Jaipongan Erotik Terhegemoni
Jaipongan Erotik Terhegemoni
Oleh
I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum.
Tulisan ini mengamati Jaipongan dari dekat, ketika penulis mendapat kesempatan menjadi peserta “Penelitian Lapangan” yang diselenggarakan oleh MSPI pada bulan Agustus-September 1997. Peserta yang berjumlah 21 orang dari berbagai disiplin ilmu, dibagi menjadi empat (4) kelompok tersebar di wilayah “pantura” (Jawa Barat). Sedangkan penulis beserta empat orang masuk pada kelompok IV dengan medan penelitian di wilayah Karawang. Masing-masing kelompok diasuh oleh seorang pembimbing, dan kami di Karawang dibimbing oleh Bapak Bisri Effendi dari kantor LIPI Jakarta. Beragam kesenian memang ada di daerah Karawang, akan tetapi kesenian Jaipongan termasuk genre seni tradisi dengan frekwensi pentasnya laris manis. Apa dan bagaimana Jaipongan itu diapresiasi oleh komunitas Karawang, berikut akan dicoba untuk mengurai-beraikannya.
Dahulu di Karawang, kesenian Wayang Golek mendapat tempat dihati masyarakat, karena jenis kesenian ini sangat potensial sebagai media informasi, edukasi, ritualisasi, hiburan, serta pembinaan watak dan kepribadian. Namun belakangan ini wayang golek mulai tergusur walau tidak usur dalam blantika seni etnis, justru sekarang kesenian Jaipong memiliki ratting teratas diantara jumlah kesenian di Karawang. Hal itu terbukti dengan frekwensi pementasannya cukup tinggi, rata-rata sebulan penuh siang dan malam[1]. Berkembangnya Jaipong begitu pesat bak jamur dimusim hujan, tak lepas dari dukungan masyarakat dan golongan-golongan yang mempunyai kekuatan ekonomis atau politis ataupun keduanya. Semakin relevannya kekhawatiran para kritikus seni bahwa kelompok dominan, dimanapun dan dengan sistem perintah apapun adanya kecendrungan memaksakan visi hegemoni mereka melalui berbagai institusi seperti lembaga kebudayaan, agama, dan berbagai praktek kehidupan sehari-hari. Dalam kajian budaya khususnya kesenian dalam konteks hegemoni akan dipinjam konsepsi hegemoni yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci, hubungan antara power dan practice, dimana hegemoni merujuk pada kedudukan ideologis satu atau kelompok dalam masyarakat sipil yang dianggap lebih tinggi dari yang lainnya[2]. Lantas bagaimana peradaban hegemoni budaya mengkomunikasikan konsepsinya terhadap kesenian (khususnya Jaipong) yang lagi “ngetop” dan “ngepop” itu bisa dijelaskan ? Menurut Gramsci yang dikutip oleh Idi Subandy Ibrahim, ada tiga aspek utama yang bisa dijadikan pertimbangan antara lain: pertama, harus mempelajari seni, media massa, dan budaya sehari-hari sebagai proses persuasi tempat kita senantiasa digiring untuk memahami dunia berdasarkan cara-cara tertentu, tidak dengan cara lain; kedua, cara menghayati dan mengalami kehidupan sehari-hari memiliki konskuensi-konskuensi politik yang mendalam; dan ketiga, harus memahami sebagian besar keberhasilan hegemoni budaya karena ia fleksibel, responsif terhadap kondisi-kondisi yang sedang berubah, dan bersifat adaptif[3].
Lembaga Kebudayaan mencanangkan program lewat petunjuk teknis tentang pembinaan dan pengembangan kesenian yang pada hakekatnya adalah kegiatan menjaga dan mempertahankan kelangsungan keberadaan kesenian baik materi seni maupun kondisi berkesenian agar tetap terpelihara dengan cara penggalian, pendokumentasian dan pelestarian seni[4]. Adanya tedensi berkembangnya intervensi pemerintah dalam masyarakat (seniman), teristimewa dalam ruang lingkup budaya (kesenian) yang ditangani oleh Depdikbud, dengan mengharuskan pembuatan surat izin pendirian sebuah organisasi/group kesenian dan pembuatan kartu tanda anggota kesenian. Secara tradisional pertunjukan kesenian yang diselenggarakan oleh masyarakat Karawang, selalu diadakan sehubungan dengan adanya pesta hajatan, seperti: perkawinan, khitanan, atau hanya hiburan semata. Pesta hajatan dan kesenian yang digunakan untuk memeriahkan pesta itu dapat diketahui baik dari group kesenian maupun dari daftar rame-rame yang ada di kantor kecamatan. Karena setiap orang yang ingin menyelenggarakan pesta hajatan harus mendapat izin dari kantor Kecamatan dan Koramil setempat.
Para seniman yang mengusung kesenian tradisional (dalam kasus Jaipong) rata-rata berpendidikan rendah[5] hanya mampu menyesuaikan diri karena takut akan konskuensi-konskuensi bila tidak menyesuaikannya. Di sini konformitas ditempuh melalui penekanan dan sangsi-sangsi yang menakutkan. Suatu ketika Rian Aspuri manggung Jaipong dalam rangka hajatan “pernikahan” di Depok, tiba-tiba ia didekati oleh dua orang anggota Kepolisian untuk memberhentikan hiburannya hanya karena ia lupa membawa surat ijin yang memang sudah dikantonginya. Oknum polisi itu memaksa supaya memberinya uang sebanyak Rp 200.000,-. Rupanya Rian Aspuri lihai juga dengan menyodorkan kuitansi untuk ditandatangi, tapi kedua oknum itu malah ketakutan dan bisik-bisik padanya, minta sepuluh ribu rupiah.[6] Kasus yang sama juga dialami Namin Group, dimana ia didatangi oleh Penilik/Pengawas kebudayaan dengan dalih mengawasi, yang ujung-ujungnya minta komisi.[7] Dalam kasus tersebut menurut Femia muncul hegemoni yang ditandai dengan tipe konformitas dari tingkah laku dengan tingkat-tingkat kesadaran dan persetujuan dengan unsur tertentu di masyarakat.[8] Tipe ini terkait dengan legitimasi, dengan keyakinan bahwa tuntutan-tuntutan korformitas benar lebih dahulu. Secara budaya dominasi hegemoni berlangsung pada tahap sadar maupun tidak sadar, dengan kata lain, orang harus melihatnya sebagai alat dari sistem hubungan yang terkait yang dilakukan secara sadar dan terang-terangan melalui penetapan peraturan dan pengucilan yang dinyatakan melalui bahasa atau wacana. Jaipong secara formal belum diakui oleh hegemoni kekuasaan yang membidangi masalah kebudayaan, khususnya kesenian. Hal ini terbukti dalam data kesenian daerah Karawang tidak tercantum nama Jaipong, demikian juga surat ijin yang diharuskan untuk membentuk perkumpulan kesenian yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Depdikbud Kab. Karawang.[9] Tapi yang ada hanya Kliningan, sebuah genre yang dikategorikan dalam karawitan dalam kasanah kesenian tradisional Jawa Barat. Secara emperik menunjukkan bahwa kesenian Jaipong itu eksis, merebak bagaikan jamur di musim hujan dan sangat disenangi oleh masyarakat Karawang, bahkan kuantitas serta intensitas perkumpulan (sering disebut “group”) Jaipong jauh melampui jenis kesenian lainnya yang ada di daerah Karawang.[10] Bahwa jelaslah Jaipong adalah sebuah genre kesenian tradisi, hadir secara sangat problematis. Di satu pihak ia ditolak bahkan lebih sering dilecehkan, namun dipihak lain baik dalam komunitas maupun telaah kajian budaya, tak terelakkan, ia menjadi salah satu acuan.
Jaipong yang semula lahir sebagai kreativitas estetik dari kejenuhan tradisi seni yang mengungkungnya, kemudian disebarkan dan dibesarkan oleh hegemoni yang memiliki kekuatan “bawah” sering disebut Bajidor yang memiliki kemampuan ekonomis “lebih” untuk nyawer dengan memberikan uang sampai ratusan ribu rupiah[11] setiap kali kegiatan-kegiatan seni itu dilaksanakan. Menguatnya daya-daya hegemonik lewat tangan-tangan bajidor dalam kesenian Jaipong, pada gilirannya tidak hanya mengalihkan perhatian masyarakat Karawang dari problema riil ke hal-hal yang bersifat sloganistik seperti bajidor dijabarkan sebagai ungkapan sinisme “barisan jiwa dorhaka”, tapi mereka secara terus-menerus menciptakan diskursus baru sambil berusaha mengabaikan nilai-nilai etika dan estetika yang ada dan dijunjung komunitasnya. Perilaku bajidor di luar “teks Jaipong” kalau sudah kepinsut dengan salah satu sinden, sering memaksakan kehendaknya untuk menggaet primadona panggung untuk digunakan mengumbar nafsu birahinya. Eka Novianti (13 tahun) menceritakan pengalamannya sebagai sinden (penari Jaipong) yang diminati oleh bajidor, seorang pengusaha galian tanah dari Cibitung dengan mendatanginya ke rumah, kemudian mengutarakan niatnya serta memberi perhiasan, mobil kijang, dan uang empat puluh juta rupiah. Bapaknya menolak dengan tegas dengan mengancam mengadu kepada istri bajidor.[12] Banyak perilaku bajidor (sering dari bos-bos Jakarta) memiliki WIL (wanita idaman lelaki) dari sinden-sinden hanya karena tergiur dengan duitnya banyak dan kaya. Peranan hegemonik (bajidor) yang semula ikut mempunyai andil membesarkan Jaipong, pada kenyataannya ada udang dibalik batu, sehingga padanya “dituduh” bagaikan pagar makan tanaman. Kehadiran bajidor di luar “teks Jaipong” menjadi bagian tak terpisahkan – sehingga mereka ikut memperkisruh dunia perjaipongan, namun ironisnya, bajidor adalah “jantungnya” Jaipong. Bayangan atau hayalan sinden ada diantara dunia rekaan (dunia panggung) dan dunia nyata (keseharian) telah berbaur membentuk persepsi sosial tersendiri.
Kita mencatat, di tengah gegap gempita iringan (gamelan) dengan bantuan perangkat sound system, kemolekan dan nyaringnya kidung dari sinden serta menggeliatnya gelinjang “goyang karawang” Jaipong, tidak hanya mendistorsi tetapi juga menciptakan karakternya sendiri serta melenyapkan unsur yang orisinil. Gerak tarian Jaipong lebih merupakan budaya pemujaan kemolekan dan goyang tubuh erotis seperti yang dipresentasikannya dalam dunia simbol, telah menarik pesona penonton. Gerakan erotis yang dilakukan oleh penari Jaipong tampak visualisasinya, baik pada tari rampak maupun pada ibingan dengan menampilkan hasrat-hasrat erotik yang mengarah pada pornografi di hadapan penonton dan tak dapat diterima oleh masyarakatnya (terutama kaum muslim). Kesan erotis itu bermuara dari suara sumbang masyarakat dengan menyebut genre kesenian ini sebagai “goyang karawang”. Kalau pinggul sebagai titik kunci khas Jaipong digoyang kesamping kanan dan kiri masih bisa ditolerir, akan tetapi apabila di goyang ke depan-belakang dan semua arah, gerakan ini jelas-jelas mengekploitasi perilaku seksual yang dikemas dalam bingkai estetik, demikian komentar Hartono[13]. Kalau Jaipong lebih dominan memperagakan gerakan erotis kiranya dapat ditelusuri dari berbagai faktor seperti, iringannya secara musikal, gamelan Jaipong dengan tempo ajeg semakin lama semakin cepat mirip pada tempo musik dangdut/rok dengan hentakan drum (gendang) dibantu dengan simbal (kecrek) memungkinkan goyangan pinggul, pinggang, dan dada bereaksi serta klop dengan ekspresi wajah mendesah – ah-ah…aahhh! Dan itu juga diikuti oleh para bajidor dan simpatisan jaipong dengan menggoyang-goyang pinggul, pinggang, kepala bereaksi di lantai bawah panggung. Hal tersebut dapat dimengerti karena secara geografis Karawang berbatasan dengan ibu kota Jakarta yang memang permissiveness di bidang seks, sehingga dapat dimengerti bahwa dalam situasi sekularisasi urbanisasi justru akan mengurangi dimensi moral dan frekuensi keagamaan.
Kekuatan sosial politik sebagai hegemoni “samping” tak kalah bersaingnya dengan hegemoni kekuatan “atas” (lembaga Kebudayaan) dan hegemoni kekuatan “bawah” (bajidor) yang menopang eksistensi Jaipong. Penerapan dan penyerapan kekuatan sosial politik menyusup lewat simbol uniform, dengan seragam “kuning” yang dipakai baik para sinden/kawih maupun nayaga. Dalam mengkomunikasikan program-program partainya, hegemoni politik ini merasuk dalam teks sastra kidung seperti, Kidungan AMS (nyanyian Angkatan Muda Siliwangi). Kungkungan hegemonik yang mengitarinya membuat gerak-langkah aktivitas seniman menjadi terbatas yang mestinya merefleksikan realitas hidup masyarakat dan kreativitas kesenimanannya. Hegemonik itu dimungkinkan meluas dan merasuk sampai ke alam bawah sadar masyarakat (seniman dan kesenian), dengan kontrol power kepada practice dengan mengambil peran melalui interaksi antara sistem pemeritahan dan masyarakat seniman, yang mana pasang surutnya ditentukan oleh derajat kesepakatan hegemonik.
Perubahan yang meluas, mendalam dan sangat cepat dari masyarakat tani desa ke masyarakat industri kota membawa berbagai dampak yang positif maupun negatif pada berbagai sektor. Bidang kesenian berada di dalam masa interragnum (perubahan) yaitu, pada waktu pranata-pranata atau nilai-nilai lama/kondisi yang bernilai dan telah memasyarakat tidak lagi dihandalkan, sementara pranata-pranata baru belum cukup siap untuk berfungsi. Akibat masa interragnum ini bergejolak pada kenyataan bahwa dewasa ini etnik tradisional memudar bahkan tergusur, sementara seni-seni baru masih terasing. Menghadapi keadaan demikian perlu dilaksanakan upaya-upaya, disatu pihak revitalisasi (menghidupkan kembali) seni-seni etnik, sementara seni-seni baru dikemas dengan manajemen modern untuk disajikan kepada masyarakat. Seni-seni yang baru muncul melalui proses kreatif yang terbuka sehingga lahir karya baru, karya inovasi sesuai tuntutan jaman dengan tetap memegang teguh nilai-nilai lama. Semoga.
Catatan:
Tulisan ini, hasil studi lapangan yang disponsori oleh MSPI (1977), dan saya persembahkan kepada para Jaipongan di Karawang.
[1]Jadwal pentas Jaipongan “Rama Medal Mandiri Jaya Namin Group” Karangmulya, Desa Karangsinom, kec, Klari, Karawang pada bulan Agustus dan September 1997, tercuali hari Jumat Kliwon; “Cahaya Ligar Oding Group”, Krajan III, desa Pulo Kalapa, kec. Lemahabang, Wadas, Karawang, pada bulan September 1997.
[2]Ibrahim, Idi Subandy dan Dedy Djamaluddin Malik, Ed., Hegemoni Budaya, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1997, p. xiii
[4]Direktorat Kesenian, Petunjuk Teknis Pembinaan dan Pengembangan Kesenian di Daerah, Depdikbud, Jakarta, 1996/97, p. 3
[5]Data lapangan menyebutkan bahwa seniman-seniman tradisional di Karawang (khususnya Jaipong) tingkat pendidikan lebih banyak SD, SMP, dan SMA. Yang terakhir ini hanya segelintir saja. Wawancara dilakukan secara acak dari sejumlah group Jaipong di daerah Karawang selama penelitian lapangan dari tanggal 1- 15 September 1997.
[6]Wawancara dengan Rian Aspuri (25 tahun) pimpinan Jaipong “Layung Asih Group”, Desa Kedaung, Kec. Lemahabang, Karawang, tanggal 14 Sepetember 1997.
[7]Wawancara dengan Bp. Namin (45 tahun) pimpinan Jaipongan “Rama Medal Mandiri Jaya Namin Group” diselah-selah kesibukannya manggung di Dusun Jarong, Desa Pulo Kalapa, Kec. Lemahabang, Karawang, tanggal 7 September 1997.
[8]Magnis-Suseno SJ., Dr. Franz, Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, p. 80
[9]Kasi Kebudayaan DT II Karawang, Rekapitulasi Data kesenian Daerah Tk. II Karawang, 1997.
[10]Ibid. Data itu menunjukkan terdapat 110 organisasi/group “Jaipong” Kliningan dengan melibatkan 1.540 seniman yang tersebar di seluruh kecamatan tingkat II Kabupaten Karawang.
[11]Informasi dari Didin (27 tahun), mantan mahasiswa smt III Fisip UNPAS Jawa Barat. Ia anak tukang jagal kerbau di pasar Cibitung, mantan bajidor yang sudah kehabisan artanya malang-melintang dalam dunia Jaipong dengan menghambur-hamburkan uangnya antara Rp 500.000, – Rp 1.000.000,- semalam. Wawancara di rumah Bp. M. Enja Miharja saat Jumat Kliwon, tanggal 12 September 1997.
[12]Wawancara dirumahnya, Dusun Pundong, Desa Blendung, Kec. Klari, Karawang, tanggal 11 September 1997. Bapaknya (M. Enja Mihardja) juga menceritakan hal yang sama ketika anaknya sedang menari Jaipong di Dusun Teulungasem, Desa Cilamaya, Kec. Lemahabang, Karawang, 9 Sepetember 1997.
[13]Wawancara, ketika ia bertandang di tempat penulis tinggal tak jauh dari rumahnya di Lemahabang, Wadas, Minggu, 14 September 1997. Hartono (32 Tahun) adalah Sekretaris Yayasan Pendidikan Islam Annur, Desa Lemahabang, Wadas, Kec. Lemahabang, Karawang.
Comments are closed.