Archive for Mei, 2013

DEWA MESRAMAN

Tradisi Dewa Masraman dilaksanakan setiap enam bulan sekali tepatnya Saniscara Kliwon wuku Kuningan yang bertepatan dengan hari raya Kuningan. Tradisi yang terletak di pura Panti Timrah yang terletak di Banjar Timrah Dusun Timrah Desa Adat Paksebali Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung ini diperkirakan sudah mulai dilaksanakan dari tahun 1500 dan terus diturunkan hingga saat ini tanpa mengurangi ataupun melebihkan rangkaian acara yang ada. Tradisi inimulanya  berasal dari Karangasem desa Pratimrah. Untuk menjaga wilayah perbatasan yang memisahkan kabupaten Klungkung dengan Karangasem, maka dikirimlah beberapa utusan untuk mendamaikan dan menjaga perbatasan.Karena para utusan yang dikirim ingin tetap mempertahankan tradisi asli wilayah mereka yakni Dewa Masraman, maka dilaksanakanlah pula trasidisi ini di perbatasan tersebut (yang saat ini menjadi wilayah Klungkung).Namun yang membedakan tradisi Dewa Masraman Karangasem dengan tradisi Dewa Masraman perbatasan adalah terletak pada waktu pelaksanaannya.Sedangkan tradisi Dewa Masraman sendiri berasal dari kata mesra yang berarti bersenang-senang secara lahir batin.

Setelah semua persiapan sudah siap baik dari prasarana perlengakapan banten, masyarakat dusun Timrah tepatnya pada hari raya Kuningan akan berkumpul di pura Panti Timrah untuk membuat lawar yang terdiri dari 5 jenis lawar yakni: lawar dari daun belimbing, lawar nangka, lawar  buah kacang, lawar gedang. Lawar ini memiliki makna sebagai suatu simbol yang bisa mempersatukan semua perbedaan yang ada di masyarakatdusun Timrah. Seusai menyiapkan lawar , tepatnya pukul 03.00 pm akan diadakan acara nunas paica(berkah). Nunas paica ini hanya dilakukan oleh anak-anak yang belum beranjak dewasa.Makanan atau paica yang disediakan berupa lawar, nasi, dan sate isi yang dialasi dengan klangsah dan di atasnya diletakan daun pisang.Makna nunas paica(mohon berkah) ini adalah untuk memberikan suatu bekal atau berkah kepada anak-anak dari dusun Timrah, sedari kecil mereka harus dibekali atau diberikan suatu dasar ajaran untuk digunakan bekal pada jenjang masa yang lebih dewasa. Selain itu makna lainnya adalah pembentukan karakter pada anak tersebuat dengan memperkuat rasa kebersamaan, ini bisa dilihat dari suguhan yang disiapkan semuanya sama tidak ada perbedaan dari satu anak ke anak lain.

Setelah penunasan paica yang dilakukan oleh anak-anak acara akan dilanjukan dengan acara megibung yang dilaksanakan oleh para orang dewasa, makanan yang disediakan pada saat acara megibung sedikit berbeda dengan suguhan nunas paica. Suguhan yang disiapkan adalah nasi putih, 5 jenis lawar, dan garam(uyah) dengan dialasi klakat (terbuat dari bambu yang berbentuk persegi). Makna dari megibung ini tidak lain adalah untuk mempersatukan semua perbedaan sifat dan kelakuan yang ada di masyarakat dusun Timrah jika ada perbedaan itu susah atau sukar untuk disatukan akan dinetralkan dengan simbol garam(uyah) sebagai penetral rasa.

Setelah acara megibung usai acara akan dilanjutkan dengan melakukan pesucian tepatnya pukul 05.30 pm. Ketujuh jempana yang di dalamnya sudah berisi pratima yang sudah dihiasi akan diusung oleh para teruna dengan tidak menggunakan pakaian hanya menggunakan saput saja. Satu jempana akan diusung oleh dua orang teruna. Ketujuh Jempana ini akan diusung ke sungai seganing (sumber air).Hal itu dimaksudkan dengan tujuan untuk memohon air suci selain untuk membersihkan jiwa dan raga para mayarakat dusun Timrah sebelum melakukan persembahyangan dan mengikuti upacara tradisi Dewa Masraman.

Setelah melakukan penyucian diri,  jempana atau joli akan diusung kembali ke Pura Panti Timrah dan setibanya di jaba tengah pura, ketujuh jempana sudah disambut dengan tari rejang dewa yang ditarikan oleh anakputri yang belum mengalami datang bulan, selain menggunakan bunga genitir  uniknya hiasan rejang dewa ini juga harus menggunakan ukiran dari hati ubi yang dimaksudkan agar tetap mempertahankan tradisi yang ada. Selain itu jempana atau joli juga disambut dengan tari baris yang ditarikan oleh daha teruna,  penari baris membawa keris di tangan kananya dan enam dari ketujuh jempana yang dipundut oleh daha teruna mulai diarak seolah terjadi perang dan penari baris mengelilingi jempana, mengejar dan menabrak setiap jempana dari yang satu ke yang lainnya dan jempana melilit menjadi satu seolah-olah terjadi perang yang disebut Dewa Masraman. Ida Bhatara Ratu Lingsir tidak ikut disramankan dikarenakan Ida Bhatara Ratu Lingsir dituakan dari keenam dewa, namun Ida Bhatara Ratu Lingsir hanya menyaksikan atau mengawasi  jalannya acara masraman. Kemudian jempana dibawa mengellingi pura mengarah purwa daksina atau ke arah kanan(searah dengan jarum jam) baru diusung ke wilayah utama pura (pesucian atau jeroan). Keenam dewa distanakan ditempat yang sama yakni di bale Pengaruman Agung,sedangkan Dewa Ida Bhatara Gede Jaya distanakan tersendiri di bale Pajenengan karena Dewa Ida Bhatara Gede Jaya penguasa dari arah barat sehingga dituakan, seusai pelinggihan dewa-dewa  akan diadakan persembahyangan bersama. Semua ragkaian tahap pelaksanaan tradisi Dewa Masraman ini dilakasanakan sore hari ± mulai pukul16.00 s.d. selesai.