Juli 1, 2011
Tentang Banjar Saya,,,
Di tengah pergeseran moralitas manusia yang semakin egois mengutamakan kepentingan pribadi, masyarakat di Bali masih eksis mempertahankan tradisi musyawah mufakat. Sistem masyarakat di Bali sangat kental dengan keterikatan kekerabatan, sehingga terwujud suatu ketergantungan satu sama lain.
Peraturan banjar yang dituang dalam ‘awig-awig’ mengatur anggota banjar dalam menjalani kehidupan sosial dalam sebuah banjar. Awig-awig ini mempunyai suatu keunikan yaitu mampu mengikat warganya untuk patuh sehingga tatanan masyarakat dapat stabil. Sebagai contoh, bila ada kematian, begitu kentongan dibunyikan, warga pasti sudah berduyun-duyun ke rumah keluarga yang berduka. Walaupun ada warga yang belum mendengar keluarga mana yang berduka, mereka pasti sudah keluar rumah berpakaian adat ringan sambil bertanya keluarga mana yang berduka.
Tradisi upacara makotekan
TRADISI UPACARA MAKOTEK BAGI MASYARAKAT HINDU
DI DESA MUNGGU KECAMATAN MENGWI
KABUPATEN BADUNG
Istilah makotek muncul karena terjadinya parade senjata yang diselingi perang-perangan dengan tongkat yang dipukul atau dikotekkan kepada tongkat yang lain, sehingga menimbulkan suara yang berbunyi tek, tek, tek … yang ramai. Dari suara tersebut serta cara memukulkannya dengan “ngotek” maka timbullah istilah makotek.
Upacara makotek dianggap suatu upacara yang paling pokok dalam pencapaian keselamatan. Adapun tradisi makotek itu, pada dasarnya merupakan upacara Dewa Yadnya yaitu pemujaan dan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan dipusatkan pada pura kahyangan tiga. Pura kahyangan tiga merupakan tempat penyimpanan senjata atau alat-alat yang akan diarak dalam upacara makotek dengan mengelilingi Desa. Alat-alat yang diarak dalam parade tersebut meliputi tombak, keris, umbul-umbul, tedung (payung), kukul, tamyang kulen (perisai) disertai dengan gambelan yang diikuti oleh segenap masyarakat Munggu. Upacara makotek biasanya dilaksanakan setiap enam bulan sekali, warga desa merasa wajib ikut serta dalam upacara tersebut tanpa terkecuali karena halangan kematian (sepung). Sehingga upacara makotek membudaya dan berkembang terus sejalan dengan perkembangan kepercayaan masyarakat Desa Munggu dan menghadapi keselamatan.
Tradisi makotek yang telah mendarah daging serta melembaga dikalangan masyarakat Munggu mengalami perubahan istilah dari kata Ngerebeg dan sekarang lebih dikenal dengan sebutan makotek. Istilah ini muncul karena dalam pelaksanaan tradisi makotek terutama pada saat diadakan parede senjata yang diselingi dengan perang-perangan terjadi tongkat yang satu dipukulkan atau dikotekkan kepada tongkat yang lain sehingga menimbulkan suara yang berbunyi tek, tek, tek… yang sangat ramai serta cara memukulnya dengan ngotek maka timbullah istilah makotek.
Melalui tradisi makotek dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pelaksanaannya menunjukkan betapa besarnya kekuasaan dan kewibawaan Raja dalam menggerakkan kekuatan massa, sebagai suatu alat memelihara rasa persatuan dan rasa tanggung jawab rakyat terhadap keselamatan Raja serta sejauh mana kesetiaan rakyat terhadap Raja dan kerajaan. Tradisi makotek kalau ditinjau dari kata kaca mata masa kini adalah sebagai suatu alat untuk menolak penyakit atau hama demi kesejahteraan Desa, serta sebagai alat pengukur sejauh mana membudayakan tradisi-tradisi yang diwarisinya untuk dapat mengembangkannya demi pembangunan dan pariwisata.
Tradisi makotek merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih terus dilestarikan dalam masyarakat Munggu, yang masyarakatnya secara melembaga melaksanakan tradisi makotek tersebut. Masyarakat Munggulah sebagai penerus dan pewaris kebudayaan leluhur yang hampir terlupakan. Tradisi makotek dilakukan dengan hikmah dan penuh keyakinan, setiap enam bulan sekali atau 210 hari tepatnya pada hari raya Kuningan.
Halo dunia!
Selamat Datang di Blog Institut Seni Indonesia Denpasar. Ini adalah post pertama anda. Edit atau hapus, kemudian mulailah blogging!