Wayang Kulit

April 28th, 2014

Wayang kulit

wayang kulit

Barang kali setiap puisi dan drama dlahirkan di Bali dengan perkenalan epik besar Hindu, Ramayana dan Mahabrata yang ternama. Mereka datang melalui tanah jawa sebagai propaganda bagi orang Hindu sebagai bagian dari pengajaan keagamaannya. Para setengah protagonis dari puisi tersebut, pangeran Rama dan Arjuna, para dewa yang menitis untuk menyelamatkan dunia, segera mempesonakan khayalan populer dengan petualang romantis mereka dan peperangan mereka yang luar biasa melawan kejahatan. Mereka bukan saja menjadi idola, pahlawan, dan contoh prilaku bagi orang Bali tetapi juga diterima sebagai leluhur dan teladan bagi ras. Para guru agama awal dari Jawa menuliskan kembali karya dari India ini dalam bahasa sastra setempat, bahasa Kawi, sebuah bahasa Jawa kuno, dengan sembilan dari sepuluh kata-katany adalah bahasa Sansekerta. Bahasa Kawi yang kaya dan berbunga-bunga sekarang merupakan bahasa yang klasik puisi (Kawi berarti ‘penyair’) yang digunakan oleh para cendekiawan Bali, yang telah terus mempraktikkannya, menjagannya tetap hidup sebagaimana selama masa keemasan Hindu sebelum diabaikan dengan datangnya agama Islam. Bukan tanpa alasan kalau Rafles menulis di dalam bukunya yang berjudul history of java “puisi mitologis kuno dilestarikan di Bali di dalam bentuk yang lebih benar dibandingkan dengan yang di Jawa”.

Puisi-puisi ditulis di dalam bait-bait yang berdsarkan matra Sansekerta (sloka), yang orang Bali kembangkan sebanyak 47 irama puisi yang berbeda-beda yang khususnya disesuaikan dengan baik dengan nyanyian. Ini semua diberikan kepada khalayak ramai oleh juru cerita yang melantunkan teks bahasa Kawi, sementara seorang penerjemah menjelaskannya di dalam bahasa bali sehari-hari. Orang-orang segera mempelajari puisi bahasa Kawi dengan menghafal, walaupun mereka tidak paham mengenai kata-katanya sesungguhnya dan menyanyikannya murni karena alasan matra musikal. Sekarang bahkan anak-anak lelaki dari kelas kebanyakan selama berjam-jam pada malam hari bernyanyi di dalam bahasa Kawi, walaupun makna dari lagu-lagu tersebut kabur bagi mereka. Iringan musikal mungkin akhirnya ditambahkan pada lagu-lagu epik dan mendongeng berkembang menjadi seni murni di dalam bentuk yang disebut kekawin, di mana sebuah orkes besar memainkan selingan antara episode-episode dan dialog-dialog yang diucapkan dan diterjemahkan oleh dua orang juru cerita. Episode-episode dari Ramayana dan Mahabrata masih menjadi karya sastra yang paling penting yang orang Bali telah menyesuaikannya dengan kesusasteraan mereka sendiri, dan mereka telah banyak mempengaruhi teater. Namun, terdapat tidak terhitung jumlahnya cerita-cerita lain, dari Jawa,asli, bahkan cerita Cina yang membuat sebagaian terbesar kesusasteraan Bali, yang sekarang sdang dikumpulkan oleh ahli-ahli bahasa Kawi di Bali, Jawa, dan Belanda.

Disamping pertunjukkan shamanistis kuno dimana leluhur dibawa ke  muka bumi ini di dalam bentuk bayangan untuk berkomunikasi dengan para keturunannya, datanglah wayang kulit, suatu pertunjukan wayang yang menampilkan bayangannya pada selembar layar dan dimainkan oleh seorang pendongeng mistis, sang dalang. Di masa lalu wayang mungkin merepresentasikan para leluhur dan dalang yang pendeta, tetapi di dalam semua kemungkinan guru-guru agama Hindu dari masa lalu memanfaatkan bentuk pengungkapan ini untuk memprogandakan agama dan menyesuaikan cerita-cerita mitologi Hindu ke dalam pertunjukan dramtis bagi khalayak ramai, menggambarkan episode-episode kehidupan Rama dan Arjuna dengan wayang. Begitu popularitas wayang bertambah, ini menjadi menampilkan gaya teater tertentu dengan sebuah pelajara moral, tetapi tidak pernah hilang fungsi gaibnya. Pertunjukan wayang dianjurkan di dalam upacara-upacara pada tahap penting dari kehidupan orang Bali seperti ulang tahun anak-anak, dewasanya gadis-gadis, upacara potong gigi, pernikahan, kremasi dan upacara pura. Wayang bisa dipertunjukan pada siang hari, tanpa layar dan tanpa penonton, tetapi dengan cerita yang khas, sebagai dukungan gaib terhadap upacara tersebut. Hampir tidak pernah malam dilewatkan ketika musik wayang yang berubah-ubah dari wayang tidak terdengar di suatu tempat. Petualangan fantastis dari wayang kuit mempunyai cengkeraman yang kuat pada khayalan baik orang muda maupun tua, yang kiranya lebih menyukai pertunjukan wayang kulit dibandingkan pertunjukan mengagumkan oleh manusia.

Wisatawan yang menonton wayang akan merasa bosan sebentar saja dan tidak dapat memahami mengapa kerumunan yang besar itu masih duduk mendengarkan dengan perhatian yang sungguh-sungguh pada pertunjukan wayang  yang tidak akan berakhir sebelum subuh. Tetapi bagi orang Bali wayang lebih dari sekedar bayangan yang tidak jelas di atas layar. Wayang adalah sebuah medium dari puisi klasik mereka, untuk humor mereka yang kasar, dan yang paling penting, ini adalah faktor terbesar di dalam pendidikan spiritual masyarakat. Di dalam sebuah pertunjukan yang ditampilkan oleh pendongeng yang mengilhami, disana berlaku sebuah perpaduan antara mistisisme dan banyolan ringan yang disukai oleh orang Bali. Setiap objek dan setiap gerakan dari wayang kulit mempunyai makna simbolis disamping aspe yang murni menghiur dari pertunjukan tersebut. Sang dalang adalah seorang seniman dan guru spiritual yang besar. Pelatihan bertahun-tahun, pengetahuan yang menyeluruh mengenai cerita-cerita dan nilai moralnya, dituntut dari seorang dalang yang baik. Popularitasnya tergantung pada ilhamnya, humornya, dan kemampuannya dalam hal menangani wayang-wayangnya sementara dia mengimprovisasi dialog-dialog yang lucu. Namun, reputasinya juga tergantung pada kesaktiannya, kekuatan gaibnya. Tidak diragukan lagi dia adalah bintang dari pertunjukan tersebut.

Sebelum seorang dalang dapat tampil di depan khalayak ramai, dia harus ditahbiskan di dalam upacara mawinten, ketika suku-kata suku-kata gaib dituliskan pada lidahnya dengan tangkai bunga cempaka yang dicelupkan pada madu. Kemudian dia mampu menceitakan calonarang yang gaib dan bpleh mengenakan kunci (prucut) seperti yang dikenakan pada rambut seorang pendeta. Tidak ada pengumuman yang dikeluarkan ketika pertunjukan wayang akan dilangsungkan. Namun, desas-desus tersebar dari mulut ke mulut ddan akan ada kerumunan orang bahkan sebelum sang dalang datang. Begitu dia mulai membentangkan layarnya, kerumunan banyak orang sudah berkumpul, duduk dengan tenang di lantai, tidak menunjukkan tanda-tanda ketidaksabaran pada penantian yang biasanya tidak berujung pada pertunjukan untuk dimulai. Sepertinya mereka seolah dengan sengaja menanti sampai tengah malam untuk mulai, mengatur waktu untuk pertunjukan berakhir saat subuh. Perempuan dan anak duduk di barisan depan menghadap layar, para lelaki terbagi diantara baris belakang dan “di belakang panggung”, sisi dari layar dimana sang dalang duduk, dari mana mereka dapat melihat wayangnya yang sesungguhnya. Di Jawa ada peraturan bahkan kaum lelaki menonton wayangnya, dan perempuan hanya menonton bayanganya.

Layar (kelir) adalah selembar kain putih yang dibentangkan pada bingkai kayu dan diterangi sebuah lampu minyak dan primitif (damar) yang digantungkan langsung di atas kepala sang dalang. Bayangannya dipancakan pada layar oleh lampu tersebut. Di kaki layar adalah batang pisang untuk menancapkan wayang kulitnya agar diam saat wayang   tersebut tidak digerakkan. Sang dalang duduk bersila di dekat kotak wayang yang berbentuk peti mati, dibuat dari kayu (kropak), untuk menyimpan wayang, di belakang sang dalang adalah orkes, gender wayang yang terdiri atas empat xylophone, masing-masing dimainkan oleh seorang musisi. Diantara jari kaki kanannya, sang dalang memegang tanduk, sebuah palu dengan apa dalang mengetuk irama pada kotak wayang yang merupakan petunjuk bagi orkesnya.

Sumber : Buku Pulau Bali

Tari Legong

April 28th, 2014

Tari legong

legong

Sebagai pola dasar yang harus feminin, legong adalah tarian Bali yang paling bagus. Para ahli membicarakan keunggulan yang diperbandingan dari beraneka ragam legong seintensif kami membicarakan para penari kami, dan aku mendengar argumen yang khidmat diantara para pangeran dalam halo apakah kelompok tersebut berasal dari Bedulu lebih baik dibandingkan yang dari saba, atau apakah aliran Sukawati lebih unggul dari aliran Badung. Legong dipentaskan pada perayaan-perayaan yang pada umumnya pada ujung senja ketika panasnya hari sudah berkurang. Pada desas-desus pertama bahwa akan ada legong di alun-alun pusat, atau kalau hal itu pada perayaan pribadi, di tengah jalan, kerumunan orang mulai terbentuk. Perempuan dan anak-anak datang duluan untuk mendapatkan tempat terbaik, bergerombol sepanjang ruang segi empat persegi panjang, yang disisakan untuk tempat penari. Ruang untuk menari sering dihiasi dengan atap daun kelapa atau diteduhi  oleh tenda rumah kain berwarna hitam, merah dan putih, ekor dari layang-layang raksasa. Pada satu ujung dari “pentas” orkes menghibur kerumunan orang yang makin bertambah secara bertahap dengan lagu-lagu pendahuluan sampai waktunya bagi pertunjukan untuk mulai.

Tiga orang penari cilik, dengan raut muka ketejuman yang tak terbatas, duduk diatas tikar di depan orkes. Mereka didandani dari kepala sampai ke kaki dengan lapisan sutera dengan daun-daun emas yang berkilau dan pada kepala mereka mengenakan helm besar dengan hiasan emas yang dihiasi dengan sederet bunga kamboja segar yang sedang mekar. Subang besar terbuat dari emas yang bergaris tengah satu inci, menembus daun telinganya yang ditindik secara prematur. Wajah mungil mereka yang pilu dibedaki dengan tebal, dan mereka mengenakan sebuah titik putih (priasan), tanda kecantikan didalam penari, dipoleskan diantara alis, yang diukur dan dibentuk kembali dengan cat hitam. Kostum yang kaya dari dua orang penari utama, para legong, terdiri atas kain bawah, rompi yang berlengan ketat, dari ergantung sebuah celemek panjang dan sempit, dan beberapa yard kain  kuat yang dipotong dalam potongan sempit panjang  yang membungkus torso mereka dengann tanpa belas kasihan dari dada sampai pinggul. Selanjutnya ini diselimuti selendang kain berhias emas. Ikata ketat seperti korset memberi garis-garis tubuh para penari dan mendukung punggung mereka. Kostum tersebut dilengkapi dengan sebuah rompi pendek dan ketat dari kulit yang mengkilat yang dikenakan melingkari bahu, sebuah kerah yang dihiasi dengan batu-batu berwarna dan cermin-cermin kecil, sebuah ikat pinggang perak serta seledang hiasan kulit yang tergantung dari masing-masing pinggul. Gadis yang duduk diantara legong, para condong yang merupakan pelayannya, berpakaian lebih sederhana.

Ketika kerumunan orang sudah berkumpul, orkes memulai musik tarian dan para condong bediri dengan malasnya dan berdiri di tengah-tengah ruang penari. Tiba-tiba, dengan tekanan dari gamelan, seolah ditusuk oleh sebuah aliran listrik, dia melakukan pose yang bersemangat dengan kaki telanjang datar di tanah, lutunya luntur, dia memulai sebuah tarian yang hidup, bergerak dengan cepat, berputar ke dalam dan ke luar dari sebuah lingkaran, dengan lengan terentang dengana kaku, jari-jemari tegang gemetar, dan matanya manatap langit. Pada setiap hentakan musik seluruh tubuh condong tersentak, dia menghentakkan kakinya yang bergetar lebih cepat, dan getarannya tersebar ke paha dan ke atas pada pinggulnya sampai seluruh tubuhnya bergetar demikian hebatnya sampai bunga-bunga dihiasan kepalanya beterbangan ke segala arah. Pesona yang secara pelahan tumbuh tiba-tiba putus dan gadis itu mengelincir dengan langkah kesamping yang tangkas, pertama ke kanan yang kemudian ke kiri, berayun dari pinggangnya yang luntur sementara lengannya pecah kedalam pola-pola tajam pada pinggang dan lutut. Tanpa berhenti dia mengambil dua buah kipas yang terletak diatas tikar dan meneruskan tariannya dengan memegang kipas pada masing-masing tangannya di dalam langkah melingkar yang anggun. Dengan isyarat dari musik (gamelan), kedua gadis yang lain tegak dan mulai menari dengan tangan, leher, dan matanya, masih berlutut diatas tikar. Kemudian mereka bangkit dan menari bersama condong, membentuk pola yang berbelit-belit dengan lengan dan tiga puluh jemari sampai tema musiknya berhenti. Kemudian condong mengulurkan kipas pada masing-masing legong dan keluar ke latar belakang.

Orkes memainkan melody yang lebih penuh semangat dan legong menari kembali dengan kipas terkembang yang bergetar pada sebuah kecepatan sehingga bentuknya lenyap seperti sayap-sayap burung yang berdengung, terbang melayang di angkasa. Kedua penari terlihat sebagai gambaran ganda yang demikian mirib gerakan-gerakannya, leher mereka patah-patah dari sisi ke sisi di dalam persetujuan sempurna, disinkronkan pada waktu ganda dengan kerdipan mata. Disiplin yang paling mutlak mengontrol gerakan-gerakan mereka yang tajam dan tepat. Masing-masing gerakan mengikuti gerakan sebelumnya di dalam uruan ritmis yang sempurna, kesempurnaan teknis diubah bentuknya ke dalam keindahan dan gaya. Pada saat-saat tertentu musiknya menjadi lincah dan rumit, kedua gadis itu muncul bersama, membawa wajah-wajah mereka saling berdekatan dan dengan lembutnya saling “menggosokkan hidung” (ngaras), mengikuti ini gerakan bahu, suatu getaran kesenangan. Ini merepresentasikan sebuah adegan bercintaan, sebuah ciuman yang dilakukan terhadap tema musikal yang khusus (pengipuk)

Setelah jeda orkes memainkan tema lasem, dan sandiwara sesungguhnya dimulai. Ceritanya berdasarkan pada sebuah episode dari malat kisah Seribu Satu Malam Bali dengan Puteri Rangkesari menolak cumbuan-cumbuan lasem bahkan setelah dia berjanji akan berhenti berperang bilamana gadis itu menerimanya. Lasem mengancam membunuh ayahnya tetapi gadis itu tetap tidak mau menyerah. Dengan marah, raja melaksanakan ancamannya, tetapi selama pertempuran terjadi, seekor burung hitam terbang di depannya, yang merupakan pertanda buruk, dan lasem terbunuh. Para penari menegakkan beraneka ragam dari cerita tersebut yang sudah diketahui oleh para penonton. Akting legong addalah sebuah pantonim abstrak dengan aksi yang demikian distilir dan ekonomi gerakan semata-mata penafsiran dalam bentuk tarian dari teks sastrawi, yang dikisahkan oleh pendongeng, yang melantunkan episode dan dialog sementara tarian sedang berlangsung.

Penari yang memerankan lasem masuk diikui oleh Rangkesari (dua legong). Lasem, dengan menarik kain gadis itu, berupaya untuk memaksa sang putri, tetapi dia memukul lelaki itu dengan kipasnya. Hal ini diulang-ulang sampai lasem menjadi tidak sabardan setelah suatu perjuangan, pergi dengan marah. Sang putri ditinggalkkan sendirian, menghapus air matanya dengan ujung celemeknya dan memukul pahanya dengan kipas, sebuah gerakan yang menunjukkan kesedihan. Begitu si gadis berlutut, lasem muncul kembali, marah dan menentang, dalam perjalanan untuk melanjutkan perang melawan ayah Rangkesari, kipas yang tertutup menjadi sebilah keris yang dia acungkan dengan mengancam pada musuh imajinernya. Di dalam episode berikutnya condong sang pembantu, memasang pada lengannya sepasang sayap emas yang terbuat dari kulit, untuk memotret gagak yang tidak beruntung, dia menari sambil duduk di tanah, mengibas-kibaskan sayapnya dengan kecepatan kilat, maju pada lututnya dengan lompatan mirib burung, dan memukul tanah dengan sayapnya. Lasem ragu sejenak ketika melihat burung yang tak menyenangkan, tetapi tetap melangkah dengan keris terhunus, burung itu berlari ke arahnya, menghalangi jalannya dan mengahalanginya didalam pertempuran. Drama berakhir dan episodenya dibiarkan pada khayalan, dan ketiga gadis kecil mengakhiri penampilannya sebuah tarian perpisahan yang santai. Pementasan telah berakhir dengan baik dan gadis-gadis itu tampak sangat tenang, tidak kelelahan setelah tariannya yang berat.

Sumber : Buku Pulau Bali

Janger

April 28th, 2014

Janger

janger

Suatu pemandangan yang tidak dapat dihindarkan bagi wisatawan yang baru tiba setiap Sabtu pagi adalah Janger. Dibawah akar-akar yang tergantung dari sebatang pohon beringin raksasa dilapangan pusat dari desa duduk selusin bocah laki-laki dan selusin bocah perempuan didalam kelompok-kelompok yang terdiri atas enam orang, membentuk segi empat, para gadis berhadapan dengan para gadis dan bocah lelaki saling berhadapan, seorang ahli tari, yakni daag, duduk ditengah-tengah. Bocah-bocah lelaki mengenakan ikat pinggang kain berwarna biru dengan kembang sepatu berwarna merah diselipkan didaun telinga mereka; dan para gadis mengenanakan hiasan kepala yang besar berbentuk kipas dari bebungaan, dan tubuhnya terbungkus kain mengkilap dari ketiak sampai kaki. Bocah-bocah lelaki berteriak dan menggelengkan kepala dan para gadis bernyanyi dengan suara bayi, menggerakkan tangan dan mengejap-ngejapkan mata mereka. Setelah beberapa saat kemudian seorang gadis yang muncul dalam busana seorang pangeran, bernyanyi dan bergaya, bertengkar dengan seekor burung yang tampak liar, yakni seorang aktor yang mengenakan topeng yang mengerikan, sayap dan ekor yang berwarna menyala. Pertunjukan berakhir dengan kematian burung, yang ditembak dengan panah sang pangeran. Setengah wisatawwan menonton terus dan setengah lagi mengambil foto dengan bersemangat. Pertunjukan tersebut megah dan sesuai dengan harga karcisnya, tetapi tidak terdengar benar. Walaupun kenyataannya bahwa pertunjukan yang rumit diselenggarakan di jalan terbuka, pertunjukan tersebut menarik sedikit anak-anak dan para penarinya tampaknya bosan dan acuh tak acuh.

Pada malam pertama di Bali, saat berjalan-jalan dipinggir kota Denpasar, kami mendengar lagi pukulan patah-patah yang sama secara terus menerus dari gendang dan gong seperti yang telah kami dengar pada pagi harinya. Dengan mengikuti suara tersebut, kami sampai pada sekerumunan besar orang-orang menonton pertunjukan, dan setelah mendorong-dorong kami berhasi masuk kederetan depan. Disana para penari tadi pagi, tetapi ini adalah janger untuk orang Bali. Bukannya para toris yang duduk nyaman pada kursi lipat, torso besar telanjang dari segerombolan orang itu menekan kami dari segala arah sampai kami tidak bisa menggerakkan tangan dan nyaris mati lemas oleh hembusan yang terus menerus dari nafas manusia, digagahi oleh panas dan parfum berat yang berasal dari kerumunan oranng itu. Anak-anak memanjat tembok dan pohon atau merangkak dikaki kami berusaha dengan sia-sia melihat sesuatu. Bukannya kostum trasional yang dikenakan pada pertunjukan bagi wisatawan, para gadis mengenakan blus ketat dari sutera tipis, mahkota bebungaan menyalakan wajah mereka yang berbedak tebal. Anak-anak lelaki mengenakan kameja Eropa, dasi, celana pendek, kaus kaki, dan sepatu sepak bola. Di atas bahu, mereka mengenakan semacam baju tanpa lengan dari beludru hitam dengan hiasan-hiasan kelabag emas, kerlip-kerlip, dan tanpa perangkat di pundak dengan pinggiran emas. Mereka mengenakan bunga-bunga berwarna merah diatas kepalanya yang telanjang dan kumis palsu yang tidak pantas atas wajah mereka yang dilumuri kapur. Hanya penari yang pertama yang mengenakan kostum teater yang bisa dibuat dari kain brokak tetapi dengan tambahan kemeja dan dasi kupu-kupu, seperti yang lain-lain dia mengenakan kumis besar.

Kami tidak pernah menemukan tujuan di balik kostum yang tak masuk akal ini, mungkin sekedar untuk kesenangan, mungkin sebuah karikatur orang Eropa. Namun, kesintingan kostum diatasoleh pementasan: untuk melodi yang menyerupai ular/berlekuk- lekuk dari seruling bambu dan pukulan patah-patah dari gendang dan gong, para gadis menyanyikan lag yang tidak bermakna mengenai bunga, kue besar, dan sebagainya, dan banyak kata-kata tanpa makna, sekedar menciptakan irama: “jange-jange-jangeer…” sementara tangan mereka diulurkan keatas, bunga diatas kepala bergetar, dan mata mereka berkejap bersama-sama dengan leher mereka. Bocah lelaki, kecak, terayun dan bergetar serta meneriakkan “kecakkeakkecak-cak! Cipo-oh! Ha ha ha !” lebih banyak di dalam cara teriakan mahasiswa, tetapi makin cepat dan makin cepat, menggarisbawahi tempo dari gong dan gendang. Penari utama melemparkan pandangan liar ke segala arah dengan gerakan marah dan keheranan, bergerak bagaikan sebuah otomatisasi yang gila-gilaan. Semuanya bergerak dengan irama sebuah lokomotif dalam kecepatan penuh-jazz bali yang meracuni baik pemain maupun penonton di dalam pesona gerakan singkat-singkat.

Pada saat-saat yang lebih tenang dua orang gadis melangkah ke luar dari deretan  dan menari mengelilingi penari utama, yang menjadi heran sebab gadis-gadis tersebut bercinta dengannya. Kemudian yang tak masuk akal dan tak layak terjadi: bagaikan kilat, kecak melompat berdiri diatas kaki mereka di dalam pose akrobatik, piramida atletis, seorang anak lelaki menekuk punggungnya dan yang lain berdiri diatas dadanya. Mereka saling memanjat bahu mereka, bergetar dan berteriak. Tiba-tiba penari utama berputar-putar pada tempat duduknya seolah dia tak mampu berdiri lagi, dan meneriakkan: “Daaag!” seluruh pertunjukan berhenti. Selelah istirahat sandiwara mulai lagi, sebuah cerita arja dengan pangeran-pangeran seperti biasa, menteri dan pelawak. Belakangan aku menemukan bahwa janger merupakan perkembangan baru. Janger telah mulai dengan tiba-tiba, ketika pada tahun 1925, kumpulan pertama dari opera Melayu (stambul) mengunjungi pulau ini. Orang Bali segera menciptakan versi mereka sendiri dari pantonim, dan janger tersebar bagaikan sebuah epidemi, dimana-mana kelompok janger dibentuk dan segera setiap banjar dapaat membanggakan kelompok jangernya. Untuk pertama kali anak-anak lelaki dan perempuan bergabung untuk menari demi kesenangan tampil bersama. Di Buleleng ada kelompok di mana para gadis mengenakan celana pendek, menunjukkan kaki mereka, sebuah pameran yang agak mengejutkan bagi orang Bali, yang menyebutkan sebagi janger melalong, “janger telanjang” tetapi ini populer diantara orang-orang Cina di Buleleng. Janger saat itu merupakan hiburan paling populer. Tak seorang pun peduli menonton yang lain dan setiap gadis di Bali berharap menjadi janger dan menggunakan lagunya sepanjang hari. Kami takut kalau janger  akan membunuh bentuk-bentuk lain dari tarian Bali, tetapi ketika kami balik lagi ke  Bali dua tahun kemudian, kami terkejut sebab tidak ada lagi janger, semua kelompok yang ternama telah bubar. Beberapa gadinya sudah menikah, dan lantaran tak ada lagi permintaan, kelompok-kelompok tersebut tidak diatur kembali. Pertunjukkan yang paling  menyegarkan di Bali sekarang mati dan dilupakan. Hanya kelompok yang mengantuk tetap tinggal: janger untuk wisatawan sampai dengan kerangjingan memotret apa yang mereka sebut sebagai “penari pura”.

Dengan hilangnya janger, bentuk-bentuk teater klasik mendapatkan kembali popularitasnya dan selama kunjungan kami yang kedua arja-lah yang disukai. Gaya janger merupakan keberangkatan yang membingungkan dari perbaikan teater Bali. Nyanyiannya jelas berasal dari lagu-lagu magis sanghyang, kostum dan sosok akrobatis mungkin ditiru dari pertunjukkan Melayu dan dibaratkan, tetapi perasaan umumnya dan susunan tempat duduknya dan gerakan-gerakannya mungkin dapat dijelaskan sebagai semangat yang memiliki ciri-ciri Polinesia. Kasus janger merupakan contoh yang menarik dari sikap orang Bali terhadap seni mereka: kesenangan mereka akan hal-hal yang baru dan mudah mengikuti gagasan-gagasan baru yang segera diasimilasikan ke dalam bentuk tradisional mereka. Hal ini membuat penduduk pulau menciptakan gaya baru secara tetap, untuk menyuntikkan kehidupan baru ke dalam budaya mereka, yang pada waktu yang sama tidak pernah kehilangan ciri-ciri Balinya.

Sumber : Buku Pulau Bali

Seni Patung di Bali

April 28th, 2014

Seni patung di Bali

patung

Seni pahat dan arsitektur fungsi utama dari rata-rata pemahat di Bali adalah mempertinggi bangunan-bangunan umum dari komunitasya dengan dekorasi kemerah-merahan dan berdasarkan dari kelimpahan pura-pura yang diukir dengan tembok istana, gerbang, menara kulkul, tempat pemandian umum, gedung pengadilan dan seterusnya, terlihat bahkan di daerah-daerah terpencil, orang sampai pada kesimpulan bahwa pasti terdapat banyak sekali juru pahat di Bali. Arsitektur setempat adalah sekadar kayu dan rumbia dengan tembok keua, tidak dihiasi pada sebagian besarnya, dan merupakan urusan tukang kayu dan pekerja pembuat atap. Dulunya para budak dari pangeran-pangeran feodal membangun istana-istana besar bagi mereka, banyak diantaranya masih kuat dan merupakan contoh terbaik dari arsitektur Bali, tetapi saat ini kegiatan artistik dari orang-orang menjadi mengurus tempat-tempat sembahyang dan bangunan-bangunan komunal,yang masih berdiri dari perbaikan dengan intensitas tinggi. Di Bali tidak ada kelas khusus arsitek, dan para pemahat bertugas dalam merancang, memimpin bahkan mengerjakan sendiri pembangunan sebuah pura, dibantu oleh sejumlah tukang batu dan tukang bata. Seorang ahli ukir harus mampu merancang gerbang yang indah, yang merupakan contoh paling penting dari arsitektur Bali dan memperlihatkan penggambaran arsitektural, lebih menyerupai sebuah proyek pembangunan, untuk sebuah gerbang pura yang harus didirikan di Desa. Untuk membuat menara besar bagi kremasi, seorang pembangun utama sekedar mempunyai rancangan dan proporsi yang  sudah tersusun, sebagaimana sebagai orang Bali menyebutnya “di dalam perut”.

Satu-satunya batu yang harus didapat di pulau ini adalah batu paras yang lunak, gabungan dari debu volkanik yang disebut paras, yang ditambang di tepi-tepi sungai. Mungkin kelunakannya, satu-satunya batu di Bali, yang bertanggung jawab atas seni yang sangat rumit dari orang Bali dan mereka mempunyai kesenangan yaang sederhana memberi lubang angin dengan hiasan. Cara membuatnya batu tersebut dipotong dan dibentuk dengan beliung, langsung di tempat di mana dia ditambang, dan dijadikan balok-balokberbagai ukuran sesuai dengan ukuran yang dibutuhkannya. Potongan-potongan batu untuk pembangunan dipadukan tanpa adukan semen, tetapi perlu bagi bangunan tersebut agar sambungannya telah melekat dengan baik. Ini dilakukan dengan saling menggosokan dua potong batu bersama, melicinkan permukaannya dengan banyak air. Dengan cara ini bangunan tersebut berdiri pelan-pelan, para pekerja dilindungi dari sinar matahari dengan membuat tenunan daun kelapa, dan waktu yang lama dihabiskan sebelum pura bisa diselesaikan. Selang-seling batu merah dan batu paras diukir terakhir, sering meninggalkan batu mreah dan batu paras itu selama bertahun-tahun tanpa hiasan. Misalnya, harus ada karang ceriwi diatas pintu gerbang, wajah raksasa dengan mengerling dengan lidahnya tergantung dan taring panjang. Pada tempat-tempat yang kurang penting, motif utama dari sebuah pola adalah sebuah karang bintulu, sebuah desain aneh yang populer terdiri atas mata tunggal yang melotot diatas deretan gigi atas, giginya dikembangkan menjadi taring, yang ditegakkan dengan representasi sebuah gunung. Untuk menyelesaikan sebuah sudut terdapat sebuah motif khusus, suatu karang curing, bagian atas dari paruh burung, juga menyediakan sebuah mata dangigi runcing. Untuk tujuan yang sama terdapat variasi dari motif yang sama, sebuah karang asti, kepaa gaja tanpa rahang. Kata karang berarti sebuah karang, tetapi juga kata untuk menyatakan menyusun perhiasan atau rangkaian bunga. Telah diupayakan untuk memberi hiasan-hiasan makna keagamaan yang hanya dipahami oleh sedikit orang (menurut Nieuwenkamp), representasi roh dari objek tak bernyawa karang, gunung, tanaman dimana mereka menyusun bagian, ketika orang bali dipaksa ntuk menjelaskan mngapa mereka tidak mempunyai rahang bawah, dia memjawab hal itu karena mereka tidak harus makan-makanan yang keras! Menurut pendapatku, ini merupakan lelucon orang bali dan bukan sebuah pertanda dari makna simbolis apa pun.

Motif-motif ini adalah titik tolak bagi ikal yang rumit, dedaunan, bebungaan, motif nyala api, dan seterusnya, yang secara kuat merupakan sisa-sisa dari yang digunakan di Jawa kuno, tetapi juga diketemukan di Siam, Kamboja dan di dalam objek-objek orang Dayak di Kalimantan, orang-orang yang tidak dipengaruhi oleh seni Hindu. Seluruh pola tersebut  dinamakan  karang, sementara batas-batas yang dipahat didalam cetakan dinamai patra, dari mana ada patra  olanda (dari kata bahasa Portugis untuk Belanda?) dan patra Cina, sebuah “tepi Cina.” Disana sini terdapat panel kecil yang dipahati dengan representasi dari episode-episode dari kesusasteraan mereka: binatang dari cerita tantri, semacam fable Aesop dari Bali, adegan-adegan dari Arjuna Wiwaha dengan para dewi dari sorga menggoda Arjuna yang sedang bertapa, atau pertempuran dari Ramayana dan Mahabrata dengan adegan-adegan lucu dengan para pelayan dari para pahlawan, badut tuwalen dan delam, bergulat yang saling mengigit. Seni ukir kayu telah menderita perubahan bentuk yang aneh semenjak kunjungan kami pertama ke Bali tahun 1930. Pada waktu itu, sebanyak objek yang dipahat diatas kayu digunakan untuk tujuan manfaatnya: dari pintu berukir dan tiang rumah, alat-alat musik, topeng untuk pertunjukan drama, pegangan perabotan, sampai patung-patung kecil dewa-dewa dan aseksori ritual yang lain. Ini adalah gaya Bali kontemporer konvensional: bebungaan dan lengkungan-lengkungan di cukilan timbul untuk permukaan datar (ukiran), dan untuk seni patung dibuat bisa dilihat dari semua sisi (togog), patung-patung dewa, raksasa, dan tokoh-tokoh mitologos lainnya yang didandani dengan pakian klasik dan penuh hiasan. Lebih jauh, semua cukilan kayu dimaksudkan untuk ditutupi dengan cat, pernis, atau daun emas dan hanya didalam kasus-kasus yang luar biasa kayu dibiarkan dalam keadaan kasar. Terdapat potongan-potogan yang tidak biasa, tetapi mereka merupakan keajaiban diantara gaya-gaya yang utama. Para wisatawan mulai membeli ukiran  Bali, tetapi demikian, ketika kita balik ke Bali tiga tahun kemudian, para pematung Bali beralih ke produksi massal “objets d’art” bagi wisatawan. Bahkan, sebelum sampai di Bali untuk kedua kalinya, kami menemukan toko souvenir di Makasar dan Jawa yang dipenuhi patung-patung kecil yang pasti bergaya komersial yang benar-benar baru bagi kami. Sebelum ini, kami berkenalan dengan Gusti Ngurah Gede, seorang lelaki tua dari pemecutan yang termasuk pematung yang terbaik di Bali selatan. Walau Gusti  Gede sudah tua dan bicara dengan kami dengan susah payah, dia mampu mengukir motif yang paling halus pada kayu keras dengan ketepatan dan kepastian yang diiri oleh pematuung yang lebih tua.

Dia mulai dengan membuat patung kecil realistis yang menggambarkan gadis telanjang, sedang mandi, menyisir rambutnya, atau didalam proses menanggalkan pakainnya, dengan piawai dipahatkan dari kayu ptuih yang bagus, sosok yang sudah siap dijual pada wisatawan. Ini mungkin awal dari seni baru dimana pematung mulai bekerja bagi khayalak yang baru: para toris yang sedikit saja menghargai kesempurnaan teknik yang dituntut oleh orang  Bali, atau seniman asing yang menyukai garis dan bentuk dibaningkan dengan hiasan yang rumit. Hal ini memperkenalkan unsur-unsur bayaran ke dalam seni Bali, yang sampai saat itu tidak ada; harga dilambungkan dan pematungnya tiba-tiba sadar bahwa ada penghasilan yang bagus dalam hal membuat patung. Pada sisi lain, keadaan yang sama memberikan  pada seni sebuah gerak hati baru, dan para pematung tumbuh subur bagai jamur di musim hujan. Segera setiap pusat seni, seperti Denpasar, Mas, Batuan, Peliatan, dan Ubud menghasilkan jumlah melimpah ukiran dalam gaya-gaya baru, kepala-kepala penari janger yaang mutunya paspasan disingkat oleh turis seluruh dunia, sosok ramping yang stereotip dari Mas diekspor ke Jawa dan Belanda, sementara para pematung yang lur biasa dari Badung dan Batuan memahat kulit kepala dari Bangli dann sebagainya.

Sumber : Buku Pulau Bali

Identitas Banjar

April 28th, 2014

Banjar dirgahayu

IMG-20140428-00700Saya dari banjar dirgahayu Gerih, Abiansemal, Badung, Bali. Banjar mempunyai 6 kelompok yaitu kelompok PKK, misalnya di banjar ada odalan agar kelompok PKK itu mulai yang disebut ngayah di banjar membuat alat-alat untuk odalan di banjar atau tukang-tukang banten yang ahli, kelompok dasa wisma yang bernama Sekar Arum, kelompok pos pelayanan terpadu (POSYANDU), kelompok pos kambling, pemuda-pemudi banjar dirgahayu itu memiliki kelompok sekhe yang bernama Sekhe Truna-Truni Widya Paramitha dan lagi satu ada juga kelompok sekhe gong yang anggotanya sebanyak 40 orang yang bernama Widya Gita Semara. Sekhe Gong Widya Gita Semara dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu skehe gong dewasa mempunyai gending yaitu tabuh 3 sebanyak 3 yang satu bernama buaya mangap, tabuh tari-tarian, tabuh kreasi sebanyak 1, tabuh gari dll, sekhe gong Anak-Anak ini baru ada generasi dan sudah mempunyai gending 2 tabuh buaya mangap dan tabuh gilak, dan sedangkan sekhe gong PKK mempunyai gending 3. Dan banjar Dirgahayu juga mempunyai 4 tempekan yaitu ada tempekan Panti, tempekan langse, tempekan Dalem, dan lagi satu tempekan Krasan.

Banjar Dirgahayu didirikan pada kurang lebih 1970 tahun, itu masih halamannya berisi tanah, batu-batu dan pagarnya yang disamping-samping yang dimaksud mengelilingi banjar berisi gedeg. Banjar Dirgahayu mulai direnovasi tahun 1984, dan mulai berkembang sedikit demi sedikit halamannya sudah disemen, sudah berisi lantai dan juga disamping-samping ngelilingi banjar sudah ditembok, dan juga diatas berisi pelapon dan dibawah berisi yang disebut tehel dan dihalamannya yang cuma disemen, ada juga gapura banjar  yang diukir sedikit-sedikit. Bangunannya yang dulu ada satu lalu dibongkar, lagi membangun tempat atau gudang sebanyak 3 untuk :

  1. Menaruh alat-alat berguna seperti penggorengan, panci, alat-alat untuk dapur dan ada juga tenda, kursi, dan pemiosan dll.
  2. Menaruh kenang-kenangan misalnya piala dan piagam dan ada juga TV, DVD, Sound sistem dll.
  3. Menaruh kesenian-kesenian misalnya topeng ogoh-ogoh dan badannya yang dipotong-potong kalau tidak dibakar akan dipakai lagi 1 tahun dan gong kebyar, baleganjur dll.

Banjar Dirgahayu tidak pernah direnovasi lagi karena banjar tersebut tidak ada yang rusak. Luas karangan banjar Dirgahayu adalah kurang lebih 2 are. Banjar Dirgahayu mempunyai alat gambelan gong kebyar dan baleganjur yang ada pada tahun 1985, itu membelinya sedikit demi sedikit agar menjadi sebuah gambelan gong kebyar dan baleganjur. Baru kurang lebih 6 bulan membelli tungguhan gong sekalian instrumen gong besi sebanyak 4 buah dan membeli troli untuk tempat instrument gong, Karena gong di banjar misalkan ada odalan dipakai di pura kalau misalnya melasti gongnya ditaruh di pundak (ditegen), agar tidak cepat lelah sekarang sudah memakai yang namanya troli yang didorong. Juga banjar mempunyai alat olahraga yaitu tenis meja yang baru ada tahun 2012. Dan ada juga baru kurang lebih 3 tahun merenovasikan bale kulkul. Dan ada juga sumur bor dan ada juga air PAM supaya tidak banyak membayar air PAM. Banjar mempunyai besi-besi yang berbentuk pagar, misalnya waktu latihan megambel harus mengeluarkan gamelan keluar dari tempatnya lalu latihan, agar tidak mengeluarkan gamelan, dipanggung banjar lah ditaruh gamelanya terus supaya tidak mengeluarkan gamelan lagi, dipanggung itu disamping-sampingnya berisi pagar dan berisi korden, supaya tidak kelihatan gamelannya dari jalan. Dan juga baru berapa bulan banjar membeli meja tinggi yang sejumlah 2 untuk menaruh-menaruh banten saat di banjar ada odalan. Pemuda yang kreatif ditempat menaruh kenang-kenangan itu direnovasi 1 tahun yang lalu hanya dibersihkan dan dicat ulang saja supaya kelihatan bagus dan disana bisa ngumpul-ngumpul, dan cerita-cerita banyak orang sambil mendengar lagu-lagu, dan juga merenovasi ulang WC yang ada di balebanjar. Banjar berada di barat jalan desa gerih, jalan yang bernama jalan leko, dekat perempatan dan disamping banjar ada membangun puskesman. Tanah yang ada dibanjar kurang lebih 2 are dan yang dipakai untuk pura yang ada di banjar, panggung, halaman.

Struktur organisasi banjar Dirgahayu kelian banjar yang bernama I Wayan Bawa dan yang namanya pejatuh  yaitu I Wayan Gunawan, ada juga ketua tempekan yaitu ditempekan dalem juru pengarah adalah I Wayan Bawa, ditempekan panti juru pengarah adalah I Nyoman Wena, ditempekan krasan juru pengarah adalah I Made Citra, dan yang terakhir tempekan langse jru pengarah adalah I Ketut Sana. Ada juga kepala dinas banjar dirgahayu yaitu yang bernama I Ketut Sudiarta. Dan pada waktu odalan di pura melanting banjar dirgahayu telah melantik kelian banjar baru yaitu yang bernama I Wayan Wikan Jaya. struktur organisasi sekhe gong PKK yaitu yang menjadi ketua adalah I Made Erna Wati, sebagai sekretaris adalah Ni Luh Putu misrani dan sebagai sekretaris adalah Putu Susmiati. Struktur organisasi sekhe pemuda Widya Gita Semara yang menjadi ketua adalah I Made Susrama, menjadi  bendahara adalah I Ketut Diantara dan yang men skretaris adalah I Made Tedy Darmawan. Struktur organisasi sekhe gong anak-anak yang tahun dahulu menjadi ketua adalah I Wayan Suardiana, menjadi bendahara adalah I Wayan Ganditha, dan yang menjadi sekretaris adalah I Ketut Gede Sukartha Widiantara. Tetepi sekarang sekhe gong anak-anak yang dulu sudah menginjak masa remaja dan sudah masuk menjadi pemuda, sekhe gong itu di masukkan di sekhe gong pemuda yang sekhe gong pemuda yang sudah nikah ada juga yang pingin lagi ikut sekhe dan ada juga yang tidak ikut. Sekarang ada lagi generasi sekhe gong anak-anak paling besar yaitu pendidikan SMP yang menjadi ketua adalah I Made Irfan Sastrawan, menjadi bendahara adalah I Komang Gian, dan yang menjadi sekretaris adalah I Putu Raharja. Dan yang teerakhir struktur organisasi sekhe gender wayang yaitu yang menjadi ketua adalah I Made Martha, sekretaris adalah I Made adi Sanjaya, dan yang menjadi bendahara adalah I Made Gawi. Ketua-ketua pemuda yang saya dari tahun dahulu pernah menjadi ketua yaitu I Nyoman Triyasa, I Wayan Eka Darmanto, I Wayan Wikan Jaya, I Wayan Sastra jaya sebagai ketua dan wakil adalah I Nyoman Alit Sastrawan, yang sekarang ini ketua pemuda yang bernama I Made Suariana dan yang menjadi wakil adalah Wawan Adi Saputra.

Kegiatan pemuda-pemudi adalah setiap hari minggu pagi jam 7 siapa yang bertugas memukul kulkul pemuda-pemudi tanda bahwa harus kebanjar bersih-bersih, ada yang membawa sapu ada yang membawa sabit atau mesin untuk memotong rumput. Pemudi membersihkan, menyapu, atau mengepel yang kotor-kotor didalan ruangan banjar termasuk di gudang atau di tempat menaruh-menaruh alat-alat. Dan pemudi ada juga membersihkan dipanggung banjar kalau pemuda membersihkan dihalaman banjar sampai kedepan ada juga yang memotong rumput yang ada di lingkungan banjar. setelah pemudi membersihkan di atas yang dimaksud di gudang, di panggung banjar semuanya pemuda-pemudi menyapu di halaman banjar supaya bersih, setelah itu lalu sampah-sampah yang dibersihkan lalu dibakar agar tidak menyebar kemana-mana. Setelah itu tidak terasa sudah jm 10 ada pemuda pergi membeli nasi untuk dikasi pemuda-pemudi semua, setelah itu cerita-cerita di banjar dan ada juga yang pulang duluan, karena sudah siang semua pun pulang dan mengunci-ngunci pintu yang ada di banjar agar tidak terjadi apa-apa. Dan ada juga kegiatan pemuda sekarang yang membuat ogoh-ogoh dibanjar dan ogoh-ogoh baru dikerjakan selama 2 minggu, dan juga pemuda yang latihan megambel untuk melasti dan untuk menggarap ogoh-ogoh.

 

 

 

Nama : I Ketut Gede Sukartha Widiantara

NIM : 201302003

Prodi : Seni Karawitan