Makna Kerakyatan dalam Ceritera Aji Saka

16 February 2010 | Lainnya

Makna Kerakyatan dalam Ceritera Aji Saka

Oleh:

IDewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.

Diceriterakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Kemudian negeri itu termasyur sampai kemana-mana. Kabar kemasyuran Medangkemulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengetahuan Sembada, ia pergi ke Medangkemulan. DiĀ  hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut. Dora lalu diperintahkan untuk menjemput Sembada, jika Sembada tidak mau, keris dam perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkemulan. Namun, Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan mempertahankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka. Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya. Oleh karena seimbang kesaktiannya, mereka akhirnya mati ber-sama-sama. Ketika mendapatkan laporan tentang kematian Sembada dan Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke pulau Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Untuk mengenang peristiwa tersebut, Aji Saka menciptakan sastra dua puluh yang dinamakan sastra sarimbangan atau sering disebut sastra hanacaraka, terdiri dari: ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga.

Berdasarkan persepsi dan penafsiran, ceritera tersebut di atas meng-ungkapkan tiga makna yaitu: (1) makna fiktif, (2) makna simbolik, dan (3) makna filosofis. Makna fiktif “ha-na-ca-ra-ka” adalah makna aksara tersebut dalam kaitannya dengan ceritera kawian (rekaan), yang dihubungkan dengan kisah atau legenda Aji Saka. Sesungguhnya makna fiktif ceritera tersebut diungkapkan cukup sederhana sekali dan biasanya dikutip untuk bahan bacaan anak-anak. Walaupun kisah ini memperlihatkan penggalan suatu riwayat (ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga: ada utusan, sesudah itu bertengkar dan berkelahi, keduanya sama kuat, hingga menjadi bangkai). Namun, ungkapan tersebut memberi kesan dan isyarat hingga kehidupan kenegaraan (yang dipimpin oleh seorang raja, ada wilayahnya, dan ada rakyatnya). Makna simbolik kisah Aji Saka dan kedua abdinya, Dora dan Sembada sebagai raja yang mempunyai pembantu, punggawa, dan menteri sebagai nayaka, serta prajurit sebagai penjaga keamanan dan ketentraman negara termasuk olah keprajuritan bagi semua aparat, amatlah penting sehingga mereka memiliki tingkat kemampuan dalam kepamongprajaan dan keprajuritan. Pada suatu ketika di antara mereka ada yang diserahi tugas tertentu dan ada yang diserahi tugas lain. Namun, tugas-tugas itu saling bersentuhan sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang hebat, berakibat akan membawa perselisihan tanpa ada pelerainya, akibatnya kedua belah pihak bentrok.

Makna ungkapan di atas memberikan pelajaran yang mengharuskan seorang pemimpin untuk (a) bertindak arif dan bijaksana, berwawasan luas dan tepat dalam memilih pembantu-pembantunya; (b) membagi tugas dengan jelas sehingga tidakĀ  menimbulkan salah tafsir; (c) menunjuk petugas yang layak; (d) selalu mengontrol pelaksanaan tugas; (e) membimbing dan memperbaiki kekeliruan; dan (f) menghindari jatuhnya korban akibat ke-lalaian. Demikian pula sebagai seorang pembantu/bawahan, mereka harus: (a) setia kepada perintah; (b) berdisiplin; (c) bersikap ksatria atau perwira; dan (d) siap meningkatkan kemampuan dan siap menanggung resiko.

Ditinjau dari huruf dan cara penulisannya, aksara “ha-na-ca-ra-ka” (yang ditulis dengan aksara Jawa atau Bali) bermakna simbolik. Pada dasarnya aksara Jawa atau Bali adalah huruf hidup. Ia menjadi mati apabila dipangku karena aturan penulisannya menggatung pada lapisan atas dan tidak terletak pada lapisan bawah. Hal ini merupakan simbol yang mengingatkan orang, terutama kalangan atas, agar tidak lupa diri, terlena oleh pangkuan derasnya arus globalisasi budaya yang datang melanda dengan berbagai sosok dan atributnya. Makna filosofisnya adalah makna yang berdasarkan pada filsafat yakni pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakekat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya. Berfilsafat berarti melakukan kegiatan analitis, normatif, evaluatif, fenomenologis, dan simplikasi dari kehidupan yang amat kompleks. “Ha-na-ca-ra-ka” oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai karya susastra, syair yang memiliki keindahan khusus, selain bermakna fiktif dan simbolis, juga bermakna filosofis. Sehubungan dengan itu ada beberapa orang menafsirkan atau mengungkapkan filsafat “Ha-na-ca-ra-ka” berdasarkan persepsi mereka masing-masing. Persepsi yang beranekaragam itu adalah wajar-wajar saja karena “Ha-na-ca-ra-ka” memang merupakan ide yang terbuka sehingga mampu menampung interpretasi baru mengenai kandungan makna dari berbagai aspeknya.

Secara kerata basa (Jarwa dasa), yakni dengan cara menelusuri suatu ungkapan dari bagian suku katanya, “ca-ra-ka” bermakna cipta, rasa, dan karsa karena keduanya memiliki unsur (fonem) yang sama, yakni /c/, /r/, dan /k/. Sebagai sebuah karya sastra, “Ha-na-ca-ra-ka” bermakna hukum kodrat sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup). Soenarto Timoer, seorang pakar pedalangan memformulasikannya kedalam untaian kalimat Jawa Kuna sebagai berikut : Ha-na-ca-ra-ka: hananing cipta rasa karsa; da-ta-sa-wa-la: ndatan salah wahyaning lampah; pa-dha-ja-ya-nya: padhang jagate yan nyurupang; ma-ga-ba-tha-nga: marang gambaraning bhatara ngaton. Keseluruhan kalimat di atas dapat diartikan bahwa, manusia hidup yang dilengkapi dengan cipta, rasa, dan karsa itu sudah digariskan secara kodrati, tidak menyalahi laku kehidupan. Manusia diciptakan dengan kasih Tuhan, namun sebagai manusia harus menyadari kepentingan sesama hidup lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, makna kerakyatan dalam ceritera Aji Saka adalah kebijaksanaan lebih tinggi dari sebuah keputusan.

HAPRASIKA adalah kependekan dari:

Hana sira ratu dibya rengen;

Prasasta ring rat;

Sida para ratu prajaya;

Kadga kagenog ya sewa;


Comments are closed.