.
Motif-motif ini adalah titik tolak bagi ikal yang rumit, dedaunan, bebungaan, motif nyala api, dan seterusnya, yang secara kuat merupakan sisa-sisa dari yang digunakan di Jawa kuno, tetapi juga diketemukan di Siam, Kamboja dan di dalam objek-objek orang Dayak di Kalimantan, orang-orang yang tidak dipengaruhi oleh seni Hindu. Seluruh pola tersebut dinamakan karang, sementara batas-batas yang dipahat didalam cetakan dinamai patra, dari mana ada patra olanda (dari kata bahasa Portugis untuk Belanda?) dan patra Cina, sebuah “tepi Cina.” Disana sini terdapat panel kecil yang dipahati dengan representasi dari episode-episode dari kesusasteraan mereka: binatang dari cerita tantri, semacam fable Aesop dari Bali, adegan-adegan dari Arjuna Wiwaha dengan para dewi dari sorga menggoda Arjuna yang sedang bertapa, atau pertempuran dari Ramayana dan Mahabrata dengan adegan-adegan lucu dengan para pelayan dari para pahlawan, badut tuwalen dan delam, bergulat yang saling mengigit. Seni ukir kayu telah menderita perubahan bentuk yang aneh semenjak kunjungan kami pertama ke Bali tahun 1930. Pada waktu itu, sebanyak objek yang dipahat diatas kayu digunakan untuk tujuan manfaatnya: dari pintu berukir dan tiang rumah, alat-alat musik, topeng untuk pertunjukan drama, pegangan perabotan, sampai patung-patung kecil dewa-dewa dan aseksori ritual yang lain. Ini adalah gaya Bali kontemporer konvensional: bebungaan dan lengkungan-lengkungan di cukilan timbul untuk permukaan datar (ukiran), dan untuk seni patung dibuat bisa dilihat dari semua sisi (togog), patung-patung dewa, raksasa, dan tokoh-tokoh mitologos lainnya yang didandani dengan pakian klasik dan penuh hiasan. Lebih jauh, semua cukilan kayu dimaksudkan untuk ditutupi dengan cat, pernis, atau daun emas dan hanya didalam kasus-kasus yang luar biasa kayu dibiarkan dalam keadaan kasar. Terdapat potongan-potogan yang tidak biasa, tetapi mereka merupakan keajaiban diantara gaya-gaya yang utama. Para wisatawan mulai membeli ukiran Bali, tetapi demikian, ketika kita balik ke Bali tiga tahun kemudian, para pematung Bali beralih ke produksi massal “objets d’art” bagi wisatawan. Bahkan, sebelum sampai di Bali untuk kedua kalinya, kami menemukan toko souvenir di Makasar dan Jawa yang dipenuhi patung-patung kecil yang pasti bergaya komersial yang benar-benar baru bagi kami. Sebelum ini, kami berkenalan dengan Gusti Ngurah Gede, seorang lelaki tua dari pemecutan yang termasuk pematung yang terbaik di Bali selatan. Walau Gusti Gede sudah tua dan bicara dengan kami dengan susah payah, dia mampu mengukir motif yang paling halus pada kayu keras dengan ketepatan dan kepastian yang diiri oleh pematuung yang lebih tua.
Dia mulai dengan membuat patung kecil realistis yang menggambarkan gadis telanjang, sedang mandi, menyisir rambutnya, atau didalam proses menanggalkan pakainnya, dengan piawai dipahatkan dari kayu ptuih yang bagus, sosok yang sudah siap dijual pada wisatawan. Ini mungkin awal dari seni baru dimana pematung mulai bekerja bagi khayalak yang baru: para toris yang sedikit saja menghargai kesempurnaan teknik yang dituntut oleh orang Bali, atau seniman asing yang menyukai garis dan bentuk dibaningkan dengan hiasan yang rumit. Hal ini memperkenalkan unsur-unsur bayaran ke dalam seni Bali, yang sampai saat itu tidak ada; harga dilambungkan dan pematungnya tiba-tiba sadar bahwa ada penghasilan yang bagus dalam hal membuat patung. Pada sisi lain, keadaan yang sama memberikan pada seni sebuah gerak hati baru, dan para pematung tumbuh subur bagai jamur di musim hujan. Segera setiap pusat seni, seperti Denpasar, Mas, Batuan, Peliatan, dan Ubud menghasilkan jumlah melimpah ukiran dalam gaya-gaya baru, kepala-kepala penari janger yaang mutunya paspasan disingkat oleh turis seluruh dunia, sosok ramping yang stereotip dari Mas diekspor ke Jawa dan Belanda, sementara para pematung yang lur biasa dari Badung dan Batuan memahat kulit kepala dari Bangli dann sebagainya.
Sumber : Buku Pulau Bali