Wayang Kulit Bali: Masa Kini dan Masa Datang
Wayang Kulit Bali:
Masa Kini dan Masa Datang[1]
Oleh:
I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.[2]
I. Pendahuluan
Mencermati kondisi masa kini, para dalang di Bali mencoba berusaha mempertahankan habitat kesenian wayang dengan daya kreativitasnya mencoba berinovasi dengan hal-ihkwal yang berbau kekinian dengan pertimbangan bisa eksis. Mereka berhasrat menumbuh-suburkan kegairahan wayang agar tidak tercerabut bahkan punah dari generasi kini yang sudah tak lagi meliriknya. Namun, ketika ia berinovasi atau memunculkan pembaharuan-pembaharuan, dibalik itu muncullah pro dan kontra. Beberapa seniman konservatif memandang bahwa pertunjukan wayang kulit sudah sempurna, tidak perlu dikembangkan lagi dan cukup dilestarikan saja, akan tetapi naluri kreatif yang tumbuh pada sebagian seniman (khususnya dalang) masih terus berkembang dengan menyajikan karya-karya inovasi.
Meneropong masa depan kesenian wayang di dalam konteks arus globalisasi dewasa ini, menghadapkan kita pada berbagai panorama masa depan yang menjanjikan berbagai optimisme, sekaligus pesimisme. Optimisme itu muncul, disebabkan globalisasi dianggap dapat memperlebar `cakrawala` kebudayaan dan kesenian, yang kini hidup di dalam sebuah `pergaulan` global, sehingga semakin terbuka peluang bagi penciptaan berbagai bentuk, gagasan, atau ide-ide kebudayaan dan kesenian yang lebih kaya dan lebih bernilai bagi kehidupan itu sendiri. Akan tetapi pesimisme itu muncul, mengingat bahwa proses globalisasi dianggap tidak dengan sendirinya menciptakan pemerataan dan kesetaraan dalam setiap bentuk perkembangan, termasuk perkembangan kebudayaan dan kesenian (wayang).
II. Ideologi Seniman (Dalang)
Globalisasi sering diterjemahkan sebagai gambaran dunia yang lebih seragam dan terstandar melalui teknologi, komersialisasi, dan sinkronisasi budaya yang dipengaruhi oleh Barat. Oleh karena itu, globalisasi erat kaitannya dengan modernitas. Namun dalam perkembangannya, konsep globalisasi masih menjadi perdebatan karena dipahami secara bervariasi, karena setiap pakar mempunyai cara pandang dan argumentasinya sendiri tentang globalisasi. Menurut Jan Nederveen Pieterse, seperti dikutip M. Jazuli menyebutkan bahwa konsep globalisasi sebagai hibridisasi yakni budaya baru sebagai hasil saling silang atau pencangkokan dari berbagai budaya, transisi dari berbagai sumber budaya, dan pengemasan baru dari budaya lama (2000: 91-98). Analogi dengan hal tersebut di atas, ada masalah mendasar selain pergeseran nilai yang disebabkan oleh perubahan kondisi struktural, yakni semakin berkembangnya cara pandang dan kepentingan seniman (dalang) dalam kerangka global. Perkembangan tersebut terkait dengan ideologi seniman meliputi 3 (tiga) varian yakni, konservatif, progresif, dan pragmatis. Setiap kategori akan dilihat dari beberapa indikator yaitu, orientasi, format sajian, hubungan dengan penikmat, profesionalisasi, tantangan, dan strategi seniman (Jazuli, ibid).
Pertama, seniman (dalang) berideologi konservatif, cendrung berorientasi pada masa lampau dengan tujuan preservasi. Kelompok dalang ini mempunyai kepentingan untuk memperoleh prestise dengan format sajian pakelirannya masih tampak konservatif atau tradisional (relatif sederhana) dengan memanfaatkan teknologi yang relevan dalam jangkauan lokal. Posisi ini terjadi pada dalang tradisional (otodidak) yang banyak bertebaran di desa-desa di Bali. Dalang dalam hubungan dengan penonton sebagai akomodator yaitu, mengkomunikasikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan (sering ritual dan agama) serta menyesuaikan dalam kesatuan sosial (menghindari konflik). Tingkat profesionalismenya cendrung defensif, persaingan terjadi dalam tataran internal. Tantangan yang dihadapinya adalah tuntutan perubahan yang mengakibatkan krisis vitalitas dan intensitas, sedangkan jaringan (sistem) yang ada tidak berfungsi, tak mampu mengeliminasi keadaan. Adapun strategi yang dilakukan untuk mengatasi tantangan oleh kelompok dalang ini, di antaranya adalah tetap mengikuti konvensi yang berlaku, mengadakan kaderisasi (pembinaan) secara terus menerus, melakukan pergelaran secara rutin, dan memanfaatkan teknologi yang relevan. Positifnya, dalang-dalang konservatif yang banyak melestarikan keberadaan wayang kulit Bali sehingga bisa utuh sampai saat ini, seperti wayang kulit parwa, wayang kulit ramayana, wayang kulit gambuh, wayang kulit calonarang, dan wayang kulit cupak.
Kedua, berideologi progresif adalah kategori seniman/dalang yang berorientasi masa depan, dengan tujuan menawarkan alternatif. Kepentingan dalang seperti ini adalah pengenalan dan reputasi. Munculnya wayang kulit arja, wayang kulit tantri, wayang kulit babad, dan pakeliran layar lebar merupakan produk pakeliran dengan format sajian karyanya lebih bersifat inovatif dan hibrid. Format penyajiannya berbeda, namun prototipe wayangnya (kecuali wayang kulit arja) mendekati sama dengan wayang tradisi karena berupa vokabuler yang bersifat konvensional, sedangkan yang baru adalah repertoarnya (lakon dan iringannya). Sekalipun penggagas genre wayang tersebut di atas (I Made Sidja, I Wayan Wija, dan I Ketut Klinik) adalah dalang otodidak, namun mereka itu adalah sosok seniman dengan wawasan sangat luas dan profesional, serta banyak bersentuhan dengan dunia luar. Kehadiran wayang itu mendapat sambutan yang sangat presentatif dari masyarakat Bali yang selalu respon terhadap kesenian tradisi yang inovatif. Tantangan yang dihadapinya adalah belum memiliki jaringan yang kuat, artinya belum banyak dalang di Bali yang menekuni jenis wayang tersebut, dan wilayah penyebarannya masih terbatas. Sekalipun state (Dinas Kebudayaan Propinsi Bali) memplopori dengan event festival wayang arja (1998), festival wayang tantri (1999), dan parade wayang babad (2000), namun ia hanya sebatas pengenalan. Hal yang sama juga terjadi pada penyajian pakeliran karya seniman akademis. Adapun strategi yang dilakukan untuk mengatasi tantangan tersebut, baik pemerintah maupun penggagas yakni proaktik dan kreatif, mencari alternatif lain atau penafsiran baru dari karya yang sudah ada. Hal itu dilakukan dengan cara mengadakan eksperimen secara terus menerus sebagai bentuk penawaran dari sejumlah kemungkinan, meningkatkan wawasan, menjalin dan membangun relasi, memanfaatkan berbagai kekuatan produksi (sumber daya manusia), serta berupaya menguasai teknologi yang ada.
Ketiga, berideologi pragmatis, dalang yang cendrung berorientasi masa kini. Kelompok seniman ini selalu mencari keseimbangan (moderat) dan melayani kepentingan serta selera massa/pasar (ambivalen). Adapun tujuan kelompok dalang moderat adalah prestise dan komersial, sedangkan seniman ambivalen adalah reputasi dan komersial. Format sajian (moderat dan ambivalen) cendrung glamor, spektakuler, sensasional, hibrid (pencangkokan berbagai unsur), asal beda, asal laku (Jazuli, op. cit: 99). Sekitar tahun 1970-an di Bali, sempat geger dengan kehadiran pakeliran gaya dalang I Ketut Rupik (70 tahun) yang disebut nyeleneh/soleh (lain dari kebiasaan/tradisi) dalam mementaskan wayang baik tempat pementasannya maupun tuturan/antawacananya. Rupik yang terkenal dengan julukan “dalang wakul”, adalah dalang otodidak namun melek dengan kondisi kini, penyajian pakelirannya teradopsi oleh aneka budaya dari pop hingga klasik. Rupik sadar bahwa, wayang sudah menjadi barang komoditi, ia melihat dan berfikir tentang gejala pangsa pasar, maka ia berusaha terus bersinggungan dengan budaya-budaya global yang sangat amat deras menjejali ruang dan waktu saat ini. Ia mengangkat isu-isu aktual disela-sela ceriteranya yang kontekstual dengan masyarakat penonton, maka sajian pakelirannya disebut `berita dunia II` setelah berita dunia pertama pada layar kaca (TV). Ia tidak menampik bahwa, sajian pewayangannya rada nyeleneh, mengeksploitasi sex dan humor, menyalahi pakem/wimba dan lain sebagainya. Baginya “biarkan anjing mengonggong kafilah tetap berlalu, yang penting penonton tidak berlalu” (Wicaksana, 1999: 1-3).
Dalang I Wayan Nardayana (39 tahun) yang dikenal `dalang Cenk Blonk` juga yang dianggap kesenian `ngepop` dalam tradisi pewayangan di Bali, karena pakelirannya dikemas ringan petuah/tutur dan lebih menonjol-kan humor yang sifatnya menghibur. Sesungguhnya struktur pementasan-nya tradisi, namun yang membedakan adalah musik pengiringnya merupakan gabungan dari instrumen non-konvensional seperti, gamelan batel suling dipadu dengan gemelan gender rambat (unsur palegongan); cengceng kopyak (unsur balaganjur); rebab (unsur gambuh); dan kulkul bambu (unsur tektekan). Untuk mencapai kualitas sajiannya, ia merangkul seniman-seniman akademis ikut menggarap komposisi karawitan, panggung kelir dirancang knout down dengan ukiran kayu gaya Bali, efek sinar listrik, teknik tetikesan (sabet), dengan harapan pagelarannya menjadi semarak dan memikat. Tak cukup suara gamelan yang dipikirkan, ia memasukkan gerong (Jawa, sinden), suara vokal `chourus` yang ditembangkan oleh empat wanita sebagai fungsi narasi baik saat mulai pertunjukan (pategak/talu), adegan petangkilan (sidang), rebong (adegan romatis) tangis/mesem (sedih), dan akhir pertunjukan (ending). Yang menonjol penyajiannya, Nardayana mengangkat isu sosial aktual masa kini mendominasi gaya pakelirannya lewat tokoh rakyat bernama Nang Klenceng dan Pan Keblong, dua panakawan `sisipan` dengan dialek (logat/aksen) khas daerah Tabanan. Pada awalnya banyak mengeksploitasi humor yang bernada pornografi seperti halnya dalang Wakul pendahulu-nya, sehingga penonton hanya menanti-nantikan panakawan (Ceng-Blong) yang akan memainkan berbagai strategi humor semisal sex dan per-selingkuhan. Namun begitu terkenal, ia tidak larut dan mulai mengurangi unsur pornografi dengan cara mengemas humor-humor isu sosial pilitik yang tengah aktual di masyarakat. Secara intensitas, ia melakukan sistem paket dalam kemasan penyajiannya, dengan struktur dan isi serta waktu yang ketat dan tepat. Maka tak heran Nardayana bisa pentas dua kali dalam semalam dan penonton selalu membanjirinya, terutama anak muda (Wicaksana, 2000: 61-63). Model yang sama juga dilakukan oleh `dalang Joblar` (I Made Nuada), dalang muda dari daerah Badung. Kehadiran kedua dalang muda berbakat ini dianggap sebagai kesenian “pinggiran”, sebagai media alternatif untuk menggairahkan kembali seni pewayangan di Bali yang lesu dan sepi penonton.
Mengamati penyajiannya, ada kecenderungan para dalang tersebut sangat kondusif dan sinergi yaitu, mengimbangkan antara tuntutan situasi dengan norma dan komitmennya, namun senantiasa merespon fenomena yang nge-trend, asal beda. Tantangan yang dihadapinya diantaranya, harus selalu mempertahankan vitalitas dan intensitas sesuai tuntutan, harus produktif dan menarik penggemar agar laku, piawai mencari dan mengantisipasi peluang pasar, menjalin relasi, dan memanfaatkan berbagai sumber kekuatan produksi. Strategi yang dilakukan oleh kelompok dalang ini adalah menjawab tantangan tersebut, terutama lewat pemanfaatan berbagai bidang keahlian serta memanfaatkan teknologi sesuai perkembangan jaman bagi proses produksinya. Sekalipun moderat dan ambivalen, mereka berkomitmen untuk tetap mengutamakan nilai keseimbangan, sambil melayani berbagai kepentingan dan selera pasar.
III. Dialektika Wayang
Wayang sebagai karya seni kolektif mempunyai hubungan dialektika antara tradisi, inovasi, partisipasi, dan profesi. Hal tersebut menandakan bahwa keberadaan wayang dan dalang tak terlepas dengan bidang kehidupan lainnya. Dalam konteks kehidupan tradisional dapat dijabarkan sebagai berikut, (1) hubungan antara seni tradisi dan inovasi memerlukan pengaturan atau sistem manajemen; (2) hubungan antara inovasi dan partisipasi membutuhkan pengkayaan dan rekayasa; (3) hubungan antara partisipasi dengan profesi dijembatani oleh legalitas; (4) hubungan antara tradisi dengan profesi dimediasi oleh tatanan etis dan normatif; (5) hubungan antara tradisi dengan partisipasi memerlukan subsidi; dan (6) hubungan antara inovatif dengan profesi memerlukan proaktif dan kreatif. Penentuan tersebut didasarkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah orientasi, tujuan, kemampuan memformat sajian, respons terhadap penonton (konsumen), profesionalisasi, tantangan yang dihadapi dan strategi untuk mengatasinya (Jazuli, op. cit: 100).
Terjadinya kolaborasi dan penggunaan teknologi modern dalam pewayangan, merupakan salah satu bentuk kreativitas dengan tidak mengurangi nilai yang dikandung oleh karya tersebut sebagai hasil karya cipta seni karena pedoman budayanya tetap berakar pada seni budaya Bali. Penggunaan teknologi modern dalam penggarapan atau penciptaan karya seni dianggap hanya sebagai salah satu elemen dalam memberikan suasana estetik terhadap karyanya. Dengan demikian penyelamatan dan pengembangan kesenian Bali memang menyatu antara kebutuhan masyarakat, pemerintah, dan konsumen seni di Bali. Menyatunya dukungan tersebut telah terbukti sampai sekarang Bali tetap dikenal oleh masyarakat dunia sebagai daerah seni yang memiliki aneka ragam kesenian dari yang berfungsi ritual dan seni yang bersifat hiburan sampai pada seni kontemporer (Seramasara, 2004: 88).
Bila dicermati secara mendalam tentang aspek-aspek yang dimiliki oleh wayang sebagai sebuah wujud seni tradisi, ia mempunyai kekuatan spiritual (mental) maupun material (fisikal) yang merupakan kaidah-kaidah universal yang berlaku disemua bentuk ekspresi seni pertunjukan. Idealnya, pertunjukan wayang melibatkan 4 (empat) sifat seperti, emosional (rasa); fisikal (indra); spiritual (jiwa); dan intelektual (pikiran). Sebuah kekuatan lokal yang sangat efektif untuk bekal memasuki global village (desa global) maupun global culture (budaya global) (Bandem, 2000: 32-33). Wayang merupakan aktualisasi konsep kehidupan yang abstrak yang disajikan sebagai ajaran moral, karenanya pakeliran yang banyak mengadopsi teknologi modern dan atau pakeliran masa depan, diharapkan tetap mematri ungkapan nilai budaya lokal disamping informatif dan edukatif yakni “identitas lokal, watak global”
Sebuah anjuran yang arif nan bijaksana dari seorang seniman birokrat, Sri Hastanto mengatakan, melihat globalisasi, industrialisasi, modernisasi sebagai suatu kesempatan bukan sebagai suatu ancaman. Bahkan kita harus menggunakan teknologi modern itu untuk wahana mempersiapkan calon-calon anggota masyarakat pewayangan itu untuk mengembangkan lembaga kritik pedalangan/pewayangan yang harus disosialisasikan secara nyata. Masyarakat kini sudah membutuhkan hal-hal yang membumi, yang riil, bukan sekedar hal-hal yang normatif saja (1998 : 6-8).
IV. Simpulan
Semakin besar minat untuk mengembangkan ide-ide pewayangan, maka semakin besar pulalah kepedulian seniman (dalang) menimbang aspek-aspek keindahan dan logikanya. Ide yang mengarah pada aspek keindahan, sekiranya sudah banyak diolah dalam struktur pertunjukannya, sedangkan dari aspek logika akan terwujud melalui kecendrungan meliput gejala-gejala sosial untuk diangkat dalam pakeliran. Munculnya lakon-lakon wayang yang bertemakan kerakyatan berpeluang besar menguak peristiwa aktual yang sedang dan akan terjadi pada masyarakat kini sebagai konskuensi globalisasi. Kekuatan yang ada pada seni pewayangan, telah memberikan nilai sejarah dan sumber penggarapan seni untuk dikembangkan sebagai kekayaan budaya yang dapat menata kehidupan masyarakat baik secara moral maupun material. Pengembangan seni pewayangan diharapkan akan tetap mempunyai arah karena memiliki pedoman budaya yang hidup dan dapat dijadikan sumber penciptaan atau penggarapan karya seni.
Sebagai seniman, dalang memiliki posisi ganda, yakni sebagai aktor yang bermain dan sebagai agen yang berperan. Dalang sebagai aktor dapat berpikir dan bertindak atas kehendak bebas, sedangkan dalang sebagai agen selalu terkonstruksi oleh norma dan nilai tertentu dalam lingkungannya. Dengan kata lain, bahwa dalang bukanlah hamba struktur yang pasif melainkan agen yang aktif, karena setiap pilihan tindakannya melibatkan interpretasi kesadaran dan makna subyektif tertentu.
Semoga tulisan kecil ini bermanfaat adanya, terima kasih…
Daftar Pustaka
Bandem, I Made. “Melacak Identitas di Tengah Budaya Global”, dalam MSPI, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. X/2000, Penerbit Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Bandung, 2000.
______________ dan I Nyoman Sedana, M.A. Pertunjukan Wayang Kulit Bali antara Tradisi dan Inovasi, Makalah disampaikan pada Sarasehan Nasional Wayang Kulit, Pesta Kesenian Bali XV, Denpasar, 1993.
Djelantik, A. A. M. “Peranan Estetika dalam Perkembangan Kesenian Masa Kini”, dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, No. 2, Th. II, STSI Denpasar, 1994.
Hastanto, Dr. Sri. Wayang Kulit: Ke-Adiluhungan-nya, Profesionalisme, dan Prospek Masa Depan, Makalah disajikan pada Sarasehan Wayang Senawangi, TMII Jakarta,1988.
Kasidi Hadiprayitno. Perkembangan dan Masa Depan Seni Pedalangan Gagrag Yogyakarta, Makalah disampaikan pada Sarasehan Wayang Indonesia, Jakarta, 1999.
Kodi, B.A., I Ketut, dan I Dewa Ketut Wicaksana, B.A. Pakeliran Layar Berkembang “Anugrah”, Skrip Pedalangan, STSI Denpasar, 1988.
M. Zajuli. “Seni Pertunjukan Global: Sebuah Pertarungan Ideologi Seniman”, Global-Lokal, Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Penerbit MSPI, Bandung, 2000.
Murtana, I Nyoman. Kiwa-Tengen: Dua Hal yang Berbeda dalam Pertunjukan Wayang Kulit Bali, Sebuah Kajian Baik-Buruk terhadap Pertunjukan Wayang Kulit Tantri lakon Batur Taskara sajian I Dalang Wija, Laporan Penelitian STSI Surakarta, 1996.
Seramasara, I Gusti Ngurah. “Usaha-usaha Menyelamatkan Wayang Kulit dalam Goncangan Modernisasi” dalam Wayang, Jurnal Ilmiah Seni Pewayangan, Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, 2004.
Soetarno, 1988. Perspektif Wayang dalam Era Modernisasi, Pidato Dies Natalis XXIV ASKI Surakarta.
Wicaksana, I Dewa Ketut. Dalang Wakul dalam Menyikapi Pewayangan Masa Kini, Makalah disampaikan dalam diskusi “Gelar Dalang Wakul” serangkaian HUT Warung Budaya Bali, di Taman Budaya “Art Centre” Denpasar, Selasa 16 Februari 1999.
________________. “Perkembangan dan Masa Depan Seni Pedalangan/Pewayangan Bali”, dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, no. 8, Th. VIII, STSI Denpasar. 2000.
[1]Makalah disampaikan pada Kongres Pewayangan Internasional 2005, diselenggarakan oleh Widita Jawa Foundation, di Hotel Inna Garuda-Yogyakarta, 14-18 September 2005.
[2]Tenaga Pengajar di Jurusan Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpasar.
Comments are closed.